Share

Sihir Pesona

Selena duduk di lantai kamar, tak peduli kalau dirinya adalah putri raja. Lucas yang melihatnya pun geleng-geleng kepala.

“Apa begini kelakuan putri kerajaan?” celetuk Lucas.

Selena menatap tajam Lucas. “Kenapa? Kalau kau tidak suka, kau boleh keluar dari kamarku. Biar aku yang urus ini sendiri.” Gadis itu fokus kembali pada pecahan berlian yang berhasil ia pukul dengan martil. “Dasar manusia merepotkan.”

“Apa katamu?” sulut Lucas tak terima. Ia lantas bangkit dari tempat duduk dan berjongkok di hadapan Selena. “Coba katakan sekali lagi.”

Selena mendongak, kedua pasang mata itu berserobok. “Dasar kau manusia merepotkan,” ucapnya tak gentar.

Lucas mendengkus. Ikut duduk di lantai dan bersandar di tepian ranjang kamar Selena. “Seharusnya aku tidak perlu membantumu kemarin.”

“Dan seharusnya kau tidak perlu ikut kemarin. Jadi aku tidak akan mengalami kesialan,” ketus Selena.

“Hei, lidahmu itu terlalu tajam. Tidak bisakah kau bicara seperti putri bangsawan lainnya?” Sungguh, Lucas benar-benar tak mengerti dengan perilaku Selena. Tidak bisakah dia normal barang sehari pun? Ah, sepertinya tidak. Selena terlalu bar-bar untuk menukan jalan taubatnya.

Selena mengembuskan napas, lantas menaikkan salah satu sudut bibirnya. Ia tersenyum miring seraya menatap Lucas. “Menjadi seperti mereka? Heh ... rasanya perutku langsung mual.” Selena bangkit, setelah berhasil mengantungi pecahan berlian itu. “Sekarang aku harus menjual berlian-berlian ini ke pasar,” ucapannya memang pelan, tetapi Lucas bisa mendengarnya.

“Kau bisa mengajakku,” kata Lucas tiba-tiba. “Jangan bilang kalau kau ingin keluar sendiri?”

“Tentu saja. Kenapa tidak? Kau hanya menjadi pembawa sial untukku.”

Ck! Sulit. Menghadapi Selena memang selalu sulit. Lucas sendiri tidak mengerti dengan ketidakberdayaannya menghadapi gadis di depannya ini.

“Aku akan tetap ikut. Biar bagaimana pun, aku adalah pengawalmu.”

“Tapi kau bukan pengawal Neere. Ingat?” 

Sial! Lagi-lagi ucapan Lucas dikembalikan. Lucas pun mengembuskan napasnya. “Kalau begitu, biar aku pergi sebagai rekan Neere. Bagaimana?”

“Aku lebih suka pergi sendiri.”

“Tolong jangan keras kepala.” Suara Lucas naik satu oktaf. “Kalau kau sampai dalam bahaya, siapa yang akan menolongmu? Kalau kau sampai mati, siapa yang ujung-ujungnya disalahkan. Jangan egois.”

Kening Selena mengerut dalam. “Egois? Ha ... bukannya itu kau―”

Lucas membungkam mulut Selena dengan tangannya. “Aku paling tidak suka mendengar penolakan.”

* * *

“Aku tidak percaya kau membangun tempat ini,” kata Lucas seraya memandangi gedung yang cukup besar dan jauh dari pusat pemerintahan. Bahkan ketika malam, tidak ada cahaya yang keluar dari tempat itu. 

Lingkungannya asri, tertutupi rimbunnya pepohonan. Meski demikian, tempat tersembunyi ini cukup aman. Sepertinya tidak ada binatang buas. Atau manusia-manusia iseng. Lucas berpendapat, Selena gadis yang cerdas, bahkan berani menentang kekuasaan ayahnya demi membantu orang-orang. 

Pikiran Lucas mengembara, sementara Selena sudah masuk tanpa menanggapi pertanyaannya. Hingga Lucas menyadari, ia berlari menyusul Selena.

“Sini biar aku yang bawakan.” Lucas coba meraih karung berisi bahan makanan untuk penghuni panti yang tadi Selena beli pasca menjual berlian ke pasar. Namun, Selena menolaknya dengan tegas.

“Tidak usah. Aku tidak selemah itu untuk membawa barang-barang ini.”

Lucas mendecak, membiarkan gadis yang keras kepala itu melakukan sesukanya. “Tunggu saja nanti kalau keberatan atau kelelahan. Aku tidak akan membantunya,” gumam Lucas yang tersapu angin malam. Kemudian mengekor di belakang Selena yang mulai masuk.

“Kak Neere ... akhirnya kau datang. Kami merindukanmu,” ucap anak laki-laki beberusia sekitar tujuh tahun dan berkulit agak gelap. Wajahnya tampak semringah begitu kedatangan Selena. Bukan hanya anak itu, tetapi anak-anak lain yang jumlahnya sekitar tiga puluh orang. Ditambah para orang tua paruh baya dan lansia.

Selena balas tersenyum, lantas mengacak puncak kepala anak itu. “Kakak juga merindukanmu. Di mana Lula?” Selena meletakkan karung yang di bawanya di meja tengah.

“Aku di sini.” Seorang wanita paruh baya keluar dari arah dapur, mengenakan celemek putih. Wanita itu menghambur pelukan pada Selena. “Astaga, rasanya baru beberapa lalu kau kemari, sekarang sepertinya sudah begitu lama.”

“Maaf, aku baru bisa kembali.” Pelukan keduanya terlepas.

“Tidak masalah. Aku tahu, jalanmu untuk kemari tidaklah mudah.” Pandangan wanita itu tertuju pada Lucas. “Eh, kau tidak datang sendiri?”

Selena mengembuskan napasnya. “Dia memaksa ikut.”

“Memang dia siapa?”

“Hanya mantan preman yang ingin menjadi bawahanku saja,” ucap Selena dengan santainya dan sukses membangkitkan kekesalan dalam diri Lucas.

“Mantan preman? Bawahan? Tidak, Lucas. Kau harus kooperatif,” batin Lucas menggerutu. Tanpa menunggu perintah Selena, Lucas tersenyum. Menjulurkan tangannya ke hadapan Lula. “Perkenalkan, aku Alvar.” Biar bagaimana pun Lucas tidak bisa memberikan namanya pada sembarang orang. Bisa-bisa, ketahuan kalau dia adalah pengawal kerajaan.

Untuk sejenak, Selena menatap Lucas yang juga menatapnya pasca berkenalan dengan Lula. Sampai, seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun menarik lengan gadis itu.

“Kak Neere, kau akan membacakan dongeng untuk kami, ‘kan?”

Selena mengulas senyum. Berjongkok dan mengusap lembut puncak kepalanya. “Tentu saja.” Ia bangkit lagi, mengedarkan pandangan ke anak-anak yang seperti memang menunggu kedatangannya. “Apa kalian siap untuk dongeng malam ini?” kata Selena penuh semangat.

“Siap, Kak.” Anak-anak itu menyahutinya serempak, membuat Selena tersenyum lebar.

Entah kenapa aura positif yang Selena tebarkan bisa membuat Lucas tak berkedip memandangnya. 

Ia hanya merasa kalau Selena yang seperti ini jauh lebih cantik. 

Tunggu, cantik? Lucas menggeleng pelan. Sejak kapan wanita yang hobi selengean sepertinya jadi cantik? Otaknya pasti sedang bermasalah karena bisa-bisanya memikirkan gadis menyebalkan itu.

“Tuan ....”

Lucas menoleh ke sumber suara. “Panggil saja aku Alvar. Kau lebih tua dariku, Nyonya.”

Lula tersenyum. “Silakan duduk. Biar kubuatkan teh herbal.”

Lucas menurut, duduk di bangku ruang tengah yang besar. Ruangan itu berisi meja-meja panjang dan banyak kursi. Asumsi Lucas cuma satu, ini ruang makan. Atau mungkin ruang berkumpul juga.

“Anak-anak itu sangat merindukan Neere.” Lula telah kembali, dengan cangkir teh yang mengepul. Lantas meletakkan teh itu ke hadapan Lucas. “Ini teh kesukaannya. Maaf, kami hanya punya ini.”

“Tidak apa.” Lucas memegangi pegangan cangkir. “Aku suka teh apa pun.” Ia menyeruput teh krisan itu. Rasanya segar. Sepertinya ini akan masuk list minuman kesukaannya juga. 

Senyum Lula terukir, memandang tempat Selena bercengkerama dengan anak-anak. “Semula panti kami ada di pusat kota. Namun, karena pembangunan jalan lintas perdagangan, tempat itu dihancurkan tanpa ada ganti rugi.”

Lucas diam menyimak.

“Sampai kami bertemu Neere, dan dia pun membangunkan tempat ini untuk orang-orang seperti kami. Beberapa pekan sekali, atau sebulan sekali, Neere akan datang membawa uang juga bahan makanan. Neere juga selalu mendongengkan anak-anak sebelum mereka tidur termasuk mengajari mereka baca tulis serta menggambar.”

Pandangan Lucas tertuju pada Selena yang masih mendongengkan anak-anak. Senyumnya mendadak terbit tanpa ia sadari. Selena rupanya punya sisi seperti ini.

“Dia orang yang baik. Sangat baik. Aku berdoa setiap hari, agara dia diberi umur panjang dan kehidupan yang bahagia suatu hari nanti.”

Hati Lucas tiba-tiba saja berdesir. “Dia memang orang yang baik.” Pemuda itu tersihir oleh senyum Selena bersama anak-anak. Untuk saat itu, hatinya seakan menghangat.

“Aku harap, kau bisa membantuku menjaganya. Karena sepertinya, kau selalu ada di dekatnya.”

Ucapan Lula membuat Lucas menatap wanita paruh baya itu. Matanya dipenuhi harap, seolah menuntut Lucas untuk mengiakannya. “Tanpa kau minta, aku memang akan selalu menjaga keselmatannya.”

Benar. Ini memang benar dan fakta. Dirinya adalah ksatria, pengawal Selena. Jadi, tentu saja akan melindungi gadis keras kepala itu tanpa diminta. Iya. Hanya itu.

“Aku tahu. Bahkan matamu seperti menyiratkan sesuatu yang lain. Apa ... kau menyukai Neere?”

Menyukai? Gadis seperti Selena? 

Lucas mengembuskan napasnya. Itu sama sekali tidak ada dalam daftar hidupnya. 

“Sepertinya kau salah paham, Nyonya. Aku hanyalah temannya,” balas Lucas, kemudian menyesap kembali teh dalam cangkirnya.

Lula justru terkekeh. “Justru karena kau temannya. Yang aku yakini, cinta itu bisa tumbuh karena intensitas kebersamaan. Jika sampai itu benar terjadi, apa kau akan menolaknya?”

Terjadi? Oh, tentu. Dirinya tidak akan membiarkan itu terjadi. Bagaimana mungkin ia mencintai putri musuhnya?

Lucas hanya memandangi Selena yang masih tertawa bersama anak-anak. Kebahagiaan yang tanpa ia sadari juga menyulut senyumnya.

* * *

Menjelang pagi, Lucas dan Selena sudah kembali ke istana. Tentu dengan jalur rahasia yang Selena buat. Tidak mungkin, ‘kan, mereka terang-terangan melewati penjaga? Bisa-bisa, besok tinggal nama.

Di dalam kamar yang temaram, Lucas berjalan mendekati pembaringan Selena di mana pemiliknya tengah terlelap.

Pemuda itu duduk di dekat Selena, memandangi wajah yang banyak dipuja. Wajah oriental dengan hidung bangir, bulu mata lentik, juga bibir tipis merah muda itu. 

Ah, sekarang, apakah dirinya juga bagian dari para pemuja itu? Kenapa belakangan ini ia jadi aneh? Apa benar, ia menyukai Selena seperti yang dikatakan Lula?

Lucas memejamkan matanya. Ia harus mengendalikan diri. Tujuannya kembali bukan untuk mengagumi maha karya di depannya. Namun, untuk membalas dendam dan merebut tahta kembali.

Diembuskannya napas itu secara perlahan. Ditatapnya lagi Selena yang tampat lelap dalam ketenangan. “Sihir apa yang kau tebarkan, Selena? Bisa-bisanya, wanita sepertimu membuatku seperti ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status