Share

Di Pantry

Penulis: Parikesit70
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-02 18:16:26

Tepat jam 12 siang, Amara yang memasang alarm pada ponselnya langsung menutup laptop, menyingkirkan berkas yang diinput dan berjalan menuju Pantry untuk menyiapkan makan siang Adrian. Menurut info yang diperoleh pada bagian umum, setiap harinya pesuruh di kantor membelikan makanan sesuai permintaan Adrian.

Sesampai di Pantry, Amara menyiapkan wadah untuk sop iga sapi yang dipesan oleh sang bos. Saat menyiapkan makanan tersebut, Amara bertanya pada pesuruh yang selalu diminta sang bos membelikan makanan dan kudapan.

 “Maaf mau tanya, dengan Bapak siapa?”

“Budi, Bu. Panggil aja Budi,” pintanya.

“Kamu kan, lelaki makanya saya panggil bapak. Masa iya saya panggil ibu,” ujar Amara tersenyum kecil.

“Masalahnya, saya cuman pesuruh, Bu. Malu kalau di panggil bapak.”

“Pak Budi! Saya kasih tahu. Panggilan bapak dan ibu di kantor itu lumrah, nggak berpengaruh dengan status pekerjaan. Kamu paham ya, maksud saya?” jelas Amara

Budi yang mendengar ucapan Amara menganggukkan kepalanya, “Siap! Baik Bu!”

“Nah, gitu dong. Ngomong-ngomong bisa saya minta tolong kamu untuk tulis kudapan dan makanan yang disukai pak Adrian berikut alamat beli makanannya,” pinta Amara serius.

“Baik Bu! Sehabis istirahat saya serahkan catatannya. Permisi Bu.”

“Terima kasih. Ok!”

Setelah menyiapkan alat makan dan wadah makanan si bos. Amara keluar dari Pantry menuju ruang kerja Adrian.

“Siang Pak! Saatnya makan siang. Udah jam dua belas lewat sepuluh menit,” ucapnya sembari berjalan mendekati meja kerja Adrian.

Adrian yang melihat Amara tidak membawa makanan mengernyitkan dahinya dan bertanya, “Mana makan siangnya?!”

“Sudah saya siapkan di Pantry, Pak!” jawabnya.

“Bawa saja ke ruangku!” perintahnya sembari beranjak menuju ke arah sofa yang ada di ruang kerja.

“Bapak mau makan disini?!” tanya Amara memandang tajam dengan menggelengkan kepala.

“Iya! Memang kenapa? Kamu harusnya tanya dimana biasanya saya makan!” ujar Adrian duduk di sofa tunggal diikuti oleh Amara yang kini duduk persis di hadapannya.

“Ngapaen kamu ikut duduk? Bawa makan siangnya!” perintahnya lagi.

Dengan menarik napas panjang, Amara menggelengkan kepala dan berucap. “Mulai hari ini, Bapak harus makan di Pantry!”

“Jangan kamu atur saya mau makan dimana pun!” tolak Adrian menatap kesal.

“Saya disini sekretaris Bapak, yang mengurus seluruh aktivitas Bapak di kantor. Jadi, Bapak juga harus ikuti ketentuan yang benar!”

Wajah Adrian yang awalnya menegang akibat penolakan Amara, kini memandang sekretarisnya dengan tatapan menyepelekan dan tampak ia menunggu alasannya penolakan Amara.

“Pak! Kegunaan Pantry adalah untuk tempat makan. Bayangkan saja, aroma ruang kerja ini akan berubah menjadi aroma sop iga sapi dan iga bakar. Apalagi, Bapak akan menerima tamu sekitar jam 3 nanti. Hal itu yang buat saya menolak keinginan Bapak.”

 “Baik! Untuk hari ini saya turuti kamu, karena akan ada tamu yang saya terima. Tapi, jika tidak ada tamu, saya minta kamu siapkan makan di ruang ini. Paham!” perintahnya dengan jemari menunjuk ke arah meja di depannya.

