Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / BAB 2: Subjek Penelitian atau Cinta Terlarang?

Share

BAB 2: Subjek Penelitian atau Cinta Terlarang?

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-14 15:22:26

“Dalam penelitian, peneliti harus menjaga jarak dari objeknya. Sayangnya, hati manusia jarang mau ikut aturan.”

– Rayendra


Hari-hari setelah percakapan pertama dengan Amel terasa berbeda bagi Rayendra.

Notifikasi darinya bukan lagi sekadar data penelitian, tapi semacam denyut kehidupan baru. Amel bukan angka di dashboard riset, bukan juga nama dalam tabel eksperimen. Ia berubah jadi percakapan yang ditunggu, kalimat yang mengisi ruang kosong, dan suara yang diam-diam Rayendra rindukan.

Mereka tidak bertemu setiap hari, tapi justru di situlah keintiman tumbuh. Setiap pesan singkat Amel terasa lebih hangat daripada diskusi panjang dengan siapa pun. Batas antara “peneliti” dan “pribadi” semakin kabur.

Ironis, pikir Rayendra. Ia, dosen psikologi pernikahan yang sering bicara tentang komunikasi terbuka, justru tak mampu jujur pada istrinya sendiri.


Suatu malam, Nadia (Istri Rayendra) bertanya pelan, “Kamu sering banget senyum sendiri akhir-akhir ini.”

Rayendra tersenyum seadanya. “Mungkin karena kerjaan agak longgar.”

Tapi Nadia tidak berhenti di situ. Tatapannya menusuk.

“Kamu ngerasa hubungan kita baik-baik aja?”

Pertanyaan itu membuat dada Rayendra sesak. Alih-alih menjawab dengan hati, ia justru meluncurkan jawaban teoretis.

“Setiap pasangan pasti ada fase jenuh. Itu normal. Nanti juga balik lagi.”

Nadia menunduk sambil tersenyum pahit. “Aku kadang berharap kamu marah atau cemburu. Biar aku tahu kamu masih... peduli.”

Rayendra terdiam. Rasa bersalah mulai muncul, tapi ia menelannya seperti racun yang tak bisa ia muntahkan.


Beberapa hari kemudian, forum etik kembali menguji proposalnya.

“Subjek Anda menunjukkan keterikatan emosional yang jelas,” tegas Bu Lilis. “Bukankah itu berarti Anda memanfaatkan emosi orang lain?”

Rayendra menjawab pelan, “Saya tidak memanfaatkan. Amel bercerita karena ia butuh didengar. Saya mendengarkan. Kalau itu salah... mungkin justru dunia ini butuh lebih banyak kesalahan semacam itu.”

Pak Heru menghela napas, antara kagum dan khawatir. Tapi Bu Lilis tetap keras.

“Saudara Rayendra, peneliti seharusnya menjaga jarak. Dan saya melihat Anda sudah terlalu dekat.”

Rayendra tak membantah. Dalam hatinya, ia tahu: jarak itu memang sudah hilang sejak lama.


Pertemuan langsung pertama mereka terjadi di sebuah coworking space kecil. Tempat yang Amel sebut sebagai “ruang pribadi” miliknya. Lebih sepi dari kafe, lebih intim, dan tentu saja lebih berbahaya.

“Kalau kamu bukan dosen psikologi, kamu masih mau ngobrol sama aku?” tanya Amel sambil memainkan gelas kopinya.

Rayendra menatapnya lama. “Kalau aku bukan dosen... mungkin aku malah nggak punya alasan buat deket sama kamu.”

Amel tertawa tipis, tapi matanya serius. “Lucu ya, kadang orang butuh topeng supaya berani jujur.”

Ia berdiri, berjalan ke jendela. Lampu-lampu kota menyala di matanya.

“Kadang aku berharap kamu bohong. Bahwa semua ini cuma alasan cowok beristri yang bosan di rumah.”

Rayendra ikut berdiri, mendekat sedikit. Aroma samar parfum Amel menusuk perhatiannya.

“Kalau aku bilang... aku mulai beneran peduli sama kamu?”

Amel terdiam. Tatapannya menahan sesuatu—antara takut dan berharap. Saat itu Rayendra sadar, eksperimen ini sudah keluar jalur. Dan anehnya, justru itulah yang membuatnya tak ingin berhenti.


Beberapa hari kemudian, Nadia mengajaknya makan malam di restoran tempat mereka dulu bertunangan. Tapi malam itu bukan nostalgia. Lebih mirip persidangan.

“Aku buka laptop kamu,” kata Nadia tenang.

Rayendra langsung kaku.

“Aku lihat aplikasi itu. EmoLink. Aku baca log chat sama Amel.”

Ia mencoba menjelaskan: itu penelitian, itu eksperimen, itu demi ilmu.

Tapi Nadia memotong dengan suara bergetar.

“Kamu jujur sama dia. Kamu dengarkan dia. Kamu peduli. Itu bukan lagi penelitian, Rayen. Itu... pengkhianatan.”

Rayendra berusaha menggenggam tangannya, tapi Nadia menolak.

“Kamu bisa teruskan risetmu. Tapi jangan pura-pura kalau kamu masih suami yang sama.”

Kalimat itu menghantam lebih keras daripada semua kritik forum etik.

Sebelum pergi, Nadia menambahkan satu kalimat terakhir:

“Kalau kamu benar-benar meneliti cinta... ingat. Cinta yang paling menyakitkan adalah yang pura-pura setia, padahal hatinya sudah pergi.”


Malam itu Rayendra duduk di balkon apartemen, menatap kota yang ramai tapi terasa hampa.

Sebuah pesan masuk dari Amel:

“Hari ini aku mimpi kamu. Kita bukan dosen dan subjek. Kita cuma dua orang yang lagi nyari tempat pulang.”

Rayendra membacanya berkali-kali. Lalu mengetik balasan:

Aku mulai takut, Mel. Takut kalau tempat pulang itu bukan lagi rumah... tapi kamu.

Dan untuk pertama kalinya, ia sadar: catatan penelitiannya tak lagi ditulis dengan angka atau teori.

Tapi dengan hati.


Amel menatap pesan itu di layar laptopnya. Ia membacanya lima kali, lalu menutup mata.

Kalimat itu seperti doa sekaligus kutukan.

Di satu sisi, itu kalimat yang selama ini ia rindukan. Di sisi lain, ia tahu pria itu bukan miliknya.

Yang paling menakutkan bagi Amel bukanlah cinta.

Tapi kenyataan bahwa kali ini, ia juga mulai jatuh.

Dan jatuhnya bisa jadi tak ada jalan pulang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 44 : “Godaan Baru di Tengah Kacau Pikiran”

    "Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 43 : Mata yang Tak Seharusnya

    "Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status