Salep luka itu Dea gunakan setelah magrib. Saat itu Dea sudah selesai mandi."Sshhh ...." Ia meringis kesakitan karena terlalu dalam menekan permukaan wajahnya.Salep di tangannya itu merupakan benda pertama yang Daffa berikan tanpa Dea minta. Masalahnya Dea masih saja penasaran kenapa tiba-tiba si doi memberikannya? Bukankah dia benci padanya?Arrrgh! Ingin sekali Dea berteriak saking kesalnya tak dapat menemukan alasan itu.Tok Tok Tok!Kegilaan Dea buyar sekejap mata. Dia yang sedang sibuk mengoleskan salep itu kontan mengambil consealer dan mengoleskannya di wajah untuk menyamarkan warna hijau keunguan di pipi."Dea ...." Itu suara Pak Jhon.Hmh! Dea menatap pintu dengan sinis. Kalau ingat lagi dengan raut bahagia Pak Jhon malam kemarin, rasanya Dea masih saja dendam."Ada calon suami kamu datang. Keluar cepetan," suruhnya sambil mengetuk-ngetuk pintu. Uh, untung saja Dea kunci dari dalam, jadi siapa pun tak bisa masuk sembarangan."Calon suami kampret?" gumam Dea. Rio datang mala
Asli, malunya segede gaban. Dea sampai berbalik pergi sambil menutup muka dengan kedua tangannya.'Anjay, bisa-bisanya aku malah ngira mereka lagi ngemis ....' Dea berlari ke seberang sambil membatin. Untung saja dia tidak lupa lirik kanan dan kiri dahulu sebelum nyebrang.Sekali lagi menoleh, saat melihat pasangan lansia itu lagi, entah mengapa ada rasa empati yang amat dalam tak terkendali. Ada ras penasaran yang menjadi-jadi, jika keduanya bukan sedang mengemis, terus lagi apa? Pertanyaan itu menggondok dalam hati.Apalagi saat Dea melihat sepasang lansia itu saling peluk. Aih ... kasihannya Dea Posa.'Ditinggalin aja apa balik lagi, nih?' Dea membatin. Ragu, tapi dia ingin tahu lebih lagi tentang keduanya, mengapa mereka sangat terlihat sedih sekali. 'Atau jangan-jangan mereka baru aja dibuang anak cucunya?'Ih, amit-amit jabang bayi. Dea ngeri sendiri usai menebaknya. Tetapi itu bukan hal tak mungkin, kan? Zaman sekarang banyak anak dan cucu biadab yang menelantarkan orang tua ya
Tubuh itu hilang dalam sekejap dilahap gelap. Daffa yang merasa harus bicara dengannya segera bertindak. Ia meminta nenek dan abahnya masuk terlebih dahulu, karena ia harus mengejar Dea.Kaki pun berlari di jalanan becek."Dea, tunggu! Dea!"Dea mendengar namanya dipanggil, tapi entah karena apa ia jadi tak ingin ditemui untuk saat ini. Dea merasa tak siap menghadapi wajah laki-laki itu. Takut akan semakin dalam jatuh cinta padanya.Sembunyi adalah cara satu-satunya bagi Dea kini bertindak. Ada pos ronda tak jauh dari jalan raya besar, ia berbelok dan sembunyi di belakangnya. Sambil mati-matian menahan sesak di dada, juga rasa yang mau meledak segera. Perasaan muak yang sudah tumbuh dalam benak.Daffa lewat begitu saja tanpa menyadari Dea sembunyi di pos sana. Daffa mengejar, tapi tetap tak terkejar. Akhirnya ia kembali tanpa hasil, dan pulang ke rumah kontrakannya untuk mengurus nenek dan kakeknya.Barulah Dea keluar dari persembunyiannya untuk pergi. Dia memastikan Daffa hilang dulu
GLEGAAAAR!Guntur menyambar dengan ganasnya. Pohon pinang yang tumbuh di pekarangan rumah Pak Jhon tersambar. Dahsyat sekali suaranya sampai semua penghuni rumah terkaget-kaget, terutama Kak Maya. Untungnya kagey dia tak sampai membrojolkan anak.Jangan dulu, lah. Kan, belum waktunya lahir.Lampu mati lagi. Buset, dah Pak Jhon jadi marah-marah. Bukan apa-apa, dia sedang makan. Bikin sambat aja makan jadi tak tuntas gara-gara gelap gulita.Yang diambil bukannya sendok, malah pisau.Kena gigi untungnya, bukan kena bibir apalagi lidah. Ngeri sekali andai salah satu dari itu yang kena."Duh, sialan! Orang lagi makan malah gelap!" Kan, akhirnya Pak Jhon mengumpat kasar. Dia bangkit dari duduknya, kemudian meraba dinding. Niatnya mau cari senter atau HP. Ya, apalah pokoknya yang bisa ia gunakan untuk penerangan.Sayang banget semur jengkol bila ditinggal begitu saja. Padahal sangat menggugah selera, dan lagi pas perut sedang lapar-laparnya."Pak, Bapaaak!" Itu suara Kak Anita. Anak Pak Jhon
Kaki sudah berlari hingga badan jalan raya, masih saja tak tampak sosok Dea Posa. Melirik kanan dan kiri, tetapi yang terlihat hanyalah kendaraan lalu lalang, juga gerimis di tengah kebisingan. Yang akhirnya membuat Daffa sadar bahwa Dea sudah hilang."Mungkin aja dia sudah pergi."Daffa kembali, dan melihat kakek neneknya masih berdiri di depan kosan."Duh, Abah dan Nenek kenapa masih di luar? Bukannya masuk!" Daffa gemas bukan main. Dirinya gegas menari tangan keduanya dan membawa mereka masuk ke dalam rumah.Rumah kontrakan sempit, sih, tapi lumayan bisa dijadikan tempat berteduh yang cukup nyaman, apalagi Daffa ini sejenis manusia yang tak suka rumah berantakan. Makanya dia selalu rajin membersihkannya.Daffa buru-buru masuk ke dalam kamar, lalu memberikan handuk masing-masing pada mereka yang terlihat basah. Meski tidak basah kuyup.Keduanya menerima handuk itu dengan lemas. Masih tak sanggup bicara."Nenek cepetan ganti baju. Bajunya basah gitu. Mana tasnya?" Daffa berusaha menc
Awalnya Daffa mencoba untuk cuek bebek tentang makanan yang seharusnya sudah ada di tangan Dea itu, tapi kenyataannya ia tak bisa secuek yang ia coba. Terbayang-bayang wajah neneknya yang berseri-seri kala membuatnya."Duh, nggak mungkin juga aku balik lagi ke sana. Tambah gencar saja orang nanti bergosip." Daffa bermonolog sendiri.Kini terasa pahitnya menjadi laki-laki yang digemari wanita, dan ia merespons mereka. Jadi timbul gosip di mana-mana bak air hujan yang tumpah-tumpah. Lubang semut saja sampai kebanjiran airnya.'Itulah kenapa aku paling benci berurusan dengan wanita. Cuma semua sudah terlanjur, bukan? Aih nasib, nasib ....'Ujungnya mengeluh pun terasa sia-sia.Daffa mengambil ponsel. Ceritanya mau menghubungi Dea Posa untuk mengatakan soal makanan yang lupa ia berikan. Sudah masuk ke menu chat.Tapi ...."Daffa." Seseorang membuyarkan niatnya. Daffa mendongak mendapati sosok Nadewi sedang berdiri menghadap meja kerjanya.Dia tersenyum manis, tapi sayang sekali kemanisann
Tak pernah Daffa sangka, untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, ia menunggu balasan pesan. Pesan dari siapa lagi jika bukan dari Dea. Berjam-jam sudah Daffa layangkan berpesan-pesan chat, tetapi gadis itu tak kunjung membalas. Sampai hati Daffa bertanya, apakah Dea sedang berusaha menjauhinya sejak gosip tak enak itu merebak macam bau bunga bangkai? Sial sekali memang, Daffa jadi kepikiran terus. Sore ini hujan kembali mau turun. Daffa baru saja pulang. Seperti bisa, dia yang paling akhir kalau soal pulang. Sering lemburnya. Dari kejauhan ia melihat Dea sudah mau naik ke motor Nana. Seketika, entah setan macam apa merasuki, dada Daffa bergemuruh bagaikan angin di tengah badai lautan. Tidak boleh terlewatkan lagi, dia harus datang kepadanya, mengatakan semua penyesalan dan tentang hal-hal yang menyakitinya. Dan tentu ... memberikan makanan yang neneknya buat khusus itu. Mumpung belum basi. Dinyalakannya motor, langsung melesat tancap gas. Beruntung jalanan sedang lenggang. Jika
Tak Dea sangka, Rio akan mengetahuinya karena ia ceroboh salah menyebut nama. Kini Dea dirundung banyak rasa bersalah, lelaki yang mungkin saja tulus padanya ini telah mengetahui faktanya jika ia wanita normal yang mencintai seorang pria, dan pria itu bukan diri Rio, melainkan Daffa. Gugup, takut, semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Dea memilih memalingkan muka dan berkata lagi, "Aku ingin tidur lagi, bisa tinggalkan aku sendiri?" Bukan tega, hanya saja Dea tak siap diberondong lagi oleh pertanyaannya. Tapi ada hal lain yang lebih menakutkan, yaitu tentang bapaknya. Dea sangat takut Rio melaporkan masalah ini kepada Pak Jhon yang galak dan tak ragu mengapungkan pecut ke udara. Meski sesungguhnya tak pernah sekalipun Dea rasakan pecutan itu di mana pun, di bagian tubuhnya. Seumur hidupnya, bahkan saat Pak Jhon ada di puncak kemarahannya. Mata Rio memanas, tangannya mengepal sekuat amarahnya yang kini bergejolak ria, meriak-riak bak debur ombak menghantam karang. Sangat menyak