Home / Rumah Tangga / Sekeping Hati yang Bertahan / Bab 9: Menghadapi Ketidakpastian

Share

Bab 9: Menghadapi Ketidakpastian

Author: Le Vant
last update Last Updated: 2024-09-15 12:31:34

Pagi yang baru kembali hadir dengan rutinitas yang sama. Wulan bangun lebih awal dari anggota keluarga lainnya. Ia mulai mempersiapkan sarapan untuk Dimas, ibu mertuanya, dan Ana. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari kehidupannya, seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Namun, kali ini, ada beban yang lebih berat di pundaknya—bukan karena tugas-tugas rumah, melainkan karena rasa kesepian yang semakin membebani hatinya.

Saat Wulan sedang memotong roti untuk sarapan, Dimas tiba-tiba muncul dari belakang, memeluknya dengan hangat. Wulan tersenyum, merasakan kehangatan suaminya yang selalu menjadi penghibur di tengah segala kesulitan yang ia alami di rumah ini.

"Sayang, terima kasih selalu menyiapkan sarapan. Kamu istri yang paling baik," ujar Dimas lembut, mengecup keningnya.

Wulan mengangguk pelan, hatinya hangat oleh perhatian suaminya. Namun, tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa getir yang menyelinap di dalam hatinya. Seberapa lama kehangatan ini bisa bertahan jika Dimas tahu apa yang sebenarnya terjadi? Apakah cinta Dimas cukup kuat untuk melawan pengaruh keluarganya?

"Mas, kamu selalu bilang begitu," balas Wulan lembut, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Dimas hanya tersenyum, tak menyadari pergolakan batin istrinya. "Karena itu benar. Kamu sempurna buatku."

Wulan kembali sibuk menyiapkan sarapan, tetapi pikirannya sudah melayang jauh. Saat Dimas ada di rumah, segalanya terasa lebih mudah. Ibu mertuanya tidak sekeras biasanya, dan Ana bahkan bisa terlihat ramah. Namun, begitu Dimas pergi bekerja, dunia kembali berubah. Wulan merasa seperti seorang tamu yang tidak diinginkan di rumah ini.


Setelah Dimas berangkat kerja, Wulan duduk di ruang tamu, mendengarkan suara pintu mobil yang perlahan menjauh. Suasana rumah kembali ke keheningan yang mencekam. Seperti yang sudah ia duga, ibu mertuanya segera keluar dari kamar, menatap Wulan dengan tatapan tajam. Tatapan itu sudah menjadi hal biasa baginya.

"Wulan, ada tamu yang akan datang sore ini. Tolong kamu siapkan semuanya, jangan sampai ada yang kurang," ujar ibu mertuanya dengan nada yang memerintah.

"Tentu, Bu. Siapa tamunya?" tanya Wulan, berusaha menanggapi dengan sopan meski hatinya sedikit gentar.

"Keluarga besar dari pihak ayah Dimas. Mereka mau mampir sebentar sebelum acara besar nanti minggu depan. Kamu tahu sendiri kan, kita harus menjaga nama baik keluarga," jawab ibu mertuanya dengan nada sinis.

Wulan mengangguk patuh. Ia tahu, apapun yang ia lakukan, hasilnya tidak akan pernah cukup di mata mertuanya. Namun, ia tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyiapkan segalanya. Baginya, menjaga keharmonisan di rumah ini adalah prioritas. Ia berharap dengan melakukan semua ini, setidaknya ia bisa mendapatkan sedikit pengakuan atau penghargaan. Namun, setiap harinya, harapan itu semakin jauh.

Sementara itu, Ana muncul dari kamar dengan gaya santainya, masih memegang ponsel di tangan. Ia tidak pernah peduli dengan persiapan rumah atau tamu-tamu yang datang. Seolah-olah semua itu adalah tanggung jawab Wulan sepenuhnya. Bahkan, Ana kadang-kadang tidak ragu untuk membebankan tugas-tugas pribadinya pada Wulan, seperti mencuci baju atau merapikan kamarnya.

