Share

Tanah Longsor

Sontak ucapan Hanan membuat semua orang yang berada di sana terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut pria itu termasuk istrinya juga tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut sang suami. Hanam tidak pernah merendahkan orang lain apalagi Arifin sebagai adik ipar yang paling ia sayangi, bahkan setiap ada masalah Arifin akan selalu dibela mati matian olehnya. Tapi kembali kepada kodrat manusia yang bisa berubah setiap yang dia mau, mulutmu adalah harimaumu bahkan harta bisa memecah bela tali silaturahmi yang kuat.

“Da,” panggil pelan hasna menyenggol siku sang suami.

“Yang aku katakan benar apa adanya, aku hanya ingin yang terbaik untuk keponakanku, aku tidk ingin dia merasakan kemiskinan yang kita rasakan, perjodohan dengan Samsul bisa dibatalkan lagi pula dia belum datang meminang hanya bertanya saja, tapi kita sudah berbuat janji dengan almarhum Marawi, cucunya adalah orang yang hebat rumah besar dan punya gedung tinggi, dia juga yang akan menjadi pemilik pabrik yang berada di desa kita,” shut hanan yang membuat Arifin terdiam dan tidak berani menjawab semua ucapan Hanan. Ia juga sadar diri karena tidak bisa membahagiakan dua wanita yang paling berharga dalam hidupnya dengan materi.

Tan malaka dan Kirai tidak pernah menuntut apapun darinya bahkan ia tidak pernah meminta emas dan uang yang banyak. Helaan nafas yang begitu berat otak dan hatinya tidak lagi sejalan ia menatap Hanan yang sudah mulai terpancing emosi bagaimanapun Hanan adalah abang iparnya tidak baik untuk dirinya menjawab bahkan Hanan adalah orang yang disegani di desa itu.

“Baik Da, aku akan bicara dengan Kirai dan beri aku waktu untuk berfikir. Apa tidak sebaiknya kita bertemu dengan cucu pak Marawi jadi kita tau yang terbaik untuk putri kita,” sahut arifin dengan antwi dan bersikap tenang.

“Apa yang harus kau pikirkan Arifin, aku yang akan menjamin perilaku cucunya, yang penting putrimu tidak akan kekurangan, lupakan perjodohan dengan putra Samsul bujuk Kirai untuk menikah dengan cucu almarhum Marawi,” sahut Hanan sembari menatap Arifin dan beralih mantap Tan Malaka yang diam seribu bahasa.

***

Berbeda dengan situasi sebuah rumah yang kini terpasang bendera marawa yang menjadi pertanda jika aka nada resepsi pernikahan. Suara alat musik khas minang mulai dimainkan tangan seorang gadis sudah mulai di hias, tak lupa dengan seorang gadis yang sedari tadi duduk di samping calon pengantin wanita menatap ujung-ujung jari yang sudah berwarna merah.

“Kapan kamu akan seperti ini Kirai?” tanya gadis itu yang membuat Kirai tersenyum menatap ke arah sahabatnya yang bernama rara.

“Dalam waktu yang dekat?” Tanya Kirai menatap Rara yang tersenyum ke arahnya.

“Apa kau masih menunggu pinangan dari Da Fatih?” Tanya Rara yang terkesan frontal dan menatap kirai yang langsung menatapnya.

“Kau bicara tidak ada filternya bagaimana jika orang- orang dengar?” sahut Kirai yang sesekali memasangkan inai {inai adalah bahan yang terbuat dari daun yang mengeluarkan warna merah atau di sebut juga dengan henna}

“Hais.. satu kampung sudah tau hubungan kau dan Da fatih rai,” ucap rara semabri tersenyum menatap Kirai yang menunduk malu.

“Kirai?” panggil seorang pemuda yang berhasil membuat kirai bedetak cepat.

Dia adalah Fatih putra Gampo Alam, seorang pemuda yang terkenal dengan sopan santun dan akhlaknya yang sangat baik. Seorang pria yang berusia 24 tahun memiliki perawakan yang sangat gagah dan berani, pria tampan yang semua gadis akan mengejarnya.

“Da Fatih,” sapa Kirai yang langsung berdiri sambil merapikan selendang miliknya.

“Ini sudah larut kenapa masih di sini, di luar hujan sangat lebat, apa Ayah dan ibu tidak akan khawatir?” Tanya Fatih yang bingung kenapa Kirai masih berada di luar ketika sudah larut malam ditambah hujan yang sangat lebat.

“Tadi sudah pamit ke ibu Da,” jawab Kirai yang diangguki oleh Fatih yang tersenyum ke arahnya.

Sementara di perjalan pulang sepasang suami istri itu baru saja berhenti di sebuah rumah untuk memasang mantel karena hujan semakin deras. Mereka adalah Tan Malaka dan Arifin yang kehujanan ketika pulang kerumah. Suara petir dan kilat menjadi saksi jika bersama hujan ini air mata dari sepasang suami istri ini juga ikut jatuh..

“Pasang mantelmu aku tak mau kau sakit,” sahut arifin sembari memasangkan mantel kepada sang suami.

“…” tidak ada jawaban Tan malaka hanya diam dan menatap ke arah sang suami yang kini sudah berada di atas motor.

“Ayo, aku takut Kirai akan mencari kita, apalagi dia tidak tahu kita akan pergi ke rumah mamak,” sahut arifin yang mulai melajukan kendaraan roda dua itu menghadang hujan dan badai yang sangat kencang.

“Maafkan ucapan kakakku Da, aku tidak menyangka kalimat itu kan keluarga dari mulut da hanan,” ucap Tan Malaka yang sedikit berteriak karena suaranya sedikit terhambat oleh hujan yang begitu deras.

“Tidak masalah yang dikatakan Da Hanan itu adalah kebenaran, jadi aku tidak akan marah setelah ini kita kan bicara dengan Kirai untuk menikah dengan cucu marawi, ini adalah yang baik aku tidak ingin putri kita merasakan, apa yang kita rasakan juga,” tutur Arifin yang sedikit berteriak karena hujan sangat deras. “Bagaimana pun aku akan tetap ingin melihat Kirai bahagia tidak kekurangan seperti kita bahkan kau tau aku tidak pernah memberikanmu uang yang banyak,” sahut arifin yang tersenyum tipis.

“Aku tidak butuh materi, uang yang banyak belum menjamin hidup bahagia Da,” jelas Tan Malaka yang samar samar melihat cahaya lampu mobil.

"Hai-hati Da, sepertinya di depan ada mobil yang akan lewat,” sahut Tan malaka yang diangguki oleh arifin.

“Di depan longsor,” ucap Arifin yang sedikit berteriak dan menghentikan motornya memberi jalan kepada mobil itu untuk lewat karena tidak memungkin untuk lewat dengan bersamaan jalanan yang masih hangat sempit.

“kenapa mobil itu seperti berjalan ke arah kita kita Da?” Tanya Tan malaka yang menajamkan matanya menatap ke arah mobil tu.

Terdengar sangat jelas Arifin tertawa dan memegang tangan tan malaka. “Apa kau takut?” tanya Arifin yang dijawab sedikit anggukan oleh Tan malaka yang masih fokus ke pada mobil yang semakin mendekat ke arahnya.

“Longsor,” teriak Arifin sambil melambaikan tangannya memberi tahu jika sopir harus menelan kecepatan mobilnya karena situasi jalan yang gelap dan cahaya lampu motor yang tidak begitu terang di tambah suara hujan yang deras membuat sopir itu tidak mendengarkan ucapan Arifin.

“Lari Mala,” teriak Arifin yang langsung menarik tangan sang istri karena mobil itu kehilangan kendali tergelincir lumpur longsor tepat di jalan yang menurun mobil itu semakin cepat seolah mengejar Arifin dan Tan Malaka yang berlari. Bersamaan dengan motor nya yang juga tersenggol oleh mobil itu mengejar Arifin dan Tan Malaka.

BRUKK… BRUKKKKKK…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status