Sementara itu, di sebuah rumah mewah dengan pagar dan tembok kokoh yang mengelilingi rumah tersebut, terlihat sebuah mobil Alphard hitam masuk ke halaman usai seorang satpam membuka pintu pagar tersebut.
Seorang wanita dan seorang lelaki berusia 55 tahun keluar dari mobil Alphard. Mereka disambut oleh seorang lelaki tegap berusia 30 tahun. Dengan membungkukkan tubuhnya, ia menyambut kedua tamu yang bertandang ke rumah mewah tersebut. “Selamat siang Tuan, Nyonya. Sudah ditunggu sama Tuan besar. Silakan.” Ucap seorang lelaki bertubuh tegap memberikan jalan menuju rumah mewah yang dipenuhi oleh berbagai tanaman pada sisi kanan dekat tembok tinggi penutup rumah. “Terima kasih, Gerry. Gimana kondisi Tuan, apa dia sudah semakin membaik?” tanya seorang wanita paruh baya yang masih berparas cantik. “Alhamdulillah, Tuan semakin sehat, Nyonya.” Mereka diajak langsung menuju ruang keluarga. Hubungan keluarga Sukoco dan keluarga Atmaja, orang tua dari Adrian Atmaja telah terjalin sejak masa SMP. Mereka adalah empat sekawan. Setelah lulus SMA Sukoco pindah kota dan mereka putus hubungan. Mereka kembali bertemu saat mendengar kabar duka atas Mira. Ketika itu, Amara berusia 17 tahun dan duduk di bangku SMA kelas XI. “Gimana kabarmu, Co?” tanya Atmaja saat melihat sahabatnya yang terkena stroke. “Alhamdulillah, masih rutin ikut terapi,” jawabnya duduk di kursi dorong. “Memang sampean nggak bisa jalan sama sekali atau gimana, Co?” tanya Ernawati istri Atmaja. “Bisa dikit-dikit. Kaki ini masih belum ada tenaga yang maksimal,” jawabnya kembali. “Besok, aku jemput ya! Ikut terapi di Shinse,” ujar Atmaja sembari duduk di sofa ruang keluarga. Mereka mengobrol tentang banyak hal. Termasuk tentang mantan istri kedua Sukoco yang menceraikannya usai ia bangkrut dan akhirnya mengalami stroke. “Er, kalau bisa kita nggak usah lagi bicara tentang si Maya. Sudah aku ikhlaskan semua yang dilakukan padaku. Biarlah, itu memang udah nasibku,” ujar Sukoco saat Ernawati membahas tentang Maya, istri kedua Sukoco yang tak lain adalah ibu tiri Amara. “Koco! Masalahnya, kasihan Amara. Semua dia ambil! Apa kamu nggak berpikir nasib anakmu? Dia itu anak perempuan satu-satunya. Aku juga sahabat almarhum mamanya nggak terima dengan apa yang dilakukan Maya!” tegas Ernawati. “Sudah ... Sudah, Mi! Kalau Sukoco udah ikhlas ya sudah. Mungkin memang nasib Amara yang nggak bagus. Ditinggal Mamanya waktu remaja. Sekarang dikuras habis hartanya,” lerai Atmaja pada istrinya yang tampak ngotot. Terlihat Sukoco menarik napas panjang dan tertunduk lesu. Ia pun, menimpali ucapan sahabatnya. “Semua itu memang salahku. Aku terlalu tergesa-gesa menikahi janda dua anak itu. Penyesalan itu yang buat aku sampai stroke.” Ernawati meraih cangkir berisi kopi dan diberikan pada suaminya. Setelah itu, ia meraih cangkir berisi teh. Usai meneguk teh tersebut. Ernawati memandang ke arah Atmaja dan tampak Atmaja menganggukkan kepalanya. “Koco ... Aku hanya ingin menyampaikan berita burung ini. Tapi, apa pun keputusanmu itu aku terima.” Sukoco yang melihat raut serius pada kedua wajah sahabatnya, memandang ke arah Atmaja dan meresponsnya. “Ada apa, Atma?” Tetapi, Atmaja menunjuk ke arah Ernawati seraya menjawab, “Biar Erna yang jelaskan.” “Aku sebagai sahabat almarhum istrimu sangat menyayangkan sikapmu yang terlalu lembek pada Maya. Karena, info yang aku terima dari saudara sepupuku, kalau perusahaan kamu itu sengaja dibuat bangkrut! Jadi, semua order ekspor dialihkan ke perusahaan Bobby anak tirimu itu!” Sukoco yang mendengar hal itu hanya mampu menganggukkan kepala dan mengusap kasar wajahnya, “Ya, aku juga udah tahu tentang itu dari importir di Singapura. Kalau dia beli barang dari perusahaan anaknya Maya.” “Lah! Kenapa kamu diam aja? Harusnya kamu tegur Maya! Lalu, kenapa juga kamu mau kasih setengah aset sebagai harta goni gini? Dia rumah tangga sama kamu kan, 9 tahun. Bagaimana mungkin, kamu bagi hartanya berdua?!” Tiba-tiba saja, Sukoco menangis saat Ernawati menanyakan hal tersebut. Sebenarnya, hal itu ingin ia tanyakan sewaktu tahu masalah bangkrutnya usaha dan permintaan cerai istri muda Sukoco. Namun diurungkan. Tetapi, saat Amara meminta memo pada Atmaja untuk bekerja di perusahaan miliknya, membuat mereka tergerak untuk ikut campur. “Er ... Sudahlah. Kalau gimana, kita ambil Amara jadi menantu kita saja. Dengan begitu, kehidupan anak itu terjamin kesejahteraannya,” timpal Atmaja saat melihat Sukoco hanya menangis usai Ernawati menanyakan hal yang membuatnya sakit hati. “Atma, awalnya rumah ini yang akan dibagi dua sama Maya. Karena sewaktu menikah dia minta sama aku, agar dibagi dua. Alasannya dia takut diusir oleh Amara, katanya. Jadi aku setuju dan buat surat kesepakatan dengannya. Mana aku pikir akan seperti ini? Itulah kesalahan fatalku dan sebagai gantinya, aku membagi semua aset kecuali rumah ini,” ucap Sukoco pelan dan menarik napas panjang. “Dasar wanita culas! Dia memanfaatkan kamu. Kalau aja kamu cerita sebelumnya sudah aku libas perempuan itu!” “Jahat sekali. Aku nggak sangka dia sejahat itu. Pantas saja kamu kena stroke. Lain kali bicarakan masalahmu. Jangan sembunyikan apa pun. Sewaktu almarhum Mira wafat, kami berjanji akan menemani kamu. Tapi, karena kamu menikah lagi setelah satu tahun almarhum wafat, kami pikir semua akan baik-baik saja,” ungkap Atmaja. “Ya sudahlah, semua udah terjadi. Sekarang Papi ngomong sama Sukoco yang serius! Ini mengenai masa depan anak-anak kita,” cicit Ernawati memandang ke arah suaminya. Setelah itu mereka membicarakan perihal perjodohan antara Amara dan Adrian. Namun, Sukoco yang sangat paham watak dan karakter Amara tidak bisa memberikan kepastian atas keinginan kedua sahabatnya untuk menjodohkan anak mereka. “Coba kamu tanyakan Amara, apa dia setuju aku jodohkan dengan Adrian. Kalau setuju, masalah Adrian itu gampang! Dia pasti menuruti apa keinginan maminya,” pinta Ernawati. “Aku nggak mungkin tanya dia dalam waktu dekat ini. Karena, baru hari ini dia bekerja. Apalagi, putriku itu wataknya keras dan pendiriannya kuat. Aku hanya takut, dia sudah punya pacar,” jawab Sukoco. “Memang kamu nggak tahu, putrimu punya pacar atau nggak? Apa Amara itu orangnya nggak terbuka sama kamu?” selidik Ernawati memandang lurus ke arah Sukoco. “Dulu, dia pernah pacaran dari SMA sampai kuliah dengan lelaki yang sama. Sewaktu akan wisuda, dia dapat kabar kalau pacarnya menghamili teman baiknya. Karena itu, aku nggak berani lagi bertanya masalah kedekatannya dengan lelaki lain. Sejauh ini yang aku lihat, setiap malam minggu dia hanya dijemput oleh sahabat perempuannya saja,” jelas Sukoco. “Berarti ... Selama 5 tahun sejak wisuda dia berteman dengan perempuan itu saja? Maksudnya, apa sempat Mara di jemput dengan sahabat perempuan lainnya?” selidik Erna dan Atmaja tampak menyimak serius. “Iya itu aja sahabat perempuan yang sering jalan bareng selama 5 tahun ini,” jawab Sukoco santai. “Waduh! Gawat ini!” ucap Ernawati dan Atmaja bersamaan saling berpandangan.