"Mbak Wulan, jangan lupa ya nanti bajuku sudah harus siap sebelum aku keluar," kata Ana sambil berlalu ke dapur, mengambil minuman dingin dari kulkas tanpa menoleh pada Wulan.

“Ya, Ana,” balas Wulan sambil melanjutkan tugasnya.

Wulan sudah terbiasa dengan semua ini. Walaupun hati kecilnya kadang memberontak, ia memilih untuk diam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, namun semuanya terpendam jauh di dalam hatinya. Ia tidak ingin menambah beban pikiran Dimas dengan masalah rumah tangga yang seharusnya kecil. Lagi pula, keluarganya selalu menunjukkan sisi terbaik mereka saat Dimas ada, membuat Wulan semakin bingung apakah ia harus berbicara atau tidak.


Siang itu, Wulan sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk kedatangan tamu. Dapur yang awalnya sunyi kini dipenuhi suara panci, pisau, dan piring yang beradu. Wulan bekerja tanpa henti, memastikan setiap hidangan siap dengan sempurna. Ini adalah bagian dari hidupnya sekarang—menjadi seorang istri yang baik di mata keluarga Dimas, meski ia jarang merasa dihargai.

Setelah berjam-jam bekerja, Wulan akhirnya menyelesaikan semua persiapan. Ia melirik jam di dinding, menyadari bahwa tamu akan segera datang. Ibu mertuanya dan Ana juga sudah berdandan rapi, siap menyambut tamu dengan senyuman yang penuh kepalsuan. Wulan sendiri merasa sedikit canggung; ia tahu, meski ia sudah melakukan segalanya, ia tetap akan dianggap kurang.

Dan benar saja, begitu tamu datang, ibu mertuanya langsung memuji dirinya sendiri atas segala kesempurnaan rumah dan persiapan yang dilakukan. Ia menyapa para tamu dengan hangat, seolah semua ini adalah hasil kerja kerasnya sendiri. Wulan berdiri di belakang, tersenyum kecil, tak mengharapkan apapun.

"Aduh, Bu Susi, rumahnya selalu rapi dan indah! Pasti repot ya, mempersiapkan semuanya," puji salah satu tamu dengan ramah.

Ibu mertua Wulan tersenyum puas. "Ah, begitulah. Kita harus menjaga agar semuanya selalu dalam keadaan terbaik. Apalagi kalau tamu datang, harus sempurna," jawabnya.

Tak ada satu kata pun yang menyebutkan peran Wulan dalam persiapan tersebut. Wulan hanya bisa tersenyum lemah. Seolah-olah semua yang ia lakukan tak berarti apa-apa. Setiap kali tamu datang, ia selalu berdiri di pinggir, menyaksikan mertuanya menerima pujian yang seharusnya juga menjadi miliknya. Namun, Wulan sudah terbiasa dengan hal ini.

Saat tamu-tamu berkumpul di ruang tamu, Wulan memastikan segala hal berjalan lancar. Ia keluar masuk dapur, memastikan hidangan dan minuman tersaji dengan sempurna. Setiap kali ia lewat, tamu-tamu hanya sekilas melirik padanya, seperti pelayan yang bekerja di belakang layar. Wulan tidak meminta banyak, hanya sedikit pengakuan, tapi hal itu tampak terlalu jauh untuk diraih.


Sore itu, setelah tamu pulang, Wulan duduk sejenak di kursi makan, merasa letih. Ia memandang ke arah pintu depan, membayangkan Dimas yang nanti malam akan kembali. Hanya kehadiran suaminya yang masih mampu memberi sedikit kebahagiaan di tengah kesepian yang ia rasakan.

Namun, dalam hatinya, Wulan mulai merasakan sesuatu yang baru—sebuah dorongan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mulai sadar bahwa terus-menerus bertahan tidak akan membuat hidupnya lebih baik. Cinta kepada Dimas tidak cukup untuk menahan semua rasa sakit yang ia alami setiap hari. Lambat laun, Wulan tahu bahwa ia perlu mengambil tindakan, namun ia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan.

Malam itu, setelah Dimas pulang dan rumah kembali tenang, Wulan merenung dalam kegelapan. Ia tidak bisa terus seperti ini, tapi ia juga belum siap untuk melawan. Apa yang akan terjadi jika Dimas tahu tentang apa yang keluarganya lakukan di belakangnya? Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi kenyataan ini?

Untuk pertama kalinya, Wulan mulai memikirkan apa yang bisa ia lakukan jika keadaan tidak berubah. Dalam kesunyian malam, ia membayangkan masa depan yang mungkin saja tak lagi bersama Dimas. Sementara cinta masih ada, kepercayaan dirinya mulai terkikis oleh perlakuan keluarga suaminya. Hatinya mulai bertanya-tanya apakah semua pengorbanan ini benar-benar sepadan.

Dan di sinilah awal dari rencana Wulan mulai terbentuk, meskipun ia masih belum sepenuhnya sadar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 176: Bayang-Bayang Masa Lalu

    Keesokan harinya, setelah merayakan keberhasilan mereka, Wulan terbangun dengan perasaan segar. Namun, saat menyiapkan sarapan, bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. Ia teringat pada perlakuan dingin keluarga Dimas, yang tak kunjung hilang dari ingatannya. Bagaimana mereka selalu terlihat baik di depan Dimas, sementara di belakangnya, mereka memperlakukannya dengan sinis.Saat Dimas masuk ke dapur, Wulan berusaha menyembunyikan pikirannya. “Selamat pagi! Apa kamu siap untuk hari ini?” tanya Dimas dengan semangat.“Selamat pagi. Tentu saja, aku sudah menyiapkan rencana kerja untuk minggu ini,” jawab Wulan, berusaha menunjukkan antusiasme.Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi lokasi pelatihan mereka. Wulan merasakan semangat di dalam dirinya. Namun, saat mereka melangkah keluar, matanya tertangkap oleh sosok familiar yang melintas di jalan. Itu adalah Ibu Dimas, berjalan dengan angkuh, seolah tak pernah melihat mere

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 175: Langkah Menuju Impian

    Hari-hari setelah presentasi itu menjadi lebih dinamis bagi Wulan dan Dimas. Mereka berdua semakin sering berdiskusi tentang rencana masa depan usaha pelatihan yang mereka jalankan. Wulan merasa optimis, namun di sisi lain, bayang-bayang keraguan dan ketidakpastian masih menghantui pikirannya.Suatu pagi, saat mereka duduk di meja makan, Dimas terlihat lebih bersemangat dari biasanya. “Aku mendapat kabar baik! Salah satu sponsor besar ingin bertemu dengan kita,” katanya dengan senyum lebar.Wulan menatap Dimas dengan rasa ingin tahu. “Sponsor besar? Siapa mereka?”“Perusahaan alat olahraga terkenal. Mereka tertarik untuk mendukung program kita,” Dimas menjelaskan, matanya berbinar. “Ini kesempatan bagus untuk mengembangkan usaha kita lebih jauh.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Meskipun senang dengan berita ini, ketakutan akan penolakan masih ada. “Tapi, apa mereka benar-benar tertarik pad

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 174: Menghadapi Kebenaran

    Hari-hari setelah acara presentasi itu membawa perubahan yang signifikan bagi Wulan. Keluarga Dimas, terutama ibunya, mulai menunjukkan tanda-tanda ketertarikan terhadap program pelatihan yang dijalankannya. Wulan merasa sedikit lega, tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan.Dimas mendukung penuh setiap langkah Wulan. Dia sering pulang lebih awal dari kerja untuk membantu Wulan mempersiapkan sesi pelatihan berikutnya. “Aku ingin memastikan bahwa semua orang di keluarga kita melihat betapa pentingnya ini,” kata Dimas dengan semangat.Suatu malam, setelah makan malam, Wulan dan Dimas duduk di sofa, membahas langkah selanjutnya. “Sayang, bagaimana kalau kita mengadakan sesi khusus untuk keluarga? Aku ingin mereka merasakan langsung dampak dari apa yang kita lakukan,” usul Wulan.Dimas mengangguk, “Itu ide yang bagus! Mungkin kita bisa mengundang mereka ke sesi pelatihan berikutnya dan menunjukkan bagaimana peserta be

