Ruby menatap kesal lelaki di depannya. "Awalnya saya mau berterima kasih, tapi karena Anda terlalu arogan saya jadi nggak jadi makasih nya. Sok mau nolong tapi ternyata malah mau menghina."
Dia paling tidak suka jika dirinya dihina seperti ini, meskipun orang miskin yang yatim piatu.Ruby merasa dirinya masih punya harga diri yang harus dia pertahankan.
"Dasar cewek gila, sudah ditolong tapi malah sewot. Saya jadi nyesel sudah menolong kamu." Lelaki itu menatap Ruby tak kalah sinis. Keduanya saling tatap dengan tatapan tajam masing-masing. Wajah keduanya sama-sama memerah mana marah di dalam dada masing-masing. Bruuk .... "Aduh!" Ruby hampir saja terjatuh saat ditabrak oleh salah satu mahasiswa tawuran yang sedangkan menghindar dari polisi. Mungkin orang-orang sudah ada yang memanggil polisi untuk mengamankan kekacauan akibat ulah mahasiswa yang sedang tawuran ini. Situasi di sini memang benar-benar kacau, bahkan ada beberapa gerobak pedagang yang sudah terjatuh dan barang dagangannya juga berceceran di jalanan. Kalau sudah seperti ini siapa yang mau bertanggung jawab? Ah sudahlah, kita harus kembali lagi kepada Ruby dan pria yang sejak tadi berdebat dengan gadis itu. "Kok nggak sakit?" gumam Ruby keheranan. Ruby sudah memejamkan mata bersiap menerima rasa sakit terjatuh di atas aspal, namun sampai sekarang dirinya tidak merasakan apa-apa. Bahkan Ruby merasa dia sedang menindih sesuatu yang keras. "Dasar cewek gila! Ya iyalah kamu tidak merasakan apapun, yang sakit di sini itu saya." Ruby membuka matanya secepat kilat, matanya yang sudah bulat semakin membulat sempurna saat menyadari sesuatu. 'Pantes aku nggak ngerasain apapun, ternyata aku terjatuh diatasnya,' batin Ruby Entah bagaimana ceritanya Ruby bisa terjatuh di atas tubuh lelaki berpenampilan rapi tadi. Satu yang jelas, Ruby merasa beruntung karena dirinya tidak merasakan sakit. Padahal tadi Ruby sudah bersiap kalau saja seandainya kulitnya akan gores karena tergesek aspal. "Bangun kamu! Saya tau saya tampan dan kamu terpesona, kamu kira enak tiduran di atas aspal?" Pria itu meringis setelah marah-marah. Terjatuh di atas aspal dan ditindih oleh seseorang yang lumayan berat di atasnya, membuat tubuh lelaki itu terasa encok dan pegal linu. Ruby tersadar dari lamunannya mendengar kicauan pria aneh yang sedang ia tindih. "Siapa juga yang terpesona?" Ruby langsung berdiri dan memasang wajah tanpa merasa bersalah. Dia tidak mungkin akan terpesona dengan orang aneh ini. Itu adalah hal mustahil yang tidak akan pernah terjadi, pikir Ruby. "Tawurannya sudah berhasil dihentikan polisi, saya pergi dulu karena saya buru-buru mau meeting penting hari ini. Ini kartu nama saya, siapa tau saja kamu berminat mendatangi saya untuk berterima kasih." Lelaki itu meninggalkan kartu namanya untuk Ruby, lalu pergi begitu saja dengan mobil mewahnya. Walau terkejut karena kasih kartu nama secara tiba-tiba, Ruby tetap menerima kartu nama tersebut karena merasa terpaksa. "Dasar sinting! Siapa juga yang mau menemui dia untuk minta makasih?" gerutu Ruby. Ruby misuh-misuh sendiri, Ruby tidak menyangka pagi harinya begitu buruk karena bertemu dengan pria sinting seperti orang itu. "Julian Azka W." Ruby membaca sekilas kartu nama itu. Karena merasa tidak tertarik, Ruby membuang kertas tak penting itu begitu saja. Sebelum kakinya melangkah, Ruby menatap tak absi pikir para mahasiswa yang sudah tertangkap polisi. "Udah enak-enak tinggal kuliah tanpa mikirin biaya, eh ... Malah disia-siain. Sedangkan aku, kalau bukan karena dapet beasiswa mungkin nggak bakal pernah bisa jadi sarjana seperti sekarang," celoteh Ruby. * Setelah menempuh perjuangan yang panjang, akhirnya Ruby sampai juga di kantor tempatnya bekerja. "Kamu terlambat di hari pertama kerja, Ruby." Kaki Ruby yeng sedang melangkah masuk ke dalam tempat kerjanya langsung terhenti ketika mendengar suara Friska, anak pemilik kontrakan yang memasukkan Ruby bekerja di kantor ini. "Maaf, Kak. Tadi ada tawuran di tengah jalan, jadi aku nggak bisa lanjut jalan dan berakhir telat," sesal Ruby. Ruby sedikit berbohong, dia tidi menceritakan bagian dirinya yang telat bangun. Bisa-bisa Ruby diceramahi Friska kalau hal itu juga dia ceritakan. Ruby ingin ketenangan setelah