"Dalam setiap hubungan tersembunyi, selalu ada tiga pihak yang tersakiti: mereka yang dibohongi, mereka yang berbohong, dan mereka yang berharap cuplikan itu bisa jadi kenyataan."
— Catatan Reflektif, Rayendra Mahendra
Pukul 10.15 pagi.
Langkah-langkah mahasiswa yang baru memasuki kelas bergelombang samar di lorong Fakultas Psikologi. Biasanya suasana ini memberi Rayendra rasa nyaman—seperti musik latar yang menandakan rutinitas berjalan normal. Tapi pagi ini, dunia seolah melambat.
Di tangannya, surat pemanggilan Komisi Etik Universitas terasa lebih berat hanya dari selembar kertas. Kertasnya biasa saja, hurufnya formal dan rapi, tapi kalimat demi kalimat menghantam seperti tuduhan yang tak bisa ia tolak.
"Terkait pengaduan atas praktik penelitian yang diduga melampaui batas profesionalisme."
Ia membaca ulang kalimat itu sampai huruf-hurufnya seperti melompat keluar dari kertas. Tenggorokannya kering. Kepalanya berdenyut. Sesuatu yang dulu ia anggap sekadar "risiko akademis" kini berubah menjadi ancaman nyata.
Dino mendekat sambil membawa dua gelas kopi. “Lo keliatan kayak abis dipukul dari belakang.Surat itu… serius banget, Ray?”
Rayendra menarik napas panjang. “Serius. Dan parahnya, ini bisa masuk ke catatan permanen.”
“Lo yakin bukan Nadia yang ngelaporin?” Dino duduk di sana, suaranya penuh hati-hati.
Rayendra menggeleng cepat, mungkin terlalu cepat. "Kalau Nadia mau membalas dendam, dia gak perlu repot lewat birokrasi. Dia bisa hancurin gue dengan cara lain."
Dino mencondongkan badan. “Amel, mungkin?”
Nama itu membuat Rayendra membeku. Ia mencoba menutupi gejolak di dada dengan menyesap kopi—yang tiba-tiba hambar, seolah kehilangan semua rasa. “Dia bilang mundur dengan baik-baik. Tapi… mundur kan gak selalu berarti ikhlas.”
Dino menatap tajam. "Lo sadar nggak, Ray? Dari awal gue udah bilang, penelitian lo itu kayak main api. Dan sekarang api itu balik ngejar lo. Pertanyaan gue: lo mau terus nyari alasannya, atau lo siap tanggung konsekuensinya?"
Rayendra menoleh, hampir kesal. Tapi sorot mata Dino bukan sorot mata penghakiman. Itu memunculkan seorang sahabat yang sudah terlalu sering menyaksikan Rayendra terjebak oleh idealismenya sendiri.
Meja kayu besar di ruang dekanat berkilau dingin di bawah cahaya lampu putih. Kursi-kursi kulit hitam tersusun rapi, menciptakan suasana formal yang membuat dada terasa sesak.
Pak Heru membuka rapat dengan nada resmi, nyaris tanpa ekspresi. "Saudara Rayendra, kami menerima laporan yang cukup serius. Ada dugaan Anda menjalin hubungan emosional dengan subjek penelitian. Dampaknya tidak hanya akademis, tapi juga pribadi bagi pihak yang terlibat."
Jantung Rayendra berdegup keras. “Apakah laporan itu menyebut nama?”
Bu Lilis menimpali, suaranya datar tapi tajam. "Kami tidak bisa menyebut identitas pelapor. Namun, kami menerima log percakapan dari EmoLink. Dan percakapan itu... cukup jelas."
Di atas meja, kertas berisi kutipan ditaruh di hadapan semua orang.
"Aku mulai takut, Mel. Takut kalau tempat pulang itu ternyata bukan lagi rumah... tapi kamu."