“Amara, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suara Dhendy di ujung telepon terdengar berat, seperti menahan beban yang sudah lama dipikulnya. “Aku cuma ingin kamu tahu, aku nggak pernah berniat menyakitimu.”Amara duduk di sofa kecil di apartemennya, menatap jendela yang memperlihatkan langit Jakarta yang kelabu sore itu. Telepon genggamnya terasa dingin di tangan. Setelah pertemuan emosional dengan Rani di rumah sakit kemarin, Amara merasa jiwanya seperti terbelah. Rani, sahabatnya sejak SMA, telah mengaku menipu Dhendy lima tahun lalu, membuat Dhendy percaya bahwa anak yang dikandung Rani adalah darah dagingnya. Kini, Rani terbaring lemah di rumah sakit, melawan penyakit yang perlahan merenggut nyawanya. Amara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Dhend, aku juga nggak tahu harus bilang apa. Rani ceritain semuanya ke aku. Soal kebohongannya, soal anak itu… Aku cuma perlu tahu, kamu sekarang di posisi apa?”Di ujung sana, Dhendy terdiam sejenak. Amara bisa mendengar suara na
“Amara, tolong… dengar aku dulu,” suara Rani lemah, nyaris tersendat, dari balik selimut rumah sakit yang menutupi tubuhnya yang kurus. Ruangan berbau antiseptik, hanya ada suara monitor jantung yang berdetak pelan di samping ranjang.Amara berdiri kaku di dekat pintu kamar rawat inap. Tas kerjanya masih digenggam erat, seolah menjadi tameng dari gelombang emosi yang tiba-tiba menerpanya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer navy dan rok pensil yang rapi, ketika mendapat pesan dari Lily bahwa Rani ingin bertemu. Amara hampir menolak, tapi ada sesuatu dalam nada Lily yang membuatnya datang ke rumah sakit ini.“Dengar apa lagi, Rani? Setelah semua yang kamu lakukan?” Amara menatap wajah pucat Rani, yang dulu begitu cantik dan penuh pesona. Kini, wajah itu hanya menunjukkan kelelahan dan penyesalan. “Lima tahun lalu, kamu menghancurkan hidupku. Apa lagi yang mau kamu katakan?”Rani menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu aku salah. Aku nggak minta k
“Amara, kamu yakin mau resign? Adrian nggak akan senang dengar ini,” kata Lily, memandang Amara dengan alis terangkat, sambil menyandarkan tubuhnya di meja resepsionis kantor. Ruang lobi perusahaan yang megah dengan lantai marmer dan dinding kaca itu terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati Amara yang sedang kacau.Amara menarik napas dalam, menatap map berisi surat pengunduran dirinya. “Aku nggak punya pilihan, Lil. Lima tahun di sini, aku cuma jadi bayang-bayang Adrian. Aku capek.” Suaranya pelan, tapi tegas.Lily mengangguk kecil, tapi matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sebelum Amara berbalik menuju ruang rapat untuk mengumumkan keputusannya, Lily memegang lengannya. “Tunggu, Mar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu… soal Rani.”Amara membeku. Nama Rani, sahabat yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti luka yang baru disobek lagi. “Rani? Apa lagi? Aku nggak mau dengar apa-apa tentang dia, Lil. Dia sudah menghianatiku dengan Dhendy, dan sek
“Apa maksudmu, Mara? Kamu mau batalkan pernikahan sama Adrian?” Suara Sukoco parau, hampir tak terdengar, dari ranjang sederhana di kamarnya. Ia berbaring dengan tubuh lemah, satu sisi wajahnya sedikit merosot akibat stroke yang menyerangnya setahun lalu. Matanya yang redup menatap Amara, penuh kebingungan dan kekhawatiran.Amara duduk di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang kurus. Ruangan kecil di rumah sederhana mereka di pinggiran Jakarta terasa pengap, meski jendela terbuka lebar. Bau obat-obatan dan minyak kayu putih samar-samar tercium. Amara menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang bergolak di dadanya. “Iya, Yah. Aku nggak bisa lanjut. Adrian… dia nggak jujur sama aku.”Sukoco menggeleng pelan, gerakannya tersendat. “Mara, kamu tahu Adrian anak baik. Erna dan Atmaja sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Ceritain sama Ayah.”Amara menunduk, jari-jarinya meremas lembut tangan ayahnya. Ia teringat malam sebelumnya, ketika Lily, tema
Sejak Amara mengetahui masa lalu dan kebiasaan yang dilakukan oleh Adrian bersama mantannya, membuat insting Amara curiga ada Adrian yang dipikirnya tidak akan mudah melepaskan Tania. Terlebih Tania sedang hamil dan berada dalam tahanan. Sampai akhirnya Amara menemukan bukti atas kedekatan Adrian kembali dengan Tania.“Adrian, apa maksud semua ini?!” Amara berdiri di depan meja besar Adrian di ruang direktur, tangannya gemetar memegang selembar dokumen. Matanya merah, menahan air mata yang siap tumpah. “Kamu benar-benar menarik laporan polisi terhadap Tania? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Pada kita?”Adrian, yang duduk di kursi kulitnya, menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, tampak lelah. “Amara, dengar dulu. Aku tidak punya pilihan. Tania sedang hamil, keluarganya dalam masalah besar. Aku cuma ingin membantu.”“Bantu?!” Amara membanting dokumen itu ke meja. “Kamu memberi mereka apartemen, Adrian! Apartemen yang seharusnya jadi milik kita setelah menikah! Dan sekarang
Selama satu bulan sejak Adrian memberikan kekuasaan pada Amara atas keuangannya, membuat beberapa staf di kantor membicarakannya. Terlebih pada hari ini.“Selamat pagi, Pak!” ucap Melinda seorang personalia di perusahaan tersebut.“Pagi! Silakan duduk!” jawab Adrian.Melinda duduk di hadapan Adrian dan mulai berbicara. “Pak, hari ini saya ada rencana menggalang dana untuk anak dari Ibu Asih bagian operasional.”“Oh, yang kemarin kecelakaan itu? Akhirnya bagaimana dengan kondisi anak itu?” tanyanya.“Menyedihkan Pak, satu kakinya di amputasi. Jadi, saya mau minta persetujuan dan tanda tangan Bapak untuk minta sumbangan dari karyawan di sini,” ujar Melinda.Adrian mengambil kertas yang harus di tanda tangani dan menyerahkan kepada Melinda. Kemudian, Melinda memberanikan diri untuk meminta sumbangan pada sang bos.“Maaf Pak. Uhm, apa Bapak mau ikut menyumbang juga?”“Oh! Ya! Tunggu, aku hubungi Amara,” jawab Adrian.Sesaat kemudian, Adrian menghubungi Amara lewat ponselnya. “Sayang, aku