Gerimis malam ini menjadi saksi bagaimana Rio serta keluarga intinya datang dengan maksud mulia, yaitu meminang anak bungsunya Pak Jhon. Lelaki dengan perawakan jangkung yang sangat memsona itu menginjakkan kaki di teras dengan bungah.Saat sudah ada di dalam, Rio sangat ramah. Seri wajahnya jelas terlihat bahagia. Beberapa kali ia terlihat mencuri pandang kepada Dea yang sejak awal kedatangan keluarganya hanya menunduk lesu.Jangankan mau membalas tatapnya yang penuh akan kekaguman, bicara saja hampir tidak jika bukan karena ditanya duluan. Dari sudut mata Rio, Dea memang sangat penurut sekali pada Pak Jhon sang calon mertua, apa yang ia katakan angguk turut saja. Tapi jauh dari lubuk hati terdalamnya, kasihan juga memaksa anak orang untuk menikah dengannya.'Ternyata benar, masih ada gadis yang bisa menolak pesonaku. Kupikir, karena ketampananku, semua wanita bisa tunduk begitu mudah. Ternyata tidak dengannya. Apa mungkin dia begitu karena suka sesama jenis?' Rio tak jemu memandang
Demi apa pun, Dea ingin memuntahkan segala kecamuk pikiran kacaunya dengan kemarahan, dan ia telah melakukannya sekali, menamparkan sebilah tangannya dengan keras ke pipi Rio dengan kata umpatan kasar."Maaf, aku melakukannya juga untuk kebaikan kamu," ucap Rio penuh sesal di matanya. ia tak tahu Dea akan semarah ini karenanya.Semua telah terlanjur, tak mungkin Rio membatalkan kembali apa yang sudah lidah ucapkan. Dan tekadnya untuk membuat Dea sembuh dari yang namanya penyakit sesama jenis itu semakin kuat."Hah?! Nggak salah? Demi kebaikanku?! Yang ada itu buat kepuasan kamu aja sendiri karena berhasil bikin bapakku setuju! Dasar cowok gila! Kayak nggak ada cewek lain aja!" Dipukulinya dada Rio, masih sambil menangis tersedu.Pukulan dua tangan wanita sekuat apa memangnya? Rio sama sekali tak merasa sakit sama sekali walau Dea terlihat mengeluarkan sekuat tenaganya. Rio membiarkan Dea melakukan itu, dan dirinya hanya diam membisu beribu bahasa.Hingga akhirnya Dea berhenti sendiri,
Dea Posa masih tertawa di depan minimarket dengan sahabatnya, Nana. Sampai ketika Daffa tiba dengan motor maticnya, tawa lepas Dea langsung terhenti kontan.Tak lama Nana yang nyusul berhenti tertawa. Dia mengikuti pandangan Dea ke mana, dan hmm ... saat tahu siapa yang membuat tawa serta keceriaan Dea sirna, Nana langsung merangkul lengannya."Udah, mending sekarang masuk, yuk. Jangan nodai matamu dengan melihat kebucinan pasangan kecamatan itu. Nanti yang ada kamu beneran jadi gila. Lagian sekarang ada Rio yang siap bikin kamu insyaf."Dea menatap Nana dengan gemas. "Jangan bahas insyaf lagi, aku jadi mau ketawa."Sejujurnya berat melangkah meninggalkan pemandangan indah di depan sana, tapi ya sudahlah ... untuk kali ini Dea nyerah. Lagian pasti tak lama setelah itu akan muncul Nadewi, ia yang dianggap Dea si wanita kuyang gara-gara merebut pujaan hatinya lewat jalur camat.Dea berani bersumpah, gedek tingkat dewa kalau ingat bagaimana para pegawai kantor camat itu membeberkan tenta
Salep luka itu Dea gunakan setelah magrib. Saat itu Dea sudah selesai mandi."Sshhh ...." Ia meringis kesakitan karena terlalu dalam menekan permukaan wajahnya.Salep di tangannya itu merupakan benda pertama yang Daffa berikan tanpa Dea minta. Masalahnya Dea masih saja penasaran kenapa tiba-tiba si doi memberikannya? Bukankah dia benci padanya?Arrrgh! Ingin sekali Dea berteriak saking kesalnya tak dapat menemukan alasan itu.Tok Tok Tok!Kegilaan Dea buyar sekejap mata. Dia yang sedang sibuk mengoleskan salep itu kontan mengambil consealer dan mengoleskannya di wajah untuk menyamarkan warna hijau keunguan di pipi."Dea ...." Itu suara Pak Jhon.Hmh! Dea menatap pintu dengan sinis. Kalau ingat lagi dengan raut bahagia Pak Jhon malam kemarin, rasanya Dea masih saja dendam."Ada calon suami kamu datang. Keluar cepetan," suruhnya sambil mengetuk-ngetuk pintu. Uh, untung saja Dea kunci dari dalam, jadi siapa pun tak bisa masuk sembarangan."Calon suami kampret?" gumam Dea. Rio datang mala
Asli, malunya segede gaban. Dea sampai berbalik pergi sambil menutup muka dengan kedua tangannya.'Anjay, bisa-bisanya aku malah ngira mereka lagi ngemis ....' Dea berlari ke seberang sambil membatin. Untung saja dia tidak lupa lirik kanan dan kiri dahulu sebelum nyebrang.Sekali lagi menoleh, saat melihat pasangan lansia itu lagi, entah mengapa ada rasa empati yang amat dalam tak terkendali. Ada ras penasaran yang menjadi-jadi, jika keduanya bukan sedang mengemis, terus lagi apa? Pertanyaan itu menggondok dalam hati.Apalagi saat Dea melihat sepasang lansia itu saling peluk. Aih ... kasihannya Dea Posa.'Ditinggalin aja apa balik lagi, nih?' Dea membatin. Ragu, tapi dia ingin tahu lebih lagi tentang keduanya, mengapa mereka sangat terlihat sedih sekali. 'Atau jangan-jangan mereka baru aja dibuang anak cucunya?'Ih, amit-amit jabang bayi. Dea ngeri sendiri usai menebaknya. Tetapi itu bukan hal tak mungkin, kan? Zaman sekarang banyak anak dan cucu biadab yang menelantarkan orang tua ya
Tubuh itu hilang dalam sekejap dilahap gelap. Daffa yang merasa harus bicara dengannya segera bertindak. Ia meminta nenek dan abahnya masuk terlebih dahulu, karena ia harus mengejar Dea.Kaki pun berlari di jalanan becek."Dea, tunggu! Dea!"Dea mendengar namanya dipanggil, tapi entah karena apa ia jadi tak ingin ditemui untuk saat ini. Dea merasa tak siap menghadapi wajah laki-laki itu. Takut akan semakin dalam jatuh cinta padanya.Sembunyi adalah cara satu-satunya bagi Dea kini bertindak. Ada pos ronda tak jauh dari jalan raya besar, ia berbelok dan sembunyi di belakangnya. Sambil mati-matian menahan sesak di dada, juga rasa yang mau meledak segera. Perasaan muak yang sudah tumbuh dalam benak.Daffa lewat begitu saja tanpa menyadari Dea sembunyi di pos sana. Daffa mengejar, tapi tetap tak terkejar. Akhirnya ia kembali tanpa hasil, dan pulang ke rumah kontrakannya untuk mengurus nenek dan kakeknya.Barulah Dea keluar dari persembunyiannya untuk pergi. Dia memastikan Daffa hilang dulu
GLEGAAAAR!Guntur menyambar dengan ganasnya. Pohon pinang yang tumbuh di pekarangan rumah Pak Jhon tersambar. Dahsyat sekali suaranya sampai semua penghuni rumah terkaget-kaget, terutama Kak Maya. Untungnya kagey dia tak sampai membrojolkan anak.Jangan dulu, lah. Kan, belum waktunya lahir.Lampu mati lagi. Buset, dah Pak Jhon jadi marah-marah. Bukan apa-apa, dia sedang makan. Bikin sambat aja makan jadi tak tuntas gara-gara gelap gulita.Yang diambil bukannya sendok, malah pisau.Kena gigi untungnya, bukan kena bibir apalagi lidah. Ngeri sekali andai salah satu dari itu yang kena."Duh, sialan! Orang lagi makan malah gelap!" Kan, akhirnya Pak Jhon mengumpat kasar. Dia bangkit dari duduknya, kemudian meraba dinding. Niatnya mau cari senter atau HP. Ya, apalah pokoknya yang bisa ia gunakan untuk penerangan.Sayang banget semur jengkol bila ditinggal begitu saja. Padahal sangat menggugah selera, dan lagi pas perut sedang lapar-laparnya."Pak, Bapaaak!" Itu suara Kak Anita. Anak Pak Jhon
Kaki sudah berlari hingga badan jalan raya, masih saja tak tampak sosok Dea Posa. Melirik kanan dan kiri, tetapi yang terlihat hanyalah kendaraan lalu lalang, juga gerimis di tengah kebisingan. Yang akhirnya membuat Daffa sadar bahwa Dea sudah hilang."Mungkin aja dia sudah pergi."Daffa kembali, dan melihat kakek neneknya masih berdiri di depan kosan."Duh, Abah dan Nenek kenapa masih di luar? Bukannya masuk!" Daffa gemas bukan main. Dirinya gegas menari tangan keduanya dan membawa mereka masuk ke dalam rumah.Rumah kontrakan sempit, sih, tapi lumayan bisa dijadikan tempat berteduh yang cukup nyaman, apalagi Daffa ini sejenis manusia yang tak suka rumah berantakan. Makanya dia selalu rajin membersihkannya.Daffa buru-buru masuk ke dalam kamar, lalu memberikan handuk masing-masing pada mereka yang terlihat basah. Meski tidak basah kuyup.Keduanya menerima handuk itu dengan lemas. Masih tak sanggup bicara."Nenek cepetan ganti baju. Bajunya basah gitu. Mana tasnya?" Daffa berusaha menc