ribut dengan orang gila yang ia temui di jalanan tadi. "Untung aku yang ngawasin kamu jadi kamu aman, cepat rapikan dandanan kamu ke toilet! Kamu amu kerja kantoran tapi penampilan kamu malah seperti orang gila." Friska geleng-geleng kepala. Friska dan Ruby sangat dekat, maka dari itu Friska dengan senang hati membantu Ruby untuk bisa masuk ke kantor ini. "Makasih, Kak," ucap Ruby lalu masuk ke kamar mandi untuk merapikan dandannya. Ruby menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel, penampilannya sudah rapi sekarang. Tapi ada satu hal yang mengganjal, Ruby mendadak merasa sedih sebegini nya dia harus bekerja demi bisa bertahan hidup. "Malang banget nasib gue anak yatim piatu," lirih Ruby. Padahal anak seusia Ruby yang masih punya orang tua yang utuh, tidak ada yang mati-matian seperti dirinya mencari uang untuk bertahan hidup. Tapi mau bagaimana lagi? Namanya juga hidup, ada yang senang ada juga yang susah seperti Rubby. * Julian memarkirkan mobilnya di sebuah klab malam padahal hari sedang siang bolong. Di dalam sana dua orang laki-laki sedang menunggu kedatangan Julian. Keduanya juga sama-sama berpenampilan formal dan rapi seperti Julian. Kedua lelaki itu adalah sahabat baik Julian, nama mereka Fagas Aliandra dan Marvel Sanjaya. Julian, Fagas, dan Marvel adalah sahabat baik. Mereka sudah berteman sejak SMA sampai sekarang sudah akan mulai bekerja. "Tumben kamu ngajakin kita ketemu ke sini di siang hari? Ada apa?" tanya Fagas pada Julian. "Aku sudah tidak ada mood ke kantor hari ini?" beritahu Julian. Harusnya hari ini dia mulai bekerja dan belajar menjadi seorang pewaris, tapi jiwa nakalnya meronta-ronta untuk memberontak dan tidak jadi datang ke kantor. "Kenapa mendadak? Bukannya kamu sudah setuju akan mulai ikut andil di kantor?" Marvel juga bertanya. Harusnya hari ini ia dan Fagas juga bekerja di kantor keluarga masing-masing, tapi gara-gara Julian memaksa ingin berkumpul, al hasil keduanya berakhir di sini bukan di kantor. "Tadi pas di jalan ke kantor aku bertemu para mahasiswa yang sedang tawuran, kalian tau, jiwa nakal ku jadi meronta-ronta untuk ikut join juga. Tapi aku sadar umur," beritahu Julian. Matan bad boy itu sepertinya sangat bersedih tidak bisa lagi ikut tawuran karena usianya tidak cocok lagu untuk bermain-main seperti itu. "Hanya itu saja?" Marvel yakin ada hal lain yang ingin dibicarakan oleh Julian. "Gadis itu, aku sudah menemukannya."Di dalam pesawat, Ruby bersandar pada bahu Julian, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan. Julian yang biasanya cuek dan malas-malasan kini tampak lebih rileks, jemarinya dengan santai memainkan rambut istrinya."Jangan sampai kamu berubah jadi bos menyebalkan saat liburan," gumam Ruby setengah mengantuk.Julian terkekeh. "Tenang saja, aku akan menjadi suami yang menyebalkan kali ini."Ruby mendengus, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Perjalanan ke Paris kali ini memang bukan hanya untuk bersantai, tetapi juga untuk menjauh dari urusan pekerjaan dan kenangan masa lalu yang terus mencoba mengusik kehidupan mereka.Saat mereka tiba di bandara Charles de Gaulle, angin dingin musim gugur menyambut kedatangan mereka. Ruby mengeratkan mantelnya sementara Julian menatap sekeliling dengan santai. Baru saja mereka hendak menuju hotel, sebuah suara yang familiar membuat Ruby menghentikan langkahnya."Julian? Benarkah itu kamu?"Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang da
Pekerjaan di kantor sedang kacau balau. Tenggat waktu menumpuk, laporan belum selesai, dan telepon terus berdering tanpa henti. Ruby bahkan nyaris tidak punya waktu untuk duduk dengan tenang, sementara Julian—yang biasanya santai—mulai terlihat sedikit kewalahan.“Julian, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani hari ini,” kata Ruby sambil menaruh setumpuk berkas di meja suaminya.Julian menatap tumpukan itu dengan ekspresi malas. “Ini beneran semuanya harus hari ini?”Ruby menghela napas panjang. “Kalau mau kita bisa pulang sebelum tengah malam, iya.”Julian menggerutu pelan, tapi tetap meraih pena dan mulai menandatangani satu per satu. Sementara itu, Ruby kembali ke laptopnya, mengetik dengan cepat sebelum tiba-tiba—Tring!Notifikasi email masuk. Ruby membacanya sekilas, lalu langsung mengusap wajahnya dengan frustasi. “Julian… ada revisi lagi dari klien.”Julian berhenti menandatangani dan menatap Ruby dengan ekspresi tidak percaya. “Serius?”Ruby mengangguk lelah. “Dan mereka m
