Devian menggendong tubuh Irene yang kelelahan. menaruh tubuh istrinya itu ke atas kasur dengan hati-hati. Devian mengusap pelan dahi Irene sebelum pergi meninggalkan wanita itu. Irene terbangun dengan tubuh yang begitu lelah. Ia mendengar gemercik dari kamar mandi. Ia berjalan dengan gontai—gaun yang begitu berat masih membalut tubuhnya. Irene berhenti sejenak, sebenarnya ia mengantuk tapi ia harus tetap melepaskan baju ini dari tubuhnya. Irene berjalan pelan namun sayangnya, langkah pelannya masih membuatnya hampir terjatuh. “Akh!” teriak Irene berpegang pada meja.Devian yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mendekati Irene. “Kenapa?” “Kakiku sakit,” lirih Irene. “Astaga.” Devian membantu Irene berdiri—namun justru Irene kesakitan. “Aku lihat dulu.” Devian menunduk—menyingkap gaun itu. “Kakimu merah, pasti sakit. Harus di bawa ke rumah sakit.” Irene mengerucutkan bibirnya. “Bantu aku ganti baju.” Devian mengerjap pelan. “Bagaimana aku bisa menahannya—” “Harus bisa
1 bulan lamanya pernikahan Irene dan Devian berjalan dengan lancar. Kandungan Irene juga sehat. Setiap pagi Irene akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ya meskipun sarapan yang ia siapkan tidak terlalu mewah. Hanya menu sederhana dan secangkir kopi. Namun pergerakan Irene terhenti saat Tv yang sedang menyala menyiarkan sebuah berita. “Devian Pradana, cucu dari konglomerat Gamatra yang juga digadang-gadang akan menjadi penerus perusahaan kini telah resmi meninggalkan Perusahaan. Devian Pradana telah resmi meninggalkan perusahaan dan memilih jalannya sendiri. Dikabarkan Devian sedang membangun perusahaanya sendiri. Namun belum ada yang tahu bisnis apa yang sedang dibangun oleh Devian.” Irene berhenti. untungnya ia sudah selesai menyiapkan sarapan. “Babe aku sudah menyuruhmu berhenti melakukan ini semua. Lagipula ada bibi yang akan membantu kamu. Kamu tidak perlu repot-repot membuat sarapan lagi.” Devian turun dari tangga. pria itu nampak santai dengan s
“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya seorang wanita yang berada di hadapan Irene. Ya, Irene memang nekad menemui orang lain untuk mengetahui apa yang terjadi. Karena ia mencoba bertanya pada orang tua Devian, Giselle dan Kevin pun belum tahu apa yang terjadi. “Kau yang menawarkan untuk memberitahuku, lebih baik jika kau langsung memberitahuku saja,” balas Irene. “Devian mengundurkan diri karena memilih menikahimu daripada aku.” Ratna tertawa pelan. “Dia melepaskan perusahaan hanya memilihmu. Kau pasti tidak tahu ya sekarang Devian sedang mati-matian membangun bisnis baru. Tentu saja tidak akan semudah itu.” Irene mengernyit. “Kau masih mengejar Devian?” tanyanya. “Setelah berhubungan dengan mantan tunanganku, kau masih mengejar Devian?” Irene seolah menegaskan apa yang sudah Ratna perbuat. Ratna tertawa lagi. “Jika bisa kenapa tidak?” “Aku tidak akan pernah membiarkannya.” Irene berdiri. “Terima kasih sudah memberitahuku. Tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu merebut suam
Devian membalas pelukan istrinya. “Hm.” Menyandarkan dagunya di bahu Irene. “Kenapa berjalan? kamu dari mana?” Irene melepaskan pelukannya. Ia mendongak. “Aku baru saja bertemu dengan Ratna, dia memberitahuku kenapa kamu keluar dari perusahaan. karena kamu menolak menikah dengannya.” Devian menghela. “Irene kenapa kamu menemui perempuan itu?” “Jika aku tidak menemuinya, aku tidak akan tahu apa yang terjadi dengan kamu. Maka dari itu kamu harus memberietahuku apa yang terjadi. Jangan menyimpannya sendiri.” Tangan Irene terangkat mengusap rahang Devian. “Terima kasih sudah memilihku. Terima kasih memilih bertahan denganku. Terima kasih suamiku.” Devian tersenyum. “Aku akan selalu memilihmu. Mau bagaimanapun kondisinya.” Devian menarik Irene ke dalam pelukannya lagi. kali ini pelukan mereka lebih hangat dari sebelumnya. “Aku mencintaimu.” “Aku juga.” Irene mengusap punggun lebar suaminya itu. “Pokoknya jangan terlalu dipikirkan. Kita akan baik-baik saja.” Irene megnangguk
“Bahwa aku akan terus dikendalikan jika aku terus berada di perusahaan. Aku salah saat aku berharap Kakek akan mewariskan perusahaan kepadaku hanya dengan kemampuanku. Untuk mendapatkan perusahaan, aku harus mengorbankan kehidupanku sendiri. Aku harus menikah dengan anak rekan bisnis yang sudah dipilihkan oleh kakek.” Devian mengusap pipi Irene pelan. “Aku tidak bisa. Aku tidak akan pernah melakukan hal itu. Pada akhirnya aku pergi dan ingin mengejar kebahagianku bersama keluarga kita.” Devian membawa tangan Irene ke bibirnya. dikecupnya beberapa kali punggung tangan Irene. “Aku memilihmu dengan segenap hatiku Irene.” Irene mengangguk. “Aku jadi terharu..” Mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. “Lalu rencana kamu ke depannya? Kamu berencana membangun bisnis apa?” “Bisnis properti dan aku juga ingin mengembangkan toko roti kakek. Bisnis properti milikku sudah berjalan semenjak 1 tahun yang lalu. Tapi aku tiba-tiba berpikir aku ingin menambah bisnisku di makanan. Aku i
“Baiklah-baiklah. Sebentar lagi roti kesukaan kamu matang. Kamu duduk dulu,” ucap Kakek. “Devian kenapa kamu tidak bilang pada kakek? kakek bisa mengirimkannya ke rumah kalian.” Devian menggeleng. “Biar saja kek, dia belum tahu kalau toko ini akan ditutup. Jadi biarkan saja dia datang ke sini untuk yang terakhir kali.” Tak lama berbincang dengan kakeknya, Devian menyusul istrinya yang duduk di samping jendela. Kakek mengangguk. Dari awal Devian dengan kakeknya sudah berbicara tentang toko roti yang akan dibuat skala lebih besar. Yang artinya toko roti yang kecil ini harus segera ditutup untuk membuka toko roti yang lebih besar. “Dulu kamu sering dilihat perempuan di kasir itu.” Irene menunjuk kasir yang berisi seorang wanita. “Aku dulu terkenal. Banyak perempuan yang datang karena ingin bertemu denganku, bukan hanya membeli roti.” Devian mengucapkannya dengan percaya diri sekali. Irene berdecak pelan. “Kamu sengaja tebar pesona. Kamu senang pasti dulu.” Devian menggeleng
“Tok tok!” Devian mendongak. “Masuk.” Seorang laki-laki masuk. Edo adalah sekretarisnya. “Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda.” “Namanya Siska mantan pegawai anda.” “Suruh masuk.” Devian menghela nafas. “Ada apa lagi dengannya.” Akhirnya seorang perempuan masuk ke dalam ruangan Devian. Perempuan yang sempat menjadi mainan Devian yang pada akhirnya dibuang begitu saja. Devian menyesal, sungguh. Jika dia bisa memutar waktu dia tidak akan menyakiti banyak hati wanita. “Apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Devian. Siska mendekat. “Sir saya ingin bekerja di sini. Saya tidak masalah saya tidak tempatkan di mana saja. Yang penting saja bekerja di sini, Sir karena saya tidak dipecat di sana.” Devian mengernyit. “Kau dipecat?” “Iya, Sir. Direktur yang baru tidak menginginkan saya sehingga saya langsung dipecat. Awalnya saya ditawari untuk bekerja sebagai staff biasa dengan syarat saya menjadi simpanan manajer, saya tidak mau Sir. Saya tidak mau bekerja di sana.”
Hari ini tiba-tiba saja Irene ingin pergi belanja perlengkapan melahirkan bersama sahabatnya. Irene bersama Helena memasuki sebuah mall terbesar di kota. Mereka berjalan dengan lancar. “Apakah kau sudah tahu bayinya perempuan atau laki-laki?” tanya Helena. Irene menggeleng. “Belum. Ini masih terlalu awal sebenarnya.” “Tidak masalah. Kalau begitu cari warna yang netral saja.” Helena mengajak Irene masuk ke dalam sebuah toko pakaian bayi. Di sanalah merea membeli banyak pakaian untuk bayi Irene. Setelah menghabiskan banyak waktu berkeliling di mall, mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah restoran terdekat. “Bukankah itu suamimu?” tanya Helena saat melihat Devian bersama seorang perempuan cantik. “Tapi dengan siapa? Sekretarisnya?” “Setahuku sekretaris Devian itu laki-laki.” Irene menatap Devian yang berada di samping seorang perempuan. Di hadapan mereka ada seorang pria yang sepertinya rekan bisnis. Irene mengernyit. Irene menarik Helena untuk duduk di bangku yang sedikit lebih