“Dalam penelitian, peneliti harus menjaga jarak dari objeknya. Sayangnya, hati manusia jarang mau ikut aturan.”
Hari-hari setelah percakapan pertama dengan Amel terasa berbeda bagi Rayendra.
Notifikasi darinya bukan lagi sekadar data penelitian, tapi semacam denyut kehidupan baru. Amel bukan angka di dashboard riset, bukan juga nama dalam tabel eksperimen. Ia berubah jadi percakapan yang ditunggu, kalimat yang mengisi ruang kosong, dan suara yang diam-diam Rayendra rindukan.
Mereka tidak bertemu setiap hari, tapi justru di situlah keintiman tumbuh. Setiap pesan singkat Amel terasa lebih hangat daripada diskusi panjang dengan siapa pun. Batas antara “peneliti” dan “pribadi” semakin kabur.
Ironis, pikir Rayendra. Ia, dosen psikologi pernikahan yang sering bicara tentang komunikasi terbuka, justru tak mampu jujur pada istrinya sendiri.
Suatu malam, Nadia (Istri Rayendra) bertanya pelan, “Kamu sering banget senyum sendiri akhir-akhir ini.”
Rayendra tersenyum seadanya. “Mungkin karena kerjaan agak longgar.”
Tapi Nadia tidak berhenti di situ. Tatapannya menusuk.
Pertanyaan itu membuat dada Rayendra sesak. Alih-alih menjawab dengan hati, ia justru meluncurkan jawaban teoretis.
Nadia menunduk sambil tersenyum pahit. “Aku kadang berharap kamu marah atau cemburu. Biar aku tahu kamu masih... peduli.”
Rayendra terdiam. Rasa bersalah mulai muncul, tapi ia menelannya seperti racun yang tak bisa ia muntahkan.
Beberapa hari kemudian, forum etik kembali menguji proposalnya.
“Subjek Anda menunjukkan keterikatan emosional yang jelas,” tegas Bu Lilis. “Bukankah itu berarti Anda memanfaatkan emosi orang lain?”
Rayendra menjawab pelan, “Saya tidak memanfaatkan. Amel bercerita karena ia butuh didengar. Saya mendengarkan. Kalau itu salah... mungkin justru dunia ini butuh lebih banyak kesalahan semacam itu.”
Pak Heru menghela napas, antara kagum dan khawatir. Tapi Bu Lilis tetap keras.
Rayendra tak membantah. Dalam hatinya, ia tahu: jarak itu memang sudah hilang sejak lama.
Pertemuan langsung pertama mereka terjadi di sebuah coworking space kecil. Tempat yang Amel sebut sebagai “ruang pribadi” miliknya. Lebih sepi dari kafe, lebih intim, dan tentu saja lebih berbahaya.
“Kalau kamu bukan dosen psikologi, kamu masih mau ngobrol sama aku?” tanya Amel sambil memainkan gelas kopinya.
Rayendra menatapnya lama. “Kalau aku bukan dosen... mungkin aku malah nggak punya alasan buat deket sama kamu.”
Amel tertawa tipis, tapi matanya serius. “Lucu ya, kadang orang butuh topeng supaya berani jujur.”
Ia berdiri, berjalan ke jendela. Lampu-lampu kota menyala di matanya.
Rayendra ikut berdiri, mendekat sedikit. Aroma samar parfum Amel menusuk perhatiannya.
Amel terdiam. Tatapannya menahan sesuatu—antara takut dan berharap. Saat itu Rayendra sadar, eksperimen ini sudah keluar jalur. Dan anehnya, justru itulah yang membuatnya tak ingin berhenti.
Beberapa hari kemudian, Nadia mengajaknya makan malam di restoran tempat mereka dulu bertunangan. Tapi malam itu bukan nostalgia. Lebih mirip persidangan.
“Aku buka laptop kamu,” kata Nadia tenang.
Rayendra langsung kaku.
“Aku lihat aplikasi itu. EmoLink. Aku baca log chat sama Amel.”
Ia mencoba menjelaskan: itu penelitian, itu eksperimen, itu demi ilmu.
Tapi Nadia memotong dengan suara bergetar.
Rayendra berusaha menggenggam tangannya, tapi Nadia menolak.
