"Gadis mana yang kamu maksud?" tanya Fagas.
Fagas dan Marvel tidak paham kemana arah pembicaraan Julian. Yang Fagas dan Marvel tau, Julian tidak sedang dekat dengan gadis manapun. "Ini bukan gadis untukku, tapi yang lain lagi." Tiba-tiba saja Julian merasa bingung bagaimana cara menyampaikan hal ini. "Yang lain lagi? Maksudnya gimana ini, Tuan Muda Wiliam? Anda kira kami mengerti bahasa yang seperti itu?" Marvel menatap datar Julian dan menggunakan bahasa formal. Itu artinya, Marvel sedang kesal pada Julian. "Anak mantan sopir Oma," beritahu Julian, "aku masih nggak paham, kenapa Oma sekeras itu ingin mencari anak mantan sopirnya." Bagik Fagas maupun Marvel, mereka berdua sama-sama terkejut mendengar ucapan Julian. "Setelah bertahun-tahun, ternyata baru sekarang kau bisa menemukan gadis itu. Aku jadi penasaran bentuk aslinya seperti apa, kalau dilihat dari foto sepertinya dia cantik juga." Fagas mengusap dagunya. Seketika jiwa brengseknya langsung meronta-ronta meminta dipuaskan. "Jangan macam-macam kalau kalian nggak mau oma marah!" tekan Julian dibalas cengiran tanpa dosa oleh Fagas. Julian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, sudah tiga tahun ini Julian mencari anak mantan supir pribadi Oma-nya bermodalkan selembar foto. Siapa sangka, dua jam yang lau Julian bertemu dengan gadis itu di jalanan secara tidak sengaja. "Mungkin ada sesuatu yang ingin dikatakan oelh Oma Fia pada gadis itu, Oma Fia kan seirng cerita kalau Oma sudah menganggap mantan sopir pribadinya itu seperti anak kandungnya sendiri," ujar Marvel. "Aku setuju sama Marvel, pasti Oma Fia ingin mengatakan sesuatu pada gadis itu." Fagas pun mencoba berpikir positif seperti Marvel. Tapi tidak dengan Julian, pria itu terdiam dengan pikiran melayang ke mana-mana. 'Aku yakin bukan itu alasan Oma sekeras itu ingin bertemu dengan anak mantan sopirnya. Pasti ada alasan lain yang membuat Oma sangat ingin bertemu dengan gadis itu. Tapi apa?' Jualin terus bertanya-tanya dalam hati. Julian termenung dan berandai-andai seorang diri. Julian juga memikirkan apa yang akan omanya lakukan jika sudah bertemu dengan gadis itu. . . . Ruby menatap ruangan kerjanya dengan mata berbinar, Ruby tidak pernah berekspektasi bahwa dia akan bekerja di ruangan ber AC dan keren seperti ini. Ruby berpikir dia masuk ke perusahaan besar ini hanya dibagian staff biasa saja. Siapa sangka dia malah mendapatkan posisi yang tidak pernah Ruby bayangkan sebelumnya. Ruby seperti baru saja ditimpa emas satu karung, dengan posisi sebagus ini dan juga di perusahaan sebesar ini, Ruby yakin bahwa bayarannya tidak akan sedikit. "K-kak, i-ini---" Ruby bahkan tidak mampu lagi berkata-kata, Ruby terlalu terkejut dan terlalu senang. "Karena kamu ini pintar, jadinya pihak HRD menerima kamu bekerja di sini sebagai sekretaris Tuan Muda Wiliam. Semoga kamu betah ya, Ruby," ucap Friska sembari menunjukkan muka perihatin. "Semoga betah?" Ruby mengulang kembali kalimat Friska yang sedikit mengganjal di hatinya. Apa maksudnya kalimat itu? Dan apa maksudnya wajah kasihan yang ditunjukkan Friska padanya? Bukankah seharusnya Friska mengucapkan selamat padanya karena Ruby telah berhasil mendapatkan posisi yang tinggi? Aneh, pikir Ruby. Tapi Ruby tidak punya waktu untuk bertanya lagi. Ruby hanya berdoa semoga dia diberi kelancaran selama bekerja di sini karena Ruby memang benar-benar membutuhkan pekerjaan ini atau dia akan mati kelaparan karena tidak ada pemasukan. "Aku harus kembali bekerja, silahkan kerjakan beberapa berkas ini menjelang Tuan Muda datang." Friska meninggalkan Ruby setelah menunjuk tumpukan dokumen yang lumayan banyak. "Bodo amat lah, apapun maksud Kak Friska, yang penting aku bisa kerja dengan tenang di sini. Dan pastinya kerja dengan posisi tinggi gini gajinya bakal tinggi juga." Ruby senyum-senyum sendiri. Siapa coba yang tidak akan senang jika sudah membayangkan gaji yang besar? Membayangkan akan menerima amplop coklat yang isi di dalamnya adalah uang merah-merah membuat semangat Ruby untuk bekerja jadi menggebu-gebu. Ruby mengerjakan semua pekerjaannya dengan sangat baik, tidak Ruby sangka mengerjakan tumpukan dokumen itu bisa menghabiskan waktu seharian. "Anjir! Udah jam lima, itu artinya udah boleh pulang dong," pekik Ruby. Saking asiknya