Beberapa luka tidak bisa dijelaskan lewat teori. Karena bukan soal apa yang terjadi, tapi siapa yang melakukannya—dan siapa yang membiarkannya terjadi."
— Fragmen Tak Diterbitkan, Rayendra Mahendra Rayendra memikirkan kalimat itu. Luka yang ia alami jauh lebih rumit daripada sekadar catatan metodologis. Sudah tiga minggu sejak terakhir kali ia bertukar pesan dengan Amel. Setiap kata yang ia ketik terasa seperti garam di atas luka terbuka. Semakin ia berusaha berbicara, semakin sakit yang dirasakan. Ia menatap layar laptop, menutup file presentasi yang terbengkalai, lalu membuka folder pribadi berjudul Draft yang Tidak Akan Dipublikasikan. Isinya berantakan: catatan refleksi, kutipan konseling, potongan kalimat Amel yang diam-diam ia simpan. Salah satunya berbunyi: “Aku merasa seperti layang-layang putus, tak tahu arah mana yang harus kutuju.” “Gue kira bisa pisahin riset sama perasaan,” gumamnya. Cangkir kopi di meja sudah dingin. Semangatnya pun sama dinginnya. Ia bingung harus berdiri di sisi mana—sebagai ilmuwan atau sebagai laki-laki biasa yang terjebak dalam abu-abu. Hari itu, ia menghadiri evaluasi pasca-komite etik. Tidak ada penghakiman, hanya revisi administratif. Tapi kalimat penutup dari Bu Lilis lebih menusuk daripada dokumen resmi: “Kadang kita terlalu sibuk memahami perilaku orang lain, sampai lupa memancarkan motif kita sendiri.” Rayendra menjawab. Ia sadar, ia bukan sekadar korban sistem akademik. Ia juga pelaku dilema yang ia ciptakan sendiri. Malamnya, ia kembali ke apartemen yang kini sepi. Nadia sudah tak ada. Tidak ada aroma lavender, tidak ada suara alat masak, tidak ada kehadiran yang dulu ia sebut “rumah.” Dalam kesepian itu, ia membuka dokumen kosong dan menulis: Selingkuh bukan selalu soal tubuh. Kadang-kadang, itu soal mencari validasi di tempat yang salah. Soal dirasakan didengarkan oleh seseorang yang seharusnya tidak mendengarkan. Kita tahu salah, tapi tetap bertahan karena kedekatannya terlalu manis untuk ditinggalkan. Keesokan harinya, ia menerima undangan dari Bu Citra, dosen psikologi klinis yang juga membuka klinik konseling. Pesannya singkat: "Saya mendengar banyak hal tentang penelitian Anda. Tidak semua saya setuju, tapi saya tahu Anda tidak sedang baik-baik saja. Kalau bersedia, mampirlah. Bukan sebagai kolega, tapi sebagai individu yang mungkin perlu ditanyai balik." Rayendra menatap pesan itu lama. Biasanya, dia yang memberi pertanyaan. Kali ini, ia yang harus menjawab. Sore itu ia mendatangi klinik kecil di belakang kampus seni. Ruangannya hangat, aroma kayu manis bercampur bau buku tua. Tidak formal, hanya sofa empuk dan musik instrumental. “Silakan duduk,” ucap Bu Citra ramah. Rayendra duduk. Untuk beberapa menit, hanya hening. Lalu suara lembut itu memecahnya: “Apa yang ingin Anda ceritakan?” Rayendra menarik napas. “Aku jatuh cinta pada subjek penelitianku sendiri.” Tapi Citra tidak terkejut. “Di kawasan itu, itu cinta... atau pengungsi?” Rayendra menatap jendela. "Awalnya penelitian. Lalu jadi tersimpan. Sampai aku lupa bedanya antara observasi dan keterlibatan." “Bagaimana hubunganmu dengan istrimu?” "Retak. Bukan karena bertengkar. Tapi karena kami berhenti hadir." “Dan perempuan itu?” “Dia membuatku merasa terlihat. Bukan sebagai dosen, bukan suami. Tapi sebagai manusia.” Bu Citra mencatat. “Kadang, kita jatuh cinta bukan pada orangnya, tapi pada perasaan yang muncul saat bersamanya.” Malamnya, Rayendra menulis draft email untuk Amel. Ia tak bermaksud mengirim, hanya menuliskan isi hati: Mel, gue gak tahu apa yang sebenarnya kita alami. Tapi gue gak menyesal pernah dengar tawa lo waktu gue cerita hal-hal bodoh. Kamu bukan objek penelitian. Kamu adalah orang yang bikin gue merasa hidup kembali. Tapi mungkin, hidup itu hanya untuk dikenang, bukan dilanjutkan. Ia menyimpannya di folder yang sama: Draft yang Tidak Akan Dipublikasikan. Beberapa hari kemudian, ia diminta menjadi pembicara di radio dare. Temanya: “Cinta yang Melampaui Batas.” Ironisnya, pikirnya. Ia hampir menolak, tapi akhirnya setuju dengan syarat tanpa menyebut kampus. Di udara, terdengar terdengar tenang: "Dalam dunia akademik, kita terbiasa memberi label pada emosi. Kita ukur, kita klasifikasikan. Tapi emosi manusia tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Dan ketika cinta tumbuh di tempat yang salah, bukan berarti ia palsu. Hanya saja, ia lahir di tanah yang tak seharusnya." Pendengar menanggapinya dengan hangat, tapi bagi Rayendra, ini bukan tentang mereka. Ini tentang pengakuan: dia pernah tersesat. Beberapa minggu kemudian, Nadia mengirim pesan: "Akan ada sidang perceraian tiga minggu lagi. Kau tak perlu datang kalau tak mau. Aku sudah cukup paham, kita hanya berpasangan di atas kertas... dan aku lelah membayangkan-pura." Rayendra tak langsung membalas. Malam itu, ia duduk di balkon apartemen, menatap langit abu-abu Jakarta. Ia membuka jurnal baru. Tanpa grafik, tanpa data. Hanya satu kalimat: Mungkin cinta yang paling jujur adalah yang membuat kita berani kehilangan segalanya—termasuk diri sendiri."Ketika kata-kata dianggap berbahaya, penulisnya menjadi musuh yang tak pernah diminta. Namun terkadang-kadang, di situlah kebenaran mulai terdengar." —Inaya, catatan harianPagi itu, berita mengejutkan seluruh negeri: kementerian komunikasi dan kebudayaan secara resmi mengumumkan penyelidikan terhadap proyek buku Rayendra dan Inaya . Dalam konferensi pers yang disiarkan nasional, seorang pejabat tinggi berkata:"Kami tidak ingin sejarah kelam terulang. Buku lama Rayendra memicu kerusakan sosial. Pemerintah berkomitmen mencegah dampak yang sama terjadi kembali."Pernyataan itu diikuti dengan langkah hukum:Penyusunan sementara seluruh arsip buku lama.Memeriksa rencana penerbitan buku baru.Peringatan keras kepada penerbit untuk menghentikan proyek hingga investigasi selesai.Di luar kantor kementerian, massa berkumpul, membawa spanduk bertuliskan “Selamatkan Nilai Keluarga!” dan “Hentikan Buku Penyakit Ini!” .Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan kecil antara kel
"Tinta yang ditulis di tengah api akan selalu berbau asap. Tapi mungkin bau itu yang membuatnya jujur."—Rayendra, catatan malam setelah debatDampak Debat TelevisiDebat semalam mengguncang publik lebih dari yang mereka duga. Tayangan ulangnya ditonton jutaan kali, dan linimasa media sosial terbagi dua: satu sisi memuji keberanian Rayendra dan Inaya, sisi lain menuduh mereka sebagai pengkhianat moral bangsa.Di kantor penerbit, telepon berdering tanpa henti. Permintaan wawancara, tawaran kontrak film dokumenter, bahkan ancaman boikot terhadap semua buku terbitan mereka masuk bersamaan.Penerbit memanggil Rayendra dan Inaya untuk rapat darurat.“Kami ingin mendukung penuh,” kata pimpinan penerbit, “tapi kita harus berhati-hati. Tekanan politik nyata. Jika buku ini ingin sampai ke pembaca, kita mungkin harus mempertimbangkan distribusi digital rahasia atau bahkan penerbitan luar negeri.”Rayendra menatap Inaya. “Kalau itu satu-satunya cara, kita lakukan. Yang penting pesan ini sampai.”
"Ketika kata-kata keluar dari halaman buku dan masuk ke layar berita, mereka berhenti menjadi milik penulisnya. Mereka menjadi milik dunia—dan dunia selalu terbelah."—Inaya, wawancara media nasionalLedakan Media NasionalSehari setelah forum terbuka, seluruh media nasional dipenuhi headline yang bertolak belakang:“Rayendra dan Inaya: Dari Kontroversi Menuju Penyembuhan”“Ilmu yang Menjual Luka: Proyek Buku Baru Dikecam”“Forum Kampus Ricuh: Publik Masih Trauma dengan Teori Selingkuh”Talk show, radio, dan portal daring berlomba-lomba membahas topik ini. Opini publik pun terbelah: sebagian mendukung upaya mereka memperbaiki kesalahan lama, sementara sebagian lain menuduh keduanya hanya mencari perhatian.Di salah satu acara debat televisi, seorang politisi konservatif berkata lantang:“Ini bukan sekadar buku. Ini adalah upaya untuk melegitimasi perilaku amoral yang telah merusak nilai keluarga bangsa. Pemerintah harus mempertimbangkan pelarangan buku ini bahkan sebelum terbit.”Teka
"Kebenaran yang tidak siap diucapkan akan selalu memicu api. Tapi terkadang api itu perlu untuk membersihkan tanah bagi benih baru."—Rayendra, pembuka forum pidatoForum PertamaForum “Dialog Cinta dan Ilmu” diadakan seminggu setelah kepulangan Rayendra dan Inaya. Aula kampus yang biasanya sunyi mendadak penuh sesak. Mahasiswa, dosen, jurnalis, dan masyarakat umum berdesakan memenuhi kursi. Spanduk besar tergantung di depan ruangan:“Menyembuhkan Luka Lama: Ilmu, Cinta, dan Keberanian Mengaku Salah.”Rayendra dan Inaya duduk di samping panggung kecil, sementara moderator membuka acara dengan suara bergetar. "Hari ini, untuk pertama kalinya, kami mengadakan forum terbuka yang membahas dampak teori lama dan rencana buku baru yang sedang ditulis. Kami mohon semua pihak berbicara dengan hati yang jujur."Pertanyaan yang Memicu ApiSesi diskusi dibuka dengan pertanyaan dari seorang pria paruh baya di barisan depan. Wajahnya menyimpan amarah yang lama terpendam.“Saya adalah suami yang dit
"Terkadang rumah bukan tempat yang menyambut kita dengan damai. Kadang ia menunggu di tikungan, membawa badai yang ingin kita hindari."—Inaya, catatan perjalananKembali ke Tanah AirPesawat yang membawa Rayendra dan Inaya mendarat di Jakarta dalam suasana mendung. Bandara Soekarno-Hatta ramai, tapi aura di sekeliling mereka terasa berbeda. Meski baru seminggu sejak berita proyek buku kolaborasi bocor ke media, dampaknya sudah sampai ke Indonesia lebih dulu daripada mereka.Di luar bandara, sejumlah wartawan menunggu. Kamera siap menyorot, mikrofon terjulur, suara riuh pertanyaan berbaur dengan teriakan.“Pak Rayendra, apakah buku baru ini hanya taktik mencari sensasi?”“Bu Inaya, apakah Anda berdua akan kembali seperti dulu?”“Bagaimana Anda menanggapi tuduhan bahwa proyek ini merusak moral publik?”Rayendra dan Inaya saling berpandangan, lalu memilih berjalan melewati kerumunan tanpa menjawab. Mobil yang menjemput mereka segera membawa keduanya keluar dari bandara, meninggalkan sor
"Kadang, sebelum kita membangun jembatan baru, kita harus siap menerima batu yang dilempar dari tebing lama."—Rayendra, catatan di StanfordPengumuman yang MenggemparkanTiga hari setelah simposium, sebuah artikel eksklusif di majalah internasional memuat berita mengejutkan:“Rayendra dan Inaya Kembali Bersatu untuk Menulis Buku Kolaboratif: Transformasi atau Manipulasi?”Berita itu segera viral. Media sosial meledak dengan komentar: sebagian menyambut, sebagian menuduh mereka mencari sensasi. Hashtag #CintaTakSelesai menjadi tren global dalam hitungan jam.Di lobi hotel Stanford, Rayendra membaca artikel itu sambil memijat pelipis. Inaya datang membawa secangkir teh, meletakkannya di meja, lalu duduk di hadapannya.“Aku rasa ini baru awal,” kata Inaya pelan.Rayendra menghela napas. “Aku pikir dunia akan senang mendengar kita mencoba memperbaiki kesalahan lama. Ternyata tidak sesederhana itu.”Inaya menatapnya tajam. “Karena orang tidak percaya pada perubahan. Mereka lebih suka meli