Sementara itu, di perusahaan sekuritas milik keluarga Adrian, terlihat Amara tengah berbicara serius dengan Melinda selaku bagian personalia (HRD). Hal itu terkait dengan masalah yang dianggap sepele oleh Adrian selaku direktur utama dan Melinda selaku personalia.
Saat terjadi perdebatan antara kedua wanita berbeda usia tersebut. Adrian sendiri tengah menerima tamu. Dua orang sahabatnya di masa SMA. Maka, Amara tidak mendampingi dirinya sebagai notulen. “Amara ... Intinya saya nggak bisa buat aturan seperti yang kamu inginkan! Apalagi sejak awal memang nggak ada aturan karyawan nggak boleh makan di ruang kerjanya. Kamu itu loh, karyawan kontrak. Jangan suka ikut campur masalah aturan kantor. Jadi lupakan saja, permintaanmu itu!” tegas Melinda. “Bu ... Saya sudah sampaikan ke Pak Adrian. Menurut dia itu ide bagus dan saya bisa diskusikan ke Ibu. Kalau Ibu selalu mematahkan semua alasan saya dan menganggap saya tidak berhak untuk memberikan saran karena karyawan baru, jelas Ibu salah!” sanggah Amara. Melinda yang mendapat tatapan tajam dari Amara membalas dengan netra yang melirik tajam ke arahnya sembari beranjak dari kursi di hadapan Amara. “Lain kali, kalau hanya diskusi masalah kecil begini, lebih baik lewat telepon aja! Banyak waktu saya terbuang percuma! Permisi!” “Bu! Bu Linda!” panggil Amara. Namun, Melinda melangkah panjang keluar dari ruang kerja Amara tanpa menoleh meninggalkan Amara. “Sialan! Sombong sekali dia!” gerutu Amara usai Melinda keluar dari ruang kerjanya. Setelah itu, Amara kembali melakukan pengecekan atas beberapa berkas yang diserahkan dari bagian marketing dan beberapa berkas dari bagian operasional. Hal itu bukan suatu hal yang sulit. Karena Amara yang cerdas, membongkar file terdahulu sebagai acuan ia melakukan tugasnya. Walaupun, Melinda memberikan Job Description. Namun dalam praktiknya ia perlu melihat data yang sudah biasa dilakukan sekretaris sebelumnya dalam mempelajari sebuah berkas. Ketika waktu menunjukkan pukul setengah lima, Amara masuk ke ruang kerja Adrian. Sang bos yang tengah asyik berbicara dengan kedua sahabat SMA nya memandang ke arah Amara dan bertanya pada wanita cantik tersebut. “Ya, Amara ... Ada apa?” tanya Adrian, membuat pembicaraan mereka terhenti. “Maaf Pak! Ada yang akan bertemu Bapak dan sedang menunggu di ruang tamu dekat sekuriti,” jawab Amara sembari tersenyum ramah pada kedua sahabat Adrian. “Janji bertemu? Siapa ya? Sepertinya hari ini nggak ada janji sama siapa pun,” jawab Adrian. “Berarti saya tolak?!” tanya Amara dengan penekanan dan kembali memandang kedua lelaki yang duduk di sofa tanpa tersenyum. Salah seorang lelaki yang melihat perubahan wajah Amara, langsung beranjak dari sofa sembari menyentuh tangan lelaki lainnya yang masih duduk nyaman di sofa. “Baik, Adri. Kita tunggu di acara reuni. Gue jamin bakal seru!” ujar seorang lelaki memakai jaket coklat. Kedua sahabat Adrian menyalami bos Amara yang tampak meragukan ucapan sekretarisnya. Usai kedua sahabat Adrian keluar ruangan, Adrian kembali ke meja kerjanya dan Amara keluar ruang kerja tersebut tanpa berkata sepatah kata pun. Tiga menit kemudian, Amara membawa berkas yang telah selesai di cek. “Silakan Pak. Ini berkas yang harus ditandatangani,” ujar Amara meletakan berkas di meja kerja sang bos dan duduk di hadapannya. Adrian memandang ke arah Amara dan bertanya, “Mana tamu yang akan bertemu?” “Maaf Pak, nggak ada tamu,” jawab Amara menatap Adrian. “Kamu!” bentak Adrian melotot ke arah Amara. “Ya, saya