Kalimat itu menghantam lebih keras daripada semua kritik forum etik.
Sebelum pergi, Nadia menambahkan satu kalimat terakhir:
Malam itu Rayendra duduk di balkon apartemen, menatap kota yang ramai tapi terasa hampa.
Sebuah pesan masuk dari Amel:
“Hari ini aku mimpi kamu. Kita bukan dosen dan subjek. Kita cuma dua orang yang lagi nyari tempat pulang.”
Rayendra membacanya berkali-kali. Lalu mengetik balasan:
Aku mulai takut, Mel. Takut kalau tempat pulang itu bukan lagi rumah... tapi kamu.
Dan untuk pertama kalinya, ia sadar: catatan penelitiannya tak lagi ditulis dengan angka atau teori.
Tapi dengan hati.
Amel menatap pesan itu di layar laptopnya. Ia membacanya lima kali, lalu menutup mata.
Kalimat itu seperti doa sekaligus kutukan.
Di satu sisi, itu kalimat yang selama ini ia rindukan. Di sisi lain, ia tahu pria itu bukan miliknya.
Yang paling menakutkan bagi Amel bukanlah cinta.
Tapi kenyataan bahwa kali ini, ia juga mulai jatuh.
Dan jatuhnya bisa jadi tak ada jalan pulang.
"Ketika kata-kata dianggap berbahaya, penulisnya menjadi musuh yang tak pernah diminta. Namun terkadang-kadang, di situlah kebenaran mulai terdengar." —Inaya, catatan harianPagi itu, berita mengejutkan seluruh negeri: kementerian komunikasi dan kebudayaan secara resmi mengumumkan penyelidikan terhadap proyek buku Rayendra dan Inaya . Dalam konferensi pers yang disiarkan nasional, seorang pejabat tinggi berkata:"Kami tidak ingin sejarah kelam terulang. Buku lama Rayendra memicu kerusakan sosial. Pemerintah berkomitmen mencegah dampak yang sama terjadi kembali."Pernyataan itu diikuti dengan langkah hukum:Penyusunan sementara seluruh arsip buku lama.Memeriksa rencana penerbitan buku baru.Peringatan keras kepada penerbit untuk menghentikan proyek hingga investigasi selesai.Di luar kantor kementerian, massa berkumpul, membawa spanduk bertuliskan “Selamatkan Nilai Keluarga!” dan “Hentikan Buku Penyakit Ini!” .Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan kecil antara kel
"Tinta yang ditulis di tengah api akan selalu berbau asap. Tapi mungkin bau itu yang membuatnya jujur."—Rayendra, catatan malam setelah debatDampak Debat TelevisiDebat semalam mengguncang publik lebih dari yang mereka duga. Tayangan ulangnya ditonton jutaan kali, dan linimasa media sosial terbagi dua: satu sisi memuji keberanian Rayendra dan Inaya, sisi lain menuduh mereka sebagai pengkhianat moral bangsa.Di kantor penerbit, telepon berdering tanpa henti. Permintaan wawancara, tawaran kontrak film dokumenter, bahkan ancaman boikot terhadap semua buku terbitan mereka masuk bersamaan.Penerbit memanggil Rayendra dan Inaya untuk rapat darurat.“Kami ingin mendukung penuh,” kata pimpinan penerbit, “tapi kita harus berhati-hati. Tekanan politik nyata. Jika buku ini ingin sampai ke pembaca, kita mungkin harus mempertimbangkan distribusi digital rahasia atau bahkan penerbitan luar negeri.”Rayendra menatap Inaya. “Kalau itu satu-satunya cara, kita lakukan. Yang penting pesan ini sampai.”
