LOGIN"Kadang kita bukan takut kehilangan orang, tapi takut kehilangan versi diri yang hanya muncul saat bersama mereka."
—Catatan pribadi Inaya Langit sore itu keruh, seperti hati Inaya. Ia duduk di teras rumah kontrakannya yang sudah lima tahun ia tinggali sejak pindah ke kota ini. Di tangannya, surat elektronik dari Institute for Gender and Social Research – Amsterdam masih terbuka. Subjeknya berbunyi: “We are pleased to invite you as a visiting researcher for our Fall-Winter program.” Undangan itu bukan hal kecil. Ia dikirim langsung oleh Dr. Petra van Dijk, peneliti utama yang selama ini mengagumi tulisan Inaya soal bias emosional dalam relasi patriarkal di Asia Tenggara. Tulisan itu, awalnya hanya unggahan reflektif di blog pribadi, viral di kalangan akademisi feminis lintas kampus. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun mengabdi sebagai dosen tak tetap, Inaya akhirnya mendapat tawaran yang... mengganggu kenyamanan. Di sore yang sama, Rayendra datang tanpa diminta, membawa dua cangkir kopi dan donat gula favorit Inaya. “Ada sesuatu yang berat di matamu,” katanya, meletakkan nampan di meja kecil. Inaya tak langsung menjawab, ia hanya menyerahkan ponselnya, menunjuk ke email yang masih terbuka. Rayendra membaca dalam diam, lalu meletakkan ponsel itu dengan tenang. “Amsterdam?” tanyanya pendek. Inaya mengangguk. “Berapa lama?” “Enam bulan, bisa diperpanjang jadi satu tahun.” “Dan kamu?” “Aku bingung,” jawab Inaya jujur. “Aku sudah terlalu nyaman di sini, sama kamu, sama mahasiswa-mahasiswaku, tapi di sisi lain, aku tahu aku tidak boleh memilih nyaman terus-terusan.” Ia berhenti sejenak, menatap ujung daun pohon jambu yang tertiup angin. Hening. Dalam hening itu, pikiran berputar-putar. Kenapa aku merasa takut menerima hal yang sudah kuimpikan? Ia dulu bermimpi bisa pergi ke Eropa, belajar, menulis, menjadi bagian dari diskusi global tentang perempuan, cinta, dan luka sosial. Namun kini, ketika kesempatan itu tiba, ia merasa hampir lumpuh. Bukan karena takut gagal, tapi takut kehilangan versi dirinya yang hanya muncul ketika ia bersama Rayendra, versi yang tidak terlalu keras, tidak terlalu defensif, tidak terlalu akademis. “Selama ini aku merasa kuat karena sendirian,” ucap Inaya lirih, “tapi sekarang aku sadar sebagian kekuatanku lahir karena ada kamu.” Rayendra tidak menjawab, tapi matanya menyimpan pemahaman. “Dan itu menakutkan,” lanjut Inaya, “karena aku tidak ingin menjadi orang yang hanya bisa tumbuh kalau ada kamu.” Ia menunduk. "Mungkin itu egois, tapi aku perlu tahu apakah aku bisa menjadi utuh, bahkan tanpa kamu di sekitarku." Rayendra mengangguk pelan. “Itu bukan egois, itu keberanian.” Inaya menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia menyadari pergi tidak selalu tentang menjauh dari orang lain, kadang-kadang, itu hanya satu cara untuk mendekati bagian diri yang belum pernah disentuh. Rayendra mengaduk kopinya pelan. Ia tidak berusaha menenangkan, tidak menggurui, tapi Inaya tahu ia sedang menahan banyak rasa yang tidak diucapkan. “Kalau kamu pergi,” katanya akhirnya, “kamu akan menemukan bagian lain dari dirimu yang mungkin tidak pernah tumbuh kalau tetap di sini.” Inaya menatapnya. “Tapi kamu? Kita?” Rayendra tersenyum tipis. “Aku bukan tempat kamu kembali, tapi kamu boleh bawa bagian dariku ke mana pun kamu pergi.” Seminggu berlalu. Inaya mulai mengurus paspor dan vaksinasi, surat-surat dari fakultas mulai diproses, tapi setiap malam menjelang tidur, ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini bentuk pertumbuhan atau bentuk kabur yang tersamar? Ia tidak yakin, tapi ia tahu kalau ia tidak pergi sekarang, ia akan terus bertanya seumur hidup. Pada malam terakhir sebelum keberangkatan, mereka duduk di dalam mobil Rayendra, di parkiran kampus yang sepi. Hujan rintik jatuh di kaca depan, tapi tak ada yang menyalakan wiper. “Ren,” kata Inaya pelan, “aku tidak tahu kita ini apa.” Rayendra menatap ke arah dashboard yang mati. “Aku juga nggak tahu,” jawabnya. “Tapi aku tahu ini: kamu tidak perlu jadi milikku agar aku bisa mendukungmu, aku tidak perlu kamu tetap di sini agar aku merasa tidak ditinggalkan.” Inaya mengangguk, meski air matanya mulai turun. “Boleh aku egois sebentar?” “Boleh.” “Aku ingin kamu tetap menulis, tetap bicara, tetap jadi suara yang tidak nyaman bagi banyak orang, tapi jangan lupa istirahat, jangan jadi martir.” Rayendra menoleh. “Kamu yang dulu mengajariku istirahat itu penting.” “Kamu yang membuatku ingin pulang,” balas Inaya lirih. Di bandara, pelukan mereka tidak lama, tapi tidak terburu-buru, seperti orang-orang yang tahu bahwa jarak bukan ancaman, melainkan bentuk lain dari kepercayaan. Saat pesawat membawa Inaya menjauh, Rayendra pulang ke rumah. Ia membuka laptop, folder lama bernama “Selingkuh Itu Tidak Selesai” masih ada, ia klik, lalu menambahkan satu bab baru: “Tentang orang yang pergi, bukan karena tidak cinta, tapi karena terlalu cinta untuk membiarkan dirinya berhenti tumbuh.” “Dan tentang yang ditinggal, yang memilih tidak marah, karena tahu cinta sejati bukan soal siapa yang tinggal, tapi siapa yang tetap mendoakan meski tak bisa memeluk.” Tiba-tiba, ponsel Rayendra berdering. Sebuah panggilan video dari Inaya. Dengan senyum, Rayendra mengangkatnya. "Hai," sapa Inaya dari seberang layar, dengan mata sembab tapi berbinar. "Aku sudah sampai di Amsterdam. Tapi ada sesuatu yang harus kamu tahu..." Inaya mengarahkan kamera ke samping, dan Rayendra terkejut melihat seorang wanita berdiri di samping Inaya. Wanita itu adalah Amel."Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena
"Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak
Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat







