Hari ini adalah hari pertama Amara ke kantor. Sekitar pukul delapan kurang lima menit, ia sudah sampai kantor. Kemarin Melinda telah membuatkan absensi sidik jari dan memberikan Job Description untuknya. Maka, Amara langsung menuju lantai 7 menuju ruang kerjanya yang berada persis di sebelah ruang kerja Adrian.
Bola mata Amara nan indah membulat. Ia terkejut saat melihat ruang kerja sang bos sudah terbuka. Dengan langkah cepat Amara menyambangi ruang kerja sang bos. Serta merta wanita cantik yang di hari pertama bekerja memakai blazer hitam, atasan berkerah V dengan rok span selutut, berwarna merah menyala menggerutu, ketika kaki jenjang nan mulus yang memakai pantofel hitam 7 centimeter masuk ke ruang kerja sang bos. “Kurang ajar! Siapa yang main buka ruang kerja pak Adrian sih? Padahal kunci ruangannya sama gue!” Baru satu langkah memasuki ruang kerja si bos, Amara dikejutkan oleh sosok Adrian yang sudah berada di ruang kerjanya, duduk dan memandang gadis cantik seraya menggerutu. “Eh! Bapak! Pagi Pak..!” “Pagi!” jawab Adrian sekilas memandang ke arah Amara. Melihat Adrian hanya memandangnya sekilas, Amara melanjutkan langkahnya menuju meja kerja sang bos dan duduk di hadapannya. “Pak!” panggil Amara. “Ya,” jawab Adrian tetap fokus pada laptop. “Maaf, sebenarnya jam kerja di kantor ini jam berapa? Kemarin saya diberitahu jam delapan sama bu Linda.” “Benar, jam delapan!” Adrian menggeser laptopnya dan menatap gadis cantik memakai pakaian berwarna merah menyala baik atasan dan bawahannya. Namun ditutupi oleh blazer hitam. “Berarti, saya nggak salah kan, Pak?” tanyanya memandang lurus Adrian. “Ya! Tapi sebagai sekretaris harusnya kamu datang lebih awal. Sudah baca kan, apa yang harus kamu lakukan setiap pagi?!” “Sudah Pak! Kalau menurut saya, lebih baik jam kerja Bapak aja yang diubah. Khusus direktur dan kepala divisi kerjanya jam sembilan. Jadi, staf yang berada di bawahnya bisa menyiapkan bahan pekerjaan bagi masing-masing kepala. Begitu juga dengan saya.” “kamu tahu? SOP di kantor ini sudah lama ditetapkan. Jadi, kamu nggak usah kasih saran yang nggak mungkin diubah! Sekarang buatkan saya kopi!” “Baik, Pak!” Amara beranjak dari kursi di hadapan Adrian, melangkah menuju Pantry yang berada diluar ruang kerja sang bos dengan wajah ditekuk. Sesampai di Pantry, Amara bermonolog atas ucapan Adrian yang menurutnya terlalu kasar. “Dasar lelaki sombong! Liat aja, kalau gue dapat kerja di tempat lain, gue pergi dari sini. Pantas aja, sekretarisnya berhenti. Lelaki kok, kagak bisa ramah sama cewek! Uh!” Amara kembali ke ruang kerja Adrian dengan membawa baki berisi kopi dan kudapan yang setiap harinya disiapkan oleh pesuruh kantor tersebut. “Saya taruh di sini ya, Pak!” Amara berjalan menuju sofa yang berada di dalam ruang tersebut dan meletakan kopi berikut kudapan. Lalu, berdiri persis pada sisi sofa tunggal. “Silakan, Pak!” Adrian duduk tepat pada sofa tunggal dan Amara yang awalnya berdiri disisi sofa, duduk pada sofa panjang dan menunggu perintah Adrian. Melihat Amara duduk memandangnya minum kopi dan menikmati kudapan, Adrian berkata. “Kok kopinya pahit! Kamu nggak pakai gula? Bukannya ada gula dalam bentuk saset!” “Maaf Pak! Biasanya kalau pencinta kopi, pasti lebih suka kopi tanpa gula,” kilah Amara. “Ambil gula dan sendok pengaduk kopinya! Saya nggak suka kopi pahit!” “Baik Pak!” jawab Amara. Namun dalam hati ia bergumam, ‘Harusnya kalau mau terasa manis itu, minum kopinya sembari memandang gue...’ Tak berapa lama, Amara membawa beberapa saset gula dan menuangkan dua saset gula ke dalam kopi sang bos dan mengambil seujung sendok kecil “Coba Pak, dicicipi dulu. Takutnya kurang manis,” pintanya menyodorkan sendok kecil berisi sedikit kopi ke mulut Adrian. Adrian terkejut dengan tindakan Amara. Tapi mau tak mau ia membuka mulutnya dan mencicipi kopi tersebut. “Gimana Pak, udah manis kan?” tanya Amara memandang lekat ke arah Adrian. Adrian yang mengamati dari dekat wajah cantik Amara saat bertanya padanya, tersenyum manis ke arah wanita muda nan cantik jelita itu seraya menganggukkan kepala tanpa bicara. “Baiklah, saya akan ke ruangan saya. Kalau Bapak ada perlu bisa hubungi saya!” ujarnya beranjak dari sofa seraya membawa baki menuju ruang kerjanya. “Amara tunggu!” panggil Adrian. “Ya Pak?” Amara menoleh ke arah Adrian dan berjalan kembali menuju sofa. “Sorry, bukannya saya melarang cara kamu berpakaian. Hanya saja saya nggak suka warna merah dari pakaian kamu. Sorry,” ujar Adrian. “Maaf juga Pak. Apa ada aturan di kantor ini kalau karyawan nggak boleh pakai baju warna merah?" “Memang tidak ada. Saya hanya nggak suka lihat warna bajunya,” jelas Adrian kembali. “Berarti saya harus ganti sekarang? Soalnya, warna merah adalah warna kesukaan saya," jawab Amara memandang tajam ke arah Adrian dan mata mereka beradu. “Next time, cari warna netral dan lembut untuk kamu pakai ke kantor,” pinta Adrian tersenyum manis. Amara hanya menjawab dengan anggukan dan menatap tajam ke arah Adrian. Adrian kembali tersenyum manis saat memandang bola mata mereka yang beradu dan berbisik dalam hatinya. ‘Ternyata alis Amara nyaris menyatu. Dia membuat aku merindukan sosok Tania. Walaupun aku bisa melihatnya setiap hari di televisi. Namun ... Ah! Sudahlah. Aku tidak perlu mengingatnya lagi.’ Saat Amara tengah mempelajari berkas yang masuk ke ruangannya dan membaca catatan atas hal yang harus diperhatikan saat menerima berkas-berkas tersebut, terkejut dengan kehadiran Melinda yang masuk ke ruang kerja Amara, tanpa mengetuk pintu. “Amara!” panggil Melinda. “AH! Ya ampun, Ibu. Tolong lain kali ketuk pintu dulu,” pinta Amara memandang dengan wajah terkejut. “Maaf Mara. Tadi saya lihat pintu ruang kerjamu terbuka, makanya saya langsung masuk!” Sanggah Melinda. “Ya, Bu. Tapi, tetap aja harus ketuk pintu,” ujarnya kembali. “Ok! Maafkan saya! Next saya akan mengetuk pintu lebih dahulu." Dalam hati Melinda, bergumam, ‘Dasar mantan anak orang kaya, sombong amat sih. Udah lengser juga masih bertingkah.’Sekitar pukul tujuh malam Taxi yang membawa Amara berhenti di depan rumah mewah Sukoco. Seorang sekuriti menghampiri Taxi tersebut dengan mengetuk kaca mobil.“Permisi! Malam Pak. Cari siapa?” tanya sekuriti tersebut.“Pak Jamil! Ini saya! Buka pagarnya!” perintah Amara.“Siap Nona! Maaf! Saya pikir bukan Nona!”Jamil berlari ke pintu gerbang dan membuka pintu tersebut seraya membungkukkan tubuhnya. Taxi pun, masuk ke halaman rumah. Terlihat seorang wanita berusia 20 tahun berlari kecil mendekati mobil Taxi. Bersamaan dengan itu, Amara keluar dari Taxi disambut senyuman dan di sapa oleh wanita berusia 20 tahun tersebut.“Malam Nona, kok pakai Taxi, kemana mobilnya?" tanya Tati, seorang pembantu rumah tangga.“Di kantor lah! Masa aku jual? Apa Papa udah makan?”“Malam ini belum Non. Tadi jam 5 sore, Tuan minta dibuatkan bubur kacang hijau,” jawab Tati mengiringi langkah Nona mudanya dari belakang Amara.“Baguslah! Bik Aminah udah tidur?” tanya Amara seraya melangkahkan kakinya.“Bik Am
Sementara itu, di perusahaan sekuritas milik keluarga Adrian, terlihat Amara tengah berbicara serius dengan Melinda selaku bagian personalia (HRD). Hal itu terkait dengan masalah yang dianggap sepele oleh Adrian selaku direktur utama dan Melinda selaku personalia.Saat terjadi perdebatan antara kedua wanita berbeda usia tersebut. Adrian sendiri tengah menerima tamu. Dua orang sahabatnya di masa SMA. Maka, Amara tidak mendampingi dirinya sebagai notulen.“Amara ... Intinya saya nggak bisa buat aturan seperti yang kamu inginkan! Apalagi sejak awal memang nggak ada aturan karyawan nggak boleh makan di ruang kerjanya. Kamu itu loh, karyawan kontrak. Jangan suka ikut campur masalah aturan kantor. Jadi lupakan saja, permintaanmu itu!” tegas Melinda.“Bu ... Saya sudah sampaikan ke Pak Adrian. Menurut dia itu ide bagus dan saya bisa diskusikan ke Ibu. Kalau Ibu selalu mematahkan semua alasan saya dan menganggap saya tidak berhak untuk memberikan saran karena karyawan baru, jelas Ibu salah!”
