Home / Romansa / Selingkuh itu Ilmiah / Bab 4: Antara Penelitian dan Perasaan

Share

Bab 4: Antara Penelitian dan Perasaan

Author: gilang
last update Last Updated: 2025-07-15 11:20:10

"Terkadang, yang paling sulit bukan memisahkan mana cinta dan ilusi… tapi menerima bahwa kita memilih ilusi karena terasa lebih nyata."

— Catatan Harian Rayendra


Pukul 01.43 dini hari. Rayendra masih terjaga.

Lampu meja kerjanya menyorot tumpukan buku psikologi yang berantakan: Bowlby, Sternberg, hingga jurnal tentang attachment disorder. Semua terbuka, beberapa penuh coretan stabilo. Tapi di antara teori-teori akademik itu, ada satu file di laptopnya yang paling sering ia buka belakangan ini: transkrip percakapannya dengan Amel.

Setiap barisnya seperti akar yang merambat ke dalam ruang hatinya, menembus batas yang dulu ia kira kokoh. Ia tidak bisa menentukan kapan semua ini mulai melenceng dari penelitian. Yang ia tahu, intensitas itu tumbuh diam-diam, seperti tanaman liar yang menembus retakan beton.

Satu pesan terakhir dari Amel masih menyala di layar ponselnya:

“Kamu tahu nggak, kadang aku ngerasa bersalah bukan karena selingkuh… tapi karena aku bahagia.”

Kalimat itu lebih tajam daripada pengakuan cinta.

Rayendra menutup mata. Sunyi dini hari menelannya. Ia sadar: kebahagiaan yang lahir dari kebohongan sering kali terasa paling jujur. Karena ia muncul tanpa tuntutan, tanpa dekorasi. Hanya ada dua orang yang saling memberi ruang dalam dunia yang memaksa mereka untuk terus kuat.


Esok harinya, ia kembali ke kampus.

Di ruang dosen, suasana tampak biasa. Dosen-dosen lain membicarakan berita korupsi terbaru sambil tertawa getir, mahasiswa lalu-lalang dengan proposal di tangan, dan Dino—seperti biasa—sibuk dengan kopi sachetnya.

“Lo kayak zombie, Ren. Kurang tidur atau lagi penelitian lapangan di dunia mimpi?” sindir Dino.

Rayendra tersenyum tipis. “Kurang tidur aja.”

Tapi Dino tidak mudah percaya. Ia menatap lama, lalu mendekat.

“Ren, gue serius. Lo masih tahu batas nggak? Atau udah kebablasan sama subjek lo itu?”

Pertanyaan itu menghantam tepat di titik rapuhnya. Seperti cermin yang tak bisa ia hindari.

“Gue... nggak tahu, Din,” jawabnya lirih. “Kadang gue ngerasa Amel itu refleksi dari semua yang hilang dari hidup gue. Tapi kadang gue takut... takut semua ini cuma delusi akademik yang dibungkus romansa.”

Dino tidak menasihati. Ia hanya mengangguk pelan. Karena ia tahu: bahkan orang yang sadar sedang tersesat, tetap bisa memilih untuk tidak kembali.


Di sisi lain kota, Amel duduk di kafe kecil tempat mereka biasa bertemu diam-diam. Meja pojok, dekat jendela, yang selalu mereka pilih agar bisa mengamati orang lain tanpa terlalu terlihat.

Amel menatap layar ponselnya. Ia mengetik pesan, lalu menghapus. Mengetik lagi, menghapus lagi. Begitu berulang kali. Hingga akhirnya, satu kalimat terkirim:

“Kalau aku pergi duluan, kamu akan tetap menyimpan semua percakapan kita?”

Rayendra membaca pesan itu saat di toilet kampus. Ia menatap layar lama, sebelum membalas:

“Aku bahkan mungkin akan menyimpannya lebih lama dari yang seharusnya.”

Tidak ada balasan lagi.

Rayendra tahu: itu bukan ancaman. Itu sinyal. Amel berada di ujung pertahanannya—titik di mana seorang perempuan berhenti menuntut kepastian karena jawabannya sudah jelas, hanya saja hati belum siap mendengarnya.