“Maaf! Sejak hari ini saya nggak akan mengizinkan Bapak makan di ruang kerja! Karena hal itu bakal diikuti oleh karyawan lainnya. Akan seperti apa kantor ini, kalau semua karyawan makan di dalam ruang kerjanya? Selain kotor, aroma makanan akan menyeruak ke seluruh ruangan!”

“Sebagian besar karyawan memang makan di ruang kerjanya,” jawab Adrian santai.

“Apa?!” ujar Amara terkejut. “Nanti saya akan sampaikan ke ibu Melinda, untuk buat aturan istirahat.”

“Nanti saja diurus! Udah lapar!” seru Adrian.

“Ok! Silakan Pak!” jawab Amara tersenyum manis dengan mata indahnya memandang ke arah Adrian.

‘Benar juga apa yang dikatakan Amara. Pintar juga ini cewek,’ bisik Adrian mengikuti langkah Amara menuju Pantry.

Sesampai di Pantry, Adrian duduk dan Amara dengan cekatan mengambilkan air minum. Setelah itu, Amara membuka ransum yang dibawa dari rumah untuk makanan siangnya.

Adrian yang tengah menikmati makanan, memandang Amara yang duduk di depannya saat membuka ransum dan berkomentar.

“Seirit itu kamu? Sampai bawa makanan dari rumah?” ujar Adrian memandang iba.

“Irit? Nggak lah! Bapak bisa lihat, saya juga makan daging sapi asap!” jawabnya memperlihatkan ransumnya.

Adrian melirik ke ransum Amara, tersenyum samar dan berkata, “Beli dimana pagi-pagi udah ada makanan seperti itu?”

“Masak!” jawab singkat Amara sembari menikmati makanannya.

“Berarti ada kerjaan tambahan dong pembantu di rumah untuk siapkan makananmu.”

Amara yang asyik menikmati makanan, meraih botol air minum yang dibawa dari rumah dan meneguknya.

“Saya yang masak, Pak! Saya lebih sering masak makanan sendiri dibandingkan beli makanan. Karena saya lebih yakin kebersihannya dan cita rasanya.”

Mendengar perkataan Amara membuat Adrian melihat ke arah sekretarisnya dengan pandangan tak percaya atas apa yang dikatakan dan berucap, “Serius kamu yang masak?”

“Kok Bapak lihatnya seperti itu? Saya jago masak Pak! Saya ikut kursus masak, buat kue, menjahit juga. Selesai kuliah saya isi masa gabut dengan ikut kursus, biar otak ini terus aktif!”

Deg!

Entah mengapa jantung Adrian terasa berdetak keras saat mengetahui wanita cantik di hadapannya mampu masak, membuat kue dan menjahit. Apalagi dengan pendidikan akademis diatas rata-rata, hingga membuat Adrian terbengong-bengong.

“Pak! Pak Adrian! Pasti nggak percaya kan?” tanya Amara tersenyum lebar.

“Iya!” jawab singkat Adrian menyeruput kuah sop iganya untuk mengontrol detak jantungnya. “Coba, minta daging asapmu. Pasti nggak enak!”

“Enak Pak! Cuma saya nggak bisa kasih sisa makanan ini ke Bapak, karena, selain nggak sopan. Bapak juga kan, lebih tua dari saya. Nggak boleh makan sisa makanan yang lebih muda. Next time, saya buatkan makanan kesukaan Bapak,” cicit Amara menghabiskan sisa daging asapnya tanpa sisa.

Adrian menarik napas panjang kala mendengar penjelasan Amara. Hal itu dikarenakan, kepribadian Amara bagi Adrian diatas rata-rata. Apalagi dia mantan anak pemilik perusahaan ekspor, yang pastinya tidak mungkin langsung miskin. Asetnya saja tentu masih banyak.

“Pak Adrian udah selesai makannya?” tanya Amara memandang makanan yang tersisa di hadapan sang bos seraya beranjak dari tempat duduk membawa wadah ransum dan dicucinya.

“Iya, udah,” jawab Adrian melihat Amara yang bergerak ke arah tempat cucian piring.

