Home / Romansa / Sekretaris Rasa Istri / DITEGUR SANG BOS

Share

DITEGUR SANG BOS

Author: Parikesit70
last update Last Updated: 2025-06-02 18:15:10

Hari ini adalah hari pertama Amara ke kantor. Sekitar pukul delapan kurang lima menit, ia sudah sampai kantor. Kemarin Melinda telah membuatkan absensi sidik jari dan memberikan Job Description  untuknya. Maka, Amara langsung menuju lantai 7 menuju ruang kerjanya yang berada persis di sebelah ruang kerja Adrian.

 

 Bola mata Amara nan indah membulat. Ia terkejut saat melihat ruang kerja sang bos sudah terbuka. Dengan langkah cepat Amara menyambangi ruang kerja sang bos. Serta merta wanita cantik yang di hari pertama bekerja memakai blazer hitam, atasan berkerah V dengan rok span selutut, berwarna merah menyala menggerutu, ketika kaki jenjang nan mulus yang memakai pantofel hitam 7 centimeter masuk ke ruang kerja sang bos.

 

“Kurang ajar! Siapa yang main buka ruang kerja pak Adrian sih? Padahal kunci ruangannya sama gue!”

 

Baru satu langkah memasuki ruang kerja si bos, Amara dikejutkan oleh sosok Adrian yang sudah berada di ruang kerjanya, duduk dan memandang gadis cantik seraya menggerutu.

 

“Eh! Bapak! Pagi Pak..!”

 

“Pagi!” jawab Adrian sekilas memandang ke arah Amara.

 

Melihat Adrian hanya memandangnya sekilas, Amara melanjutkan langkahnya menuju meja kerja sang bos dan duduk di hadapannya.

 

“Pak!” panggil Amara.

 

“Ya,” jawab Adrian tetap fokus pada laptop.

 

“Maaf, sebenarnya jam kerja di kantor ini jam berapa? Kemarin saya diberitahu jam delapan sama bu Linda.”

“Benar, jam delapan!”

 

Adrian menggeser laptopnya dan menatap gadis cantik memakai pakaian berwarna merah menyala baik atasan dan bawahannya. Namun ditutupi oleh blazer hitam.

 

“Berarti, saya nggak salah kan, Pak?” tanyanya memandang lurus Adrian.

 

“Ya! Tapi sebagai sekretaris harusnya kamu datang lebih awal. Sudah baca kan, apa yang harus kamu lakukan setiap pagi?!”

 

“Sudah Pak! Kalau menurut saya, lebih baik jam kerja Bapak aja yang diubah. Khusus direktur dan kepala divisi kerjanya jam sembilan. Jadi, staf yang berada di bawahnya bisa menyiapkan bahan pekerjaan bagi masing-masing kepala. Begitu juga dengan saya.”

 

“kamu tahu? SOP di kantor ini sudah lama ditetapkan. Jadi, kamu nggak usah kasih saran yang nggak mungkin diubah! Sekarang buatkan saya kopi!”

“Baik, Pak!”

 

Amara beranjak dari kursi di hadapan Adrian, melangkah menuju Pantry yang berada diluar ruang kerja sang bos dengan wajah ditekuk.

 

Sesampai di Pantry, Amara bermonolog atas ucapan Adrian yang menurutnya terlalu kasar. “Dasar lelaki sombong! Liat aja, kalau gue dapat kerja di tempat lain, gue pergi dari sini. Pantas aja, sekretarisnya berhenti. Lelaki kok, kagak bisa ramah sama cewek! Uh!”

 

Amara kembali ke ruang kerja Adrian dengan membawa baki berisi kopi dan kudapan yang setiap harinya disiapkan oleh pesuruh kantor tersebut.

“Saya taruh di sini ya, Pak!”

 

Amara berjalan menuju sofa yang berada di dalam ruang tersebut dan meletakan kopi berikut kudapan. Lalu, berdiri persis pada sisi sofa tunggal.

“Silakan, Pak!”

 

Adrian duduk tepat pada sofa tunggal dan Amara yang awalnya berdiri disisi sofa, duduk pada sofa panjang dan menunggu perintah Adrian.

Melihat Amara duduk memandangnya minum kopi dan menikmati kudapan, Adrian berkata.

“Kok kopinya pahit! Kamu nggak pakai gula? Bukannya ada gula dalam bentuk saset!”

 

“Maaf Pak! Biasanya kalau pencinta kopi, pasti lebih suka kopi tanpa gula,” kilah Amara.

“Ambil gula dan sendok pengaduk kopinya! Saya nggak suka kopi pahit!”

“Baik Pak!” jawab Amara.

 

Namun dalam hati ia bergumam, ‘Harusnya kalau mau terasa manis itu, minum kopinya sembari memandang gue...’

 

Tak berapa lama, Amara membawa beberapa saset gula dan menuangkan dua saset gula ke dalam kopi sang bos dan mengambil seujung sendok kecil

“Coba Pak, dicicipi dulu. Takutnya kurang manis,” pintanya menyodorkan sendok kecil berisi sedikit kopi ke mulut Adrian.

 

Adrian terkejut dengan tindakan Amara. Tapi  mau tak mau ia membuka mulutnya dan mencicipi kopi tersebut.

 

“Gimana Pak, udah manis kan?” tanya Amara memandang lekat ke arah Adrian.

 

Adrian yang mengamati dari dekat wajah cantik Amara saat bertanya padanya, tersenyum manis ke arah wanita muda nan cantik jelita itu seraya menganggukkan kepala tanpa bicara.

“Baiklah, saya akan ke ruangan saya. Kalau Bapak ada perlu bisa hubungi saya!” ujarnya beranjak dari sofa seraya membawa baki menuju ruang kerjanya.

“Amara tunggu!” panggil Adrian.

“Ya Pak?”

 

Amara menoleh ke arah Adrian dan berjalan kembali menuju sofa.

“Sorry, bukannya saya melarang cara kamu berpakaian. Hanya saja saya nggak suka warna merah dari pakaian kamu. Sorry,” ujar Adrian.

 

“Maaf juga Pak. Apa ada aturan di kantor ini kalau karyawan nggak boleh pakai baju warna merah?"

“Memang tidak ada. Saya hanya nggak suka lihat warna bajunya,” jelas Adrian kembali.

 

“Berarti saya harus ganti sekarang? Soalnya, warna merah adalah warna kesukaan saya," jawab Amara memandang tajam ke arah Adrian dan mata mereka beradu.

 

“Next time, cari warna netral dan lembut untuk kamu pakai ke kantor,” pinta Adrian tersenyum manis. Amara hanya menjawab dengan anggukan dan menatap tajam ke arah Adrian.

 

 Adrian kembali tersenyum manis saat memandang bola mata mereka yang beradu dan berbisik dalam hatinya.

 

 ‘Ternyata alis Amara nyaris menyatu. Dia membuat aku merindukan sosok Tania. Walaupun aku bisa melihatnya setiap hari di televisi. Namun ... Ah! Sudahlah. Aku tidak perlu mengingatnya lagi.’

 

Saat Amara tengah mempelajari berkas yang masuk ke ruangannya dan membaca catatan atas hal yang harus diperhatikan saat menerima berkas-berkas tersebut, terkejut dengan kehadiran Melinda yang masuk ke ruang kerja Amara, tanpa mengetuk pintu.

 

“Amara!” panggil Melinda.

“AH! Ya ampun, Ibu. Tolong lain kali ketuk pintu dulu,” pinta Amara memandang dengan wajah terkejut.

“Maaf Mara. Tadi saya lihat pintu ruang kerjamu terbuka, makanya saya langsung masuk!” Sanggah Melinda.

“Ya, Bu. Tapi, tetap aja harus ketuk pintu,” ujarnya kembali.

“Ok! Maafkan saya! Next saya akan mengetuk pintu lebih dahulu."

Dalam hati Melinda, bergumam, ‘Dasar mantan anak orang kaya, sombong amat sih. Udah lengser juga masih bertingkah.’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekretaris Rasa Istri   THE END - BAHAGIA

    “Amara, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suara Dhendy di ujung telepon terdengar berat, seperti menahan beban yang sudah lama dipikulnya. “Aku cuma ingin kamu tahu, aku nggak pernah berniat menyakitimu.”Amara duduk di sofa kecil di apartemennya, menatap jendela yang memperlihatkan langit Jakarta yang kelabu sore itu. Telepon genggamnya terasa dingin di tangan. Setelah pertemuan emosional dengan Rani di rumah sakit kemarin, Amara merasa jiwanya seperti terbelah. Rani, sahabatnya sejak SMA, telah mengaku menipu Dhendy lima tahun lalu, membuat Dhendy percaya bahwa anak yang dikandung Rani adalah darah dagingnya. Kini, Rani terbaring lemah di rumah sakit, melawan penyakit yang perlahan merenggut nyawanya. Amara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Dhend, aku juga nggak tahu harus bilang apa. Rani ceritain semuanya ke aku. Soal kebohongannya, soal anak itu… Aku cuma perlu tahu, kamu sekarang di posisi apa?”Di ujung sana, Dhendy terdiam sejenak. Amara bisa mendengar suara na

  • Sekretaris Rasa Istri   Pengakuan & Pengampunan

    “Amara, tolong… dengar aku dulu,” suara Rani lemah, nyaris tersendat, dari balik selimut rumah sakit yang menutupi tubuhnya yang kurus. Ruangan berbau antiseptik, hanya ada suara monitor jantung yang berdetak pelan di samping ranjang.Amara berdiri kaku di dekat pintu kamar rawat inap. Tas kerjanya masih digenggam erat, seolah menjadi tameng dari gelombang emosi yang tiba-tiba menerpanya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer navy dan rok pensil yang rapi, ketika mendapat pesan dari Lily bahwa Rani ingin bertemu. Amara hampir menolak, tapi ada sesuatu dalam nada Lily yang membuatnya datang ke rumah sakit ini.“Dengar apa lagi, Rani? Setelah semua yang kamu lakukan?” Amara menatap wajah pucat Rani, yang dulu begitu cantik dan penuh pesona. Kini, wajah itu hanya menunjukkan kelelahan dan penyesalan. “Lima tahun lalu, kamu menghancurkan hidupku. Apa lagi yang mau kamu katakan?”Rani menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu aku salah. Aku nggak minta k

  • Sekretaris Rasa Istri   Perpisahan dan Rahasia

    “Amara, kamu yakin mau resign? Adrian nggak akan senang dengar ini,” kata Lily, memandang Amara dengan alis terangkat, sambil menyandarkan tubuhnya di meja resepsionis kantor. Ruang lobi perusahaan yang megah dengan lantai marmer dan dinding kaca itu terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati Amara yang sedang kacau.Amara menarik napas dalam, menatap map berisi surat pengunduran dirinya. “Aku nggak punya pilihan, Lil. Lima tahun di sini, aku cuma jadi bayang-bayang Adrian. Aku capek.” Suaranya pelan, tapi tegas.Lily mengangguk kecil, tapi matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sebelum Amara berbalik menuju ruang rapat untuk mengumumkan keputusannya, Lily memegang lengannya. “Tunggu, Mar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu… soal Rani.”Amara membeku. Nama Rani, sahabat yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti luka yang baru disobek lagi. “Rani? Apa lagi? Aku nggak mau dengar apa-apa tentang dia, Lil. Dia sudah menghianatiku dengan Dhendy, dan sek

  • Sekretaris Rasa Istri   Keputusan Amara

    “Apa maksudmu, Mara? Kamu mau batalkan pernikahan sama Adrian?” Suara Sukoco parau, hampir tak terdengar, dari ranjang sederhana di kamarnya. Ia berbaring dengan tubuh lemah, satu sisi wajahnya sedikit merosot akibat stroke yang menyerangnya setahun lalu. Matanya yang redup menatap Amara, penuh kebingungan dan kekhawatiran.Amara duduk di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang kurus. Ruangan kecil di rumah sederhana mereka di pinggiran Jakarta terasa pengap, meski jendela terbuka lebar. Bau obat-obatan dan minyak kayu putih samar-samar tercium. Amara menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang bergolak di dadanya. “Iya, Yah. Aku nggak bisa lanjut. Adrian… dia nggak jujur sama aku.”Sukoco menggeleng pelan, gerakannya tersendat. “Mara, kamu tahu Adrian anak baik. Erna dan Atmaja sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Ceritain sama Ayah.”Amara menunduk, jari-jarinya meremas lembut tangan ayahnya. Ia teringat malam sebelumnya, ketika Lily, tema

  • Sekretaris Rasa Istri   Putus Diujung Pertunangan

    Sejak Amara mengetahui masa lalu dan kebiasaan yang dilakukan oleh Adrian bersama mantannya, membuat insting Amara curiga ada Adrian yang dipikirnya tidak akan mudah melepaskan Tania. Terlebih Tania sedang hamil dan berada dalam tahanan. Sampai akhirnya Amara menemukan bukti atas kedekatan Adrian kembali dengan Tania.“Adrian, apa maksud semua ini?!” Amara berdiri di depan meja besar Adrian di ruang direktur, tangannya gemetar memegang selembar dokumen. Matanya merah, menahan air mata yang siap tumpah. “Kamu benar-benar menarik laporan polisi terhadap Tania? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Pada kita?”Adrian, yang duduk di kursi kulitnya, menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, tampak lelah. “Amara, dengar dulu. Aku tidak punya pilihan. Tania sedang hamil, keluarganya dalam masalah besar. Aku cuma ingin membantu.”“Bantu?!” Amara membanting dokumen itu ke meja. “Kamu memberi mereka apartemen, Adrian! Apartemen yang seharusnya jadi milik kita setelah menikah! Dan sekarang

  • Sekretaris Rasa Istri   Masa Lalu Adrian

    Selama satu bulan sejak Adrian memberikan kekuasaan pada Amara atas keuangannya, membuat beberapa staf di kantor membicarakannya. Terlebih pada hari ini.“Selamat pagi, Pak!” ucap Melinda seorang personalia di perusahaan tersebut.“Pagi! Silakan duduk!” jawab Adrian.Melinda duduk di hadapan Adrian dan mulai berbicara. “Pak, hari ini saya ada rencana menggalang dana untuk anak dari Ibu Asih bagian operasional.”“Oh, yang kemarin kecelakaan itu? Akhirnya bagaimana dengan kondisi anak itu?” tanyanya.“Menyedihkan Pak, satu kakinya di amputasi. Jadi, saya mau minta persetujuan dan tanda tangan Bapak untuk minta sumbangan dari karyawan di sini,” ujar Melinda.Adrian mengambil kertas yang harus di tanda tangani dan menyerahkan kepada Melinda. Kemudian, Melinda memberanikan diri untuk meminta sumbangan pada sang bos.“Maaf Pak. Uhm, apa Bapak mau ikut menyumbang juga?”“Oh! Ya! Tunggu, aku hubungi Amara,” jawab Adrian.Sesaat kemudian, Adrian menghubungi Amara lewat ponselnya. “Sayang, aku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status