Share

Selamat Jalan, Mantan Suamiku
Selamat Jalan, Mantan Suamiku
Penulis: June

Bab 1

Penulis: June
Ivan, sang pewaris konglomerat Purim yang obsesif dan gila itu, justru mencintai habis-habisan Jesika — perempuan tanpa kekuasaan maupun status, bahkan seorang pengemis tak berdaya yang dulu ia pungut dari jalanan. Dari usia lima belas sampai dua puluh lima tahun, Ivan sangat memanjakannya, memberikan seluruh kasih sayang dan kelembutannya hanya untuknya.

Jesika Suka bermain biola, Ivan rela mengesampingkan semua pekerjaannya untuk menemaninya belajar musik di luar negeri, bahkan saat sahamnya merugi belasan triliun, Ivan pun tidak peduli sedikitpun.

Untuk menunjukkan cintanya, Ivan memberikan hadiah mewah bertruk-truk ke hadapan Jesika. Bahkan melakukan siaran langsung selama 999 hari berturut-turut untuk melamar dan mengungkapkan cinta padanya.

Demi menikahinya, Ivan rela dihukum keluarga selama tiga hari, hanya agar bisa melanggar tradisi perjodohan keluarga kaya dan memberinya sebuah pernikahan yang semegah mimpi, menjadikannya seorang putri yang membuat semua orang iri.

Namun, Ivan yang sangat mencintainya ini, kini demi seorang kekasih yang baru dikenalnya selama setengah tahun, membiarkan Jesika berlutut di tengah salju hanya dengan mengenakan baju tidur tipis.

Semua itu hanya karena Ivan mengira Jesika memaksa wanita itu memblokir kontaknya, sehingga si kekasihnya itu bersembunyi.

“Sayang, jawab aku, apa yang kamu katakan pada Jeani?” Ivan duduk di depan Jesika, menatapnya dengan acuh tak acuh sambil memegang gelas alkohol.

Tatapan matanya bahkan lebih dingin dari badai salju, tapi nada suaranya sangat lembut. Seolah dia hanya bertanya apakah pemandangan saljunya indah atau tidak.

Tubuh Jesika mati rasa karena kedinginan. Dia membuka mulut, bibirnya gemetaran, “Ivan, aku nggak bertemu Jeani.”

Ivan menatapnya, lalu agak menajamkan sudut bibirnya. “Sayang, kamu semakin nggak patuh.”

Ivan menggerakkan jarinya dan seorang pengawal membungkuk menyodorkan ponsel, lalu dia pun mulai memutar sebuah video.

Di video itu, respirator adik Jesika yang sedang sakit parah telah dicabut. Wajahnya memucat karena kekurangan oksigen dan seluruh tubuhnya terus kejang-kejang.

“Ivan, dia keluargaku satu-satunya, jangan sakiti dia.” Jesika langsung menangis dan memeluk kaki Ivan.

“Percayalah padaku, aku benar-benar nggak bilang apa-apa. Aku nggak tahu dia pergi ke mana.”

Ivan mencondongkan tubuh ke depan, mengusap air matanya. “Aku ingat pernah bilang padamu, Jeani juga sangat penting bagiku.”

“Sayang, kamu masih punya lima puluh detik lagi. Dalam kondisi kekurangan oksigen, adikmu hanya bisa bertahan dua menit.” Ivan menegakkan tubuhnya, mengetuk layar dengan satu layar, seolah mulai kehilangan kesabaran.

Tubuh Jesika gemetaran hebat, dadanya terasa seperti dihantam sesuatu yang berat.

Dia memang pernah mengatakan Jeani penting, tapi Jesika selalu enggan memercayainya, karena pria itu pernah sangat mencintainya.

Saat ini, tiba-tiba Jesika merasa dirinya sangat konyol. Dia benar-benar mengira dirinya tidak tergantikan bagi pria itu.

Sebenarnya, Jesika hanya bertemu Jeani sekali saja. Saat itu di acara lelang dan Jeani adalah seorang petugas di sana.

Saat itu, Jeani menahannya dalam perjalanan ke ruang tunggu. Dia mengangkat dagunya dan menyuruh Jesika menjaga suaminya baik-baik, “Bu Jesika, sudah kubilang aku nggak menyukainya. Suamimu benar-benar sudah mengganggu hidupku.”

Saat itulah, Jesika baru menyadari bahwa kucing kecil yang selalu dibilang menarik oleh Ivan adalah… Jeani.

Jeani menderita ambliopia di mata kiri sejak lahir dan punya bakat seni yang luar biasa. Dia menjadi viral di internet sebagai seorang pelukis jenius yang cacat, tapi tetap tegar.

Namun, Jeani tidak melakukan siaran langsung untuk jualan, melainkan memilih bekerja paruh waktu seperti orang biasa, berkeliling di berbagai jamuan sebagai pelayan.

Dia angkuh, percaya diri, ceria dan langsung menarik perhatian Ivan yang saat itu menjadi investor.

Semakin Jeani menolak, semakin Ivan menyukainya. Ivan mengejarnya hingga menjadi buah bibir, diketahui semua orang di seluruh kota.

Hari itu, Jesika langsung menanyakannya dan Ivan pun tidak menyangkal. Pria itu hanya memeluknya dan berkata dengan santai, “Ini hanya sebuah permainan, semua sahabatku juga pernah melakukannya. Aku hanya ingin tahu berapa banyak uang yang bisa membuatnya tergerak. Tenang saja, sayang. Aku hanya bermain-main dengannya. Hanya kamulah yang paling kucintai selamanya.”

Jesika masih bertanya padanya. “Bagaimana kalau aku nggak terima?”

Pria itu mengusap rambutnya dengan lembut dan menatap wajah Jesika yang pucat dengan tatapan penuh kelembutannya. “Sayang, kalau kamu patuh, kamu akan menjadi istriku selamanya.”

Jesika terdiam. Dia tahu betul bahwa dirinya tak punya hak untuk menolak.

Dia hanya bisa menunggu Ivan menyerah, tapi yang datang justru kabar bahwa mereka berdua sudah resmi menjalin hubungan.

Jeani tidak meminta uang sepeser pun darinya. Ia bersedia membalas pendekatan Ivan, namun dengan satu syarat: mereka harus berkencan seperti pasangan biasa.

Ivan pun menyetujuinya dengan senang hati. Ivan menemaninya siaran langsung melukis, menemaninya mengunjungi pameran seni, menemaninya ke taman hiburan, menemaninya makan di warung pinggir jalan dan makanan cepat saji…

Ivan juga membawanya ke berbagai acara, selalu menempel bersamanya dan memamerkan kemesraan mereka di media sosial seperti pria biasa.

Setiap kali melihatnya, hati Jesika terasa teriris. Dia pernah menangis, bertengkar dengan Ivan dan meminta cerai.

Namun, pria itu tidak pernah menganggap serius, hanya berkata dengan acuh tak acuh, “Sayang, aku suka istri yang penurut, jangan ribut lagi, ya.”

Jesika memaksakan dirinya untuk tenang, memaksa dirinya untuk memercayai kata-kata Ivan, berharap Ivan akan segera bosan dan kembali ke rumah.

Namun sekarang, Jeani tiba-tiba memblokir kontaknya, setelah sebelumnya dikabarkan pernah bertemu dengan Jesika.

Jesika tahu betul bahwa ini adalah trik licik Jeani, dirinya tak bisa menjelaskan dan Ivan pun tidak akan percaya.

“Sayang, masih nggak mau bilang? Waktu adikmu nggak banyak lagi, 10, 9, 8…” Ivan membungkuk, mendekati Jesika. Napas Ivan yang hangat berhembus di telinganya, tapi justru membuat Jesika merasa sangat dingin.

“Aku bilang… aku bilang…” ujar Jesika yang tiba-tiba tersentak. Rasa sakit yang merobek di dalam hatinya terasa mencekik tenggorokan dan untuk pertama kalinya dia berbohong pada Ivan, “Aku menyuruh dia meninggalkanmu, jangan mengganggumu lagi…”

Jesika benar-benar hancur, air mata memburamkan pandangannya. Lengan yang memeluk Ivan perlahan mengendur, hingga akhirnya terkulai tak berdaya.

Melihat kondisinya yang rapuh, Ivan menyentuh pipinya yang dingin untuk menenangkannya. “Sayang, lain kali jangan bertindak sesuka hati, lebih pertimbangkan adikmu.”

Ekspresi Jesika menjadi kaku dan mengangguk. Sesuatu di dalam hatinya terasa hancur dan rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya.

Tubuhnya terasa limbung, gelombang pusing menyerang dan dia terhuyung jatuh ke lantai. Saat terjatuh, dia merasakan sesuatu yang hangat mengalir di antara kedua kakinya…

Tiba-tiba, anak buah Ivan bergegas masuk dan melaporkan bahwa mereka telah menemukan Jeani. Jeani sedang mengajar sekelompok anak penyandang disabilitas melukis.

Anak buahnya melirik Jesika, lalu melanjutkan bahwa Jesika meminta Jeani untuk tidak bertemu dengan Ivan lagi, jadi menyuruh Ivan untuk tidak mencarinya.

Wajah Ivan langsung berseri-seri, mengabaikan kalimat terakhir. Dia segera mengatur agar Jeani menjadi topik viral, memuji dia sebagai sosok yang cantik dan berhati mulia.

Mengenai Jesika yang tergeletak di lantai, Ivan bahkan tidak meliriknya.

“Ivan, perutku sakit…” Di tengah rasa sakit yang tak tertahankan, Jesika mengulurkan tangan ke punggung Ivan, tapi dia malah melihat pria itu semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya.

Setelah masuk ke mobil, Ivan hanya menelepon kepala pelayan, memerintahkan untuk mengurung Jesika di kamar meditasi sebagai hukuman.

Kepala pelayan melihat Jesika yang tergeletak di salju, dengan genangan darah merah tua di bawahnya, dia pun segera menjawab, “Sepertinya Bu Jesika keguguran, dia pendarahan hebat…”

Wajah Ivan langsung memuram dan berkata dengan dingin, “Dia hamil? Dia semakin nakal, anak ini nggak seharusnya ada.”

Kepala pelayan menghela napas panjang, tidak berani melanggar perintah Ivan dan mengangkat Jesika ke kamar meditasi.

Jesika terbangun karena rasa sakit yang menusuk. Perih di perutnya seperti merobek sarafnya. Dia merasakan dengan jelas bahwa kehidupan kecil itu menghilang perlahan.

Dia merangkak ke pintu, menggedor dengan kuat, berteriak sekuat tenaga, “Keluarkan aku! Bawa aku ke rumah sakit! Selamatkan anakku…”

“Ivan, tolong anak kita!”

“Tolong!”

Setelah lama kemudian, hanya suara kepala pelayan yang terdengar dari luar pintu, “Bu Jesika, tanpa perintah Pak Ivan, nggak ada yang berani membawamu ke rumah sakit. Lebih baik kamu turuti saja perintahnya dan merenung di kamar meditasi.”

Jesika seperti kehabisan kekuatan dalam sekejap. Teringat betapa teganya Ivan saat pergi, dirinya pun langsung terjatuh terpuruk ke lantai.

Dia hanya ingin punya anak, anak milik mereka berdua.

Karena Ivan tidak ingin punya anak, dirinya tidak punya hak untuk hamil.

Sekarang, demi kekasihnya, Ivan bahkan tidak memedulikan hidup dan matinya, serta mengurungnya saat hamil…

Jesika memegangi perutnya, ingin menangis tapi tidak ada air mata yang keluar. Rasa sakit membuatnya hampir kehabisan napas.

Rasa perih terus menyerang, kesadarannya memudar.

Tepat sebelum pingsan, dia bergumam, “Ivan, bayi kita sudah tiada… aku juga tidak menginginkanmu lagi…”
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 22

    Ivan tidak menunjukkan emosinya, hatinya terasa kosong. Berdiri di puncak kekuasaan, tiba-tiba dia merasa muak dan bosan.Dia mengalihkan semua aset atas namanya pada Jesika, berharap dia bisa hidup tanpa kekhawatiran. Ivan memberikan sejumlah uang pada asistennya, membiarkan asistennya pensiun dini.Melihat semuanya yang begitu familiar, dia kembali teringat Jesika, teringat bekas luka di punggungnya, teringat keputusasaan dan sikap dinginnya.Ivan sadar, dirinya belum menerima hukuman.Dia melepas kemejanya, mengambil rotan dan mencambuk dirinya sendiri dengan keras. Setiap pukulan menggunakan kekuatan penuh, tak lama kemudian tubuhnya sudah berlumuran darah dan luka.“Pengemis kecilku, maafkan aku.”“Pengemis kecilku, aku mencintaimu.”Sambil menghukum dirinya sendiri, Ivan sambil meminta maaf pada Jesika.Dia tak bisa tinggal sehari pun di Purim tanpa Jesika.Dengan tubuh penuh luka, Ivan berangkat menelusuri kembali jalan yang pernah dia lalui bersama Jesika. Memunguti kembali ken

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 21

    Ivan sangat gembira dan bergegas naik.Ini adalah pertama kalinya dia masuk ke vila Jesika. Rumah itu tidak besar, tapi ditata dengan sangat hangat, memberinya perasaan hangat seperti pulang ke rumah.Tiba-tiba, Ivan berpikir tinggal di sini juga menyenangkan.Asistennya bilang dirinya tak bisa menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja, dia akan membuktikan pada asistennya bahwa dirinya bisa.Asal bersama Jesika, kehidupan seperti apapun dia bersedia.Ekspresi wajahnya melembut. Keterpurukan di matanya perlahan menghilang. Dia mengikuti Jesika ke sebuah kamar.“Ivan, aku ingin adikku kembali,” ujar Jesika tiba-tiba, suaranya sangat tenang. Dia menunjuk ke kotak abu di atas meja.Wajah Ivan pun memucat.Kemudian, Jesika menunjuk ke sebuah kotak kecil di sampingnya dan berkata, “Aku mau anakku lahir dengan selamat.”Wajah Ivan semakin pucat.Jesika melepas jaketnya, memperlihatkan punggungnya yang penuh bekas luka, “Aku mau punggungku bersih seperti semula.”Wajah Ivan sudah tak berwarna

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 20

    “Pak Ivan, kamu…”“Jesika nggak mau kembali bersamaku,” ujar Ivan dengan sangat pelan, sangking pelannya nyaris tak terdengar.Asistennya bereaksi biasa saja. Seolah semuanya sudah dalam dugaannya. Dia tidak berbicara dan duduk diam di samping.Ivan menatapnya, mengerutkan kening dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan?”Asisten agak terkejut, ini pertama kalinya Ivan menanyakan pendapatnya. Dia segera berdiri dan berkata dengan sangat hormat, “Pak Ivan, apa yang akan kukatakan mungkin nggak menyenangkan untuk kamu dengar, tapi aku sudah mendampingimu selama delapan tahun, aku juga sudah melihat perjalananmu bersama Bu Jesika.”Asisten itu sengaja berhenti sebentar, diam-diam mengamati reaksi Ivan. Melihat Ivan tidak marah, dia pun melanjutkan, “Kalian pernah mencintai dengan sangat menggebu, melewati badai besar, tapi kalian nggak mau melewati kehidupan yang biasa-biasa saja. Bu Jesika sudah pergi dan dia nggak akan kembali lagi.”“Aku bisa membantumu membawanya kembali secara paksa d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 19

    Ivan berdiri di studio selama satu jam, barulah dia berbalik dan berjalan keluar.Batinnya terus berjuang dan ragu-ragu, apakah dirinya harus membawa Jesika pergi secara paksa.Jika sebelumnya, dirinya pasti akan memilih untuk membawanya kembali secara paksa. Asalkan wanita itu berada di sisinya.Namun sekarang, ada sedikit harapan dalam dirinya. Dia ingin Jesika kembali ke sisinya karena cinta, seperti dulu. Dia ingin membahagiakan Jesika.Dua pemikiran di benaknya terus berdebat, menyebabkan telinganya berdengung.Ivan mencari sebuah bar, memesan satu meja penuh minuman keras dan menenggaknya gelas demi gelas.Minuman keras yang melewati tenggorokan, tetap tidak mampu melarutkan keterpurukan dalam hatinya.Semakin banyak dia minum hatinya semakin sakit. Ivan bersandar di sandaran sofa, tertawa dan matanya berkaca-kaca.Bagaimana dirinya bisa membuat semuanya menjadi seperti ini…Padahal mereka sangat saling mencintai. Padahal Jesika tidak ingin meninggalkannya selangkahpun. Menagap d

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 18

    Jesika melangkah keluar dari balik Jave dan bertatapan dengan Ivan.Tiba-tiba, hati Ivan terasa sakit. Tatapan wanita itu dipenuhi ketakutan dan sedikit rasa jijik, dirinya tak bisa menemukan sedikit pun rasa cinta lagi.Sebuah pikiran mengerikan muncul, pengemis kecilnya sudah tidak mencintainya.Tidak, tidak mungkin.Dia hanya marah.Ivan jarang menurunkan gengsinya dan sikapnya melunak. “Ayo kita bicara sebentar, ada beberapa hal yang bisa aku jelaskan.”Jesika melirik Jave, Jave pun mengerti maksudnya dan membawa Yuna keluar.“Aku di luar, panggil saja kalau ada apa-apa.”Jesika mengangguk dengan penuh terima kasih.Wajah Ivan tampak muram, tidak suka melihat Jesika begitu akrab dengan pria lain.Di dalam ruangan, hanya tersisa Jesika dan Ivan.“Pak Ivan mau bicarakan apa?” Sikap Jesika terasa berjarak.Ivan hanya merasa dadanya sesak. “Jangan panggil aku begitu. Aku salah atas apa yang terjadi sebelumnya. Aku sudah tahu perbuatan Jeani padamu dan aku juga sudah membalaskannya untu

  • Selamat Jalan, Mantan Suamiku   Bab 17

    Di kota kecil Jeman.Jesika sudah berada di sini selama tiga bulan. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan di sini dan perlahan-lahan mulai akrab dengan tetangga di sekitarnya.Jave yang menyapanya hari itu juga berasal dari negara yang sama. Dia datang ke sini mengikuti ibunya yang menikah lagi. Dia punya satu adik blasteran yang bernama Yuna.Yuna baru berusia sepuluh tahun, kulitnya putih dan punya dua lesung pipi kecil yang menggemaskan saat tersenyum.Yuna sangat suka biola. Setiap kali mendengarkan Jesika bermain, wajahnya tampak terpesona.Jesika mulai mengajarinya bermain biola, sementara Jave memanfaatkan waktu ini untuk menemani mereka setiap hari.Tatapan Jave pada Jesika semakin hari semakin rumit. Terkadang Jave sampai terbengong melihatnya.Setiap kali Jesika menyadarinya, Jave akan menggaruk kepalanya karena malu dan mencari alasan untuk pergi.Jave dan Ivan adalah tipe orang yang sangat berbeda. Jave sangat ceria, seperti sinar matahari yang hangat dan membuat orang nyaman

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status