“Apa semuanya baik-baik saja?”Hajoon menatap wajah Weni yang sejak pagi terlihat sangat pucat, seakan tengah terjadi sesuatu. Namun ia tak segera bertanya karena wanitanya itu tengah sibuk memasak dan mengurus Rena.Saat Weni sudah sedikit luang dan Rena tengah menonton acara kesukaannya, Hajoon baru bertanya dan itu pun dengan perlahan. Ia tak mau menambah beban pikiran Weni saat ini, atau terkesan ikut campur.“Tidak apa-apa,” jawab Weni dengan senyuman yang tak tulus dan Hajoon mengetahuinya.Hajoon memegang kedua tangan Weni, menatapnya lembut. “Kalau ada apa-apa katakan saja, aku akan siap mendengarkannya. Itu pun kalau kamu siap, kalau tidak juga tidak apa-apa.”Wanitanya terdiam, seakan tengah menimbang-nimbang untuk menceritakan padanya atau tidak. Hajoon sebagai pria hanya bisa tersenyum dan mencoba memberikan sebuah kepercayaan pada Weni.“Berjanjilah untuk tidak melakukan apa pun,” pinta Weni.Hajoon mengangguk untuk menyanggupi permintaan Weni padanya, meski ia sendiri ti
Weni menatap sekelilingnya, ia tak percaya tempat yang baru saja dilihatnya kini terlihat berbeda. Tempat yang tadinya hanya ada sebuah ayunan gantung kini berubah menjadi tempat perkemahan yang indah.Sebuah tenda berukuran besar ada di pinggiran halaman yang beralaskan rumput, ada api unggun yang sudah menyala di tengah-tengah bersama beberapa kursi dan meja kecil. Tidak hanya itu, semua makanan sudah lengkap mengiasi meja pinggiran halaman.Weni tak menyangka semua akan tertata seindah ini hanya dalam waktu sekejap, seakan hanya dengan menjentikkan jari semua berubah begitu saja bak di negeri sihir. Semua yang selama ini ia impikan kini terpampang di hadapannya hanya karena seorang Hajoon.“Maaf, semua kurang maksimal. Ini semua tidak ada di agenda aku, jadi aku hanya bisa memberikan yang sederhana.” Hajoon menatap Weni dengan penuh penyesalan. “Lain kali aku akan mempersiapkannya dengan baik lagi,” lanjutnya.Weni menatap Hajoon tak percaya, ia tak bisa membayangkan orang seperti
“Bagaimana kabar Anak dan Istrimu Haris?” Seorang pria bertanya setelah mereka saling menjabat tangan.Namun reaksi yang diberikan wanita di sebelahnya tampak tak senang, ia menatap tajam pria yang bertanya. Ia bahkan dengan sangat jelas menunjukkan ketidaksenangannya.“Kabar mereka baik-baik saja,” jawab Haris memberikan arahan untuk pria tersebut duduk di sofa ruangan.“Senang mendengarnya.” Pria itu tersenyum, tanpa menghiraukan wanita yang berada di samping Haris. “Bisa kita membicarakan kontrak ini hanya berdua?” pinta pria tersebut.Haris menatap wanita yang bukan lain adalah Aurel. Tentu saja Aurelia tak begitu saja menerima keinginan pria tersebut, ia tetap duduk di samping Haris.“Maaf, boleh kami tinggal sebentar.” Haris meminta izin pria tersebut dan membawa Aurel untuk keluar dari ruangan. “Sayang, kamu kenapa?” tanya Haris begitu mereka berada di luar ruangan.“Aku tidak suka pria itu, dia bukannya orang yang menjodohkanmu dengan Weni?” marah Aurel dengan suara lantang.“
Kedua insan yang tengah dimabuk cinta, kini saling bertatapan. Pikiran mereka seakan tidak ada di tempat, jauh menembus masa depan.Pernyataan Hajoon membuat dampak besar bagi Weni yang terbilang tengah resah akan kehidupan pernikahannya. Ia ingin menyanggupi apa yang menjadi permintaan pria asing itu, tapi bayangan Rena menghampirinya.Weni terbilang belum siap untuk menjadikan Rena korban dari keegoisannya. Ia juga tak sanggup membayangkan bagaimana menjelaskannya.Membayangkan Rena harus mengetahui hal yang tak seharusnya dia ketahui, membuat ia menatap pria yang tengah menanti jawabannya. Meski pria di hadapannya itu baik, tapi Weni belum yakin sepenuhnya.“Maaf.” Hanya satu kata itu yang bisa diucapkan Weni, terlihat Hajoon terkejut dengan ucapan Weni.“Sudah kuduga,” ucap Hajoon.“Hajoon ....”“Kalau kamu langsung menerimanya, bukankah itu gila?” Hajoon tersenyum. “Kamu yang masih punya Suami, bagaimana bisa dengan mudah menerima ajakan menikah pria lain. Aku sudah yakin kamu ak
