Tepat jam 12 siang, Amara yang memasang alarm pada ponselnya langsung menutup laptop, menyingkirkan berkas yang diinput dan berjalan menuju Pantry untuk menyiapkan makan siang Adrian. Menurut info yang diperoleh pada bagian umum, setiap harinya pesuruh di kantor membelikan makanan sesuai permintaan Adrian.
Sesampai di Pantry, Amara menyiapkan wadah untuk sop iga sapi yang dipesan oleh sang bos. Saat menyiapkan makanan tersebut, Amara bertanya pada pesuruh yang selalu diminta sang bos membelikan makanan dan kudapan. “Maaf mau tanya, dengan Bapak siapa?” “Budi, Bu. Panggil aja Budi,” pintanya. “Kamu kan, lelaki makanya saya panggil bapak. Masa iya saya panggil ibu,” ujar Amara tersenyum kecil. “Masalahnya, saya cuman pesuruh, Bu. Malu kalau di panggil bapak.” “Pak Budi! Saya kasih tahu. Panggilan bapak dan ibu di kantor itu lumrah, nggak berpengaruh dengan status pekerjaan. Kamu paham ya, maksud saya?” jelas Amara Budi yang mendengar ucapan Amara menganggukkan kepalanya, “Siap! Baik Bu!” “Nah, gitu dong. Ngomong-ngomong bisa saya minta tolong kamu untuk tulis kudapan dan makanan yang disukai pak Adrian berikut alamat beli makanannya,” pinta Amara serius. “Baik Bu! Sehabis istirahat saya serahkan catatannya. Permisi Bu.” “Terima kasih. Ok!” Setelah menyiapkan alat makan dan wadah makanan si bos. Amara keluar dari Pantry menuju ruang kerja Adrian. “Siang Pak! Saatnya makan siang. Udah jam dua belas lewat sepuluh menit,” ucapnya sembari berjalan mendekati meja kerja Adrian. Adrian yang melihat Amara tidak membawa makanan mengernyitkan dahinya dan bertanya, “Mana makan siangnya?!” “Sudah saya siapkan di Pantry, Pak!” jawabnya. “Bawa saja ke ruangku!” perintahnya sembari beranjak menuju ke arah sofa yang ada di ruang kerja. “Bapak mau makan disini?!” tanya Amara memandang tajam dengan menggelengkan kepala. “Iya! Memang kenapa? Kamu harusnya tanya dimana biasanya saya makan!” ujar Adrian duduk di sofa tunggal diikuti oleh Amara yang kini duduk persis di hadapannya. “Ngapaen kamu ikut duduk? Bawa makan siangnya!” perintahnya lagi. Dengan menarik napas panjang, Amara menggelengkan kepala dan berucap. “Mulai hari ini, Bapak harus makan di Pantry!” “Jangan kamu atur saya mau makan dimana pun!” tolak Adrian menatap kesal. “Saya disini sekretaris Bapak, yang mengurus seluruh aktivitas Bapak di kantor. Jadi, Bapak juga harus ikuti ketentuan yang benar!” Wajah Adrian yang awalnya menegang akibat penolakan Amara, kini memandang sekretarisnya dengan tatapan menyepelekan dan tampak ia menunggu alasannya penolakan Amara. “Pak! Kegunaan Pantry adalah untuk tempat makan. Bayangkan saja, aroma ruang kerja ini akan berubah menjadi aroma sop iga sapi dan iga bakar. Apalagi, Bapak akan menerima tamu sekitar jam 3 nanti. Hal itu yang buat saya menolak keinginan Bapak.” “Baik! Untuk hari ini saya turuti kamu, karena akan ada tamu yang saya terima. Tapi, jika tidak ada tamu, saya minta kamu siapkan makan di ruang ini. Paham!” perintahnya dengan jemari menunjuk ke arah meja di depannya. “Maaf! Sejak hari ini saya nggak akan mengizinkan Bapak makan di ruang kerja! Karena hal itu bakal diikuti oleh karyawan lainnya. Akan seperti apa kantor ini, kalau semua karyawan makan di dalam ruang