Ruangan mendadak terasa seperti ruang interogasi. Rayendra mencoba menelan ludah, tapi mulut kering.
Pak Heru melipat tangannya di meja. “Rayendra, ini hanya tentang metodologi. Ini soal integritas. Kita institusi pendidikan, bukan panggung eksperimen emosional.”
Rayendra ingin berargumen. Bahwa perasaan dalam eksperimen adalah bagian yang tak terpisahkan dari data. Bahwa interaksi emosional justru membuktikan interaksi itu valid. Tapi kalimat itu mati sebelum keluar. Ketika membayangkan para dosen senior, ia tahu: tidak ada logika akademis yang bisa menutupi luka manusia.
Lampu meja kerja menyinari wajah Rayendra yang letih. Ia membuka folder 004 di EmoLink, bukan untuk menganalisis, melainkan sekadar untuk mencari sisa-sisa artikel.
Di sana, terselip satu catatan dari Amel, seolah pesan terakhir yang sengaja ditinggalkan:
"Kalau kamu baca ini setelah semuanya hancur, ketahuilah: aku gak pernah marah. Aku cuma takut. Takut jadi penyebab seseorang kehilangan segalanya karena terlalu percaya pada sesuatu yang bahkan aku sendiri ragukan."
"Kamu bukan orang jahat, Rayen. Tapi kamu terlalu percaya cinta bisa dijelaskan dengan statistik. Padahal, justru karena tak bisa dijelaskan itulah cinta bertahan."
Rayendra menutup wajah dengan kedua tangannya. Kata-kata itu bukan sekedar perpisahan, melainkan pengakuan—bahwa Amel sendiri pun terjebak dalam eksperimen yang ia ciptakan.
Beberapa hari kemudian, Nadia datang. Bukan untuk kembali, tapi untuk mengambil barang.
Ia membuka pintu apartemen dengan kunci yang masih ia simpan. Rayendra yang duduk di sofa mendongak, tubuhnya terbaring.
“Kamu masih berharap ini bisa diperbaiki?” suara Nadia tenang, tapi matanya dingin.
Rayendra menggeliat gelisah. "Aku gak tahu. Aku bingung... antara minta maaf atau jelaskan."
Nadia tertawa pendek, getir. “Masalahnya, Rayen, kamu lebih suka menjelaskan daripada minta maaf.”
Tangannya menggerakkan alat merapikan pakaian ke dalam koper. Setiap lipatan seperti sebuah keputusan kecil yang tak dapat ditarik kembali.
"Kamu tahu yang paling nyakitin apa? Bukan perselingkuhan fisik. Tapi saat orang yang kita percaya mulai kasih versi terbaik dirinya ke orang lain."
Ia berdiri di ambang pintu, menatap sekali lagi. "Aku gak marah. Aku cuma capek. Dan capek itu gak bisa diperbaiki dengan teori."
Pintu tertutup. Sunyi kembali mengisi apartemen. Sunyi yang berbeda—lebih berat, lebih permanen.
Rayendra tak lagi mengajar. Fakultas meminta “istirahat” sambil menunggu evaluasi. Status jurnalnya justru makin populer, dibahas di forum akademis luar negeri. Ironi pahit: di luar ia dipuji, di dalam ia dipinggirkan.
Trofi prestasi itu kini hanya hiasan dalam ruangan kosong. Tanpa tepuk tangan, tanpa makna.
Suatu malam, notifikasi masuk.
Pengirim: amelia.larasati@psikologi.co.id
Subjek: Untuk Peneliti yang Terlalu Serius
“Aku lihat jurnal kamu dibahas di konferensi internasional. Selamat.
Aku senang kamu masih bisa berdiri meski banyak yang runtuh.Aku sekarang bekerja di program pemulihan pasangan urban. Ironis ya? Aku membantu orang lain bertahan, padahal dulu aku hampir jadi alasan runtuhnya rumah orang.