Malam itu, Rayendra pulang lebih cepat. Nadia sudah menunggu, duduk di ruang tamu sambil merapikan rak buku.

Ekspresinya datar. Tidak marah, tidak sedih. Justru lebih menakutkan karena netral.

“Aku enggak akan tanya kamu udah sampai sejauh apa sama perempuan itu,” ucap Nadia tanpa menoleh. “Karena yang bikin aku hancur bukan kamu selingkuh... tapi kamu berhenti jujur.”

Rayendra menunduk, jantungnya berat.

“Aku enggak minta kamu pura-pura cinta,” lanjut Nadia. “Tapi setidaknya, kasih tahu aku kapan kamu berhenti merasa rumah ini adalah tempat pulangmu.”

“Nad...” suaranya serak.

Nadia menatapnya, mata berkaca tapi tegar.

“Aku enggak marah kamu jatuh cinta lagi. Aku kecewa... karena kamu lebih memilih memahami perempuan lain ketimbang mencoba memahami aku yang sudah ada di sini sejak awal.”

Rayendra ingin meminta maaf. Tapi seperti pasien yang baru sadar lukanya parah ketika disentuh, ia hanya bisa diam.


Hari-hari berikutnya, Amel menghilang.

Tidak ada balasan. Tidak ada status online. Tidak ada sinyal digital bahwa ia masih ingin bicara.

Rayendra gelisah. Ia mencoba fokus di kelas, menjelaskan teori afeksi primer dan sekunder. Tapi ironisnya, emosinya justru kacau bukan karena teori—melainkan karena kehilangan koneksi.

Ia bahkan nekat mendatangi coworking space tempat Amel biasa bekerja. Petugas hanya menggeleng.

“Udah seminggu nggak kelihatan, Pak. Biasanya tiap hari.”

Rayendra berdiri kaku. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar sadar: kehilangan bukan soal ditinggalkan. Tapi soal ketika seseorang berhenti mempercayakan kisahnya padamu.


Hari ketiga, sebuah pesan akhirnya masuk. Pendek. Dingin.

“Aku mutusin berhenti dari eksperimen ini. Aku juga udah kirim formulir penarikan subjek ke sistem. Maaf, dan terima kasih.”

Rayendra mengetik panjang lebar, tapi akhirnya hanya mengirim:

“Aku bisa tetap dengerin kamu, walau bukan dalam konteks penelitian.”

Balasannya cepat:

“Itu justru masalahnya, Rayen. Kamu terlalu pandai membuat orang nyaman sampai mereka lupa kamu sedang mencatat.”


Beberapa minggu kemudian, jurnal ilmiah Rayendra diterima di simposium psikologi hubungan modern. Ia diundang sebagai pembicara dengan judul: “Validitas Afeksi dalam Era Koneksi Semu.”

Tepuk tangan bergemuruh. Semua kagum. Bahkan Bu Lilis yang dulu meremehkan penelitiannya akhirnya mengakui, “Tulisanmu terlalu jujur untuk diabaikan.”

Tapi berdiri di podium, menyimpulkan bahwa “manusia pada dasarnya tidak monogami secara emosional,” Rayendra tidak merasa menang.

Karena satu-satunya orang yang ingin ia ceritakan tentang pencapaiannya... sudah pergi tanpa pamit.


Setelah simposium, ia menutup akun EmoLink sementara. Folder 004 – Amelia Larasati tetap tersimpan di laptop. File terakhir dari Amel berbunyi:

“Kalau suatu hari kamu baca ini lagi, ingatlah: aku bukan eksperimen. Aku cuma manusia yang pernah percaya bahwa luka bisa disembuhkan lewat cerita.”

Rayendra tidak pernah menghapusnya.

Karena seperti semua hal yang menyakitkan tapi bermakna—Amel adalah kesalahan yang tak ingin ia perbaiki.


