Home / Rumah Tangga / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 8: Retakan yang Semakin Lebar

Share

Bab 8: Retakan yang Semakin Lebar

Author: Le Vant
last update Huling Na-update: 2024-09-15 12:30:45

Pagi berikutnya datang dengan sinar matahari yang seolah-olah tidak memedulikan kekacauan yang sedang terjadi di dalam hati Wulan. Pagi ini, seperti biasa, Wulan menyiapkan sarapan. Dimas sudah siap untuk berangkat kerja, mengenakan setelan formal yang rapi, sedang bercanda dengan ibunya di ruang makan. Wulan tersenyum tipis melihat mereka dari dapur, meski rasa sepi semakin mencengkeram hatinya.

"Mas, mau kopi atau teh?" tanya Wulan, mencoba untuk menyisipkan suaranya di antara canda tawa Dimas dan ibunya.

"Kopi, sayang," jawab Dimas dengan senyum. "Seperti biasa."

Ana datang terlambat ke meja makan, masih mengenakan piyamanya. Ia duduk dengan sikap yang malas, memandang Wulan sejenak sebelum membuka ponselnya. Mata Ana menelusuri layar ponselnya dengan cepat, seolah Wulan adalah sosok yang transparan di matanya.

"Kalau kamu bisa tolong cucikan bajuku nanti, Mbak Wulan. Aku mau pakai itu buat ketemuan nanti malam," katanya tanpa menoleh, dengan nada yang memerintah.

“Ya, Ana,” jawab Wulan pendek, sembari menuangkan kopi untuk Dimas.

Setelah semuanya tersaji di meja makan, Wulan duduk dengan tenang di sebelah Dimas. Sekali lagi, dia menjadi saksi obrolan yang tampak hangat antara suaminya dan ibu mertuanya. Meski Wulan ada di sana, dia merasa seperti orang asing dalam kehidupan keluarganya sendiri.


Setelah Dimas berangkat bekerja, suasana rumah kembali ke pola yang sudah terlalu familiar bagi Wulan. Ana kembali ke kamarnya, meninggalkan Wulan bersama ibu mertuanya di ruang makan yang kini sunyi. Wulan merapikan piring-piring dengan hati-hati, berusaha mengisi keheningan dengan pekerjaan, namun tiba-tiba suara tajam ibunya menyentak keheningan itu.

"Wulan, kamu benar-benar kurang teliti membersihkan meja ini," katanya sambil menunjuk ke arah meja makan yang sudah diseka Wulan beberapa saat lalu. "Lihat, masih ada debu di sini."

Wulan berusaha menahan diri agar tidak menunjukkan emosinya. Ia tahu, sekecil apapun hal yang ia lakukan, pasti ada celah bagi ibu mertuanya untuk mencari kesalahan.

"Saya akan bersihkan lagi, Bu," jawabnya pelan.

Ibu mertuanya hanya mengangguk dingin tanpa mengucapkan terima kasih atau memberi senyum. Saat itu, Wulan menyadari bahwa perlakuan seperti ini tidak akan pernah berubah. Keinginan untuk diterima, untuk diperlakukan dengan kasih sayang, semakin tampak seperti mimpi yang tak mungkin terwujud.

Namun, Wulan tetap menyimpan segala perasaannya di dalam hati. Ia selalu berusaha sabar, percaya bahwa suatu hari semuanya akan berubah. Entah bagaimana, ia berharap cinta Dimas pada akhirnya akan cukup untuk melindungi dirinya dari kebencian yang ia rasakan dari keluarga suaminya.


Hari demi hari, sikap dingin Ana dan ibu mertuanya semakin mencolok. Keduanya jarang bicara dengan Wulan kecuali saat memberi perintah. Ana sering mengabaikan kehadiran Wulan, sementara ibu mertuanya lebih sering mengkritik hasil pekerjaannya di rumah, tak peduli seberapa keras Wulan sudah berusaha untuk membuat segalanya sempurna.

Suatu siang, ketika Wulan sedang menyelesaikan pekerjaan rumah, Ana tiba-tiba mendatanginya dengan wajah tak sabar.

"Mbak Wulan, baju yang aku suruh cuci kemarin mana?" tanyanya dengan nada menyalahkan. "Aku sudah bilang kan aku butuh hari ini?"

