Beranda / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 5: Etika yang Terlambat Dipertanyakan

Share

Bab 5: Etika yang Terlambat Dipertanyakan

Penulis: gilang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-15 16:58:12

"Dalam setiap hubungan tersembunyi, selalu ada tiga pihak yang tersakiti: mereka yang dibohongi, mereka yang berbohong, dan mereka yang berharap cuplikan itu bisa jadi kenyataan."
— Catatan Reflektif, Rayendra Mahendra


Pukul 10.15 pagi.
Langkah-langkah mahasiswa yang baru memasuki kelas bergelombang samar di lorong Fakultas Psikologi. Biasanya suasana ini memberi Rayendra rasa nyaman—seperti musik latar yang menandakan rutinitas berjalan normal. Tapi pagi ini, dunia seolah melambat.

Di tangannya, surat pemanggilan Komisi Etik Universitas terasa lebih berat hanya dari selembar kertas. Kertasnya biasa saja, hurufnya formal dan rapi, tapi kalimat demi kalimat menghantam seperti tuduhan yang tak bisa ia tolak.

"Terkait pengaduan atas praktik penelitian yang diduga melampaui batas profesionalisme."

Ia membaca ulang kalimat itu sampai huruf-hurufnya seperti melompat keluar dari kertas. Tenggorokannya kering. Kepalanya berdenyut. Sesuatu yang dulu ia anggap sekadar "risiko akademis" kini berubah menjadi ancaman nyata.

Dino mendekat sambil membawa dua gelas kopi. “Lo keliatan kayak abis dipukul dari belakang.Surat itu… serius banget, Ray?”

Rayendra menarik napas panjang. “Serius. Dan parahnya, ini bisa masuk ke catatan permanen.”

“Lo yakin bukan Nadia yang ngelaporin?” Dino duduk di sana, suaranya penuh hati-hati.

Rayendra menggeleng cepat, mungkin terlalu cepat. "Kalau Nadia mau membalas dendam, dia gak perlu repot lewat birokrasi. Dia bisa hancurin gue dengan cara lain."

Dino mencondongkan badan. “Amel, mungkin?”

Nama itu membuat Rayendra membeku. Ia mencoba menutupi gejolak di dada dengan menyesap kopi—yang tiba-tiba hambar, seolah kehilangan semua rasa. “Dia bilang mundur dengan baik-baik. Tapi… mundur kan gak selalu berarti ikhlas.”

Dino menatap tajam. "Lo sadar nggak, Ray? Dari awal gue udah bilang, penelitian lo itu kayak main api. Dan sekarang api itu balik ngejar lo. Pertanyaan gue: lo mau terus nyari alasannya, atau lo siap tanggung konsekuensinya?"

Rayendra menoleh, hampir kesal. Tapi sorot mata Dino bukan sorot mata penghakiman. Itu memunculkan seorang sahabat yang sudah terlalu sering menyaksikan Rayendra terjebak oleh idealismenya sendiri.


Meja kayu besar di ruang dekanat berkilau dingin di bawah cahaya lampu putih. Kursi-kursi kulit hitam tersusun rapi, menciptakan suasana formal yang membuat dada terasa sesak.

Pak Heru membuka rapat dengan nada resmi, nyaris tanpa ekspresi. "Saudara Rayendra, kami menerima laporan yang cukup serius. Ada dugaan Anda menjalin hubungan emosional dengan subjek penelitian. Dampaknya tidak hanya akademis, tapi juga pribadi bagi pihak yang terlibat."

Jantung Rayendra berdegup keras. “Apakah laporan itu menyebut nama?”

Bu Lilis menimpali, suaranya datar tapi tajam. "Kami tidak bisa menyebut identitas pelapor. Namun, kami menerima log percakapan dari EmoLink. Dan percakapan itu... cukup jelas."

Di atas meja, kertas berisi kutipan ditaruh di hadapan semua orang.

"Aku mulai takut, Mel. Takut kalau tempat pulang itu ternyata bukan lagi rumah... tapi kamu."

Ruangan mendadak terasa seperti ruang interogasi. Rayendra mencoba menelan ludah, tapi mulut kering.

Pak Heru melipat tangannya di meja. “Rayendra, ini hanya tentang metodologi. Ini soal integritas. Kita institusi pendidikan, bukan panggung eksperimen emosional.”

