Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 3: Batas yang Kian Kabur

Share

Bab 3: Batas yang Kian Kabur

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-14 15:45:27

“Dalam hidup, jarang ada kebetulan. Bahkan pilihan terlarang pun seringkali hanya pola lama yang terulang.”

– Catatan Rayendra

Di ruang bimbingan skripsi, Rayendra tampak duduk rapi di kursinya. Mahasiswa di depannya sedang menjelaskan tentang kesepian digital dan dampaknya pada perilaku sosial. Tapi kata-kata itu hanya melintas di telinganya, seperti dengung kipas angin tua.

Setiap kalimat soal “isolasi” justru terasa seperti sindiran. Seolah dunia tahu ia sendiri sedang hidup di tengah kesepian, meski punya istri di rumah dan gelar dosen di depan namanya.

Begitu sesi berakhir, Dino masuk membawa dua gelas kopi sachet. Ritual yang tak pernah absen.

“Gue denger proposal lo udah lolos buat dipublikasikan internal,” katanya tanpa basa-basi. “Lo serius mau lanjutin sampe jurnal?”

Rayendra hanya mengangguk pelan. “Harus. Ini udah bukan sekadar eksperimen.”

Dino menatap tajam. “Atau lo lagi nyari alasan biar bisa terus deket sama Amel?”

Rayendra terdiam.

Dino menunjuk layar laptop yang masih menampilkan grafik perkembangan subjek 004—Amel. Ada lonjakan yang mencolok. Bahkan sistem internal platform memberi peringatan:

“Bahaya: Emosi Timbal Balik Terlalu Tinggi. Objektivitas Peneliti Terancam.”

Dino mendecak. “Liat tuh. AI lo aja nyerah.”

Rayendra hanya tersenyum miris. “Kadang data paling jujur justru yang paling bikin sakit.”


Di sisi lain kota, Amel sedang duduk di ruang terapi milik Bu Kanya. Seorang psikolog yang ia kenal lewat podcast dan buku populer.

“Awalnya aku kira aku cuma butuh didengar,” ucap Amel pelan. “Tapi makin lama... aku sadar aku jatuh cinta pada siapa pun yang bikin aku merasa berarti. Seolah bukan jatuh cinta pada orangnya, tapi pada rasa hidup yang mereka kasih.”

Bu Kanya menatapnya penuh arti. “Apa kamu yakin itu cinta? Atau cuma luka lama yang nemu pantulannya?”

Amel terdiam. Di kepalanya, wajah Rayendra muncul jelas. Lelaki yang selalu mendengarnya tanpa menghakimi. Lelaki yang bilang semuanya penelitian, padahal setiap kata terdengar terlalu tulus untuk sekadar eksperimen.

“Mungkin aku cuma butuh ada yang bikin aku merasa layak,” bisik Amel.


Malam itu, Rayendra masih di perpustakaan fakultas. Sunyi. Hanya suara kipas dan langkah petugas kebersihan. Di layar laptop, folder riset terbuka, menampilkan transkrip percakapan dengan Amel.

Salah satu kalimat Amel menempel di kepalanya:

“Aku nggak butuh diselamatkan. Aku cuma butuh seseorang yang mau duduk bareng aku di reruntuhan ini.”

Rayendra menutup file, lalu membuka dokumen baru. Ia menamai file itu:

“Cinta atau Riset? Catatan yang Tidak Pernah Netral.”

Tapi semakin ia mengetik, semakin terasa bahwa kalimat itu bukan laporan ilmiah. Itu pengakuan pribadi.


Esok paginya, ponselnya bergetar. Pesan dari Nadia.

“Aku mau tinggal di rumah Mama dulu. Bukan karena marah. Tapi aku butuh tahu: aku masih bagian dari hidupmu, atau cuma kenangan yang kamu belum rela buang?”

Rayendra memandangi layar lama sekali. Tidak ada jawaban.

Bukan karena ia tidak punya kata, tapi karena ia tahu Nadia benar. Pengkhianatan bukan selalu soal sentuhan. Kadang perhatian saja sudah cukup untuk menggeser kesetiaan.


Sore itu, Amel mengajaknya bertemu. Tempatnya sederhana: taman kecil di belakang museum, sepi dan teduh.

“Kita masih peneliti dan subjek, kan?” tanya Amel dengan suara hampir berbisik.

Rayendra menatapnya. “Aku nggak tahu lagi.”

Amel menarik napas panjang. “Dulu aku mimpi kita sama-sama lupa siapa kita. Karena lupa, kita bisa jujur.”

Rayendra diam sejenak. Lalu bertanya, “Kalau kamu jujur sekarang... apa yang akan kamu bilang?”

Amel menatap ke danau kecil. Airnya tampak tenang, tapi penuh pantulan yang menipu.

“Aku akan bilang aku takut. Tapi aku juga ingin. Dan aku sadar... kita bukan tokoh novel yang bisa bahagia tanpa harga.”

Rayendra mendekat sedikit, suaranya bergetar. “Kita cuma dua orang dewasa di tepi jurang. Menyebutnya observasi, padahal kita tahu ini sudah lebih.”

Hening. Angin sore membawa suara jauh.

Amel akhirnya berkata pelan, “Kalau aku bilang aku jatuh cinta... kamu masih akan bilang ini penelitian?”

Rayendra memejamkan mata.

Karena untuk pertama kalinya, ia sendiri tak tahu jawabannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 44 : “Godaan Baru di Tengah Kacau Pikiran”

    "Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 43 : Mata yang Tak Seharusnya

    "Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status