bekerja, Ruby sampai tidak sadar bahwa hari sudah sore. Ruby membereskan semua barang-barangnya, sekarang dia akan pulang ke kontrakan nya melepas penat karena bekerja seharian ini dengan cara tidur saat sampai di kontrakan nanti. Sebelum pulang, Ruby sempat melirik pintu ruangan CEO yang tertutup rapat. "Katanya si tuan muda itu bakalan datang hari ini, tapi kok nggak muncul-muncul sampai semua karyawannya udah mau pulang?" gumam Ruby agak sedikit heran. Tapi persetan dengan itu semua, Ruby tidak peduli. Ruby memilih untuk tetap melanjutkan niatnya untuk pulang dan melupakan rasa penasarannya dengan si tuan ini selama sesaat. Lagi pula, bagus juga kalau tuan muda itu tidak datang-datang sekalian, jadi Ruby bisa bekerja sekehendak hati tanpa ada yang mengatur. Jadi Ruby berdoa supaya si tuan muda itu tidak akan pernah datang selamanya. * Di luar dugaan, keinginan Ruby untuk bobo syantik di kontrakan harus urang ketika bertemu dengan teman semasa SMA nya. Alhasil, Ruby kebablasan berbincang panjang lebar dengan teman lamanya itu sampai jam setengah sepuluh malam di taman kota yang akan selalu ramai di malam hari. Ruby memang orang yang ramah dan mudah akrab dengan orang baru, jadi sangat wajar kalau orang seperti Ruby ini akan lupa waktu jika sudah mengobrol dengan orang yang berteman lama dengannya seterusnya. Tetapi sebaliknya, Ruby akan bersiap jutek pada orang-orang yang tidak ia sukai. "Aku harus pulang dulu, Ruby. Ini udah malam, takutnya majikan aku marah kalau aku terlalu lama di luar," ujar Nisa---teman SMA Ruby dulu. "Yaudah, aku juga mau pulang sekarang. Capek banget padahal baru hari pertama kerja," balas Ruby diiringi dengan keluhan. Ruby memang benar-benar merasa sangat lelah akibat aktivitas yang padat seharian ini. Ditambah lagi high heels yang dia pakai sangat membuat Ruby merasa tidak nyaman. Nisa tersenyum kecil. "Seharusnya kamu itu senang bisa kerja kantoran, sedangkan aku cuma bisa jadi pembantu di rumah orang kaya. Banyak-banyak bersyukur, Ruby. Jangan terbiasa mengeluh," nasehati Nia membuat Ruby merasa sedikit malu. Benar kata Nia, Ruby harus tetap bersyukur karena masih bernafas dan hidup dengan baik sampai sekarang. Tapi Ruby tidak mau terlihat malu di depan Nia, jadi Ruby harus memutar otak supaya tetap terlihat santai. Sampai akhirnya Ruby memutar bola matanya malas. "Aku tau ya kalau jadi pembantu orang kaya itu gajinya gede, teman aku si Ana hidupnya makmur sejahtera meskipun jadi ART," ucap Ruby setelah menemukan jawaban yang tepat supaya dia tidak malu lagi.Di dalam pesawat, Ruby bersandar pada bahu Julian, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan. Julian yang biasanya cuek dan malas-malasan kini tampak lebih rileks, jemarinya dengan santai memainkan rambut istrinya."Jangan sampai kamu berubah jadi bos menyebalkan saat liburan," gumam Ruby setengah mengantuk.Julian terkekeh. "Tenang saja, aku akan menjadi suami yang menyebalkan kali ini."Ruby mendengus, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Perjalanan ke Paris kali ini memang bukan hanya untuk bersantai, tetapi juga untuk menjauh dari urusan pekerjaan dan kenangan masa lalu yang terus mencoba mengusik kehidupan mereka.Saat mereka tiba di bandara Charles de Gaulle, angin dingin musim gugur menyambut kedatangan mereka. Ruby mengeratkan mantelnya sementara Julian menatap sekeliling dengan santai. Baru saja mereka hendak menuju hotel, sebuah suara yang familiar membuat Ruby menghentikan langkahnya."Julian? Benarkah itu kamu?"Seorang wanita dengan rambut panjang bergelombang da
Pekerjaan di kantor sedang kacau balau. Tenggat waktu menumpuk, laporan belum selesai, dan telepon terus berdering tanpa henti. Ruby bahkan nyaris tidak punya waktu untuk duduk dengan tenang, sementara Julian—yang biasanya santai—mulai terlihat sedikit kewalahan.“Julian, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani hari ini,” kata Ruby sambil menaruh setumpuk berkas di meja suaminya.Julian menatap tumpukan itu dengan ekspresi malas. “Ini beneran semuanya harus hari ini?”Ruby menghela napas panjang. “Kalau mau kita bisa pulang sebelum tengah malam, iya.”Julian menggerutu pelan, tapi tetap meraih pena dan mulai menandatangani satu per satu. Sementara itu, Ruby kembali ke laptopnya, mengetik dengan cepat sebelum tiba-tiba—Tring!Notifikasi email masuk. Ruby membacanya sekilas, lalu langsung mengusap wajahnya dengan frustasi. “Julian… ada revisi lagi dari klien.”Julian berhenti menandatangani dan menatap Ruby dengan ekspresi tidak percaya. “Serius?”Ruby mengangguk lelah. “Dan mereka m