Setelah dipaksa untuk ikut double date oleh Fagas dan Marvel, Julian dan Ruby akhirnya terjebak dalam acara kencan ganda yang mereka tak inginkan.Mereka sudah berada di restoran yang sudah dipesan oleh Marvel—sebuah restoran rooftop yang cukup romantis. Fagas datang dengan seorang wanita bernama Celine, sementara Marvel…Marvel datang sendirian.Fagas mengerutkan dahi. “Mana pasangan lo?”Marvel mengangkat bahu santai. “Tenang, dia bakal nyusul.”Julian melirik Marvel malas. “Jangan bilang lo ngajak kencan sama cewek random yang lo temuin di jalan.”Marvel hanya terkekeh. “Yah, bisa dibilang begitu.”Beberapa menit kemudian, seorang wanita akhirnya muncul.Wanita itu sangat cantik, dengan rambut panjang bergelombang dan raut wajah lembut. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang membuatnya terlihat anggun. Namun, yang membuat semuanya terdiam adalah…Dia membawa tongkat putih.Ruby langsung menyadari sesuatu. Wanita itu buta.Marvel segera berdiri dan membantunya duduk dengan
Setelah kekacauan pagi itu, suasana di kantor mulai sedikit tenang. Ruby akhirnya bisa duduk di mejanya dan fokus pada pekerjaannya, sementara Julian… ya, dia tetap Julian.Alih-alih bekerja, bos malas itu malah duduk di kursinya sambil memainkan pena di tangannya, menatap Ruby dengan senyum menyebalkan.“Kenapa tatapanmu kayak gitu?” Ruby bertanya tanpa menoleh dari layar laptopnya.Julian bersandar ke belakang, menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Aku cuma berpikir… gimana ya kalau sekretarisku ini berhenti terlalu serius bekerja dan lebih fokus mengurus bosnya yang kesepian?”Ruby mendengus, mengetik lebih cepat. “Bos yang kerjaannya cuma tidur dan menggoda sekretarisnya? Ya, enggak, makasih.”Julian tertawa pelan. “Tapi kamu suka, kan?”Ruby langsung menoleh tajam, pipinya sedikit memerah. “Suka apanya?!”Julian bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Ruby dengan langkah santai. Dengan cepat, dia menyandark
Ruby meneguk ludah, mencoba tetap tenang. Tapi sulit sekali, apalagi ketika Julian berdiri begitu dekat, menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.Oke, Ruby. Tenang. Jangan goyah!Tapi bagaimana bisa tenang kalau Julian berdiri begitu dekat, dengan ekspresi penuh percaya diri yang menjengkelkan itu?"Apa kau takut?" Julian bertanya, suaranya rendah dan penuh godaan.Ruby memaksakan senyum. "Takut? Aku? Tidak mungkin.""Benarkah?" Julian semakin mendekat, membuat Ruby hampir tersudut ke meja."Jangan terlalu percaya diri, Bos," kata Ruby, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Kau bukan satu-satunya pria yang bisa membuat seorang wanita salah tingkah."Julian mengangkat alis. "Oh? Jadi, kau mengakui kalau aku membuatmu salah tingkah?"Sial. Dia membalikkan kata-kataku!Ruby segera meralat, "Aku tidak bilang begitu."Julian hanya menyeringai. "Tapi kau berpikir begitu."Ruby menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan tajam. "Aku tidak terintimidasi olehmu, Julian."Julian terse
Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Ruby mondar-mandir di ruang tamu, matanya tak lepas dari ponselnya. Beberapa kali ia mengetik pesan untuk Julian, tapi selalu dihapus sebelum sempat dikirim.Renzi, yang duduk santai di sofa dengan kaki terangkat di meja, meliriknya dengan bosan. "Kalau kau terus berjalan seperti itu, lantai bisa berlubang, Ruby."Ruby mendelik tajam. "Diam kau, Renzi. Aku sedang tidak bercanda."Renzi mengangkat bahu, tidak tersinggung. "Aku tahu. Tapi serius, kau terlalu khawatir.""Terlalu khawatir?" Ruby mendekat dengan ekspresi tidak terima. "Kau sadar Julian ikut meringkus seorang kriminal besar, kan? Damar bukan penjahat biasa. Dia punya koneksi ke mana-mana, bahkan ke kepolisian."Renzi menghela napas panjang. "Julian bukan anak kecil. Dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya!" Ruby melempar dirinya ke sofa di samping Renzi, wajahnya dipenuhi frustrasi. "Dia selalu bertindak seolah semuanya ada dalam kendali. Padahal dia bisa saja dalam bahaya be