Hubungan mereka sempat terhenti saat Giselle dijodohkan atau dijual oleh orang tuanya pada Jordan. Mau tidak mau—Giselle harus menerima dirinya harus menikah dengan adik pria yang dicintainya.
“I miss you,” bisik Erland. Memojokkan tubuh Giselle ke dinding. Mengurung tubuh mungil itu agar tidak bisa lepas darinya. Giselle hanya pasrah saat lehernya dihisap oleh Erland. Tangannya mengepal ingin segera menghentikan semua ini.Erland kembali menyatukan pangutan bibir mereka. Meski Giselle terdiam tidak membalas permainnya, Erland berusaha menggigit bibir Giselle agar terbuka. Hingga ia berhasil melesak masuk, memperdalam permainnya.“I want you—sweety,” bisik Erland. Menyatukan dahi, Erland tersenyum sembari mengusap pipi Giselle yang memerah. Kemudian beralih mengusap bibir wanita itu yang membengkak akibat perbuatannya.Giselle mendongak. “Aku tidak bisa.” Mencengkram erat gaunnya agar tidak turun. Mengepal sekaras mungkin untuk menyalurkan rasa kecewanya karena melanggar janjinya sendiri untuk tidak berhubungan dengan Erland kembali.“Why? Aku masih Erland yang dulu Giselle. Aku tidak pernah berubah. Aku akan selalu ada untukmu.” Erland juga kecewa dengan dirinya sendiri karena membuat wanita yang dicintainya takut. Giselle menatapnya dengan takut. Matanya tidak berbohong, mata cantik itu mulai berkaca-kaca.“Giselle,” panggil Erland. Berusaha mendekat lagi dan ingin memeluk tubuh Giselle.“STOP!” teriak Giselle. “Jangan mendekat! keluar dari sini sekarang juga.” Benci namun sesungguhnya juga sulit menjauh apalagi melupakan Erland. Giselle sadar tidak boleh melakukan hal bodoh lagi dengan terus berhubungan dengan Erland yang merupakan kakak iparnya.“Giselle,” lirih Erland.“NOAH CEPAT KEMARI! USIR DIA DARI SINI!” teriak Giselle.CeklekPintu langsung terbuka dan Noah terkejut melihat penampilan majikannya yang berantakan. Apalagi gaun yang digunakan Giselle turun. Sedari tadi ia memang berjaga-jaga di luar sehingga jika terjadi sesuatu pada Giselle ia bisa cepat menolong.“Cepat usir dia dari sini,” perintah Giselle membuatnya mengangguk.Noah mengambil tindakan langsung memegang tangan Erland. “Sir—anda harus keluar.”“Aku bisa keluar sendiri.” Erland berusaha menghempaskan tangan Erland. Namun ternyata tidak mudah—Noah menarik paksa Erland yang memberontak tidak mau diseret paksa olehnya.“Kau lancang! Tunggu saja aku akan memberimu pelajaran!” ancam Erland pada Noah saat berada di luar ruangan Wardrobe. Tidak mau menjadi perhatian orang-orang, Erland menahan diri untuk tidak langsung menghajar pengawal lancang itu. Ia merapikan jas hitamnya kemudian melangkah pergi.Setelah berhasil mengusir Erland. Noah menatap pintu Wardrobe yang belum tertutup sepenuhnya. Sebelum kembali masuk ia lebih dulu mengambil minuman dingin yang disiapkan staff untuk Giselle yang diletakkan di meja dekat spot pemotretan.Membawa minuman kaleng berwarna hijauh itu ke dalam. Terdiam sebentar mengamati keadaan Giselle yang masih seperti tadi. Sekarang Giselle duduk sembari telungkup di atas meja rias. Dengan resleting yang terbuka, sehingga ia bisa melihat dengan jelas punggung putih mulus itu.Tidak ada suara tangisan. Hal tersebut membuat Noah kawatir jika majikannya pingsan. “Nona.” Noah meletakkan minuman yang dibawanya ke meja samping Giselle. “Nona anda baik-baik saja?” tanyanya pelan.Tidak berani menyentuh karena ia tahu—tidak boleh selancang itu pada atasannya. “Nona.”