Setelah dipaksa untuk ikut double date oleh Fagas dan Marvel, Julian dan Ruby akhirnya terjebak dalam acara kencan ganda yang mereka tak inginkan.Mereka sudah berada di restoran yang sudah dipesan oleh Marvel—sebuah restoran rooftop yang cukup romantis. Fagas datang dengan seorang wanita bernama Celine, sementara Marvel…Marvel datang sendirian.Fagas mengerutkan dahi. “Mana pasangan lo?”Marvel mengangkat bahu santai. “Tenang, dia bakal nyusul.”Julian melirik Marvel malas. “Jangan bilang lo ngajak kencan sama cewek random yang lo temuin di jalan.”Marvel hanya terkekeh. “Yah, bisa dibilang begitu.”Beberapa menit kemudian, seorang wanita akhirnya muncul.Wanita itu sangat cantik, dengan rambut panjang bergelombang dan raut wajah lembut. Dia mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang membuatnya terlihat anggun. Namun, yang membuat semuanya terdiam adalah…Dia membawa tongkat putih.Ruby langsung menyadari sesuatu. Wanita itu buta.Marvel segera berdiri dan membantunya duduk dengan
Setelah kekacauan pagi itu, suasana di kantor mulai sedikit tenang. Ruby akhirnya bisa duduk di mejanya dan fokus pada pekerjaannya, sementara Julian… ya, dia tetap Julian.Alih-alih bekerja, bos malas itu malah duduk di kursinya sambil memainkan pena di tangannya, menatap Ruby dengan senyum menyebalkan.“Kenapa tatapanmu kayak gitu?” Ruby bertanya tanpa menoleh dari layar laptopnya.Julian bersandar ke belakang, menyilangkan tangan di belakang kepalanya. “Aku cuma berpikir… gimana ya kalau sekretarisku ini berhenti terlalu serius bekerja dan lebih fokus mengurus bosnya yang kesepian?”Ruby mendengus, mengetik lebih cepat. “Bos yang kerjaannya cuma tidur dan menggoda sekretarisnya? Ya, enggak, makasih.”Julian tertawa pelan. “Tapi kamu suka, kan?”Ruby langsung menoleh tajam, pipinya sedikit memerah. “Suka apanya?!”Julian bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Ruby dengan langkah santai. Dengan cepat, dia menyandark
Ruby meneguk ludah, mencoba tetap tenang. Tapi sulit sekali, apalagi ketika Julian berdiri begitu dekat, menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.Oke, Ruby. Tenang. Jangan goyah!Tapi bagaimana bisa tenang kalau Julian berdiri begitu dekat, dengan ekspresi penuh percaya diri yang menjengkelkan itu?"Apa kau takut?" Julian bertanya, suaranya rendah dan penuh godaan.Ruby memaksakan senyum. "Takut? Aku? Tidak mungkin.""Benarkah?" Julian semakin mendekat, membuat Ruby hampir tersudut ke meja."Jangan terlalu percaya diri, Bos," kata Ruby, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Kau bukan satu-satunya pria yang bisa membuat seorang wanita salah tingkah."Julian mengangkat alis. "Oh? Jadi, kau mengakui kalau aku membuatmu salah tingkah?"Sial. Dia membalikkan kata-kataku!Ruby segera meralat, "Aku tidak bilang begitu."Julian hanya menyeringai. "Tapi kau berpikir begitu."Ruby menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan tajam. "Aku tidak terintimidasi olehmu, Julian."Julian terse
Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Ruby mondar-mandir di ruang tamu, matanya tak lepas dari ponselnya. Beberapa kali ia mengetik pesan untuk Julian, tapi selalu dihapus sebelum sempat dikirim.Renzi, yang duduk santai di sofa dengan kaki terangkat di meja, meliriknya dengan bosan. "Kalau kau terus berjalan seperti itu, lantai bisa berlubang, Ruby."Ruby mendelik tajam. "Diam kau, Renzi. Aku sedang tidak bercanda."Renzi mengangkat bahu, tidak tersinggung. "Aku tahu. Tapi serius, kau terlalu khawatir.""Terlalu khawatir?" Ruby mendekat dengan ekspresi tidak terima. "Kau sadar Julian ikut meringkus seorang kriminal besar, kan? Damar bukan penjahat biasa. Dia punya koneksi ke mana-mana, bahkan ke kepolisian."Renzi menghela napas panjang. "Julian bukan anak kecil. Dia tahu apa yang dia lakukan.""Itu masalahnya!" Ruby melempar dirinya ke sofa di samping Renzi, wajahnya dipenuhi frustrasi. "Dia selalu bertindak seolah semuanya ada dalam kendali. Padahal dia bisa saja dalam bahaya be