Sembari mencuci wadah ransum, Amara berkata, “Lain kali kalau beli makanan jangan banyak. Kasihan makanan dibuang seperti itu. Tadi aja orang yang beli makanan Bapak, cuman makan ketoprak!”

Adrian yang mendengar ucapan Amara seperti tertampar. Karena, baru pertama kali ia mendengar nasehat untuk hal itu. Atas rasa kagumnya Adrian bergumam, ‘Hmmm, ternyata Amara benar-benar cewek langka.’

“Permisi Pak! Sudah selesai, kan? Saya mau cuci piringnya,” izin Amara saat meraih alat makan di hadapan Adrian.

“Ok! Terima kasih,” jawab Adrian beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Pantry dengan perasaan tak menentu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sekretaris Rasa Istri   THE END - BAHAGIA

    “Amara, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suara Dhendy di ujung telepon terdengar berat, seperti menahan beban yang sudah lama dipikulnya. “Aku cuma ingin kamu tahu, aku nggak pernah berniat menyakitimu.”Amara duduk di sofa kecil di apartemennya, menatap jendela yang memperlihatkan langit Jakarta yang kelabu sore itu. Telepon genggamnya terasa dingin di tangan. Setelah pertemuan emosional dengan Rani di rumah sakit kemarin, Amara merasa jiwanya seperti terbelah. Rani, sahabatnya sejak SMA, telah mengaku menipu Dhendy lima tahun lalu, membuat Dhendy percaya bahwa anak yang dikandung Rani adalah darah dagingnya. Kini, Rani terbaring lemah di rumah sakit, melawan penyakit yang perlahan merenggut nyawanya. Amara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Dhend, aku juga nggak tahu harus bilang apa. Rani ceritain semuanya ke aku. Soal kebohongannya, soal anak itu… Aku cuma perlu tahu, kamu sekarang di posisi apa?”Di ujung sana, Dhendy terdiam sejenak. Amara bisa mendengar suara na

  • Sekretaris Rasa Istri   Pengakuan & Pengampunan

    “Amara, tolong… dengar aku dulu,” suara Rani lemah, nyaris tersendat, dari balik selimut rumah sakit yang menutupi tubuhnya yang kurus. Ruangan berbau antiseptik, hanya ada suara monitor jantung yang berdetak pelan di samping ranjang.Amara berdiri kaku di dekat pintu kamar rawat inap. Tas kerjanya masih digenggam erat, seolah menjadi tameng dari gelombang emosi yang tiba-tiba menerpanya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer navy dan rok pensil yang rapi, ketika mendapat pesan dari Lily bahwa Rani ingin bertemu. Amara hampir menolak, tapi ada sesuatu dalam nada Lily yang membuatnya datang ke rumah sakit ini.“Dengar apa lagi, Rani? Setelah semua yang kamu lakukan?” Amara menatap wajah pucat Rani, yang dulu begitu cantik dan penuh pesona. Kini, wajah itu hanya menunjukkan kelelahan dan penyesalan. “Lima tahun lalu, kamu menghancurkan hidupku. Apa lagi yang mau kamu katakan?”Rani menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu aku salah. Aku nggak minta k

  • Sekretaris Rasa Istri   Perpisahan dan Rahasia

    “Amara, kamu yakin mau resign? Adrian nggak akan senang dengar ini,” kata Lily, memandang Amara dengan alis terangkat, sambil menyandarkan tubuhnya di meja resepsionis kantor. Ruang lobi perusahaan yang megah dengan lantai marmer dan dinding kaca itu terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati Amara yang sedang kacau.Amara menarik napas dalam, menatap map berisi surat pengunduran dirinya. “Aku nggak punya pilihan, Lil. Lima tahun di sini, aku cuma jadi bayang-bayang Adrian. Aku capek.” Suaranya pelan, tapi tegas.Lily mengangguk kecil, tapi matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sebelum Amara berbalik menuju ruang rapat untuk mengumumkan keputusannya, Lily memegang lengannya. “Tunggu, Mar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu… soal Rani.”Amara membeku. Nama Rani, sahabat yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti luka yang baru disobek lagi. “Rani? Apa lagi? Aku nggak mau dengar apa-apa tentang dia, Lil. Dia sudah menghianatiku dengan Dhendy, dan sek