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 173: Terjebak dalam Jaringan Harapan

    Keesokan harinya, Wulan merasa bersemangat. Dia sudah merencanakan sesi pelatihan baru yang berfokus pada keterampilan kewirausahaan. Dia ingin peserta merasakan langsung bagaimana memulai usaha mereka sendiri, bahkan dari hal-hal kecil. Saat dia memasuki ruang pelatihan, senyum lebar menghiasi wajahnya.“Selamat pagi, semuanya!” sapanya ceria, dan para peserta membalas dengan antusias. Mereka duduk melingkar, penuh harapan.“Saya ingin kita berbagi ide tentang produk apa yang bisa kita jual. Kalian semua memiliki keahlian masing-masing, dan saya percaya kita bisa menemukan peluang yang tepat!” Wulan melihat semangat di wajah-wajah mereka dan merasa energinya meningkat.Mira, yang sudah mulai menjual kue, mengangkat tangan. “Saya bisa membantu mengajarkan cara membuat kue yang enak dan mudah!” Wulan tersenyum bangga. “Itu ide yang luar biasa, Mira! Siapa lagi yang punya ide?”Satu per satu, peserta mulai ber

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 172: Ujian Pertama

    Hari-hari berlalu dengan cepat, dan program pelatihan yang Wulan jalankan semakin menarik perhatian. Para peserta tidak hanya datang untuk belajar, tetapi juga membawa harapan baru ke dalam hidup mereka. Wulan merasa semakin terhubung dengan mereka, berbagi tawa dan cerita, namun di balik kebahagiaan itu, keraguan dari keluarga Dimas tetap menghantuinya.Suatu pagi, Wulan menerima telepon dari Dimas. “Sayang, aku mau mengajakmu makan siang bersama keluargaku. Mereka ingin berbicara tentang program yang kau jalankan.”Wulan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan hasil kerjanya, tetapi bayangan skeptisisme keluarga Dimas membuatnya cemas. “Baiklah, aku akan siap-siap,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.Saat tiba di rumah Dimas, Wulan disambut dengan senyuman hangat, tetapi dia merasakan ketegangan di udara. Keluarga Dimas sudah berkumpul di meja makan. Dimas mengisyaratkan Wulan untuk dudu

  • Sekeping Hati yang Bertahan   Bab 171: Langkah Awal yang Menjanjikan

    Dengan semangat baru, Wulan mulai mengatur program pelatihan dengan lebih serius. Setiap hari, ia menghabiskan waktu untuk merancang materi pelajaran dan mencari narasumber yang berpengalaman. Dalam benaknya, ia membayangkan para peserta akan merasakan perubahan positif dalam hidup mereka setelah mengikuti pelatihan ini.Pagi itu, Wulan menerima telepon dari seorang pakar pelatihan keterampilan yang bersedia membantu. Ia segera menjadwalkan pertemuan untuk mendiskusikan detail lebih lanjut. Setelah panggilan berakhir, Wulan merasa berenergi. Ini adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.Ketika bertemu dengan peserta pertama program, suasana terasa hangat. Wulan melihat wajah-wajah penuh harapan. Mereka adalah ibu-ibu dari berbagai latar belakang, masing-masing membawa cerita dan impian. Dalam pertemuan itu, Wulan memperkenalkan diri dan menjelaskan visi program.“Saya percaya bahwa setiap dari kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan,&rd

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status