"Ketika kata-kata keluar dari halaman buku dan masuk ke layar berita, mereka berhenti menjadi milik penulisnya. Mereka menjadi milik dunia—dan dunia selalu terbelah."—Inaya, wawancara media nasionalLedakan Media NasionalSehari setelah forum terbuka, seluruh media nasional dipenuhi headline yang bertolak belakang:“Rayendra dan Inaya: Dari Kontroversi Menuju Penyembuhan”“Ilmu yang Menjual Luka: Proyek Buku Baru Dikecam”“Forum Kampus Ricuh: Publik Masih Trauma dengan Teori Selingkuh”Talk show, radio, dan portal daring berlomba-lomba membahas topik ini. Opini publik pun terbelah: sebagian mendukung upaya mereka memperbaiki kesalahan lama, sementara sebagian lain menuduh keduanya hanya mencari perhatian.Di salah satu acara debat televisi, seorang politisi konservatif berkata lantang:“Ini bukan sekadar buku. Ini adalah upaya untuk melegitimasi perilaku amoral yang telah merusak nilai keluarga bangsa. Pemerintah harus mempertimbangkan pelarangan buku ini bahkan sebelum terbit.”Teka
"Kebenaran yang tidak siap diucapkan akan selalu memicu api. Tapi terkadang api itu perlu untuk membersihkan tanah bagi benih baru."—Rayendra, pembuka forum pidatoForum PertamaForum “Dialog Cinta dan Ilmu” diadakan seminggu setelah kepulangan Rayendra dan Inaya. Aula kampus yang biasanya sunyi mendadak penuh sesak. Mahasiswa, dosen, jurnalis, dan masyarakat umum berdesakan memenuhi kursi. Spanduk besar tergantung di depan ruangan:“Menyembuhkan Luka Lama: Ilmu, Cinta, dan Keberanian Mengaku Salah.”Rayendra dan Inaya duduk di samping panggung kecil, sementara moderator membuka acara dengan suara bergetar. "Hari ini, untuk pertama kalinya, kami mengadakan forum terbuka yang membahas dampak teori lama dan rencana buku baru yang sedang ditulis. Kami mohon semua pihak berbicara dengan hati yang jujur."Pertanyaan yang Memicu ApiSesi diskusi dibuka dengan pertanyaan dari seorang pria paruh baya di barisan depan. Wajahnya menyimpan amarah yang lama terpendam.“Saya adalah suami yang dit
"Terkadang rumah bukan tempat yang menyambut kita dengan damai. Kadang ia menunggu di tikungan, membawa badai yang ingin kita hindari."—Inaya, catatan perjalananKembali ke Tanah AirPesawat yang membawa Rayendra dan Inaya mendarat di Jakarta dalam suasana mendung. Bandara Soekarno-Hatta ramai, tapi aura di sekeliling mereka terasa berbeda. Meski baru seminggu sejak berita proyek buku kolaborasi bocor ke media, dampaknya sudah sampai ke Indonesia lebih dulu daripada mereka.Di luar bandara, sejumlah wartawan menunggu. Kamera siap menyorot, mikrofon terjulur, suara riuh pertanyaan berbaur dengan teriakan.“Pak Rayendra, apakah buku baru ini hanya taktik mencari sensasi?”“Bu Inaya, apakah Anda berdua akan kembali seperti dulu?”“Bagaimana Anda menanggapi tuduhan bahwa proyek ini merusak moral publik?”Rayendra dan Inaya saling berpandangan, lalu memilih berjalan melewati kerumunan tanpa menjawab. Mobil yang menjemput mereka segera membawa keduanya keluar dari bandara, meninggalkan sor
"Kadang, sebelum kita membangun jembatan baru, kita harus siap menerima batu yang dilempar dari tebing lama."—Rayendra, catatan di StanfordPengumuman yang MenggemparkanTiga hari setelah simposium, sebuah artikel eksklusif di majalah internasional memuat berita mengejutkan:“Rayendra dan Inaya Kembali Bersatu untuk Menulis Buku Kolaboratif: Transformasi atau Manipulasi?”Berita itu segera viral. Media sosial meledak dengan komentar: sebagian menyambut, sebagian menuduh mereka mencari sensasi. Hashtag #CintaTakSelesai menjadi tren global dalam hitungan jam.Di lobi hotel Stanford, Rayendra membaca artikel itu sambil memijat pelipis. Inaya datang membawa secangkir teh, meletakkannya di meja, lalu duduk di hadapannya.“Aku rasa ini baru awal,” kata Inaya pelan.Rayendra menghela napas. “Aku pikir dunia akan senang mendengar kita mencoba memperbaiki kesalahan lama. Ternyata tidak sesederhana itu.”Inaya menatapnya tajam. “Karena orang tidak percaya pada perubahan. Mereka lebih suka meli