Beberapa minggu kemudian, ia kembali masuk ke EmoLink. Kali ini, ia mencoba masuk ke grup diskusi tentang kehilangan. Orang-orang berbagi kisah patah hati, kehilangan pasangan, hingga trauma ditinggal mati.

Untuk pertama kalinya, Rayendra hanya membaca. Tidak mencatat, tidak menganalisis. Hanya mendengarkan.

Dan di sana, ia mulai memahami sesuatu: bahwa kehilangan adalah bahasa universal. Dan mungkin, satu-satunya cara berdamai bukan dengan melupakan... tapi dengan menerima bahwa beberapa orang hadir hanya untuk meninggalkan bekas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 41: Di Bawah Sorotan Negara

    "Ketika kata-kata dianggap berbahaya, penulisnya menjadi musuh yang tak pernah diminta. Namun terkadang-kadang, di situlah kebenaran mulai terdengar." —Inaya, catatan harianPagi itu, berita mengejutkan seluruh negeri: kementerian komunikasi dan kebudayaan secara resmi mengumumkan penyelidikan terhadap proyek buku Rayendra dan Inaya . Dalam konferensi pers yang disiarkan nasional, seorang pejabat tinggi berkata:"Kami tidak ingin sejarah kelam terulang. Buku lama Rayendra memicu kerusakan sosial. Pemerintah berkomitmen mencegah dampak yang sama terjadi kembali."Pernyataan itu diikuti dengan langkah hukum:Penyusunan sementara seluruh arsip buku lama.Memeriksa rencana penerbitan buku baru.Peringatan keras kepada penerbit untuk menghentikan proyek hingga investigasi selesai.Di luar kantor kementerian, massa berkumpul, membawa spanduk bertuliskan “Selamatkan Nilai Keluarga!” dan “Hentikan Buku Penyakit Ini!” .Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan kecil antara kel

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 40: Menulis di Tengah Api

    "Tinta yang ditulis di tengah api akan selalu berbau asap. Tapi mungkin bau itu yang membuatnya jujur."—Rayendra, catatan malam setelah debatDampak Debat TelevisiDebat semalam mengguncang publik lebih dari yang mereka duga. Tayangan ulangnya ditonton jutaan kali, dan linimasa media sosial terbagi dua: satu sisi memuji keberanian Rayendra dan Inaya, sisi lain menuduh mereka sebagai pengkhianat moral bangsa.Di kantor penerbit, telepon berdering tanpa henti. Permintaan wawancara, tawaran kontrak film dokumenter, bahkan ancaman boikot terhadap semua buku terbitan mereka masuk bersamaan.Penerbit memanggil Rayendra dan Inaya untuk rapat darurat.“Kami ingin mendukung penuh,” kata pimpinan penerbit, “tapi kita harus berhati-hati. Tekanan politik nyata. Jika buku ini ingin sampai ke pembaca, kita mungkin harus mempertimbangkan distribusi digital rahasia atau bahkan penerbitan luar negeri.”Rayendra menatap Inaya. “Kalau itu satu-satunya cara, kita lakukan. Yang penting pesan ini sampai.”

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 39: Opini yang Terbelah

    "Ketika kata-kata keluar dari halaman buku dan masuk ke layar berita, mereka berhenti menjadi milik penulisnya. Mereka menjadi milik dunia—dan dunia selalu terbelah."—Inaya, wawancara media nasionalLedakan Media NasionalSehari setelah forum terbuka, seluruh media nasional dipenuhi headline yang bertolak belakang:“Rayendra dan Inaya: Dari Kontroversi Menuju Penyembuhan”“Ilmu yang Menjual Luka: Proyek Buku Baru Dikecam”“Forum Kampus Ricuh: Publik Masih Trauma dengan Teori Selingkuh”Talk show, radio, dan portal daring berlomba-lomba membahas topik ini. Opini publik pun terbelah: sebagian mendukung upaya mereka memperbaiki kesalahan lama, sementara sebagian lain menuduh keduanya hanya mencari perhatian.Di salah satu acara debat televisi, seorang politisi konservatif berkata lantang:“Ini bukan sekadar buku. Ini adalah upaya untuk melegitimasi perilaku amoral yang telah merusak nilai keluarga bangsa. Pemerintah harus mempertimbangkan pelarangan buku ini bahkan sebelum terbit.”Teka