Aku belajar satu hal: kadang kita ngeerti diri sendiri justru setelah bikin orang lain terluka.
Kalau kamu butuh bicara, aku masih ada. Tapi bukan sebagai subjek. Sebagai manusia yang pernah sama-sama salah cara mencintai.”
Rayendra membaca email itu berulang kali. Tangannya ingin langsung mengetik balasan, tapi ia berhenti.
Untuk pertama kalinya, ia memilih diam. Bukan untuk mengukur, bukan untuk mencatat, tapi untuk mendengarkan.
Karena mungkin, eksperimen yang paling sulit bukanlah menguji orang lain.
Melainkan belajar jadi manusia.
"Ketika kata-kata dianggap berbahaya, penulisnya menjadi musuh yang tak pernah diminta. Namun terkadang-kadang, di situlah kebenaran mulai terdengar." —Inaya, catatan harianPagi itu, berita mengejutkan seluruh negeri: kementerian komunikasi dan kebudayaan secara resmi mengumumkan penyelidikan terhadap proyek buku Rayendra dan Inaya . Dalam konferensi pers yang disiarkan nasional, seorang pejabat tinggi berkata:"Kami tidak ingin sejarah kelam terulang. Buku lama Rayendra memicu kerusakan sosial. Pemerintah berkomitmen mencegah dampak yang sama terjadi kembali."Pernyataan itu diikuti dengan langkah hukum:Penyusunan sementara seluruh arsip buku lama.Memeriksa rencana penerbitan buku baru.Peringatan keras kepada penerbit untuk menghentikan proyek hingga investigasi selesai.Di luar kantor kementerian, massa berkumpul, membawa spanduk bertuliskan “Selamatkan Nilai Keluarga!” dan “Hentikan Buku Penyakit Ini!” .Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan kecil antara kel
"Tinta yang ditulis di tengah api akan selalu berbau asap. Tapi mungkin bau itu yang membuatnya jujur."—Rayendra, catatan malam setelah debatDampak Debat TelevisiDebat semalam mengguncang publik lebih dari yang mereka duga. Tayangan ulangnya ditonton jutaan kali, dan linimasa media sosial terbagi dua: satu sisi memuji keberanian Rayendra dan Inaya, sisi lain menuduh mereka sebagai pengkhianat moral bangsa.Di kantor penerbit, telepon berdering tanpa henti. Permintaan wawancara, tawaran kontrak film dokumenter, bahkan ancaman boikot terhadap semua buku terbitan mereka masuk bersamaan.Penerbit memanggil Rayendra dan Inaya untuk rapat darurat.“Kami ingin mendukung penuh,” kata pimpinan penerbit, “tapi kita harus berhati-hati. Tekanan politik nyata. Jika buku ini ingin sampai ke pembaca, kita mungkin harus mempertimbangkan distribusi digital rahasia atau bahkan penerbitan luar negeri.”Rayendra menatap Inaya. “Kalau itu satu-satunya cara, kita lakukan. Yang penting pesan ini sampai.”
"Ketika kata-kata keluar dari halaman buku dan masuk ke layar berita, mereka berhenti menjadi milik penulisnya. Mereka menjadi milik dunia—dan dunia selalu terbelah."—Inaya, wawancara media nasionalLedakan Media NasionalSehari setelah forum terbuka, seluruh media nasional dipenuhi headline yang bertolak belakang:“Rayendra dan Inaya: Dari Kontroversi Menuju Penyembuhan”“Ilmu yang Menjual Luka: Proyek Buku Baru Dikecam”“Forum Kampus Ricuh: Publik Masih Trauma dengan Teori Selingkuh”Talk show, radio, dan portal daring berlomba-lomba membahas topik ini. Opini publik pun terbelah: sebagian mendukung upaya mereka memperbaiki kesalahan lama, sementara sebagian lain menuduh keduanya hanya mencari perhatian.Di salah satu acara debat televisi, seorang politisi konservatif berkata lantang:“Ini bukan sekadar buku. Ini adalah upaya untuk melegitimasi perilaku amoral yang telah merusak nilai keluarga bangsa. Pemerintah harus mempertimbangkan pelarangan buku ini bahkan sebelum terbit.”Teka
"Kebenaran yang tidak siap diucapkan akan selalu memicu api. Tapi terkadang api itu perlu untuk membersihkan tanah bagi benih baru."—Rayendra, pembuka forum pidatoForum PertamaForum “Dialog Cinta dan Ilmu” diadakan seminggu setelah kepulangan Rayendra dan Inaya. Aula kampus yang biasanya sunyi mendadak penuh sesak. Mahasiswa, dosen, jurnalis, dan masyarakat umum berdesakan memenuhi kursi. Spanduk besar tergantung di depan ruangan:“Menyembuhkan Luka Lama: Ilmu, Cinta, dan Keberanian Mengaku Salah.”Rayendra dan Inaya duduk di samping panggung kecil, sementara moderator membuka acara dengan suara bergetar. "Hari ini, untuk pertama kalinya, kami mengadakan forum terbuka yang membahas dampak teori lama dan rencana buku baru yang sedang ditulis. Kami mohon semua pihak berbicara dengan hati yang jujur."Pertanyaan yang Memicu ApiSesi diskusi dibuka dengan pertanyaan dari seorang pria paruh baya di barisan depan. Wajahnya menyimpan amarah yang lama terpendam.“Saya adalah suami yang dit
"Terkadang rumah bukan tempat yang menyambut kita dengan damai. Kadang ia menunggu di tikungan, membawa badai yang ingin kita hindari."—Inaya, catatan perjalananKembali ke Tanah AirPesawat yang membawa Rayendra dan Inaya mendarat di Jakarta dalam suasana mendung. Bandara Soekarno-Hatta ramai, tapi aura di sekeliling mereka terasa berbeda. Meski baru seminggu sejak berita proyek buku kolaborasi bocor ke media, dampaknya sudah sampai ke Indonesia lebih dulu daripada mereka.Di luar bandara, sejumlah wartawan menunggu. Kamera siap menyorot, mikrofon terjulur, suara riuh pertanyaan berbaur dengan teriakan.“Pak Rayendra, apakah buku baru ini hanya taktik mencari sensasi?”“Bu Inaya, apakah Anda berdua akan kembali seperti dulu?”“Bagaimana Anda menanggapi tuduhan bahwa proyek ini merusak moral publik?”Rayendra dan Inaya saling berpandangan, lalu memilih berjalan melewati kerumunan tanpa menjawab. Mobil yang menjemput mereka segera membawa keduanya keluar dari bandara, meninggalkan sor
"Kadang, sebelum kita membangun jembatan baru, kita harus siap menerima batu yang dilempar dari tebing lama."—Rayendra, catatan di StanfordPengumuman yang MenggemparkanTiga hari setelah simposium, sebuah artikel eksklusif di majalah internasional memuat berita mengejutkan:“Rayendra dan Inaya Kembali Bersatu untuk Menulis Buku Kolaboratif: Transformasi atau Manipulasi?”Berita itu segera viral. Media sosial meledak dengan komentar: sebagian menyambut, sebagian menuduh mereka mencari sensasi. Hashtag #CintaTakSelesai menjadi tren global dalam hitungan jam.Di lobi hotel Stanford, Rayendra membaca artikel itu sambil memijat pelipis. Inaya datang membawa secangkir teh, meletakkannya di meja, lalu duduk di hadapannya.“Aku rasa ini baru awal,” kata Inaya pelan.Rayendra menghela napas. “Aku pikir dunia akan senang mendengar kita mencoba memperbaiki kesalahan lama. Ternyata tidak sesederhana itu.”Inaya menatapnya tajam. “Karena orang tidak percaya pada perubahan. Mereka lebih suka meli