Wulan tertegun sesaat, ingat betul ia sudah mencucikan dan menyetrika baju tersebut kemarin. "Sudah selesai, Ana. Sudah kusimpan di kamarmu," jawab Wulan pelan.

Ana mendengus, lalu tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergi ke kamarnya. Sikap semacam ini sudah terlalu sering terjadi, dan Wulan mulai merasa lelah. Lelah berusaha keras tapi selalu dianggap kurang. Lelah mencintai keluarga yang bahkan tidak mau mengakui keberadaannya.

Namun, Wulan tetap diam. Baginya, tidak ada gunanya mengadu pada Dimas. Keluarganya terlalu pintar menyembunyikan kebencian mereka saat Dimas ada di rumah. Setiap kali Wulan mencoba memberi petunjuk pada Dimas tentang bagaimana perasaannya, Dimas selalu menjawab dengan, "Kamu jangan terlalu memikirkan hal kecil, ya. Mama dan Ana pasti sayang sama kamu."

Wulan hanya bisa tersenyum getir ketika mendengar itu. Setiap kali Dimas berkata begitu, ia semakin yakin bahwa suaminya tidak benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi. Cinta Dimas mungkin ada, tapi Dimas buta terhadap kenyataan yang Wulan hadapi setiap hari.


Malamnya, setelah Dimas pulang, suasana rumah kembali hangat—setidaknya di permukaan. Dimas menyapa ibunya dan Ana dengan tawa dan senyuman, dan mereka berdua membalas dengan hangat. Bahkan Ana, yang sepanjang hari bersikap acuh tak acuh pada Wulan, tiba-tiba menjadi ceria di depan Dimas. Wulan melihat bagaimana mereka bisa berubah dalam sekejap, dan perasaan terasing semakin menggerogoti hatinya.

Saat makan malam, Wulan lebih banyak diam. Dimas dan ibunya sibuk membicarakan rencana keluarga untuk menghadiri sebuah acara keluarga besar akhir pekan nanti. Wulan mendengarkan, meskipun hatinya semakin tenggelam dalam kesepian.

“Wulan, kamu bisa siap-siap juga, ya. Kita akan pergi pagi-pagi sekali ke rumah nenek,” kata Dimas sambil tersenyum padanya.

“Iya, Mas,” jawab Wulan pelan. Meski ia tak terlalu mengenal keluarga besar Dimas, ia tahu bahwa dalam acara seperti itu, ia akan kembali merasa terasing di tengah keramaian.


Malam itu, setelah semuanya berakhir dan rumah kembali sepi, Wulan merenung di kamarnya. Ia merasa semakin terisolasi, meski dikelilingi oleh keluarga suaminya. Dimas mungkin mencintainya, tapi ia tak bisa benar-benar memahami apa yang Wulan alami. Setiap kali Dimas menyentuhnya atau mengucapkan kata-kata manis, Wulan merasa ada dinding yang memisahkan mereka—sebuah dinding yang dibangun oleh ketidaktahuan Dimas dan kebencian keluarganya.

Wulan memandang ke luar jendela, menatap langit malam yang kosong. Di tengah kesunyian itu, ia mulai menyadari bahwa hidupnya kini hanya bertahan untuk mempertahankan pernikahan yang semakin terasa hampa. Ia menahan segala luka dalam diam, berharap suatu hari cinta Dimas akan cukup untuk menyelamatkan segalanya.

Namun, di balik kesabaran itu, Wulan tahu bahwa ia tidak bisa terus begini selamanya. Ada batas di mana kesabaran akan habis, dan ketika itu terjadi, Wulan tahu bahwa ia akan mengambil tindakan.

Saat itu belum tiba, tapi Wulan mulai memikirkan kemungkinannya. Tindakan apa yang harus ia ambil? Bagaimana cara ia mempertahankan dirinya tanpa harus menghancurkan apa yang sudah ia bangun bersama Dimas? Pertanyaan itu terus menghantuinya, namun jawabannya belum datang.

Di tengah kegelapan malam, Wulan hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, segalanya akan menjadi lebih baik. Tapi di lubuk hatinya yang terdalam, ia mulai meragukan apakah cinta benar-benar bisa menjadi jawaban untuk semua ini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 176: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 175: Langkah Menuju Impian

    Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 174: Menghadapi Kebenaran

    Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 173: Terjebak dalam Jaringan Harapan

    Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 172: Ujian Pertama

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 171: Langkah Awal yang Menjanjikan

    Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status