Share

Chapter 4

Samuel melepaskan Amanda dengan perasaan yang cukup kecewa. Sejujurnya Samuel menginginkan lebih dari itu. Tapi dia tahu Amanda adalah orang yang memiliki prinsip, ada yang menyentuhnya saja, dia akan sangat marah dan segera menjauh dari orang itu.

Pernah satu waktu ada sekarang karyawan yang mengganggunya, dia benar-benar tidak bertoleransi sedikitpun dan langsung menegur karyawan itu di depan semua orang.

Hanya saja, yang Samuel tahu adalah, seseorang tidak akan perduli lagi pada prinsipnya jika menyangkut orang yang dia cintai. Amanda sangat mencintai keluarganya, dan sekarang keluarganya berada dalam kesulitan.

"Pergilah, kodenya 9****6" kata Samuel yang kembali berbalik membelakangi Amanda dan meraih gelas minumannya dan meminumnya.

Amanda merapikan pakaiannya, dan menurunkan roknya yang sempat terangkat karena ulah Samuel.

"Baik pak, permisi."

Amanda masih berusaha bersikap seperti biasa pada Samuel. Meski hatinya sedang sangat bergemuruh saat ini. Mana dia pernah menyangka kalau bosnya yang selama ini selalu bersikap dingin padanya. Bicara hanya masalah pekerjaan saja, dan kerap kali menyusahkannya. Bisa menyentuhnya seperti itu, menciumnya dengan hasrat yang tak dapat di imbangi oleh Amanda.

Rasanya Amanda melihat sisi lain bosnya, yang biasanya selalu menjauhi wanita. Bahkan tak pernah bersalaman dengannya. Namun beberapa menit yang lalu, bahkan pria itu hampir memberikan tanda di lehernya yang akan membuat semua orang bertanya-tanya.

Amanda bergegas meninggalkan unit apartemen itu dan berjalan dengan cepat menuju ke arah lift. Sampai di dalam lift, Amanda berjongkok dan menangis. Bukankah dia akan menjadi wanita yang paling buruk setelah ini, menjadi simpanan seorang pria beristri. Meski statusnya istri juga, tapi pasti itu tidak sah menurut negara. Dan tetap saja namanya simpanan, istri simpanan. Dia akan menjadi bayang-bayang dari wanita lain, membuatnya akan terus merasa bersalah karena sudah menjadi seseorang yang menyebabkan seorang suami membagi hati dan tubuhnya. Amanda benar-benar merasa malu dan rasanya menjadi tidak berharga sama sekali sebagai seorang wanita.

Amanda berdiri dan menyeka air matanya dengan cepat. Dia bahkan meninggalkan mobilnya di kantor polisi. Karena dia ikut dengan Marko tadi. Lagipula, seperti apa yang di katakan petugas dimana dia berniat menjual mobilnya tadi. Dia bahkan tidak akan mungkin memakai mobil itu lagi. Dia bisa di tuntut oleh pihak pamannya yang sungguh kejam itu.

Amanda masih memikirkan hal itu, ketika dia menghentikan sebuah taksi yang lewat dan menaiki taksi itu menuju ke rumah sakit. Di dalam mobil, dia masih memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam kehidupannya.

Semuanya seperti mimpi buruk baginya, padahal sebelumnya, semua masih baik-baik saja. Sebelum dia pergi bekerja seperti biasanya, dia masih sarapan dengan ayah dan ibunya. Masih bersenda gurau dengan mereka. Tidak ada masalah sama sekali.

Dan beberapa hari sebelumnya, sang paman dan keluarganya juga masih datang ke rumahnya seperti biasanya, berbincang, makan bersama, dan semua kegiatan seperti biasanya. Tidak ada yang aneh atau mencurigakan sama sekali. Tapi kenapa tiba-tiba paman dan bibi yang sangat dia sayangi, dan selalu ayahnya bantu jika mengalami kesulitan, bahkan Lusi anak paman Rangganya itu sudah di anggap anak oleh Roy sendiri. Malah menikam Roy dari belakang seperti itu.

Hati Amanda saja rasanya sakit dengan apa yang telah di lakukan sang paman dan keluarganya. Dia tidak bisa bayangkan bagaimana hati sang ayah.

Belum lagi pasal pelenyapan itu, Amanda tidak pernah menyangka ayahnya akan di tangkap polisi karena hal seperti itu. Amanda bersama dengan ayahnya selama 24 tahun, dia mengenal ayahnya seperti ayahnya mengenalnya. Amanda yakin, ayahnya tidak bersalah. Pasti ada yang menjebak ayahnya. Orang yang saat akan mengusir semut saya, di tiup perlahan. Bagaimana orang itu bisa melenyapkan seseorang. Itu tidak mungkin.

Sampai di rumah sakit, pak Sarip sudah berada di depan rumah sakit.

"Nona... nyonya sudah di bawa ke ruangan operasi," pak Sarip begitu antusias dan perhatian.

Bahkan ini sudah malam, tapi pak Sarip masih menunggu di rumah sakit. Setidaknya Amanda merasa, masih ada orang yang punya hati dan tulus padanya dan keluarganya. Masih ada pak Sarip dan istrinya yang membantunya dan keluarganya.

Amanda dan pak Sarip langsung menuju ke ruang operasi.

"Kamu benar-benar menjual mobilmu?" mata Dimas tampak berkaca-kaca saat menanyakan itu pada Amanda.

Amanda terdiam, dia hanya meninggalkan mobilnya di kantor polisi. Tapi memang mobilnya itu juga tidak bisa dia gunakan lagi. Karena sudah menjadi hak milik Rangga Djatmiko. Kalaupun Dimas menganggap biaya operasi ibunya dari uang penjualan mobil, maka biarlah seperti itu.

"Nona datang dengan taksi, tuan" jawab pak Sarip yang melihat seperti itu tadi.

Dimas memeluk adiknya dengan wajah yang begitu sedih.

"Maafkan aku Manda, sebagai kakak tertua aku malah tidak bisa melakukan apapun. Maafkan aku"

Air mata amanda tumpah lagi, dia merasakan kepedihan yang begitu besar dalam setiap kata-kata yang di ucapkan oleh Dimas.

Kedua saudara itu saling memeluk, mencoba menumpahkan beban berat di hati dan pikiran mereka berdua. Beban Dimas yang bahkan merasa sangat tidak berguna, bahkan di tinggal anak istrinya. Karena sang mertua yang sangat kecewa pada Dimas dan keluarganya. Belum lagi sang istri yang memang takut untuk hidup susah.

Dan beban Amanda yang tidak bisa mengatakan pada kakaknya atau bahkan pada siapapun tentang darimana dia mendapatkan semua uang untuk biaya operasi ibunya dan pengacara untuk ayahnya nanti. Dia tidak mungkin mengatakan, uang itu adalah hasil dia menjual harga dirinya kan?

***

To be continued...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status