Share

Bab 2

Penulis: June
Ketika Jesika sadar lagi, dia sudah berada di rumah sakit.

Dia meraba perutnya yang rata, kesedihan menyerang di dalam hatinya. Anaknya benar-benar tiada.

Sepertinya, hubungannya dengan Ivan juga sudah saatnya berakhir.

Pintu kamar rawat rumah sakit didorong terbuka. Jesika menoleh ke samping.

Ivan masuk sambil menggandeng Jeani, jari mereka saling menggenggam erat.

Tatapan Jeani dingin, matanya agak berkaca-kaca dan menatap Jesika dengan marah. “Bu Jesika, aku sudah pergi, masalah ini nggak seharusnya melibatkan keluarga, kenapa kamu masih menyuruh orang mengancam orang tuaku? Kamu nggak bisa jaga suamimu sendiri, jadi sengaja menindas yang lemah?”

Menghadapi tuduhan tak berdasar, Jesika reflek melihat ke arah Ivan. Tatapan Ivan tertuju pada wajah Jeani, penuh kekaguman, seolah Jeani adalah harta yang sangat berharga.

Hati Jesika sakit sekali. Dulu, tatapan pria itu padanya juga seperti itu, lembut, memanjakan dan tak rela berpisah sedikit pun.

Ivan juga pernah memeluknya dan berkata, “Istriku yang paling hebat, wanita lain nggak sebanding dengan sehelai rambutmu sekalipun.”

Namun kini, sejak memasuki ruangan sampai sekarang, Ivan bahkan tidak memberinya lirikan sedikit pun.

Jesika tertawa mengejek dirinya sendiri. Dia mengabaikan Jeani dan bertanya pada Ivan, “Ivan, kok kamu nggak menyelamatkan anak kita?”

“Seharusnya kamu bertanya pada dirimu sendiri, kok bisa hamil?” ujar Ivan, aura kemarahan menyelimutinya.

“Dalam pernikahan ini, aku bahkan nggak punya hak untuk punya anak?” Meskipun sudah tahu jawabannya, Jesika tetap bertanya dengan putus asa.

Ivan mengangguk tanpa ragu sedikit pun, tubuhnya memancarkan terpancar aura otoriter dari seorang pemimpin yang tak bisa dibantah. “Benar.”

Jesika menundukkan kepala, air mata membanjiri matanya.

“Aku datang bukan untuk mendengar kalian membahas anak. Pak Ivan, kamu bilang akan memberiku penjelasan.” Jeani menatap Ivan dengan sedikit tidak puas. Di depan Ivan, dia selalu bersikap tidak takut akan kekuasaan dan memiliki pendirian.

Ivan menepuk punggungnya untuk menenangkan, lalu menatap Jesika dan berkata menyalahkan, “Jesika, kamu sudah mengusir Jeani dan mengancam orang tuanya, kamu harus minta maaf padanya.”

Bertemu dengan tatapan Ivan, hati Jesika terasa sesak dan reflek membela diri, “Aku nggak melakukannya, aku nggak akan minta maaf!”

“Masih mau ribut?”

“Aku benar-benar nggak melakukannya,” ujar Jesika sambil menggelengkan kepala.

Tatapan Ivan menajam, raut wajahnya menjadi muram. Dia melambaikan tangan ke arah pintu, memanggil pengawal masuk.

“Kamu mau minta maaf sendiri atau aku menyuruh pengawal membantumu?” Tatapan Ivan sangat dingin dan menakutkan.

Jantung Jesika terasa sakit, dia menatap Ivan dengan keras kepala. Dia bertaruh, bertaruh bahwa pria itu akan menepati janji untuk tidak menyakitinya.

“Kalian bantu dia,” perintah Ivan dengan datar. Seketika, Jesika merasa seolah jatuh ke dalam jurang es.

Dirinya kalah.

Jesika menerima nasibnya dan tidak melawan. Dia diseret turun dari ranjang oleh pengawal, kepalanya ditekan agar meminta maaf pada Jeani.

“Maaf.”

Usai bicara, dia menggigit bibirnya erat-erat, sampai merasakan rasa amis darah.

“Kamu menerima permintaan maafnya?” Ivan menajamkan sudut bibirnya dan melihat ke arah Jeani dalam pelukannya.

Jeani mengangguk, lalu dengan wajah tegas, dia berkata, “Pak Ivan, terima kasih atas kasih sayangmu, tapi hubungan kita sudah selesai. Orang tuaku nggak mengizinkanku menjadi selingkuhan dan aku nggak akan mengizinkan orang tuaku disakiti lagi.”

“Itu sangat mudah, nggak akan jadi selingkuhan.” Ivan menarik lengan Jeani, menekannya ke dalam pelukannya, lalu mengeluarkan ponselnya dan menelepon pengacaranya. “Siapkan surat cerai, berikan dua triliun untuk Jesika.”