  • Sekretaris Rasa Istri   Keputusan Amara

    “Apa maksudmu, Mara? Kamu mau batalkan pernikahan sama Adrian?” Suara Sukoco parau, hampir tak terdengar, dari ranjang sederhana di kamarnya. Ia berbaring dengan tubuh lemah, satu sisi wajahnya sedikit merosot akibat stroke yang menyerangnya setahun lalu. Matanya yang redup menatap Amara, penuh kebingungan dan kekhawatiran.Amara duduk di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang kurus. Ruangan kecil di rumah sederhana mereka di pinggiran Jakarta terasa pengap, meski jendela terbuka lebar. Bau obat-obatan dan minyak kayu putih samar-samar tercium. Amara menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang bergolak di dadanya. “Iya, Yah. Aku nggak bisa lanjut. Adrian… dia nggak jujur sama aku.”Sukoco menggeleng pelan, gerakannya tersendat. “Mara, kamu tahu Adrian anak baik. Erna dan Atmaja sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Ceritain sama Ayah.”Amara menunduk, jari-jarinya meremas lembut tangan ayahnya. Ia teringat malam sebelumnya, ketika Lily, tema

  • Sekretaris Rasa Istri   Putus Diujung Pertunangan

    Sejak Amara mengetahui masa lalu dan kebiasaan yang dilakukan oleh Adrian bersama mantannya, membuat insting Amara curiga ada Adrian yang dipikirnya tidak akan mudah melepaskan Tania. Terlebih Tania sedang hamil dan berada dalam tahanan. Sampai akhirnya Amara menemukan bukti atas kedekatan Adrian kembali dengan Tania.“Adrian, apa maksud semua ini?!” Amara berdiri di depan meja besar Adrian di ruang direktur, tangannya gemetar memegang selembar dokumen. Matanya merah, menahan air mata yang siap tumpah. “Kamu benar-benar menarik laporan polisi terhadap Tania? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Pada kita?”Adrian, yang duduk di kursi kulitnya, menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, tampak lelah. “Amara, dengar dulu. Aku tidak punya pilihan. Tania sedang hamil, keluarganya dalam masalah besar. Aku cuma ingin membantu.”“Bantu?!” Amara membanting dokumen itu ke meja. “Kamu memberi mereka apartemen, Adrian! Apartemen yang seharusnya jadi milik kita setelah menikah! Dan sekarang

  • Sekretaris Rasa Istri   Masa Lalu Adrian

    Selama satu bulan sejak Adrian memberikan kekuasaan pada Amara atas keuangannya, membuat beberapa staf di kantor membicarakannya. Terlebih pada hari ini.“Selamat pagi, Pak!” ucap Melinda seorang personalia di perusahaan tersebut.“Pagi! Silakan duduk!” jawab Adrian.Melinda duduk di hadapan Adrian dan mulai berbicara. “Pak, hari ini saya ada rencana menggalang dana untuk anak dari Ibu Asih bagian operasional.”“Oh, yang kemarin kecelakaan itu? Akhirnya bagaimana dengan kondisi anak itu?” tanyanya.“Menyedihkan Pak, satu kakinya di amputasi. Jadi, saya mau minta persetujuan dan tanda tangan Bapak untuk minta sumbangan dari karyawan di sini,” ujar Melinda.Adrian mengambil kertas yang harus di tanda tangani dan menyerahkan kepada Melinda. Kemudian, Melinda memberanikan diri untuk meminta sumbangan pada sang bos.“Maaf Pak. Uhm, apa Bapak mau ikut menyumbang juga?”“Oh! Ya! Tunggu, aku hubungi Amara,” jawab Adrian.Sesaat kemudian, Adrian menghubungi Amara lewat ponselnya. “Sayang, aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status