Rayendra ingin berargumen. Bahwa perasaan dalam eksperimen adalah bagian yang tak terpisahkan dari data. Bahwa interaksi emosional justru membuktikan interaksi itu valid. Tapi kalimat itu mati sebelum keluar. Ketika membayangkan para dosen senior, ia tahu: tidak ada logika akademis yang bisa menutupi luka manusia.


Lampu meja kerja menyinari wajah Rayendra yang letih. Ia membuka folder 004 di EmoLink, bukan untuk menganalisis, melainkan sekadar untuk mencari sisa-sisa artikel.

Di sana, terselip satu catatan dari Amel, seolah pesan terakhir yang sengaja ditinggalkan:

"Kalau kamu baca ini setelah semuanya hancur, ketahuilah: aku gak pernah marah. Aku cuma takut. Takut jadi penyebab seseorang kehilangan segalanya karena terlalu percaya pada sesuatu yang bahkan aku sendiri ragukan."

"Kamu bukan orang jahat, Rayen. Tapi kamu terlalu percaya cinta bisa dijelaskan dengan statistik. Padahal, justru karena tak bisa dijelaskan itulah cinta bertahan."

Rayendra menutup wajah dengan kedua tangannya. Kata-kata itu bukan sekedar perpisahan, melainkan pengakuan—bahwa Amel sendiri pun terjebak dalam eksperimen yang ia ciptakan.


Beberapa hari kemudian, Nadia datang. Bukan untuk kembali, tapi untuk mengambil barang.

Ia membuka pintu apartemen dengan kunci yang masih ia simpan. Rayendra yang duduk di sofa mendongak, tubuhnya terbaring.

“Kamu masih berharap ini bisa diperbaiki?” suara Nadia tenang, tapi matanya dingin.

Rayendra menggeliat gelisah. "Aku gak tahu. Aku bingung... antara minta maaf atau jelaskan."

Nadia tertawa pendek, getir. “Masalahnya, Rayen, kamu lebih suka menjelaskan daripada minta maaf.”

Tangannya menggerakkan alat merapikan pakaian ke dalam koper. Setiap lipatan seperti sebuah keputusan kecil yang tak dapat ditarik kembali.

"Kamu tahu yang paling nyakitin apa? Bukan perselingkuhan fisik. Tapi saat orang yang kita percaya mulai kasih versi terbaik dirinya ke orang lain."

Ia berdiri di ambang pintu, menatap sekali lagi. "Aku gak marah. Aku cuma capek. Dan capek itu gak bisa diperbaiki dengan teori."

Pintu tertutup. Sunyi kembali mengisi apartemen. Sunyi yang berbeda—lebih berat, lebih permanen.


Rayendra tak lagi mengajar. Fakultas meminta “istirahat” sambil menunggu evaluasi. Status jurnalnya justru makin populer, dibahas di forum akademis luar negeri. Ironi pahit: di luar ia dipuji, di dalam ia dipinggirkan.

Trofi prestasi itu kini hanya hiasan dalam ruangan kosong. Tanpa tepuk tangan, tanpa makna.

Suatu malam, notifikasi masuk.

Pengirim: amelia.larasati@psikologi.co.id
Subjek: Untuk Peneliti yang Terlalu Serius

“Aku lihat jurnal kamu dibahas di konferensi internasional. Selamat.
Aku senang kamu masih bisa berdiri meski banyak yang runtuh.

Aku sekarang bekerja di program pemulihan pasangan urban. Ironis ya? Aku membantu orang lain bertahan, padahal dulu aku hampir jadi alasan runtuhnya rumah orang.

Aku belajar satu hal: kadang kita ngeerti diri sendiri justru setelah bikin orang lain terluka.

Kalau kamu butuh bicara, aku masih ada. Tapi bukan sebagai subjek. Sebagai manusia yang pernah sama-sama salah cara mencintai.”

Rayendra membaca email itu berulang kali. Tangannya ingin langsung mengetik balasan, tapi ia berhenti.

Untuk pertama kalinya, ia memilih diam. Bukan untuk mengukur, bukan untuk mencatat, tapi untuk mendengarkan.

Karena mungkin, eksperimen yang paling sulit bukanlah menguji orang lain.
Melainkan belajar jadi manusia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 44 : “Godaan Baru di Tengah Kacau Pikiran”

    "Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 43 : Mata yang Tak Seharusnya

    "Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 42 : 5 Bulan Berlalu, Godaan Ibu Mertua

    Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Rumah Pertama

    "Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Sentuhan Pertama di Ranjang Pengantin

    Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Bayangan Masa Lalu di Lampu Pesta

    Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status