berbohong. Karena saya...” “Kurang ajar! Untuk apa kamu lakukan hal itu! Hah!” tunjuk Adrian ke arah Amara dengan pandangan berapi-api. “Pak! Masalahnya....” “Kamu yang bermasalah! Nggak usah kamu berargumentasi dengan saya! Kamu di gaji untuk bekerja! Bukan untuk berbohong. Paham kamu!” teriak Adrian berdiri memandang Amara yang membalas dengan memandang pula. Amara yang kesal melihat kemarahan Adrian padanya ikut berdiri dan berkata, “Karena saya di gaji, maka saya stop obrolan Bapak dengan teman-teman Bapak! Sudah hampir dua jam Bapak meninggalkan pekerjaan. Ada berkas urgent, ditunggu bagian marketing dan operasional! Kalau mau mengobrol tanpa ingat waktu, harusnya buat janji di luar. Jangan di kantor! Saya ingatkan Bapak juga. Saya disini sekretaris yang dibayar!” Usai mengatakan hal itu, Amara menganggukkan kepalanya dan berucap. “Selesai ditandatangani, telepon saya!” Adrian menatap lekat sang sekretaris yang membalas tatapannya dan meninggalkan ruang kerjanya. Sampai akhirnya Adrian duduk kembali usai Amara menutup pintu ruang kerjanya sang bos. Di dalam ruang kerjanya, Adrian memejamkan matanya, mengusap wajahnya dan memandang pada tumpukan berkas di depannya seraya bermonolog, “Lama-lama aku bisa gila punya sekretaris model Amara! Bisa-bisanya dia atur aku seperti ini. Memang, dia itu pikir siapa? Dasar cewek kurang ajar!” Satu jam kemudian, Adrian menghubungi Amara dalam telepon direct, “Ambil berkasnya!” Belum sempat Amara menjawab, Adrian telah menutup teleponnya. Amara langsung berjalan menuju ruang kerja sang bos. “Ini ambil!” tunjuk Adrian ke arah depan mejanya. “Permisi Pak,” pinta Amara meraih berkas yang ada di hadapan Adrian. Namun saat tangannya meraih berkas, tanpa sengaja cangkir berisi teh menyenggol bagian ujung berkas dan terjatuh tepat di kaki Amara dan hancur berantakan kala menyentuh lantai marmer tersebut. PRANK! “Aduh! Kakiku! Ah!” teriak Amara meletakkan kembali berkas ke meja di hadapan Adrian dan berjongkok melihat kakinya terkena serpihan pecahan cangkir yang mengenai kakinya. Adrian yang terkejut atas kejadian tersebut, memandang ke arah Amara saat memegang bagian mata kakinya yang berdarah terkena serpihan pecahan cangkir. “Bagian mana lagi yang kena pecahan cangkir?” tanya Adrian ikut berjongkok memandang mata kaki Amara dan secara refleks memegang bagian bahu Amara untuk berdiri dan duduk pada kursi di hadapannya. “Aduh! Kaki gue jadi cacat!” ujar Amara merintih sakit. “Ayo duduk dulu,” ajak Adrian. Amara duduk di kursi depan meja kerja Adrian dan Adrian berjongkok melihat bagian mata kaki Amara yang sedikit berdarah seraya berucap dengan santainya. “Sebentar aku hubungi Melinda untuk minta pesuruh bawa betadine dan perekat untuk luka kecilmu ini. Kakimu nggak akan cacat hanya karena serpihan pecahan cangkir!” “Jelas jadi cacat lah! Kaki saya yang mulus jadi ada bekas luka,” ucapnya menyeka air matanya. Adrian yang melihat Amara berlinang air mata memandang kaki sang sekretaris yang melepas sepatu pantofelnya. Dengan sedikit tersenyum samar Adrian membatin dalam hatinya. ‘Astaga, luka kecil gitu aja sampai nangis. Memang sih, kaki, betisnya mulus banget. Tapi, masa iya sampai sesedih itu dia meratapi kakinya yang sedikit terluka. Aneh dan lucu juga Amara.’ Tak berselang lama, seorang pesuruh membawa apa yang diminta Adrian dan membersihkan sisa pecahan cangkir kala Amara masih terduduk memandang ke arah kakinya. Setelah itu, Adrian kembali berjongkok untuk mengobati luka kecil pada mata kaki Amara yang merentangkan kakinya ke arah Adrian. “Aduh! Perih! Pelan-pelan Pak!” pinta Amara meringis menahan sakit. Adrian tersenyum kecil saat memandang wajah Amara yang meringis menahan sakit dengan mata tertutup kala ia memberikan betadine pada mata kakinya. “Udah! Besok aja udah hilang bekas lukanya,” ujar Adrian berdiri dan kembali ke kursi kerjanya, merapikan berkas yang berantakan di meja. “Biar saya di sini dulu ya Pak. Sampai rasa perihnya hilang,” pinta Amara memandang Adrian yang sedang merapikan berkas. “Sampai besok juga boleh kok!” canda Adrian tersenyum manis ke arah Amara yang memandang kesal ke arah sang bos. Namun hal itu membuat kesal Amara. Gadis cantik itu pun, keluar ruangan Adrian dengan berjalan perlahan dan bertelanjang kaki. Adrian yang melihat kelakuan Amara, tersenyum lebar dan mengelengkan kepala seraya bermonolog, “Asli! Aku bisa gila liat kelakuannya. Tapi, dia manis juga kalau lagi nangis.”“Amara, aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suara Dhendy di ujung telepon terdengar berat, seperti menahan beban yang sudah lama dipikulnya. “Aku cuma ingin kamu tahu, aku nggak pernah berniat menyakitimu.”Amara duduk di sofa kecil di apartemennya, menatap jendela yang memperlihatkan langit Jakarta yang kelabu sore itu. Telepon genggamnya terasa dingin di tangan. Setelah pertemuan emosional dengan Rani di rumah sakit kemarin, Amara merasa jiwanya seperti terbelah. Rani, sahabatnya sejak SMA, telah mengaku menipu Dhendy lima tahun lalu, membuat Dhendy percaya bahwa anak yang dikandung Rani adalah darah dagingnya. Kini, Rani terbaring lemah di rumah sakit, melawan penyakit yang perlahan merenggut nyawanya. Amara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.“Dhend, aku juga nggak tahu harus bilang apa. Rani ceritain semuanya ke aku. Soal kebohongannya, soal anak itu… Aku cuma perlu tahu, kamu sekarang di posisi apa?”Di ujung sana, Dhendy terdiam sejenak. Amara bisa mendengar suara na
“Amara, tolong… dengar aku dulu,” suara Rani lemah, nyaris tersendat, dari balik selimut rumah sakit yang menutupi tubuhnya yang kurus. Ruangan berbau antiseptik, hanya ada suara monitor jantung yang berdetak pelan di samping ranjang.Amara berdiri kaku di dekat pintu kamar rawat inap. Tas kerjanya masih digenggam erat, seolah menjadi tameng dari gelombang emosi yang tiba-tiba menerpanya. Ia baru saja pulang dari kantor, masih mengenakan blazer navy dan rok pensil yang rapi, ketika mendapat pesan dari Lily bahwa Rani ingin bertemu. Amara hampir menolak, tapi ada sesuatu dalam nada Lily yang membuatnya datang ke rumah sakit ini.“Dengar apa lagi, Rani? Setelah semua yang kamu lakukan?” Amara menatap wajah pucat Rani, yang dulu begitu cantik dan penuh pesona. Kini, wajah itu hanya menunjukkan kelelahan dan penyesalan. “Lima tahun lalu, kamu menghancurkan hidupku. Apa lagi yang mau kamu katakan?”Rani menarik napas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu aku salah. Aku nggak minta k
“Amara, kamu yakin mau resign? Adrian nggak akan senang dengar ini,” kata Lily, memandang Amara dengan alis terangkat, sambil menyandarkan tubuhnya di meja resepsionis kantor. Ruang lobi perusahaan yang megah dengan lantai marmer dan dinding kaca itu terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena suasana hati Amara yang sedang kacau.Amara menarik napas dalam, menatap map berisi surat pengunduran dirinya. “Aku nggak punya pilihan, Lil. Lima tahun di sini, aku cuma jadi bayang-bayang Adrian. Aku capek.” Suaranya pelan, tapi tegas.Lily mengangguk kecil, tapi matanya menyiratkan ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sebelum Amara berbalik menuju ruang rapat untuk mengumumkan keputusannya, Lily memegang lengannya. “Tunggu, Mar. Ada sesuatu yang harus kamu tahu… soal Rani.”Amara membeku. Nama Rani, sahabat yang dulu begitu dekat, kini terasa seperti luka yang baru disobek lagi. “Rani? Apa lagi? Aku nggak mau dengar apa-apa tentang dia, Lil. Dia sudah menghianatiku dengan Dhendy, dan sek
“Apa maksudmu, Mara? Kamu mau batalkan pernikahan sama Adrian?” Suara Sukoco parau, hampir tak terdengar, dari ranjang sederhana di kamarnya. Ia berbaring dengan tubuh lemah, satu sisi wajahnya sedikit merosot akibat stroke yang menyerangnya setahun lalu. Matanya yang redup menatap Amara, penuh kebingungan dan kekhawatiran.Amara duduk di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang kurus. Ruangan kecil di rumah sederhana mereka di pinggiran Jakarta terasa pengap, meski jendela terbuka lebar. Bau obat-obatan dan minyak kayu putih samar-samar tercium. Amara menarik napas dalam, berusaha menahan emosi yang bergolak di dadanya. “Iya, Yah. Aku nggak bisa lanjut. Adrian… dia nggak jujur sama aku.”Sukoco menggeleng pelan, gerakannya tersendat. “Mara, kamu tahu Adrian anak baik. Erna dan Atmaja sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Ceritain sama Ayah.”Amara menunduk, jari-jarinya meremas lembut tangan ayahnya. Ia teringat malam sebelumnya, ketika Lily, tema
Sejak Amara mengetahui masa lalu dan kebiasaan yang dilakukan oleh Adrian bersama mantannya, membuat insting Amara curiga ada Adrian yang dipikirnya tidak akan mudah melepaskan Tania. Terlebih Tania sedang hamil dan berada dalam tahanan. Sampai akhirnya Amara menemukan bukti atas kedekatan Adrian kembali dengan Tania.“Adrian, apa maksud semua ini?!” Amara berdiri di depan meja besar Adrian di ruang direktur, tangannya gemetar memegang selembar dokumen. Matanya merah, menahan air mata yang siap tumpah. “Kamu benar-benar menarik laporan polisi terhadap Tania? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Pada kita?”Adrian, yang duduk di kursi kulitnya, menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, tampak lelah. “Amara, dengar dulu. Aku tidak punya pilihan. Tania sedang hamil, keluarganya dalam masalah besar. Aku cuma ingin membantu.”“Bantu?!” Amara membanting dokumen itu ke meja. “Kamu memberi mereka apartemen, Adrian! Apartemen yang seharusnya jadi milik kita setelah menikah! Dan sekarang
Selama satu bulan sejak Adrian memberikan kekuasaan pada Amara atas keuangannya, membuat beberapa staf di kantor membicarakannya. Terlebih pada hari ini.“Selamat pagi, Pak!” ucap Melinda seorang personalia di perusahaan tersebut.“Pagi! Silakan duduk!” jawab Adrian.Melinda duduk di hadapan Adrian dan mulai berbicara. “Pak, hari ini saya ada rencana menggalang dana untuk anak dari Ibu Asih bagian operasional.”“Oh, yang kemarin kecelakaan itu? Akhirnya bagaimana dengan kondisi anak itu?” tanyanya.“Menyedihkan Pak, satu kakinya di amputasi. Jadi, saya mau minta persetujuan dan tanda tangan Bapak untuk minta sumbangan dari karyawan di sini,” ujar Melinda.Adrian mengambil kertas yang harus di tanda tangani dan menyerahkan kepada Melinda. Kemudian, Melinda memberanikan diri untuk meminta sumbangan pada sang bos.“Maaf Pak. Uhm, apa Bapak mau ikut menyumbang juga?”“Oh! Ya! Tunggu, aku hubungi Amara,” jawab Adrian.Sesaat kemudian, Adrian menghubungi Amara lewat ponselnya. “Sayang, aku