Share

Almarhum Marawi

Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda.

“Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnya

Sontak suara itu membuat Kirai langsung tersenyum dan menatap pria paruh baya itu.

"Iya," jawab Kirai sembari menganggukan kepalanya dan menatap pria itu.

"Surau tertua di sini dimana ya Uni?" Tanya pria paruh baya itu yang membuat Kirai kembali tersenyum.

"Bapak Lurus saja, sebentar lagi akan sampai jaraknya tidak jauh hanya sekita lima rumah dari sini, surau itu di sebelah kanan pak," sahut Kirai sembari menunjuk jalan tanpa ia sadari sepasang mata sedari tadi melihatnya dengan penuh kekaguman.

"Ah begitu terimakasih Uni," ujar pria paruh baya itu yang langsung dijawab anggukan oleh Kirai.

Perlahan mobil hitam itu berjalan bersamaan dengan Kirai yang kembali berjalan.

"Apa itu orang-orang proyek?" Gumam Kiria yang masih terus berjalan.

***

Rumah kayu yang berada di tepi sawah terlihat bersih dan sangat nyaman untuk dihuni, tapi tidak dengan sang pemilik rumah yang sedang duduk bersama di meja makan karena ini sudah waktunya untuk makan siang. Mereka adalah Ariffin dan Tan Malaka yang makan siang tanpa kehadiran sang putri kesayangan, bahkan makan siang ini terasa sangat mencekam karena Arifin sedari tadi tidak mengatakan kata sepatah katapun.

“Dimana Kirai?” Tanya Arifin memecah keheningan dan menatap ke arah sang istri yang langsung menatap kearah kamar sang putri

“Kirai pergi ke rumah Rara Da, malam ini adalah malam bainai Rara dan calon suaminya,” jawab Tan Malaka sambil menuang air putih ke dalam gelas sang suami.

“Tadi aku bertemu dengan Uni Hasna di pasar Da,” sambung Tan Malaka yang membuat Arifin langsung menatap ke arah sang istri.

“Apa yang Uni Hasna katakan?” Tanya Arifin penasaran dengan ucapan sang istri.

“Da Hanan menyuruh kita pergi ke rumah nya malam ini, lalu aku katakan jika malam ini kita memang sudah berencana untuk pergi ke rumah Uni Hasna,” jelas Tan Malaka yang membuat Arifin mengangguk.

“Yang dikatakan Uni Hasna dan Uda Hanan ada benarnya, lebih baik kita akan menikahkan Kirai, karena umur tidak ada yang tau, aku ingin melihat putriku cantik menggunakan pakaian anak daro, menjabat tangan calon suaminya adalah satu kebahagian untuk ku menjadi seorang ayah,” jelas Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.

“Uda berbicara seolah akan meninggal kan Kirai,” kekehan Tan Malaka sembari tersenyum tapi ia memikirkan bagaimana cara membujuk sang putrinya untuk menikah.

“Anak Da Samsul, namanya Fatih putra gampo Alam, aku dengar dari beberapa teman Kirai yang bekerja di sawah mereka sudah sangat dekat seperti sepasang kekasih tapi Adik tidak tahu jika anak Da samsul adalah Fatih,” sahut Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka. “Dia anak yang baik, gagah, rajin, sopan dan sekarang baru lulus sama seperti Kirai,” jelas Arifin dengan semangat menjelaskan kelebihan pria yang bernama Fatih.

“…” tidak ada jawaban Lainnya an Malaka hanya tersenyum dan menatap ke arah Arifin yang lahap memakan masakannya. “Sepertinya sore hari akan turun hujan kita akan tetap ke rumah Da Hanan memakai mantel saja,” sahut Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.

Malam harinya, setelah adzan isya berkumandang, sepasang suami istri itu bersiap untuk pergi ke rumah Hanan untuk menyelesaikan masalah tentang perjodohkan untuk putri mereka. Entah kenapa langkah sepasang suami istri itu terlihat sangat berat untuk meninggal rumah kayu itu, Tan Malaka yang berjalan ke dapur langsung menulis sepucuk surat untuk sang putri.

“Apa yang kau tulis?” Tanya Arifin menatap Tan Malaka sedang menulis sebuah surat.

‘Adik makan malam mu, Ibu sudah panaskan, jangan menunggu Ayah dan Ibu pulang, kami akan pulang larut malam.’

“Adik suka terbangun di malam hari untuk makan malam Da, apa lagi di sekarang pergi ke rumah temannya dia hanya makan sedikit karena malu," kekehan Tan Malaka sambil meletakkan surat itu di atas meja.

Arifin hanya tersenyum tipis dan menatap ke arah sang istri yang berjalan sembari menutup tirai jendela.

“Hujan akan segera turun Da, apa sebaiknya kita pergi besok pagi saja?” sahut Tan Malaka menatap ke arah langit yang sesekali mengeluarkan kilat pertanda akan turun hujan, tidak hanya itu angin kencang juga membuat suasana di daerah itu sedikit dingin.

“Kita pergi malam ini saja, angin sangat kencang, semoga padi tidak ada yang roboh karena angin sekencang ini,” sahut pelan Arifin yang masih bisa didengar oleh Tan Malaka. Ia berjalan menuruni anak tangga dan menatap Tan Malaka yang menutup pintu menyembunyikan kunci rumah di bawah pot bunga.

“Ayo Da,” ajak Tan Malaka yang membuat Arifin mengangguk dan mulai melajukan motor berwarna merahnya menuju ke rumah Da Hanan.

Perjalanan yang cukup memakan waktu yang lama karena sedikit badai dan gerimis membuat mereka harus berhati- hati. Kendaraan roda dua itu berhenti tepat di sebuah rumah yaitu rumah Da Hanan dan Uni Hasna.

“Assalamualaikum,” sahut Tan Malaka yang diikuti oleh sang suami.

Kedatangan mereka disambut hangat oleh abang dan kakak ipar mereka, puas bercerita dan sekarang mereka duduk di temani segelas kopi panas dan cemilan pisang goreng.

“Kalian ingat dengan Almarhum Marawi? Tanya Hanan menatap ke arah Arifin.

“Almarhum yang membeli sawah ku ketika Kirai akan wisuda kan Da?” Tanya Arifin yang diangguki oleh Hanan.

“Mala,” panggil Hanan kepada adik bungsunya yaitu Tan Malaka.

“Iyo Da,” jawab cepat Tan Malaka menatap ke arah sang kakak.

“Ingat perjodohan yang kau buat olehnya di saat Kirai masih berumur 18 tahun, aku kira itu hanya candaan semata tapi ternyata tidak,” sahut Hanan menatap Tan Malaka dan Arifin yang terlihat bingung.

“Orang kepercayaan Marawi datang dan menagih janji itu, mau tidak mau kita harus memaksa Kirai untuk menikah dengan cucunya,” sahut Hanan yang membuat Ariffin dan Tan Malaka saling melirik.

“Tapi Da, aku setuju jika Kirai menikah dengan putra Da samsul,” ucap Arifin yang diangguki oleh tan malaka.

“Aku bisa bicara dengan samsul, Marawi dulu berjanji akan mengembalikan sawah yang dia beli padamu setelah kirai dan cucunya menikah,” ujar Hanan yang terkesan memaksa.

“Tapi aku tidak pernah bertemu dengan cucunya Da, aku tidak tau asal usulnya lebih baik jika Kirai dijodohkan dengan putra Da Samsul saja jelas asal usulnya dan juga terkenal sopan dan santun," sahut Arifin yang mencoba menjelaskan pendapatnya.

"Lebih baik Kirai dijodohkan dengan Cucu Almarhum Marawi saja Dek, perjodohan yang sudah dibuat dan disetujui oleh kedua belah pihak tidak bisa diputuskan begitu saja," jelas Hasna yang membuat Tan Malaka terdiam.

"Apa yang kau harapkan dengan putra Samsul itu? Dia belum bekerja, tidak punya rumah bahkan sekarang hanya berdiam diri rumah," jelas Hanan yang mulai menaikkan suaranya.

"Tapi Da, kita tau tentang seluk beluk keluarganya," sahut Arifin yang masih ingin di dengar oleh Hanan.

"Aku tau yang terbaik untuk anak kemenakan ku, lebih baik Kirai menikah dengan cucu Almarhum Marawi, punya rumah mewah di kota, punya pabrik bahkan namanya juga terkenal, tidak akan ada kata kekurangan di dalam hidup Kirai Nantinya," sahut Hanan menatap Arifin. "lagi pula, jika mereka menikah maka sawah yang sempat ia beli akan kembali padamu, Jo aa Adiak Jo panakan den ka ang agiah makan? Jo sawah sapetak yang hasilnyo Indak sabarapo? (dengan apa adik dan keponakan ku kau kasih makan, dengan sawah sepetak yang tidak seberapa itu?)" ucap Hanan yang berhasil membuat Arifin terdiam dan menatap ke arah sang istri yang menunduk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status