“Sayang kamu masak apa?” tanya Hajoon memeluk wanitanya itu dari belakang, sementara Weni masih tetap fokus dengan masakannya.“Aku masak makanan yang mudah saja,” jawab Weni seadanya dan masih fokus dengan masakannya.Hajoon mendengus kesal, dengan gemas ia menggigit pundak Weni. “Ah, sakit. Kamu ngapain sih?” marah Weni, kesal dengan tingkah Hajoon yang seperti anak kecil sejak tadi pagi.Hajoon membalik tubuh Weni, ia menatap wanitanya itu dengan tajam. “Morning Kiss, sayang.” Ia segera mendekatkan wajah mereka, mengecup bibir yang seakan sudah menanti untuk disentuhnya.“Nanti Rena melihatnya,” tolak Weni saat Hajoon ingin kembali menciumnya.“Rena masih tertidur jadi kita ....”“Mamah,” panggil Rena dengan mengucak-ucak matanya. Terlihat gadis kecilnya baru saja terbangun, tentu panggilan Rena mampu membuatnya mendorong Hajoon begitu saja.Hajoon terkekeh dengan tingkah Weni, dengan segera ia mengambil alih Rena. Terlihat gadis kecil itu terkejut dengan apa yang dilakukan Hajoon,
“Setidaknya bercermin dahulu sebelum berangkat menemui seseorang.”Haris terkejut, ia segera pamit ke toilet untuk melihat apa yang di maksud dengan kliennya itu. Tak butuh waktu lama ia menemukan maksud dari pria bernama Hajoon itu.Ia merutuki perbuatannya sebelum berangkat menemui Hajoon, dirinya bahkan memaki Aurel dalam hatinya. Haris menganggap Aurel orang yang hampir saja membuat dirinya gagal dengan beberapa klien.Haris menyudahi kekesalannya, ia segera menutup bercak merah di lehernya itu dengan kerah bajunya karena itu satu-satunya yang bisa menutupinya. Setelah itu ia kembali dan menemukan Hajoon masih tenang menyeruput minumannya.“Maafkan atas kelalaian saya, Istri saya terkadang suka tidak sengaja.” Haris meminta maaf, ia kembali berbohong. “Lain kali saya akan hati-hati,” ucap Haris kembali.Sementara Hajoon yang mendengar itu, tak kuas menahan amarahnya. Ia memegang gagang cangkir dengan kencang, rasanya saat ini juga dirinya ingin memukul Haris.Istri mana yang dimak
Hari ini adalah hari terakhir kebersamaan Weni dengan Hajoon, setelah hari ini kehidupan sebenarnya seorang Weni akan kembali. Weni akan kembali ke rutinitasnya dan dunia tempatnya berada yang sesungguhnya.“Tidak terasa bukan kalau ini hari terakhir,” ucap Hajoon menatap wanitanya yang terlihat murung.“Kenapa kamu harus mengingatkannya lagi?” marah Weni, ia segera beranjak dari tempatnya dan ke dapur bersiap memasak untuk sarapan.Hajoon tersenyum karena melihat Weni tengah mengambek adalah hal tergemas untuknya. “Hari ini tidak usah masak, kita akan makan di luar. Lebih baik kita menghabiskan waktu berdua,” tutur Hajoon yang sudah memeluk wanitanya dari belakang.Ia menaruh kepalanya di pundak Weni, mencium setiap bagian kanan leher jenjang Weni. Mencoba menghirup lebih banyak aroma wanitanya, sebelum ia nantinya akan sulit untuk melakukannya.“Jangan lakukan itu, nanti Rena melihatnya.”Weni mencoba menjauhkan kepala Hajoon dari pundaknya. Jantungnya berdetak tak karuan, ia takut
“Ada apa denganmu?” tanya Hajoon yang melihat perubahan sikap Weni seharian ini. Padahal hari ini adalah hari terakhir, ia tak mau semua terlihat buruk. Bagaimana bisa ia pergi bila Weni diam saja seperti sekarang? Dirinya benar-benar dibuat frustrasi oleh wanita itu. “Katakan bila aku melakukan kesalahan, atau aku mengatakan sesuatu yang membuatmu tersinggung.” Hajoon menahan Weni yang akan kembali menemani Rena bermain. “Aku mohon,” pinta Hajoon dengan tatapan yang memelas. Tapi h itu tak digubris oleh Weni, wanita itu pergi begitu saja. Ia bahkan bisa tertawa bersama Rena, padahal Hajoon tengah pusing karenanya. “Om,” panggil Rena yang membuyarkan lamunan Hajoon. “Ada apa sayang?” tanya Rena, ia memangku Rena yang ternyata tengah seorang diri tanpa Weni. “Mamah sama Om bertengkar?” Rena menatap Hajoon, sementara Hajoon hanya bisa menggeleng. “Mamah suka coklat, Om kasih coklat ke Mamah. Rena yakin Mamah tidak marah lagi,” usul Rena tiba-tiba. Hajoon tersenyum dibuatnya, ia ti