kerjanya? Selain kotor, aroma makanan akan menyeruak ke seluruh ruangan!” “Sebagian besar karyawan memang makan di ruang kerjanya,” jawab Adrian santai. “Apa?!” ujar Amara terkejut. “Nanti saya akan sampaikan ke ibu Melinda, untuk buat aturan istirahat.” “Nanti saja diurus! Udah lapar!” seru Adrian. “Ok! Silakan Pak!” jawab Amara tersenyum manis dengan mata indahnya memandang ke arah Adrian. ‘Benar juga apa yang dikatakan Amara. Pintar juga ini cewek,’ bisik Adrian mengikuti langkah Amara menuju Pantry. Sesampai di Pantry, Adrian duduk dan Amara dengan cekatan mengambilkan air minum. Setelah itu, Amara membuka ransum yang dibawa dari rumah untuk makanan siangnya. Adrian yang tengah menikmati makanan, memandang Amara yang duduk di depannya saat membuka ransum dan berkomentar. “Seirit itu kamu? Sampai bawa makanan dari rumah?” ujar Adrian memandang iba. “Irit? Nggak lah! Bapak bisa lihat, saya juga makan daging sapi asap!” jawabnya memperlihatkan ransumnya. Adrian melirik ke ransum Amara, tersenyum samar dan berkata, “Beli dimana pagi-pagi udah ada makanan seperti itu?” “Masak!” jawab singkat Amara sembari menikmati makanannya. “Berarti ada kerjaan tambahan dong pembantu di rumah untuk siapkan makananmu.” Amara yang asyik menikmati makanan, meraih botol air minum yang dibawa dari rumah dan meneguknya. “Saya yang masak, Pak! Saya lebih sering masak makanan sendiri dibandingkan beli makanan. Karena saya lebih yakin kebersihannya dan cita rasanya.” Mendengar perkataan Amara membuat Adrian melihat ke arah sekretarisnya dengan pandangan tak percaya atas apa yang dikatakan dan berucap, “Serius kamu yang masak?” “Kok Bapak lihatnya seperti itu? Saya jago masak Pak! Saya ikut kursus masak, buat kue, menjahit juga. Selesai kuliah saya isi masa gabut dengan ikut kursus, biar otak ini terus aktif!” Deg! Entah mengapa jantung Adrian terasa berdetak keras saat mengetahui wanita cantik di hadapannya mampu masak, membuat kue dan menjahit. Apalagi dengan pendidikan akademis diatas rata-rata, hingga membuat Adrian terbengong-bengong. “Pak! Pak Adrian! Pasti nggak percaya kan?” tanya Amara tersenyum lebar. “Iya!” jawab singkat Adrian menyeruput kuah sop iganya untuk mengontrol detak jantungnya. “Coba, minta daging asapmu. Pasti nggak enak!” “Enak Pak! Cuma saya nggak bisa kasih sisa makanan ini ke Bapak, karena, selain nggak sopan. Bapak juga kan, lebih tua dari saya. Nggak boleh makan sisa makanan yang lebih muda. Next time, saya buatkan makanan kesukaan Bapak,” cicit Amara menghabiskan sisa daging asapnya tanpa sisa. Adrian menarik napas panjang kala mendengar penjelasan Amara. Hal itu dikarenakan, kepribadian Amara bagi Adrian diatas rata-rata. Apalagi dia mantan anak pemilik perusahaan ekspor, yang pastinya tidak mungkin langsung miskin. Asetnya saja tentu masih banyak. “Pak Adrian udah selesai makannya?” tanya Amara memandang makanan yang tersisa di hadapan sang bos seraya beranjak dari tempat duduk membawa wadah ransum dan dicucinya. “Iya, udah,” jawab Adrian melihat Amara yang bergerak ke arah tempat cucian piring. Sembari mencuci wadah ransum, Amara berkata, “Lain kali kalau beli makanan jangan banyak. Kasihan makanan dibuang seperti itu. Tadi aja orang yang beli makanan Bapak, cuman makan ketoprak!” Adrian yang mendengar ucapan Amara seperti tertampar. Karena, baru pertama kali ia mendengar nasehat untuk hal itu. Atas rasa kagumnya Adrian bergumam, ‘Hmmm, ternyata Amara benar-benar cewek langka.’ “Permisi Pak! Sudah selesai, kan? Saya mau cuci piringnya,” izin Amara saat meraih alat makan di hadapan Adrian. “Ok! Terima kasih,” jawab Adrian beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Pantry dengan perasaan tak menentu.Seorang lelaki tampan memasuki gedung perkantoran tempat Amara bekerja. Lelaki tersebut menuju lantai 7, tempat dimana Amara berkantor. Sesampai di lantai 7 dicarinya nama perusahaan tempat Amara bekerja. Seorang sekuriti yang menjaga kantor tersebut, menyambut lelaki tampan berhidung mancung dengan kulit putih bersih dan wajah maskulin.“Siang Pak! Bisa saya bertemu dengan Amara?” tanya lelaki tampan tersebut.“Maaf dari mana? Kalau boleh saya tahu dengan Bapak siapa? Apa sudah janji dengan ibu Amara untuk bertemu pak Adrian?” tanya sekuriti tersebut.“Uhm, saya dengan Dhendy, teman Amara. Saya hanya mau bertemu Amara,” jawabnya kembali.“Oh, maaf Pak. Bu Amara sedang keluar bersama pak Adrian. Jadi setiap hari kamis pagi mereka menghadiri rapat mingguan di BEJ. Biasanya sekitar jam 4 sore sudah balik dari sana. Jadi, Bapak nanti bisa datang lagi saja. Atau, coba hubungi Bu Amara,” saran sekuriti perusahaan tersebut.“Bisa saya minta nomor telepon Amara? Karena saya lost contact! Dul
Nazwa yang mendengar langsung dari Erna tantenya sendiri atas perjodohan Adrian dan Amara, membuat wanita itu kian membenci Amara. Hal itu terlihat saat ia menyambangi kantor Maya yang berada di lantai 3 pada saat makan siang usai ia menghubungi Maya.“Mbak Maya, kita makan di kantor apa keluar?” tanya Nazwa.“Di ruang kerjaku aja. Aku sudah pesan makanan lewat Online. Soalnya kedua anakku juga mau ke kantor!” jawab Maya.“Oh begitu. Berarti kedua anak Mbak adik tiri Amara dong,” ujar Nazwa.“Nggak! Aku waktu nikah bawa dua orang anak. Beda dua tahun umurnya sama. Kembar, dua lelaki.”“Wah! Mantap sekali. Hebat sekali Kak Maya bisa dapat lelaki tajir dan bawa dua orang anak,” ujar Nazwa dibalas tawa lepas Maya.“Jadi wanita itu harus cerdas! Karena kecerdasanku, perusahaan suamiku jatuh ke tanganku!” Maya terlepas ucapannya kala dengan bangga memvalidasi diri.“Berati Aku perlu belajar sama Kakak,” puji Nazwa dan membuat Maya terlihat jemawa.“Tenang nanti aku kasih ilmu nya, Hahahaha
Sementara itu, tampak Lily sedang menerima telepon dari adik angkatnya. Dia adalah Rani, sahabat karib Amara yang berkhianat dengan menikahi Dhendy, pacar Amara.“Buat apa sih dek, kamu mau hubungi Mara? Apa memang suamimu ada dekat lagi sama dia?!” seru Lily dalam sambungan telepon.“Bukan begitu Kak. Memang nggak ada. Aku hanya takut aja. Tolonglah Kak, aku perlu nomor telepon Amara,” pinta Rani dari ujung telepon.“Biar aku aja yang peringati dia! Kamu fokus sama anakmu. Kamu pikir, aku akan diam aja kalau dia sampai menggoda suamimu? Aku nggak akan biarkan keponakanku kehilangan ayahnya!” tegas Lily.“Kak Lily jangan seperti itu. Aku paling tahu karakter Amara. Dia nggak bisa di gertak seperti itu. Aku mau bicara baik-baik sama dia. Ayolah Kak! Aku justru stres kalau nggak ngomong sama dia. Soalnya nomor telepon yang lama nggak aktif. Kalau nggak, udah sejak lama aku hubungi dia,” ungkap Rani.Mendengar kegigihan Rani yang berkeinginan menghubungi Amara, maka Lily memberikan nomor
