LOGIN"Kadang kita kira kita sedang pindah, padahal yang benar adalah: kita sedang diuji. Bukan oleh tempat baru, tapi oleh versi lama dari diri sendiri."
—Catatan Inaya, hari ke-12 di Amsterdam Inaya berjalan cepat di sepanjang lorong pusat penelitian sosial di Amsterdam. Udara musim gugur yang menusuk kulit membuatnya terus menyelipkan tangan ke dalam perapian yang panjang. Di pundaknya, tas laptop dengan label "ID Gender Southeast" bergoyang ringan. Ia baru saja keluar dari seminar terbuka pertamanya, dan ia merasa setengah gembira, setengah kosong. Seminar itu membahas soal keintiman ekonomi dan hubungan perempuan dalam dunia digital. Topik yang sangat dekat dengan pekerjaannya di Indonesia. Tapi yang membuat Inaya terkejut bukan materinya, melainkan pertanyaan penutup dari seorang peneliti Kenya: "Apakah kamu pernah merasa bahwa dunia akademisi, dengan segala kemajuannya, juga bisa menjadi tempat berlindung yang nyaman dari luka pribadi yang belum selesai?" Inaya tidak langsung menjawab, ia hanya tersenyum dan berkata, “Sering, apalagi saya kira itu juga berlaku pada saya.” Dan sejak saat itu, pikiran tidak bisa diam. Malam harinya, di apartemen studio kecil yang ia sewa dari seorang profesor tua pensiunan, Inaya menulis jurnal pribadi di laptop. "Aku kira aku sudah sembuh, tapi di sini, jauh dari semua yang kukenal, aku sadar aku hanya berlatih mengalihkan. Aku menutupi sakitku dengan istilah akademis, dan merasa lega, tapi ternyata luka yang diberi nama tetap bisa berdarah diam-diam." Ketukan di pintu apartemennya mengalihkan pikiran. Inaya membuka. Ternyata Amelie, kolega dari Prancis yang juga peneliti tamu. “Kau baik-baik saja?” tanya Amelie sambil menatap wajah Inaya yang sedikit sembab. Inaya mengangguk. “Karena terlalu banyak berpikir.” Amelie masuk, letakkan dua gelas teh hangat di meja. “Kau terlalu tenang untuk orang yang baru saja mengisi seminar dengan cemerlang.” Inaya tersenyum samar. “Aku kira semakin jauh aku melangkah, semakin ringan bebanku, tapi ternyata aku hanya membawa rasa yang lebih besar.” Amelie mengangguk. "Kau membawa tanahmu ke mana-mana, semua kita begitu, tapi kadang, tanah itu berubah jadi bayangan." Inaya menjawab. Ia tidak terbiasa mendengarnya tanpa ditanya. Pada malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa kesamaannya dipahami dalam bahasa yang tidak perlu dijelaskan. Setelah Amelie pergi, ia kembali duduk di depan laptop, membuka ulang catatan hariannya. “Malam ini, aku merasa bukan sedang mengejar mimpi, tapi sedang dituntun kembali ke dalam diriku yang belum selesai.” Ia terdiam, lalu menambahkan: “Aku rindu rumah, tapi aku lebih rindu pada diriku sendiri yang tidak merasa perlu pura-pura kuat.” Di sisi lain dunia, Rayendra duduk sendiri di ruang diskusi kecil kampus, membaca ulang transkrip forum dare pertama yang ia selenggarakan bersama Dr. Kanya. Tema malam itu adalah: "Berani Bicara: Membangun Relasi Sehat di Era Bising." Mahasiswa hadir melalui Zoom, sebagian besar dosen menonton diam-diam. Yang menarik, bukan hanya pesertanya yang aktif, tapi juga bagaimana Aluna, mahasiswi kritis yang dulu menggugatnya, kini duduk sebagai moderator dan dia melakukannya dengan luar biasa. “Rayendra pernah mengatakan di bukunya: 'Perselingkuhan adalah bentuk komunikasi yang gagal,' tapi hari ini saya ingin bertanya apakah setiap kegagalan komunikasi harus dibalas dengan menyakiti?” Rayendra diam, lalu menjawab: “Tidak, tapi kita sering terluka bukan karena ingin, tapi karena tidak tahu cara minta tolong.” Forum itu berakhir dengan sunyi, sunyi yang tidak menakutkan, melainkan memberi ruang. Beberapa hari kemudian, email dari Inaya masuk ke kotak masuk Rayendra. Judulnya hanya: “Amsterdam Hari ke-15” Isinya pendek: “Aku baru sadar, aku lebih takut dimengerti daripada dicintai, mungkin karena kalau orang benar-benar mengerti aku, aku tak bisa lagi sembunyi.” "Kamu tahu perasaan itu? Waktu kamu sadar bahwa mencintai bukan lagi soal siapa yang membuatmu nyaman, tapi siapa yang berani jujur meski kamu malu?" "Aku tidak bertanya kabarmu, karena aku tahu kamu tetap menulis, tapi kalau suatu hari kamu merasa kehilangan arah, ingat percakapan ini: kamu tidak sendiri, bahkan dari sini, aku tetap menyebut namamu dalam doaku." Rayendra membaca email itu tiga kali, lalu membalas: "Terima kasih sudah pergi, karena dengan kesedihanmu, aku belajar bahwa mencintai bukan tentang menahan, tapi tentang memberi ruang untuk bertumbuh, bahkan jika itu meninggalkan kita." Di Amsterdam, Inaya menekan tombol "arsip" pada email balasan itu. Dia tidak membalas, tapi ia membuka folder baru di laptopnya, menamai file itu: “Jurnal Perempuan Tak Selesai.” Lalu ia menulis: "Aku bukan sedang melarikan diri, aku sedang belajar hidup dengan diriku sendiri, tanpa nama pun sebagai sandaran, kalau nanti aku pulang, itu bukan karena aku tak kuat, tapi karena aku tahu cinta bukan soal siapa yang ditinggal, tapi siapa yang berani pulang membawa dirinya yang utuh." Tiba-tiba, pintu apartemen Inaya diketuk dengan keras. Inaya membuka pintu dan terkejut melihat dua orang polisi berdiri di hadapannya. "Inaya Salma?" tanya salah satu polisi dengan nada tegas. "Kami mendapat laporan bahwa Anda terlibat dalam kasus pembunuhan.""Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena
"Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak
Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat