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 38: Dialog yang Terbakar

    "Kebenaran yang tidak siap diucapkan akan selalu memicu api. Tapi terkadang api itu perlu untuk membersihkan tanah bagi benih baru."—Rayendra, pembuka forum pidatoForum PertamaForum “Dialog Cinta dan Ilmu” diadakan seminggu setelah kepulangan Rayendra dan Inaya. Aula kampus yang biasanya sunyi mendadak penuh sesak. Mahasiswa, dosen, jurnalis, dan masyarakat umum berdesakan memenuhi kursi. Spanduk besar tergantung di depan ruangan:“Menyembuhkan Luka Lama: Ilmu, Cinta, dan Keberanian Mengaku Salah.”Rayendra dan Inaya duduk di samping panggung kecil, sementara moderator membuka acara dengan suara bergetar. "Hari ini, untuk pertama kalinya, kami mengadakan forum terbuka yang membahas dampak teori lama dan rencana buku baru yang sedang ditulis. Kami mohon semua pihak berbicara dengan hati yang jujur."Pertanyaan yang Memicu ApiSesi diskusi dibuka dengan pertanyaan dari seorang pria paruh baya di barisan depan. Wajahnya menyimpan amarah yang lama terpendam.“Saya adalah suami yang dit

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 37: Pulang dengan Badai

    "Terkadang rumah bukan tempat yang menyambut kita dengan damai. Kadang ia menunggu di tikungan, membawa badai yang ingin kita hindari."—Inaya, catatan perjalananKembali ke Tanah AirPesawat yang membawa Rayendra dan Inaya mendarat di Jakarta dalam suasana mendung. Bandara Soekarno-Hatta ramai, tapi aura di sekeliling mereka terasa berbeda. Meski baru seminggu sejak berita proyek buku kolaborasi bocor ke media, dampaknya sudah sampai ke Indonesia lebih dulu daripada mereka.Di luar bandara, sejumlah wartawan menunggu. Kamera siap menyorot, mikrofon terjulur, suara riuh pertanyaan berbaur dengan teriakan.“Pak Rayendra, apakah buku baru ini hanya taktik mencari sensasi?”“Bu Inaya, apakah Anda berdua akan kembali seperti dulu?”“Bagaimana Anda menanggapi tuduhan bahwa proyek ini merusak moral publik?”Rayendra dan Inaya saling berpandangan, lalu memilih berjalan melewati kerumunan tanpa menjawab. Mobil yang menjemput mereka segera membawa keduanya keluar dari bandara, meninggalkan sor

  • Selingkuh itu Ilmiah   Bab 36: Bayang-Bayang Kritik

    "Kadang, sebelum kita membangun jembatan baru, kita harus siap menerima batu yang dilempar dari tebing lama."—Rayendra, catatan di StanfordPengumuman yang MenggemparkanTiga hari setelah simposium, sebuah artikel eksklusif di majalah internasional memuat berita mengejutkan:“Rayendra dan Inaya Kembali Bersatu untuk Menulis Buku Kolaboratif: Transformasi atau Manipulasi?”Berita itu segera viral. Media sosial meledak dengan komentar: sebagian menyambut, sebagian menuduh mereka mencari sensasi. Hashtag #CintaTakSelesai menjadi tren global dalam hitungan jam.Di lobi hotel Stanford, Rayendra membaca artikel itu sambil memijat pelipis. Inaya datang membawa secangkir teh, meletakkannya di meja, lalu duduk di hadapannya.“Aku rasa ini baru awal,” kata Inaya pelan.Rayendra menghela napas. “Aku pikir dunia akan senang mendengar kita mencoba memperbaiki kesalahan lama. Ternyata tidak sesederhana itu.”Inaya menatapnya tajam. “Karena orang tidak percaya pada perubahan. Mereka lebih suka meli

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status