LOGIN"Kita semua menyukai idealisme, sampai idealisme itu membuat kita harus memilih antara jujur dan nyaman.”
—Dr. Kanya, dalam diskusi internal dosen Fakultas Psikologi hari itu lebih ramai dari biasanya. Bukan karena acara besar, tapi karena pertemuan tertutup para dosen senior dan pengajar tetap yang tiba-tiba dijadwalkan ulang ke hari kerja. Topik pembahasannya pun sensitif: hubungan etika dosen-mahasiswa, dinamika kelas pasca-viral-nya akun dosen, dan dampak reputasi terhadap citra akademik. Rayendra datang tanpa niat defensif, tapi dia tahu hari itu bukan sekadar forum, ini ujian lain dan ia tak bisa menghindarinya. Begitu ia duduk, Prof. Satria langsung membuka: "Beberapa minggu terakhir, kami mendapat tekanan dari berbagai pihak. Dinas pendidikan mengawasi akun dosen, mahasiswa membicarakan kami di T*****r, dan tulisan lama Saudara Rayendra kembali beredar tanpa konteks." Rayendra diam, menunggu. “Kami tidak ingin mengekang kebebasan berpikir,” lanjut Satria, “tapi sebagai pengajar, kita tidak bisa sembarangan bicara soal topik sensitif seperti perselingkuhan, apalagi kalau itu dibungkus dengan alasan ilmiah.” Lalu muncul suara lain dari sisi berseberangan meja, Dr. Kanya, dosen baru, 33 tahun, yang dikenal tegas dan nyaris tanpa basa-basi. “Saya kira justru persoalannya bukan di konten tulisan Pak Rayendra, tapi pada bagaimana institusi kita belum siap memberi ruang untuk diskusi yang jujur.” Satria mengerutkan kening. “Maksud Anda?” Kanya menatap lurus ke depan. "Mahasiswa zaman sekarang bukan lagi mencari kebenaran dari atas, mereka ingin melihat dosennya bukan hanya pintar, tapi utuh, dengan luka dan kontradiksi. Kalau kita terus meminta semua dosen berpura-pura steril dari kontroversi, kita sedang melatih kepalsuan akademik." Beberapa wajah teringat, Rayendra sedikit terkejut, tidak menyangka akan mendapat pembelaan dari arah yang tak terduga. Rapat berakhir tanpa keputusan konkrit, tapi di lorong setelah itu, Kanya menghampiri Rayendra. “Pak, saya membaca ulang buku Bapak, yang edisi lama,” katanya sambil tersenyum. Rayendra mengangguk. “Dan?” “Saya tidak setuju dengan sebagian besar isinya, tapi saya lebih tidak setuju jika Bapak berhenti menulis hanya karena takut dianggap salah lagi.” Rayendra menghela napas. “Kadang saya merasa semakin saya jujur, semakin saya dikucilkan oleh sistem yang membesarkan saya.” “Itu memang beresiko, tapi Bapak punya dua pilihan: jadi ikon yang dibungkam oleh institusi, atau jadi pengajar biasa yang terus jujur meski tak lagi dipuji.” Rayendra diam, lalu bertanya, “Menurutmu, mana yang lebih kuat?” Kanya tersenyum. “Yang tidak membutuhkan ikon, tapi tetap bisa jadi arah.” Rayendra menatap Kanya sejenak. Ia tak menyangka bahwa di balik sikap tajam dan logika yang rapi, Kanya menyimpan semacam keyakinan yang tidak fanatik, namun teguh. “Apa yang membuatmu yakin kita masih bisa mengubah sesuatu dari dalam sistem?” tanya Rayendra. Kanya menyandarkan tubuh ke dinding. "Karena saya pernah keluar dari sistem, dan di luar, saya hanya menjadi penonton, yang bisa bicara keras, tapi tidak berdampak pada struktur." “Dan sekarang?” “Saya ingin tetap bisa mendobrak dari dalam, tapi pelan-pelan, lewat percakapan, lewat cara kita mengajar, cara kita mendengar siswa.” Rayendra menunduk. “Saya takut kompromi malah mengubah saya