Jantung Jesika terasa seperti diiris berulang kali. Dia menatap Ivan dengan tak percaya. Pria yang dulu bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk menikahinya, kini meminta cerai demi seorang selingkuhan.

Dengan sikap dominannya, Ivan mengangkat dagu Jeani. “Setelah aku cerai, kamu akan menjadi satu-satunya pacarku.”

“Kalau begitu, aku akan memberimu satu kesempatan lagi. Kalau kamu menyakitiku, aku akan langsung pergi.” Jeani memeluk Ivan. Di sudut yang tidak terlihat oleh pria itu, Jeani menyeringai penuh kemenangan ke arah Jesika.

Ivan pun tersenyum penuh kasih, menggandeng tangannya dan pergi, meninggalkan Jesika sendirian duduk di lantai.

Melihat kepergian mereka, Jesika tertawa, hingga air matanya membasahi wajahnya.

Tak lama kemudian, pengacara Ivan datang membawa surat cerai. “Bu Jesika, Pak Ivan memerintahkan kamu untuk menandatanganinya. Tapi, dia bilang semua ini hanya palsu. Setelah dia selesai bermain, dia akan kembali ke keluarga dan tetap akan menikahimu lagi, serta punya anak.”

“Ada dua triliun di kartu ini. Masih ada setengah bulan lagi menuju hari peringatan pernikahanmu. Setelah perayaan, Pak Ivan berharap kamu bia berpergian sebentar dengan uang ini, memberinya ruang pribadi. Tapi, Bu Jesika nggak perlu khawatir, setelah kamu kembali dari perjalanan, Pak Ivan akan menikah lagi denganmu.”

Jesika terbengong menatap surat cerai itu. Apakah Ivan berpikir dirinya benar-benar tidak bisa meninggalkan Ivan?

Ivan salah. Dulu, dirinya tak bisa meninggalkan Ivan karena masih mencintainya.

Namun sekarang, dirinya tidak ingin mencintai Ivan lagi.

Jesika menandatangani perjanjian cerai tanpa ragu sedikit pun, sekaligus menerima kartu dan tiket pesawat itu.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 22

    Ivan tidak menunjukkan emosinya, hatinya terasa kosong. Berdiri di puncak kekuasaan, tiba-tiba dia merasa muak dan bosan.Dia mengalihkan semua aset atas namanya pada Jesika, berharap dia bisa hidup tanpa kekhawatiran. Ivan memberikan sejumlah uang pada asistennya, membiarkan asistennya pensiun dini.Melihat semuanya yang begitu familiar, dia kembali teringat Jesika, teringat bekas luka di punggungnya, teringat keputusasaan dan sikap dinginnya.Ivan sadar, dirinya belum menerima hukuman.Dia melepas kemejanya, mengambil rotan dan mencambuk dirinya sendiri dengan keras. Setiap pukulan menggunakan kekuatan penuh, tak lama kemudian tubuhnya sudah berlumuran darah dan luka.“Pengemis kecilku, maafkan aku.”“Pengemis kecilku, aku mencintaimu.”Sambil menghukum dirinya sendiri, Ivan sambil meminta maaf pada Jesika.Dia tak bisa tinggal sehari pun di Purim tanpa Jesika.Dengan tubuh penuh luka, Ivan berangkat menelusuri kembali jalan yang pernah dia lalui bersama Jesika. Memunguti kembali ken

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 21

    Ivan sangat gembira dan bergegas naik.Ini adalah pertama kalinya dia masuk ke vila Jesika. Rumah itu tidak besar, tapi ditata dengan sangat hangat, memberinya perasaan hangat seperti pulang ke rumah.Tiba-tiba, Ivan berpikir tinggal di sini juga menyenangkan.Asistennya bilang dirinya tak bisa menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, dia akan membuktikan pada asistennya bahwa dirinya bisa.Asal bersama Jesika, kehidupan seperti apapun dia bersedia.Ekspresi wajahnya melembut. Keterpurukan di matanya perlahan menghilang. Dia mengikuti Jesika ke sebuah kamar.“Ivan, aku ingin adikku kembali,” ujar Jesika tiba-tiba, suaranya sangat tenang. Dia menunjuk ke kotak abu di atas meja.Wajah Ivan pun memucat.Kemudian, Jesika menunjuk ke sebuah kotak kecil di sampingnya dan berkata, “Aku mau anakku lahir dengan selamat.”Wajah Ivan semakin pucat.Jesika melepas jaketnya, memperlihatkan punggungnya yang penuh bekas luka, “Aku mau punggungku bersih seperti semula.”Wajah Ivan sudah tak berwarna

