“Aku akan mengantarmu pulang.” Tawar Marcus ketika mereka baru keluar dari restoran.
Anna menggeleng dan menolak ajakan Marcus dengan sopan, “Tidak perlu tuan, aku akan naik taxi saja.”
Anna merasa tak enak hati jika harus diantar Marcus pulang. Selama makan, ia terus-terusan menenangkan dirinya dan mengingatkan diri jika Marcus adalah pria yang akan menikah.
Ia merasa bahwa Marcus terlalu sopan dan ramah padanya. Sikap pria itu benar-benar dapat membuatnya salah paham, dan ia tidak mau itu terjadi.
Namun berbanding terbalik dengan keinginan Anna, Marcus malah tidak menyerah dan semakin memaksa gadis itu untuk pulang bersamanya.
“Tolong jangan menolakku, Anna. Itu membuatku semakin merasa bersalah karena sudah memaksamu untuk menemaniku makan malam,” katanya dengan nada sedih.
Melihat ekspresi Marcus yang sendu membuat Anna mau tak mau menghela napas dan akhirnya mengangguk menyetujui ajakan pria itu.
Setelah menempelkan kartunya, pintu apartemen itu terbuka, dan anna mempersilahkan Marcus untuk masuk.“Duduklah, aku akan mengambilkan minuman.” Anna buru-buru meninggalkan Marcus di ruang tengah dan melangkahkan kakinya ke dapur untuk mengambil beberapa kaleng bir dingin milik Rosy yang selalu tersedia di kulkas minuman mereka.Sejujurnya Anna memang bukan pecandu alkohol, ia meminumnya hanya ketika acara-acara tertentu atau saat makan bersama orang lain. Jadi, alkohol yang tersedia di apartemen itu semuanya milik Rosy yang memang memiliki toleransi alkohol yang cukup tinggi. Tidak seperti dirinya yang mudah mabuk.Selama Anna ke dapur, Marcus duduk di sofa dan memperhatikan setiap dekorasi maupun struktur apartemen gadis itu.Tempat ini benar-benar mencerminkan seorang Anna Walkins. Elegan, sederhana, dan terasa nyaman. Tidak banyak dekorasi di ruangan tengah itu maupun ruang lainnya.Sangat berbeda dengan apartemen Lisa-kekasihnya-y
Anna melirik Marcus di sebelahnya sejenak, lalu mengambil jus yang ia ambil tadi dan meminumnya.Mereka berdua menikmati minumannya dalam diam dengan latar suara tv di depan mereka.Dalam hati Anna bertanya-tanya, mengapa Marcus terlihat tenang di sini? Bukankah ini sudah cukup larut untuk bertamu? Mengapa dia belum memutuskan untuk pulang?Sebenarnya Anna ingin mengingatkan pria itu, namun ia sedikit merasa segan untuk sekedar menanyakan kapan pria itu akan pulang.Marcus yang menyadari tatapan Anna padanya otomatis memutar pandangan menatap Anna, “Ada apa?” tanyanya dengan bingung.“Dari tadi kau memperhatikanku? Apa ada yang aneh di wajahku?” tanya Marcus sembari menyentuh wajahnya mencari hal aneh yang mungkin saja menempeli wajahnya.Anna langsung menggeleng dan menjelaskan, “bukan itu! Tidak ada yang aneh pada wajahmu,” jawabnya dengan gugup dan malu .“Lalu?” tanya Marcus kembali
Pagi harinya Anna terbangun dengan pikiran linglung, ia terbangun dengan seorang pria berbaring di sebelahnya. Mata pria itu tertutup, wajahnya yang tampan benar-benar menjadi pemandangan indah di pagi hari. Namun yang Anna rasakan bukanlah kebahagiaan, sebaliknya ia justru merasa kacau.Rasa bersalah benar-benar menghantam hati dan pikirannya.‘Mengapa aku harus bertemu denganmu ketika kau akan menikah? Jika bisa, aku ingin Tuhan lebih cepat mempertemukanku denganmu,’ batinnya lirih. Tangannya terulur hendak menyentuh wajah Marcus, namun terhenti ketika melihat kening pria itu berkerut seolah pria itu akan terbangun dari tidurnya.Anna buru-buru menjauhkan tubuhnya, berusaha memberi jarak pada tubuh Marcus.Untungnya semalam ia dan Marcus sempat mandi dan memakai pakaian terlebih dahulu sebelum tertidur, sehingga pagi ini ia tidak begitu malu melihat Marcus yang juga mengenakan pakaian.“Kau sudah bangun?” suara berat Marcu
Setelah kejadian itu, Anna benar-benar berusaha menghindari Marcus. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika bertemu dengan pria itu. Ada perasaan kecewa dan juga marah dalam hatinya terhadap perbuatan Marcus. Tidak seharusnya pria itu menggodanya lalu meninggalkannya begitu saja tanpa memberikan penjelasan apapun. Ia merasa menjadi wanita murahan yang merebut tunangan orang lain. Tapi, Anna berusaha menepis rasa bersalahnya terhadap Lisa. Lagipula jika ia mampu bersikap seolah itu bukan masalah, maka tidak akan ada yang terjadi ke depannya. Mereka bisa menganggap kejadian malam itu hanyalah kecelakaan karena Marcus yang mabuk. Benar, tidak ada untungnya jika Anna mencoba meminta Marcus untuk bertanggung jawab. “Kau melamun lagi,” Rosy memasuki ruangan Anna dan menegur temannya itu. Ia meletakkan beberapa file klien baru di meja Anna lalu duduk di kursi depan Anna. “Sebenarnya apa yang menggangu pikiranmu selama dua hari ini? Kau sel
Di tempat lain, Ernest sedang duduk di sofa memandangi ponselnya dengan kening berkerut. Lisa yang melihat tingkah aneh ernest pun mendatangi pri aitu dan sedikit mengintip layar ponsel Ernest sambil bertanya, “Apa yang sedang kau lihat? Dari semalam kau selalu memandangi ponselmu. Kau bahkan menolak bermain denganku,” keluhnya sambil duduk di sebelah Ernest dan memeluk lengannya dengan manja. Ernest buru-buru menyimpan ponselnya di saku dan dengan ekspresi datar menjawab, “Bukan apa-apa, aku hanya sedang menunggu kontrak dari agensi.” Ia melirik penampilan Lisa sejenak dan balik bertanya, “Apa kau sudah mau pergi?” tanyanya, lalu melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Lisa dan sedikit memberikan kecupan di pipi gadis itu. Lisa tersenyum setelah mendapatkan kecupan mesra dari Ernest, ia pun membalas kecupan di pipi pria itu sebelum beranjak dari sofa dan mengambil tasnya, “Ya, aku harus pergi sekarang.” Ernest pun ikut berdiri dan berjalan mengantar Lis
Esoknya pada pukul lima sore, sebuah mobil mewah Roll Royce Phantom berwarna hitam berhenti tepat di salah satu parkiran gedung tiga lantai AW Organizer milik Anna. Rosy yang kebetulan sedang berdiri di balkon ruangannya dapat melihat sosok Ernest yang turun dari mobil mewah tersebut. Dahinya berkerut dalam, ekspresinya terlihat tidak senang setelah melihat Ernest benar-benar mendatanginya hari ini. ‘Pria gila yang nekat,’ batinnya. Rosy menghela nafas sejenak berusaha meredakan rasa jengkelnya sebelum kembali memasuki ruangannya dan duduk di kursinya menunggu Ernest memasuki ruangannya. Dalam diam dia memikirkan berbagai kalimat yang akan dia katakan pada Ernest. Saat ini ia benar-benar masih tidak mengerti jalan pikiran pria playboy itu, ia juga sebenarnya tidak ingin benar-benar terlibat dalam hubungan rumit antara Ernest dan Lisa. Ugh, memikirkannya saja sudah membuat Rosy sakit kepala. ‘knock knock’ “Nona Woods, tuan Mars datang meminta pertemuan dengan Anda,” seorang gadis c
Seminggu berlalu tanpa kabar yang berarti dari Marcus. Pria itu benar-benar menjaga kata-katanya untuk tidak mengganggu Anna lagi di perdebatan terakhir mereka. Memang inilah yang terbaik, tapi entah mengapa hal ini justru mengganggu pikiran gadis itu dan membuatnya tidak bisa tenang dalam melakukan pekerjaannya. Tak jarang ada rasa rindu yang menggelitik hatinya terhadap pria itu. Namun, Anna harus sadar dan mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak menjadi wanita yang rendah. Benar, harga dirinya tidak mengizinkannya.Pagi itu Anna tiba di kantornya dengan wajah pucat dan lingkaran hitam di mata. Mengalami insomnia selama beberapa hari membuatnya menghabiskan waktu dengan bekerja terlalu keras hingga tubuh gadis itu mencapai batasnya. Rosy yang juga baru tiba di kantor refleks menahan tubuh Anna yang sedikit terhuyung ketika hendak memasuki lift. “Kau baik-baik saja? Astaga! Badanmu panas sekali, Anna!” Anna sedikit menyipitkan matanya yang terlihat tidak fokus menatap Rosy di seb
Anna menangis meluapkan seluruh emosinya yang tertahan selama ini seolah hanya dengan menangislah ia dapat menunjukkan perasaannya terhadap Marcus. Di lain sisi, Marcus dengan tenang memeluk gadis itu dalam diam dan memberikan tepukan lembut di punggungnya. Ia yakin Anna tidak membutuhkan kata-kata apapun saat ini selain pelukan lembutnya. Meskipun terkadang pikiran telur orak arik yang ia buat terbengkalai setengah matang di atas kompor membuat pikiran Marcus terganggu, tapi ia menahannya demi memberikan kenyamanan terhadap Anna. “Kau sudah lebih tenang?” tanyanya setelah merasakan Anna melepas pelukannya dengan tubuh yang tidak lagi bergetar karena menangis. Marcus mengambil tisu di atas meja dan mengelap sisa air mata Anna dengan lembut. Ia tertegun sejenak memperhatikan hidung, mata, dan bibir gadis itu yang memerah sehabis menangis. Tapi rona pucat dan lelah tidak mampu tertutupi oleh kecantikannya. “Rosy memberitahuku semuanya, kau benar-benar sudah mengabaikan kesehatanmu