Kejadian semalam di pantai membuat Amara merasa malu atas tindakannya yang menerima pelukan Adrian. Sehingga saat di kantor, Amara lebih banyak menghindari Adrian. Itu ditunjukkan oleh sikapnya saat meminta Imah membawakan kopi untuk sang Bos.“Bu Imah bisa minta tolong bawakan kopi Bapak,” pinta Amara memberikan baki berisi kopi yang sudah dibuat berikut kudapannya.“Bu, kalau bapak tanya kenapa saya yang bawa gimana?” tanya Imah, pesuruh lantai 7.“Kasih tahu saja, saya masih sarapan,” ujarnya.“Baik Bu."Amara melangkahkan kaki menuju Pantry. Selain bertujuan menghindari telepon Adrian yang akan mengecek keberadaannya, ia juga ingin menikmati secangkir kopi di Pantry.Ketika sedang menikmati kopi di Pantry, seorang marketing bernama Lily yang pernah selisih paham saat meminta Imah membeli sarapan masuk ke ruang Pantry.“Pagi!” sapanya duduk di sebelah Amara.“Pagi, Bu!” balas Amara tersenyum sembari menyeruput kopi di hadapannya.“Tumben aku lihat sekretaris Bos jam 8 ada di dapur.
Adrian menjemput Amara saat jam telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Jarak antara rumah Amara dan pantai di wilayah utara Jakarta dapat ditempuh kurang lebih tiga puluh menit.“Mara, apa saya perlu izin sama papa kamu?” tanya Adrian saat Amara yang telah menunggu diluar pintu gerbang, langsung masuk ke dalam mobil.“Papa udah tidur. Tadi juga saya titip pesan aja sama orang rumah,” jawabnya.“Bapak sendiri kalau mau keluar gitu, izin juga sama orang rumah?” tanya Amara memandang Adrian yang berada di belakang setir.“Izin juga. Mara, karena kita lagi nggak di kantor. Panggil nama aja dan bisa aku jadi teman kamu?" pinta Adrian.“Ok! Siap bos!” tawa Amara dengan memberikan tanda jempolnya.Sesaat hening terdiam tanpa suara. Kemudian, Adrian membuka percakapan saat di lihat Amara menikmati perjalanan dengan memandang kerlap kerlip lampu gedung-gedung tingkat tinggi saat malam seperti saat ini.“Amara ... Kamu sekarang cerita kejadian lucu yang pernah kamu alami. Setelah kamu
Sejak pertemuan pertama antara Maya dan Amara di gedung perkantoran seminggu yang lalu. Hari ini kembali Amara bertemu Maya kala ia baru saja keluar dari lift menuju ke luar gedung. Maya yang melihat Amara melangkah panjang usai melirik ke arahnya, membuat Maya mengejar Amara hingga ke lobby gedung tersebut.“Hey! Tunggu!” teriak Maya melangkah panjang mengejar Amara.Maya terus mengejar Amara yang tak memedulikannya hingga sampai halaman gedung tersebut. Tampak seorang lelaki tampan yang tak lain Adrian, membuka kaca mobil dan memandang ke arah Amara yang dikejar hingga tempat parkir dan jarak parkir mobil mereka hanya beberapa meter.Maya meraih bahu Amara yang tak memedulikan dirinya. Namun, dengan gerak refleks Amara memegang pergelangan tangan Maya dan menghempaskannya seraya menatap wajah wanita yang pernah menjadi mama tirinya.“Jangan sok kenal sok dekat!” kecam Amara kesal.“Jelas aku kenal kamu! Gadis nakal tapi sok suci yang telah membuat keponakanku masuk penjara! Gimana r