menjadi netral, tidak berpihak.” "Netral itu mitos, Pak, kita semua berpihak, tapi kadang kita berpihak dengan cara menyelamatkan ruang berpikir, bukan memenangkannya." Kalimat itu menggema lama di kepala Rayendra. Ia ingat dulu dirinya penuh semangat, ingin menggebrak, ingin menggemparkan, namun dalam perjalanan waktu, ia sadar perubahan yang berdampak pada jangka waktu yang jarang terjadi, ia lahir dari kehadiran yang konsisten, dari keberanian untuk tetap mendengarkan bahkan ketika sedang diragukan. “Terima kasih, Kanya,” ucap Rayendra akhirnya. “Kamu membuat saya ingat bahwa saya tidak perlu kembali ke versi lama untuk tetap punya nilai.” "Sama-sama, Pak. Pendekatan kita mungkin berbeda, tapi saya yakin kita ingin hal yang sama: pelajar yang tidak hanya pintar, tapi juga berani hidup sebagai dirinya sendiri." Di rumah, Rayendra duduk bersama Inaya di dapur. Sambil menyeduh kopi, ia berkata: “Kamu tahu rasanya menjadi sesuatu yang dicintai masyarakat lalu ditarik mundur perlahan?” Inaya merawat. "Itu bukan cinta, itu pemujaan, dan pemujaan akan berakhir begitu kamu tak sesuai narasi mereka." Rayendra tertawa kecil. “Lalu apa bedanya kamu mencintaiku?” Inaya menyesap tehnya. “Aku tidak butuh kamu konsisten, aku hanya butuh kamu jujur, bahkan saat kamu sedang bingung.” Malam itu, Rayendra menulis satu bab pendek baru dalam naskahnya Selingkuh Itu Tidak Selesai: "Institusi tidak suka kegamangan, ia lebih nyaman dengan suara bulat, tapi hidup tidak pernah bulat, ia selalu mengulang, dan dari mengulang-retak itu kita belajar mencintai orang lain bukan sebagai kesimpulan, tapi sebagai proses." “Saya pernah mengira integritas itu soal mempertahankan prinsip, sekarang saya tahu terkadang integritas adalah kesediaan untuk memperbarui prinsip tanpa kehilangan kejujuran.” Keesokan paginya, ia menerima email dari seorang siswa: “Pak, saya dulu kecewa karena saya pikir Bapak mengembangkan logika, tapi sekarang, saya justru belajar bahwa logika bisa menjadi lembut kalau digenggam orang yang pernah salah.” Rayendra membaca dua kali, lalu membalas: "Terima kasih, semoga kamu tidak harus menyakiti siapa pun hanya untuk bisa memahami rasa bersalah." Di lorong kampus, Rayendra kembali bertemu dengan Kanya. “Kita akan terus menyampaikan,” kata Kanya. “Saya siap,” jawab Rayendra. “Bukan hanya oleh publik, tapi oleh mereka yang tidak suka kalau kita membiarkan siswa bertanya terlalu bebas.” Rayendra tersenyum. “Kalau bertanya membuat mereka tumbuh, menurutku itu dianggap terlalu longgar.” Kanya menjawab, “Dan saya akan berdiri di samping Bapak kalau angin mulai kencang.” Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Rayendra merasa ia tidak sendiri, ia tidak harus menjadi simbol apa pun, cukup jadi seseorang yang tetap berdiri saat banyak yang duduk. Tiba-tiba, langkah mereka terhenti. Di ujung lorong, dua orang polisi berpakaian preman berjalan mendekat. "Rayendra Mahendra?" tanya salah satu dari mereka. "Benar, saya sendiri," jawab Rayendra, dengan jantung berdebar. "Kami dari kepolisian, ada laporan tentang ancaman yang Anda terima. Kami mohon Anda ikut ke kantor untuk memberikan keterangan.""Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena
"Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak
Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat