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 20

    “Pak Ivan, kamu…”“Jesika nggak mau kembali bersamaku,” ujar Ivan dengan sangat pelan, sangking pelannya nyaris tak terdengar.Asistennya bereaksi biasa saja. Seolah semuanya sudah dalam dugaannya. Dia tidak berbicara dan duduk diam di samping.Ivan menatapnya, mengerutkan kening dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan?”Asisten agak terkejut, ini pertama kalinya Ivan menanyakan pendapatnya. Dia segera berdiri dan berkata dengan sangat hormat, “Pak Ivan, apa yang akan kukatakan mungkin nggak menyenangkan untuk kamu dengar, tapi aku sudah mendampingimu selama delapan tahun, aku juga sudah melihat perjalananmu bersama Bu Jesika.”Asisten itu sengaja berhenti sebentar, diam-diam mengamati reaksi Ivan. Melihat Ivan tidak marah, dia pun melanjutkan, “Kalian pernah mencintai dengan sangat menggebu, melewati badai besar, tapi kalian nggak mau melewati kehidupan yang biasa-biasa saja. Bu Jesika sudah pergi dan dia nggak akan kembali lagi.”“Aku bisa membantumu membawanya kembali secara paksa d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 19

    Ivan berdiri di studio selama satu jam, barulah dia berbalik dan berjalan keluar.Batinnya terus berjuang dan ragu-ragu, apakah dirinya harus membawa Jesika pergi secara paksa.Jika sebelumnya, dirinya pasti akan memilih untuk membawanya kembali secara paksa. Asalkan wanita itu berada di sisinya.Namun sekarang, ada sedikit harapan dalam dirinya. Dia ingin Jesika kembali ke sisinya karena cinta, seperti dulu. Dia ingin membahagiakan Jesika.Dua pemikiran di benaknya terus berdebat, menyebabkan telinganya berdengung.Ivan mencari sebuah bar, memesan satu meja penuh minuman keras dan menenggaknya gelas demi gelas.Minuman keras yang melewati tenggorokan, tetap tidak mampu melarutkan keterpurukan dalam hatinya.Semakin banyak dia minum hatinya semakin sakit. Ivan bersandar di sandaran sofa, tertawa dan matanya berkaca-kaca.Bagaimana dirinya bisa membuat semuanya menjadi seperti ini…Padahal mereka sangat saling mencintai. Padahal Jesika tidak ingin meninggalkannya selangkahpun. Menagap d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 18

    Jesika melangkah keluar dari balik Jave dan bertatapan dengan Ivan.Tiba-tiba, hati Ivan terasa sakit. Tatapan wanita itu dipenuhi ketakutan dan sedikit rasa jijik, dirinya tak bisa menemukan sedikit pun rasa cinta lagi.Sebuah pikiran mengerikan muncul, pengemis kecilnya sudah tidak mencintainya.Tidak, tidak mungkin.Dia hanya marah.Ivan jarang menurunkan gengsinya dan sikapnya melunak. “Ayo kita bicara sebentar, ada beberapa hal yang bisa aku jelaskan.”Jesika melirik Jave, Jave pun mengerti maksudnya dan membawa Yuna keluar.“Aku di luar, panggil saja kalau ada apa-apa.”Jesika mengangguk dengan penuh terima kasih.Wajah Ivan tampak muram, tidak suka melihat Jesika begitu akrab dengan pria lain.Di dalam ruangan, hanya tersisa Jesika dan Ivan.“Pak Ivan mau bicarakan apa?” Sikap Jesika terasa berjarak.Ivan hanya merasa dadanya sesak. “Jangan panggil aku begitu. Aku salah atas apa yang terjadi sebelumnya. Aku sudah tahu perbuatan Jeani padamu dan aku juga sudah membalaskannya untu

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 17

    Di kota kecil Jeman.Jesika sudah berada di sini selama tiga bulan. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan di sini dan perlahan-lahan mulai akrab dengan tetangga di sekitarnya.Jave yang menyapanya hari itu juga berasal dari negara yang sama. Dia datang ke sini mengikuti ibunya yang menikah lagi. Dia punya satu adik blasteran yang bernama Yuna.Yuna baru berusia sepuluh tahun, kulitnya putih dan punya dua lesung pipi kecil yang menggemaskan saat tersenyum.Yuna sangat suka biola. Setiap kali mendengarkan Jesika bermain, wajahnya tampak terpesona.Jesika mulai mengajarinya bermain biola, sementara Jave memanfaatkan waktu ini untuk menemani mereka setiap hari.Tatapan Jave pada Jesika semakin hari semakin rumit. Terkadang Jave sampai terbengong melihatnya.Setiap kali Jesika menyadarinya, Jave akan menggaruk kepalanya karena malu dan mencari alasan untuk pergi.Jave dan Ivan adalah tipe orang yang sangat berbeda. Jave sangat ceria, seperti sinar matahari yang hangat dan membuat orang nyaman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status