Sementara itu, di sebuah rumah mewah dengan pagar dan tembok kokoh yang mengelilingi rumah tersebut, terlihat sebuah mobil Alphard hitam masuk ke halaman usai seorang satpam membuka pintu pagar tersebut.Seorang wanita dan seorang lelaki berusia 55 tahun keluar dari mobil Alphard. Mereka disambut oleh seorang lelaki tegap berusia 30 tahun. Dengan membungkukkan tubuhnya, ia menyambut kedua tamu yang bertandang ke rumah mewah tersebut.“Selamat siang Tuan, Nyonya. Sudah ditunggu sama Tuan besar. Silakan.”Ucap seorang lelaki bertubuh tegap memberikan jalan menuju rumah mewah yang dipenuhi oleh berbagai tanaman pada sisi kanan dekat tembok tinggi penutup rumah.“Terima kasih, Gerry. Gimana kondisi Tuan, apa dia sudah semakin membaik?” tanya seorang wanita paruh baya yang masih berparas cantik.“Alhamdulillah, Tuan semakin sehat, Nyonya.”Mereka diajak langsung menuju ruang keluarga. Hubungan keluarga Sukoco dan keluarga Atmaja, orang tua dari Adrian Atmaja telah terjalin sejak masa SMP.
Tepat jam 12 siang, Amara yang memasang alarm pada ponselnya langsung menutup laptop, menyingkirkan berkas yang diinput dan berjalan menuju Pantry untuk menyiapkan makan siang Adrian. Menurut info yang diperoleh pada bagian umum, setiap harinya pesuruh di kantor membelikan makanan sesuai permintaan Adrian.Sesampai di Pantry, Amara menyiapkan wadah untuk sop iga sapi yang dipesan oleh sang bos. Saat menyiapkan makanan tersebut, Amara bertanya pada pesuruh yang selalu diminta sang bos membelikan makanan dan kudapan. “Maaf mau tanya, dengan Bapak siapa?”“Budi, Bu. Panggil aja Budi,” pintanya.“Kamu kan, lelaki makanya saya panggil bapak. Masa iya saya panggil ibu,” ujar Amara tersenyum kecil.“Masalahnya, saya cuman pesuruh, Bu. Malu kalau di panggil bapak.”“Pak Budi! Saya kasih tahu. Panggilan bapak dan ibu di kantor itu lumrah, nggak berpengaruh dengan status pekerjaan. Kamu paham ya, maksud saya?” jelas AmaraBudi yang mendengar ucapan Amara menganggukkan kepalanya, “Siap! Baik Bu
Hari ini adalah hari pertama Amara ke kantor. Sekitar pukul delapan kurang lima menit, ia sudah sampai kantor. Kemarin Melinda telah membuatkan absensi sidik jari dan memberikan Job Description untuknya. Maka, Amara langsung menuju lantai 7 menuju ruang kerjanya yang berada persis di sebelah ruang kerja Adrian. Bola mata Amara nan indah membulat. Ia terkejut saat melihat ruang kerja sang bos sudah terbuka. Dengan langkah cepat Amara menyambangi ruang kerja sang bos. Serta merta wanita cantik yang di hari pertama bekerja memakai blazer hitam, atasan berkerah V dengan rok span selutut, berwarna merah menyala menggerutu, ketika kaki jenjang nan mulus yang memakai pantofel hitam 7 centimeter masuk ke ruang kerja sang bos.“Kurang ajar! Siapa yang main buka ruang kerja pak Adrian sih? Padahal kunci ruangannya sama gue!”Baru satu langkah memasuki ruang kerja si bos, Amara dikejutkan oleh sosok Adrian yang sudah berada di ruang kerjanya, duduk dan memandang gadis cantik seraya menggerutu.
Di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang sekuritas, Amara wanita cantik berusia 25 tahun tengah menunggu giliran untuk menghadap ke bagian HRD (Human Resource Development) usai dirinya membawa sebuah memo dari papanya yang kini mengalami stroke. “Dengan Amara Sukoco, silakan masuk!” Seorang lelaki memakai dasi berwarna abu-abu dengan kemeja berwarna putih tanpa jas, berdiri di depan pintu masuk HRD dan memanggil namanya. “Saya, Pak!” Amara menjawab dengan mengangkat tangan dan beranjak dari sofa yang berada diluar ruangan HRD tersebut. Dalam hati Amara menggerutu sendiri, ‘Sialan, kebiasaan amat sih gue angkat tangan. Padahal sekarang gue cari kerja, bukan lagi di kampus.’ “Silakan masuk,” perintah lelaki berdasi abu-abu tersebut dengan menunjuk ke arah pintu ruangan lain yang tertutup rapat. Lelaki berdasi abu-abu duduk kembali ke meja kerjanya. Di dalam ruang itu, ada dua orang wanita yang asyik dengan pekerjaannya tanpa memedulikan Amara yang berjalan melewati ruang b