“Hm.” Giselle bergumam. “Jangan berisik.”Syukurlah—setidaknya Giselle baik-baik saja. Tidak kesakitan apalagi pingsan. Noah menghela nafas. “Saya tunggu di depan. Kalau ada apa-apa bisa panggil saya.”Giselle mendongak. Menatap kepergian bodyguardnya yang keluar dari ruangan. Pandangannya beralih pada minuman dingin di sebelahnya. Sedikit tersenyum, Giselle mengambilnya dan meminumnya perlahan. “Dia lebih berguna dari yang kubayangkan,” lirihnya setelah membasahi kerongkongannya dengan minuman yang dibawakan oleh Noah.Bangkit dan mulai berganti pakaian. Giselle akhirnya keluar dengan penampilan yang lebih baik. Semua orang nampaknya telah pergi. Hanya tersisa satu yang sepertinya bertugas membersihkan ruangan. Giselle memandang jendela luar masih terlalu sore—ia tidak ingin pulang ke Mansions.“Ayo pergi,” ucapnya pada Noah.Noah mengikuti Giselle dari belakang. Jujur ada rasa kagum menatap Giselle. Noah memandang Giselle berbeda dengan wanita yang pernah ia temui. Sedikit bar-bar juga tegar.“Pergi ke Apartemen Mawar.” Giselle memandang ke jendela luar. Hari ini sangat melelahkan.Noah tidak berkomentar apapun. Bodyguardnya itu menjalankan mobilnya menuju tempat yang dimaksud Giselle. Beberapa menit berlalu akhirnya sampai, Apartemen sederhana yang dihuni oleh orang-orang biasa pula. Giselle melepaskan heels yang semula menempel di kaki, lalu menggantinya dengan sneakers putih miliknya yang tersimpan rapi di bawah kolong kursi penumpang.Melihat Noah yang tidak beranjak dari mobil. Giselle menunduk, berbicara dengan bodyguardnya lewat jendela mobil yang sengaja di buka. “Kau akan di sini saja atau ikut denganku?” Giselle mengatakan hal itu karena bodyguardnya yang dulu selalu mengikutinya kemanapun ia pergi.“Saya di sini—jika terjadi sesuatu panggil saya saja,” jawab Noah.“Baiklah.” Giselle berjalan masuk ke gedung Apartemen.Hafal sekali letak Apartemen yang ingin ia tuju. Giselle langsung menekan bel Apartemen yang bernomor 78. Tak lama seorang perempuan dengan rambut acak-acakan keluar. Mulutnya terbuka lebar menguap, hanya menggunakan tanktop dan hotpants bahkan tidak malu sama sekali.“Kau tidak bilang akan ke sini,” ucapnya sembari membuka lebar pintunya. Membiarkan Giselle masuk ke dalam.~~Giselle tidak menjawab—hanya merebahkan tubuhnya di sofa lapuk yang sudah bertahun-tahun tidak diganti. Katanya hadiah dari seorang penggemar—jadi tidak boleh dibuang, padahal memang malas mengganti. Sayang sekali uang sahabatnya itu pernah dipakai untuk hal-hal sepele. Hanya berkurang untuk membeli makanan dan minuman.“Aku ingin kau mengganti sofa jelek ini,” celetuk Giselle melihat Melisa membuat kopi di dapur.“Jangan membuang uang—Giselle. Dengarkan aku—selagi sofa itu belum di makan para tikus—aku tidak akan menggantinya,” balas Melisa. Kembali dari dapur sembari membawa dua cup kopi.Giselle berdecak. “Aku ingin belajar berhemat denganmu. Tapi—aku tidak yakin itu hemat atau pelit.”Melisa tertawa. Menguncir rambutnya yang seperti seminggu tidak di sisir. Melisa suka tampil apa adanya. Tidak suka diatur tentang penampilannya. Melisa hanya ingin menjadi dirinya sendiri.“Bagaimana dengan lukisanmu?” tanya Giselle mengambil remot TV dan menekan tombol agar saluran berganti.“Hampir selesai. Aku akan mengadakan pameran di pulau terpencil,” jelas Melisa.Yang dimaksud Jordan orang biasa adalah Melisa. Si pelukis apa adanya yang sering mengadakan pameran di beberapa kota-kota kecil . Karena tidak ingin diliput oleh siapapun—hanya namanya saja yang terkenal.“Kau bertengkar dengan suamimu?” tanya Melisa seakan hafal dengan kedatangan Giselle ke rumahnya. Pasti ada masalah entah dari luar atau suaminya sendiri.“Hampir setiap hari.”“Lalu?”“Aku bertemu dengan Erland.”Hampir menyemburkan kopinya. Melisa melotot seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Giselle. “Apa? kau bilang dia pergi ke Amerika?”“Ya. Dia memang pergi ke Amerika bersama istri dan anaknya. Kau sudah tahu kegiatan rutin keluarga Jordan adalah bertemu 6 bulan sekali untuk makan malam. Meski tinggal di luar negeri harus menyempatkan waktu untuk pulang. Dan ya dia pulang dan menemuiku.”“Jangan bilang kau masih mencintainya?” tebakan Melisa hampir benar. Namun Giselle sudah tidak mencintai pria itu lagi. “Tidak—““Jangan bohong padaku Giselle.” “Baiklah-baiklah, aku hanya sedikit merindukannya. Tapi aku tidak bisa bersamanya lagi.” Melisa menepuk bahu Giselle dengan bangga. Melihat temannya yang bisa mengambil keputusan dengan tegas membuatnya bangga. Giselle yang sekarang jauh lebih berprinsip dari pada dulu. “Aku bangga denganmu. Prinsip untuk tidak menjalin hubungan dengan pria beristri harus terus kau pegang, Giselle. Jangan mau termakan janji manis laki-laki yang
“Bukan seperti itu, Nona.” Panik Noah tengah menatap Giselle. Pertama kalinya Noah bertatapan mata dengan majikannya itu. Di bawah sorot lampu yang tidak terlalu terang ini, kecantikan Giselle tidak memudar. Meski rambut acak-acakan, make up yang mulai luntur dan pakaian yang tidak serapi tadi. “Aku hanya bercanda.” Pecah juga tawa Giselle. “Aku tahu—kau tidak mungkin menyukai wanita sepertiku. Aku ini banyak kekurangannya. Aku bukan istri idaman, tidak bisa memasak, cerewet, suka cari ribut, biang masalah, pembawa sial, bar-bar dan apa ya….. kayaknya itu deh.” Giselle hanya tertawa santai saja. Sedangkan Noah tidak suka Giselle yang meredahkan diri seperti itu. “Jangan berpikir seperti itu—Nona. Anda harus percaya diri.” “Aku percaya diri dengan kecantikanku. Tapi selain itu—semuanya 0 %.” “Aku mendengar Nona lulusan kedokteran luar negeri. Nona pasti pintar.” Giselle bertepuk tangan. “Woaah—kau pasti mencari tahu tentangku. Kau ternyata teliti juga.” “Seperti itu.” “Mengenai
“Benarkah? Sepertinya bukan karena Diet. Apa kau Stress akhir-akhir ini?” Giselle tersenyum. “Aku tidak punya alasan untuk Stress kak.” Mengambil lengan Jordan dan memeluknya lembut. “Aku punya Jordan yang selalu mendukungku. Aku hanya diet saja. Banyak pemotretan yang menuntutku harus terlihat tetap langsing.” “Oh… baguslah..” balas Xaviera. Seperti biasa, menantu keluarga Parvis memang selalu mencari celah untuk menyerang saudara iparnya sendiri. Kalau bukan Giselle ya Laura. Giselle berdiri. Ijin ke kamar mandi. Setelah berada di dalam toilet. Ia menatap pantulan dirinya sendiri. Sampai kapan terus berada di situasi kepura-puraan ini. Giselle lelah terus diatur layaknya boneka oleh Jordan. Menatap pantulan dirinya di depan cermin. Benar apa yang dikatakan Xaviera, badannya memang terlihat lebih kurus. Karena apa lagi? Stress, terlalu banyak pikiran. Giselle bahkan tidak bisa makan dengan benar saat bersama Jordan. Mengusap beberapa keringat di dahinya. Giselle kembali menyapuk
“Tapi itu dulu—aku sudah tidak pernah melakukannya lagi. Jangan paksa aku—kali ini kau benar-benar keterlaluan!” Giselle berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah pintu keluar Mansions—namun para pengawal dengan sigap menahannya. Mereka berjajar di depan Giselle dengan kompak. Giselle berdecih, membalikkan badannya. “Apa yang akan kudapat setelah aku melakukannya?” tanya Giselle lantang. Jordan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Apa yang kau inginkan? Uang? Aku akan mentransfermu setelah kau pulang.” “Aku ingin cerai.” Tiga kata yang sangat sakral namun sering diucapkan Giselle pada Jordan. Membuat Jordan marah—sudah menjadi kebiasaannya. Jordan mengepalkan tangannya. “Jangan bersikap seolah aku membutuhkanmu. Aku sudah membelimu. Kau tidak berhak meminta lepas dariku.” Mengambil langakh lebih dekat—Jordan menancapkan kukunya ke pergelangan tangan Giselle. “Pergi dan turuti saja perintahku. Aku akan membayarmu—jangan banyak omong dan semakin membuatku marah.” Merasakan peri
“Aku baik, bagaimana denganmu, Selena?” sembari membalas pelukan selena.“Aku baik—tapi sebenarnya aku terpaksa mengikuti acara ini,” bisiknya pada Giselle. Giselle tertawa. Ia juga mengangguk pelan. “Me too.” Selena adalah anak dari seorang pengusaha yang katanya tahun ini akan mencalonkan sebagai Wali Kota. Jadi Selena seperti Giselle yang diajukan untuk memperkuat citra baik pada keluarganya. Mungkin sebagian dari relawan komunitas juga bertujuan sama. Tapi Giselle juga tidak menampik ada seseorang yang bergabung memang benar-benar ingin berkontribusi membangun masyarakat di pedesaan. Berjumlah 10, semuanya wanita. Ada tiga yang membawa bodyguard seperti Giselle. Untuk mencapai desa yang dimaksud—mereka menempuh perjalanan 3 jam dengan mobil, dilanjut 1 jam perjalanan menggunakan Motor. Setelah sampai, desa setempat menyambut mereka di sebuah balai desa. Mereka diberi arahan agar lebih mudah tinggal di desa selama satu minggu. Karena Desa yang masih terpencil dan letaknya di ba
Hari kedua dan ketiga terlewati dengan aman. Sekarang hari ke-empat. Agenda sekarang adalah penyuluhan tentang pernikahan dini. Nyatanya di kampung ini, banyak pernikahan dibawah umur. Di antara mereka juga banyak yang sudah melahirkan. Setelah melakukan penyuluhan, anggota komunitas akan berkeliling kampung. Memeriksa satu persatu rumah yang berisi oleh ibu muda ataupun ibu hamil. Giselle bersama Selena memasuki sebuah rumah. Di sana ada seorang gadis belia yang baru saja melahirkan. “Umur ibu berapa?” tanya Giselle. Ia membawa sebuah catatan yang nantinya akan diserahkan pada bidan setempat. “16 tahun, dok.” Giselle menatap perempuan itu belia yang nampak kurus. Tubuh yang tidak dirawat, penampilan yang begitu lusuh. “Saya periksa dulu.” Giselle melakukan pemeriksaan pada perempuan itu. “Saya akan beri vitamin. Di minum 3 kali sehari. Jangan sampai telat, karena kamu masih menyusui. Jadi sumber utama bayi ada di kamu.” “Terima kasih, Dok.” Perempuan itu menerima vitamin yang
Pekerjaan bodyguard yang lebih mirip seperti pengasuh. Noah baru saja selesai mandi di malam hari. Untungnya—listrik padam saat ia baru saja selesai. Mendapat pesan dari Giselle membuatnya mendesah lelah. Ia segera keluar saat sudah menggunakan pakaian. Di teras rumah Giselle duduk sendirian sambil memainkan ponsel. “Kenapa tidak tidur di dalam saja?” tanya Noah begitu duduk di samping Giselle. “Jika bisa aku sudah melakukkanya sejak tadi.” Giselle melempar ponselnya ke samping. “Aku tidak tahu harus apa lagi? Di sini tidak ada sinyal. Aku tidak bisa main sosmed. Followerku pasti sudah menunggu kabarku.” ‘Anda tidak sepenting itu.’ Hanya bisa dikatakan di hati. Noah mengambil ponsel Giselle kembali. Menyimpannya di sampingnya. “Dengarkan lagu saja.” “Benar juga. Ada beberapa lagu yang sudah aku unduh.” Giselle mengambil ponselnya kembali. Ia memutar lagu dari Yura Yunita ft Glen Fredly_ Cinta dan Rahasia. Giselle mengibaskan rambutnya. Mulai gerah—walaupun sebenarnya udara kian
“Tidak ada kata malu dalam kecelakaan.” Noah menghela nafas. “Kecelakaan itu dalam bahaya. Jadi tidak ada malu, yang ada takut. Kenapa anda lebih malu daripada takut?” Giselle mengerjapkan mata. Benar juga. Ia tidak takut justru malu. “Apa ini artinya aku memang tidak takut mati? Aku juga tidak keberataan jika aku mati.” Noah berhenti sebentar. “Dengan mati tidak akan selesai. Setelah mati, akan ada kehidupan selanjutnya. Katanya, kehidupan selanjutnya itu ditentukan dari perbuatan kita sekarang.” “Memangnya aku percaya?” Giselle menggeleng. “Aku tidak terlalu percaya dengan hal seperti itu.” “Terserah Nona saja.” Noah menghela nafas berkali-kali. Giselle benar-benar mengujinya. Wanita itu berkali-kali semakin mengeratkan pelukan. Hal itu berdampak pada Noah yang panas dingin. Mungkin juga sudah lama ia tidak berdekatan dengan wanita seperti ini. “Ngomong-ngomong berapa umurmu?” tanya Giselle. “26.” “Sungguh!” Giselle yang lebih seperti orang berteriak. Ia sungguh terkejut deng