Share

Chapter 5

Hubungan mereka sempat terhenti saat Giselle dijodohkan atau dijual oleh orang tuanya pada Jordan. Mau tidak mau—Giselle harus menerima dirinya harus menikah dengan adik pria yang dicintainya.

“I miss you,” bisik Erland. Memojokkan tubuh Giselle ke dinding. Mengurung tubuh mungil itu agar tidak bisa lepas darinya. Giselle hanya pasrah saat lehernya dihisap oleh Erland. Tangannya mengepal ingin segera menghentikan semua ini.

Erland kembali menyatukan pangutan bibir mereka. Meski Giselle terdiam tidak membalas permainnya, Erland berusaha menggigit bibir Giselle agar terbuka. Hingga ia berhasil melesak masuk, memperdalam permainnya.

“I want you—sweety,” bisik Erland. Menyatukan dahi, Erland tersenyum sembari mengusap pipi Giselle yang memerah. Kemudian beralih mengusap bibir wanita itu yang membengkak akibat perbuatannya.

Giselle mendongak. “Aku tidak bisa.” Mencengkram erat gaunnya agar tidak turun. Mengepal sekaras mungkin untuk menyalurkan rasa kecewanya karena melanggar janjinya sendiri untuk tidak berhubungan dengan Erland kembali.

“Why? Aku masih Erland yang dulu Giselle. Aku tidak pernah berubah. Aku akan selalu ada untukmu.” Erland juga kecewa dengan dirinya sendiri karena membuat wanita yang dicintainya takut. Giselle menatapnya dengan takut. Matanya tidak berbohong, mata cantik itu mulai berkaca-kaca.

“Giselle,” panggil Erland. Berusaha mendekat lagi dan ingin memeluk tubuh Giselle.

“STOP!” teriak Giselle. “Jangan mendekat! keluar dari sini sekarang juga.” Benci namun sesungguhnya juga sulit menjauh apalagi melupakan Erland. Giselle sadar tidak boleh melakukan hal bodoh lagi dengan terus berhubungan dengan Erland yang merupakan kakak iparnya.

“Giselle,” lirih Erland.

“NOAH CEPAT KEMARI! USIR DIA DARI SINI!” teriak Giselle.

Ceklek

Pintu langsung terbuka dan Noah terkejut melihat penampilan majikannya yang berantakan. Apalagi gaun yang digunakan Giselle turun. Sedari tadi ia memang berjaga-jaga di luar sehingga jika terjadi sesuatu pada Giselle ia bisa cepat menolong.

“Cepat usir dia dari sini,” perintah Giselle membuatnya mengangguk.

Noah mengambil tindakan langsung memegang tangan Erland. “Sir—anda harus keluar.”

“Aku bisa keluar sendiri.” Erland berusaha menghempaskan tangan Erland. Namun ternyata tidak mudah—Noah menarik paksa Erland yang memberontak tidak mau diseret paksa olehnya.

“Kau lancang! Tunggu saja aku akan memberimu pelajaran!” ancam Erland pada Noah saat berada di luar ruangan Wardrobe. Tidak mau menjadi perhatian orang-orang, Erland menahan diri untuk tidak langsung menghajar pengawal lancang itu. Ia merapikan jas hitamnya kemudian melangkah pergi.

Setelah berhasil mengusir Erland. Noah menatap pintu Wardrobe yang belum tertutup sepenuhnya. Sebelum kembali masuk ia lebih dulu mengambil minuman dingin yang disiapkan staff untuk Giselle yang diletakkan di meja dekat spot pemotretan.

Membawa minuman kaleng berwarna hijauh itu ke dalam. Terdiam sebentar mengamati keadaan Giselle yang masih seperti tadi. Sekarang Giselle duduk sembari telungkup di atas meja rias. Dengan resleting yang terbuka, sehingga ia bisa melihat dengan jelas punggung putih mulus itu.

Tidak ada suara tangisan. Hal tersebut membuat Noah kawatir jika majikannya pingsan. “Nona.” Noah meletakkan minuman yang dibawanya ke meja samping Giselle. “Nona anda baik-baik saja?” tanyanya pelan.

Tidak berani menyentuh karena ia tahu—tidak boleh selancang itu pada atasannya. “Nona.”

“Hm.” Giselle bergumam. “Jangan berisik.”

Syukurlah—setidaknya Giselle baik-baik saja. Tidak kesakitan apalagi pingsan. Noah menghela nafas. “Saya tunggu di depan. Kalau ada apa-apa bisa panggil saya.”

Giselle mendongak. Menatap kepergian bodyguardnya yang keluar dari ruangan. Pandangannya beralih pada minuman dingin di sebelahnya. Sedikit tersenyum, Giselle mengambilnya dan meminumnya perlahan. “Dia lebih berguna dari yang kubayangkan,” lirihnya setelah membasahi kerongkongannya dengan minuman yang dibawakan oleh Noah.

Bangkit dan mulai berganti pakaian. Giselle akhirnya keluar dengan penampilan yang lebih baik. Semua orang nampaknya telah pergi. Hanya tersisa satu yang sepertinya bertugas membersihkan ruangan. Giselle memandang jendela luar masih terlalu sore—ia tidak ingin pulang ke Mansions.

“Ayo pergi,” ucapnya pada Noah.

Noah mengikuti Giselle dari belakang. Jujur ada rasa kagum menatap Giselle. Noah memandang Giselle berbeda dengan wanita yang pernah ia temui. Sedikit bar-bar juga tegar.

“Pergi ke Apartemen Mawar.” Giselle memandang ke jendela luar. Hari ini sangat melelahkan.

Noah tidak berkomentar apapun. Bodyguardnya itu menjalankan mobilnya menuju tempat yang dimaksud Giselle. Beberapa menit berlalu akhirnya sampai, Apartemen sederhana yang dihuni oleh orang-orang biasa pula. Giselle melepaskan heels yang semula menempel di kaki, lalu menggantinya dengan sneakers putih miliknya yang tersimpan rapi di bawah kolong kursi penumpang.

Melihat Noah yang tidak beranjak dari mobil. Giselle menunduk, berbicara dengan bodyguardnya lewat jendela mobil yang sengaja di buka. “Kau akan di sini saja atau ikut denganku?” Giselle mengatakan hal itu karena bodyguardnya yang dulu selalu mengikutinya kemanapun ia pergi.

“Saya di sini—jika terjadi sesuatu panggil saya saja,” jawab Noah.

“Baiklah.” Giselle berjalan masuk ke gedung Apartemen.

Hafal sekali letak Apartemen yang ingin ia tuju. Giselle langsung menekan bel Apartemen yang bernomor 78. Tak lama seorang perempuan dengan rambut acak-acakan keluar. Mulutnya terbuka lebar menguap, hanya menggunakan tanktop dan hotpants bahkan tidak malu sama sekali.

“Kau tidak bilang akan ke sini,” ucapnya sembari membuka lebar pintunya. Membiarkan Giselle masuk ke dalam.

~~

Giselle tidak menjawab—hanya merebahkan tubuhnya di sofa lapuk yang sudah bertahun-tahun tidak diganti. Katanya hadiah dari seorang penggemar—jadi tidak boleh dibuang, padahal memang malas mengganti. Sayang sekali uang sahabatnya itu pernah dipakai untuk hal-hal sepele. Hanya berkurang untuk membeli makanan dan minuman.

“Aku ingin kau mengganti sofa jelek ini,” celetuk Giselle melihat Melisa membuat kopi di dapur.

“Jangan membuang uang—Giselle. Dengarkan aku—selagi sofa itu belum di makan para tikus—aku tidak akan menggantinya,” balas Melisa. Kembali dari dapur sembari membawa dua cup kopi.

Giselle berdecak. “Aku ingin belajar berhemat denganmu. Tapi—aku tidak yakin itu hemat atau pelit.”

Melisa tertawa. Menguncir rambutnya yang seperti seminggu tidak di sisir. Melisa suka tampil apa adanya. Tidak suka diatur tentang penampilannya. Melisa hanya ingin menjadi dirinya sendiri.

“Bagaimana dengan lukisanmu?” tanya Giselle mengambil remot TV dan menekan tombol agar saluran berganti.

“Hampir selesai. Aku akan mengadakan pameran di pulau terpencil,” jelas Melisa.

Yang dimaksud Jordan orang biasa adalah Melisa. Si pelukis apa adanya yang sering mengadakan pameran di beberapa kota-kota kecil . Karena tidak ingin diliput oleh siapapun—hanya namanya saja yang terkenal.

“Kau bertengkar dengan suamimu?” tanya Melisa seakan hafal dengan kedatangan Giselle ke rumahnya. Pasti ada masalah entah dari luar atau suaminya sendiri.

“Hampir setiap hari.”

“Lalu?”

“Aku bertemu dengan Erland.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status