Masuk"Terkadang, yang paling sulit bukan memisahkan mana cinta dan ilusi… tapi menerima bahwa kita memilih ilusi karena terasa lebih nyata."
— Catatan Harian Rayendra
Pukul 01.43 dini hari. Rayendra masih terjaga.
Lampu meja kerjanya menyorot tumpukan buku psikologi yang berantakan: Bowlby, Sternberg, hingga jurnal tentang attachment disorder. Semua terbuka, beberapa penuh coretan stabilo. Tapi di antara teori-teori akademik itu, ada satu file di laptopnya yang paling sering ia buka belakangan ini: transkrip percakapannya dengan Amel.
Setiap barisnya seperti akar yang merambat ke dalam ruang hatinya, menembus batas yang dulu ia kira kokoh. Ia tidak bisa menentukan kapan semua ini mulai melenceng dari penelitian. Yang ia tahu, intensitas itu tumbuh diam-diam, seperti tanaman liar yang menembus retakan beton.
Satu pesan terakhir dari Amel masih menyala di layar ponselnya:
“Kamu tahu nggak, kadang aku ngerasa bersalah bukan karena selingkuh… tapi karena aku bahagia.”
Kalimat itu lebih tajam daripada pengakuan cinta.
Rayendra menutup mata. Sunyi dini hari menelannya. Ia sadar: kebahagiaan yang lahir dari kebohongan sering kali terasa paling jujur. Karena ia muncul tanpa tuntutan, tanpa dekorasi. Hanya ada dua orang yang saling memberi ruang dalam dunia yang memaksa mereka untuk terus kuat.
Esok harinya, ia kembali ke kampus.
Di ruang dosen, suasana tampak biasa. Dosen-dosen lain membicarakan berita korupsi terbaru sambil tertawa getir, mahasiswa lalu-lalang dengan proposal di tangan, dan Dino—seperti biasa—sibuk dengan kopi sachetnya.
“Lo kayak zombie, Ren. Kurang tidur atau lagi penelitian lapangan di dunia mimpi?” sindir Dino.
Rayendra tersenyum tipis. “Kurang tidur aja.”
Tapi Dino tidak mudah percaya. Ia menatap lama, lalu mendekat.
Pertanyaan itu menghantam tepat di titik rapuhnya. Seperti cermin yang tak bisa ia hindari.
“Gue... nggak tahu, Din,” jawabnya lirih. “Kadang gue ngerasa Amel itu refleksi dari semua yang hilang dari hidup gue. Tapi kadang gue takut... takut semua ini cuma delusi akademik yang dibungkus romansa.”
Dino tidak menasihati. Ia hanya mengangguk pelan. Karena ia tahu: bahkan orang yang sadar sedang tersesat, tetap bisa memilih untuk tidak kembali.
Di sisi lain kota, Amel duduk di kafe kecil tempat mereka biasa bertemu diam-diam. Meja pojok, dekat jendela, yang selalu mereka pilih agar bisa mengamati orang lain tanpa terlalu terlihat.
Amel menatap layar ponselnya. Ia mengetik pesan, lalu menghapus. Mengetik lagi, menghapus lagi. Begitu berulang kali. Hingga akhirnya, satu kalimat terkirim:
“Kalau aku pergi duluan, kamu akan tetap menyimpan semua percakapan kita?”
Rayendra membaca pesan itu saat di toilet kampus. Ia menatap layar lama, sebelum membalas:
“Aku bahkan mungkin akan menyimpannya lebih lama dari yang seharusnya.”
Tidak ada balasan lagi.
Rayendra tahu: itu bukan ancaman. Itu sinyal. Amel berada di ujung pertahanannya—titik di mana seorang perempuan berhenti menuntut kepastian karena jawabannya sudah jelas, hanya saja hati belum siap mendengarnya.
Malam itu, Rayendra pulang lebih cepat. Nadia sudah menunggu, duduk di ruang tamu sambil merapikan rak buku.
Ekspresinya datar. Tidak marah, tidak sedih. Justru lebih menakutkan karena netral.
“Aku enggak akan tanya kamu udah sampai sejauh apa sama perempuan itu,” ucap Nadia tanpa menoleh. “Karena yang bikin aku hancur bukan kamu selingkuh... tapi kamu berhenti jujur.”
Rayendra menunduk, jantungnya berat.
“Aku enggak minta kamu pura-pura cinta,” lanjut Nadia. “Tapi setidaknya, kasih tahu aku kapan kamu berhenti merasa rumah ini adalah tempat pulangmu.”
“Nad...” suaranya serak.
Nadia menatapnya, mata berkaca tapi tegar.
Rayendra ingin meminta maaf. Tapi seperti pasien yang baru sadar lukanya parah ketika disentuh, ia hanya bisa diam.
Hari-hari berikutnya, Amel menghilang.
Tidak ada balasan. Tidak ada status online. Tidak ada sinyal digital bahwa ia masih ingin bicara.
Rayendra gelisah. Ia mencoba fokus di kelas, menjelaskan teori afeksi primer dan sekunder. Tapi ironisnya, emosinya justru kacau bukan karena teori—melainkan karena kehilangan koneksi.
Ia bahkan nekat mendatangi coworking space tempat Amel biasa bekerja. Petugas hanya menggeleng.
Rayendra berdiri kaku. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar sadar: kehilangan bukan soal ditinggalkan. Tapi soal ketika seseorang berhenti mempercayakan kisahnya padamu.
Hari ketiga, sebuah pesan akhirnya masuk. Pendek. Dingin.
“Aku mutusin berhenti dari eksperimen ini. Aku juga udah kirim formulir penarikan subjek ke sistem. Maaf, dan terima kasih.”
Rayendra mengetik panjang lebar, tapi akhirnya hanya mengirim:
“Aku bisa tetap dengerin kamu, walau bukan dalam konteks penelitian.”
Balasannya cepat:
“Itu justru masalahnya, Rayen. Kamu terlalu pandai membuat orang nyaman sampai mereka lupa kamu sedang mencatat.”
Beberapa minggu kemudian, jurnal ilmiah Rayendra diterima di simposium psikologi hubungan modern. Ia diundang sebagai pembicara dengan judul: “Validitas Afeksi dalam Era Koneksi Semu.”
Tepuk tangan bergemuruh. Semua kagum. Bahkan Bu Lilis yang dulu meremehkan penelitiannya akhirnya mengakui, “Tulisanmu terlalu jujur untuk diabaikan.”
Tapi berdiri di podium, menyimpulkan bahwa “manusia pada dasarnya tidak monogami secara emosional,” Rayendra tidak merasa menang.
Karena satu-satunya orang yang ingin ia ceritakan tentang pencapaiannya... sudah pergi tanpa pamit.
Setelah simposium, ia menutup akun EmoLink sementara. Folder 004 – Amelia Larasati tetap tersimpan di laptop. File terakhir dari Amel berbunyi:
“Kalau suatu hari kamu baca ini lagi, ingatlah: aku bukan eksperimen. Aku cuma manusia yang pernah percaya bahwa luka bisa disembuhkan lewat cerita.”
Rayendra tidak pernah menghapusnya.
Karena seperti semua hal yang menyakitkan tapi bermakna—Amel adalah kesalahan yang tak ingin ia perbaiki.
Beberapa minggu kemudian, ia kembali masuk ke EmoLink. Kali ini, ia mencoba masuk ke grup diskusi tentang kehilangan. Orang-orang berbagi kisah patah hati, kehilangan pasangan, hingga trauma ditinggal mati.
Untuk pertama kalinya, Rayendra hanya membaca. Tidak mencatat, tidak menganalisis. Hanya mendengarkan.
Dan di sana, ia mulai memahami sesuatu: bahwa kehilangan adalah bahasa universal. Dan mungkin, satu-satunya cara berdamai bukan dengan melupakan... tapi dengan menerima bahwa beberapa orang hadir hanya untuk meninggalkan bekas.
"Godaan tidak selalu datang dari ruang gelap atau kesepian. Kadang-kadang ia menyelip di antara meja kerja, tumpukan dokumen, dan sapaan biasa. Yang berbahaya bukan godaannya—melainkan bagaimana kita menutup mata seolah-olah ia tidak pernah ada."—Catatan Rayendra MahendraKejadian semalam sangat membuat hari ini kacau, untungnya kantor ku masih sepi.Setelah menikah dengan Inaya aku memutuskan untuk bekerja pada salah satu perusahaan penulisan seperti Content Writer, Editor, Penulisan Akademis, dengan gaji yang lumayan oke, sedangkan Inaya juga memutuskan hal yang sama yaitu bekerja sebagai asisten pada perusahaan di kantornya.Awalnya kami tidak adaniatan untk bekerja, namun kami sangat ingin membeli rumah untk kami berdua.Ya kehidupan kami berubah sangat drastisAku duduk di meja komputer ku, lalu menatap layar ku, namun aneh, masih saja aku tidak terfokuskan, mengingat kejadian semalam yang begitu menegangkanAku sangat bingung, kenapa kejadian seperti itu bisa terjadi dan kena
"Pagi ini terasa aneh. Bukan hanya karena tubuhku lemas, tapi juga karena pikiranku terisi kejadian semalam—suara, desah, dan datangnya yang membuatku sulit membedakan mana kenyataan dan mana khayalan."masih terasa berat akibat kejadian semalam, tanpa berlama lama aku segera beranjak dari yang benar benar membatk tempat tidurku untuk segera kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhku.Seakan masih tidak menyangka, suara desahan Mama Liona yang menggoda, dan tatapannya yang benar benar membuatku terpesonaAku menelan ludah, dadaku terasa sesak oleh keadaan yang amat sulitTiba tiba Liana datang “Kaakkk, masih tidur ya?..aku mau liat dong” suaranya yang teramat lucu khas anak SMA itu mengetuk pintu kamarkuu, dia adik dari Inaya, Bentkan tubhnya cukup dibilang seksi untuk anak seumurannya, badannya tinggi dengan kulitnya yang putih membuat dia sangat cocok untuk dibilang cantik, apalagi ketika ia memakai daster merah muda yang membuat wajah imut nya sangat disukai para pria seumur nya.“Kak
Aku tidak percaya, ternyata tubh mertuaku jauh lebih nikmat dari pada istriku sendiri malam ini aku melepaskan hasrat ku dengan Mama Liona Ibu mertuak sendiri.“Enak banget ma, sampai sampai aku tidak bisa berhenti menggoyang”. Ucap Rayen yang sangat puas malam itu“Kamu juga sangat perkasa Rayen, mama sampai kewalahan, ayo kita lanjut lagi” “Siap ma, kita lanjut sampai pagi”Sedangkan inaya istri Rayendra berselingkuh dengan pria lain**Malam itu sangat dingin, hawa yang sangat menenangkan. Tapi tidak untukku . Aku terjaga malam itu dikamar dengan perasaan dan pikiran yang kacau, seharusnya disebelahku ada istriku yang menemaniku, disaat dingin yang mencengkam ini aku hanya bisa memeluk bantal.Memang 1 tahun ini aku sering bercinta dengannya semalaman. Sekarang benda pusakaku sedang tegang, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Semenjak menikah nafsuku tinggi, apalagi cuaca dingin begini.Rayen mendapatkan pesan sara dari Inaya“Sayang jangan lup
"Cinta sejati bukan hanya tentang siapa yang kita pilih untuk bersama, tetapi juga keberanian untuk telanjang dalam arti yang paling jujur—tanpa topeng, tanpa dalih." —Catatan Inaya Malam itu, kamar sederhana Rayendra berubah menjadi ruang sakral. Bukan karena hiasan bunga atau lilin aromaterapi, tapi karena dua hati yang selama ini berputar dalam lingkaran luka, akhirnya menemukan keberanian untuk berhenti berlari. Inaya duduk di tepi ranjang, jarinya memainkan renda tipis gaun tidur yang baru saja ia kenakan. Ia tampak gugup, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya kokoh. Rayendra, yang berdiri di dekat jendela, menutup tirai perlahan. Udara malam menyelinap sebentar sebelum benar-benar tertutup, menyisakan aroma hujan yang masih menempel di dedaunan. “Kenapa kamu diam?” tanya Inaya, suaranya lirih. Rayendra tersenyum kecil, lalu mendekat. “Aku takut kalau aku bicara, aku akan terdengar seperti dosen yang sedang memberi kuliah, padahal malam ini aku hanya ingin
Malam pertama bukan hanya tentang hasrat, tapi tentang janji untuk saling mencintai dan menjaga selamanya." —Rayendra, membatin Malam itu, setelah semua hiruk pikuk pesta berakhir, Rayendra dan Inaya akhirnya tiba di kamar suite pengantin mereka. Kamar itu didekorasi dengan indah, dengan taburan kelopak mawar merah di atas tempat tidur dan lilin-lilin aromaterapi yang menciptakan suasana romantis. Di dinding ada tulisan neon berbentuk hati dengan pesan “Selamat menempuh hidup baru, semoga cinta ini abadi “ Inaya merasa gugup sekaligus bersemangat. Ia tidak sabar untuk menghabiskan malam pertama sebagai istri Rayendra. "Indah sekali," ucap Inaya, mengagumi dekorasi kamar. "Tidak seindah dirimu," balas Rayendra sambil tersenyum lembut. Ia mendekati Inaya dan memeluknya erat. "Aku sangat mencintaimu," bisik Rayendra di telinga Inaya. "Aku juga sangat mencintaimu," balas Inaya. Rayendra mencium kening Inaya dengan lembut, lalu beralih ke bibirnya. Ciuman itu awalnya lembut dan penu
Cinta sejati adalah ketika kamu bisa memaafkan masa lalu dan membangun masa depan bersama." —Inaya, dalam hatinya Rayendra membeku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Amelia yang berdiri di dekat pintu masuk ballroom. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Inaya menyadari perubahan ekspresi Rayendra. Ia mengikuti arah pandang suaminya dan melihat Amelia. Ia menghela napas panjang. "Biarkan aku yang bicara dengannya," bisik Inaya sambil menggenggam tangan Rayendra erat. Rayendra mengangguk. Ia tahu, Inaya lebih kuat dari yang ia kira. Inaya berjalan menghampiri Amelia dengan langkah tegap. Ia berhenti tepat di hadapan mantan istri suaminya itu. Amelia menyambut mereka dengan senyum sinis. "Selamat, Rayendra, Inaya," ucap Amelia, suaranya dingin seperti es. "Semoga kalian bahagia... selamanya." "Amelia," sapa Inaya dengan tenang. "Apa yang kau lakukan di sini?" Amelia menatap Inaya dengan tatapan kosong. "Aku hanya ingin melihat







