Share

Istri Sirius

“Kediaman Rhodes baru saja kecolongan. Neere berhasil membuka gerbang harta dan membawa sejumlah permata.”

Sirius masih tenang mendengarkan penjelasan abdi yang selalu menyertainya itu. Entahlah, ia hanya merasa tertarik dengan topik yang dibawakan Tristan. Neere. Juga penasaran siapa orang di balik nama itu. Meski hatinya juga bertanya, kenapa Neere tidak berniat mencuri di kerajaan?

“Oh, ya!” Suara antusias Tristan yang biasanya kaku menyadarkan lamunan Sirius. “Kata para pengawal yang menyergap Neere di kediaman Rhodes, Neere membawa seorang rekan.”

“Rekan?” Sirius mengernyit. Bukankah Neere itu independen? Kenapa tiba-tiba membawa rekan?

Tristan mengangguk. “Seorang pria. Begitu kata mereka. Hanya saja pria itu juga

Sirius diam sesaat. “Ak―”

Baru akan bicara ucapan Sirius terpotong kala seorang butler mengetuk pintu ruangannya. “Salam kepada Yang Mulia Agung Kerajaan Blazias.”

Sirius mengangguk. “Apa yang ingin kau sampaikan?”

“Hamba hanya ingin menyampaikan, kalau semua anggota sudah lengkap, dan rapat bisa dimulai,” ucap butler itu.

“Baiklah. Kau boleh pergi.” Pria paruh baya di hadapan Sirius itu pun menghilang di balik pintu. “Kita lanjutkan nanti.” Sirius mengambil langkah, berjalan menyusuri koridor-koridor istana. Tristan dan beberapa pelayang berjalan mengekori Sirius.

Kala kaki kokoh Sirius memijak bibir pintu, suara bising orang-orang yang berbicara dalam ruangan itu pun mendadak senyap. Orang-orang itu lantas berdiri dan memberikan hormat pada rajanya.

“Salam kepada Yang Mulia Agung Kerajaan Blazias,” ucap semua orang secara serentak.

Sementara Sirius, hanya lewat dan langsung duduk di kursi kebesarannya. Begitu duduk, dipandanginya satu per satu raut yang sudah tidak asing baginya. “Sudah sejauh mana persiapan festival?”

Salah seorang yang memakai kacamata, bertubuh cungkring bangkit dari duduknya, kemudian berdeham sesaat. Di tangannya terdapat selembar kertas. “Persiapan sudah seperdelapannya, Yang Mulia. Konsepnya tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Hanya saja, tahun ini kita adakan opera yang mengangkat sejarah berdirinya kerajaan Blazias.”

Kening Sirius mengekerut. “Opera?”

“Ya, Yang Mulia. Mereka adalah kelompok seniman berbakat dan dibayar mahal untuk menampilkan sejarah berdirinya kerajaan ini.”

Mahal? Entah kenapa Sirius ragu. Bukannya apa, tetapi banyak pejabat yang membesar-besarkan pengeluaran demi keuntungan pribadi. Licik!

“Apa kau bisa memastikan kalau orang-orang yang akan bermain di pentas opera bukanlah bagian dari Neere atau kelompok pemberontak itu?” Sirius hanya coba memantik, memastikan agar orang-orang yang hadir di pesta akan aman. Termasuk Selena. Putrinya adalah yang utama.

“Anda tenang saja, Yang Mulia. Semua sudah di atur.”

Suara Sebaste yang menginterupsi membuat Sirius mengepalkan kedua tangannya.

Sementara Sebaste menyeringai penuh arti. “Anda sudah tahu bagaimana saya dan bawahan saya bekerja. Jadi jangan khawatir. Untuk urusan ini, serahkan saja pada kami.”

Sirius mengeratkan rahangnya, emosi memenuhi diri. Sebaste, pria tua itu adalah pengendali Sirius. Untuk mencapai tahta ini, Sirius membuat kesepakatan dengan Sebaste. 

Kala itu, Sebaste bersedia membantu Sirius menyingkirkan raja terdahulu, dengan syarat Sirius menuruti perintahnya, juga menjadikan Sebaste sebagai penasihat raja. Yang sudah pasti, akan turut ikut campur dalam pengambilan keputusan kerajaan.

Sirius sangat keberatan, tetapi dendamnya mengalahkan ego dan menyetujuinya. Sejak saat itu, Sirius tidak lain hanyalah pion dan boneka yang menerima negatif-negatifnya dari pandangan rakyat dan bangsawan lain kalau ia adalah tiran.

Sementara Sebaste, hanya tinggal menjentikkan jemari maka Sirius harus menurutinya. Jika menolak, Selena akan tinggal nama. Sebagian besar orang di istana Sapphire adalah orang Sebaste. Kalau sudah menyangkut putrinya, Sirius tidak bisa berkutik. Bagai macan yang kehilangan cakar dan taringnya.

Entah, kini apa yang sedang direncanakan pria tua itu. Sirius selalu tidak bisa menebaknya.

“Sialan kau, Sebaste!” umpat Sirius dalam hatinya.

* * *

Sirius memejamkan matanya sesaat kala duduk di kursi ruangannya. Merasakan ketenangan yang menyergap malam yang sudah menggantung. Namun, baru beberapa saat, ketenangan itu kembali terusik.

Sirius membuka matanya, melihat pria tua yang sangat dibencinya itu masuk.

“Bagaimana kabarmu, Yang Mulia?”

Sirius menatap tajam pria di hadapannya itu. “Heh, tidak perlu basa-basi. Apa yang kau inginkan?” 

Benar. Sirius tidak suka basa-basi, terlebih sudah tahu tujuan Sebaste datang adalah untuk kepentingannya sendiri.

Sebaste pun mengulas senyum liciknya. “Kenapa kita tidak minum anggur dulu, Yang Mulia?”

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status