"Hari ini Kakak kamu mau pulang dari Kalimantan ya?" tanya Mas Razan padaku saat aku tengah memotong sayuran di dapur.
Tau dari mana dia? Batinku bertanya-tanya.Bukankah aku belum memberitahunya?Dengan perasaan yang masih penasaran aku mengangguk saja membenarkan pertanyaannya. Kulihat Mas Razan senyum-senyum sendiri sibuk memainkan ponsel, entah bersama siapa dia tengah bertukar pesan."Iya, katanya dia gak mau pulang ke rumah Ibu sama Bapak, dia maunya pulang kesini saja, kamu gak keberatan kan Mas, kalau Kak Nita pulangnya langsung kesini?" tanyaku yang kini tengah membersihkan sayuran yang sudah kupotong tadi."Tentu tidak Amira, Mas gak keberatan kok, mau Kakak kamu tinggal disini aja Mas gak keberatan," jawabnya dengan matanya yang masih tertuju pada layar Handphone."Chatan sama siapa? Kok kayak nya sibuk banget?" tanyaku mendekati Mas Razan yang spontan menyembunyikan layar Handphonenya."Eng-enggak kok, biasalah, ini aku chatan di grup, kata temen ada Dokter perempuan baru di Rumah Sakit hari ini," jawab Mas Razan yang awalnya terlihat gugup tapi dia kembali menetralkan wajahnya."Ooohh..., terus, orangnya cantik, gitu?" tanyaku santai padahal hatiku rasanya panas sekali saat mengetahui apa yang baru saja dia akatakan."Lumayan, cantiklah, orangnya bersih lagi," jawab Mas Razan lagi.Aku yang tengah memasukan sayuran ke dalam panci menoleh sambil mengernyitkan dahi padanya. Gak salah denger nih? Sejak kapan dia suka memuji wanita? Setauku Mas Razan paling anti sekali memuji wanita apalagi kepada istrinya sendiri yaitu aku."Bukannya dia baru akan bekerja hari ini? Kok Mas bisa tahu kalau dia cantik juga bersih?" tanyaku lagi menyelidik.Rasanya hatiku geram dibuat Mas Razan pagi ini. Bukan karena cemburu saja, tapi ada suatu kebohongan yang tercium dari ucapannya barusan olehku."Iya, kan Mas bisa lihat dia dari fotonya sayang, lihat nih kalau gak percaya, cantikkan? Menurut Mas dia mirip artis korea yang bernama Song Hye ko deh, kalau menurut kamu gimana?" tanyanya polos padaku yang mendelikkan mata setelah melihat sebuah foto wanita cantik yang baru saja ditunjukkan Mas Razan padaku."Tau ah!" ujarku sambil kembali melanjutkan pekerjaanku yang selanjutnya memotong tempe."Idih, marah nih ya, cemburu ya, hehehe,,," katanya sedikit menggodaku.Aku berpura tak mendengarnya, tetap fokus saja pada kegiatanku. Pagi ini aku sedang sibuk memasak menyiapkan makanan untuk Kak Nita yang katanya sebentar lagi akan sampai di rumahku. Ya, aku mempunyai seorang saudara perempuan yang bekerja di luar kota. Dia masih gadis, dan usianya hanya terpaut tiga tahun denganku. Saat aku meminta izin untuk menikah dengan Mas Razan, Kak Nita sama sekali tak keberatan jika dia akan di lamglahi olehku.Justru dia sangat senang mendengar kabar pernikahan kami, meskipun dia sendori tak bisa datang karena pekerjaannya yang begitu penting tak bisa di tinggalkan.Mas Razan memelukku dari belakang seperti biasa kalau dia tahu aku sedang marah. Dia berbisik sesuatu di telingaku yang membuatku tertawa seolah melupakan kejadian barusan yang membuat perasaanku sedikit kacau. Tapi, kali ini perasaanku kembali netral karena sikap manisnya barusan."Nanti malam kita bikin dedek bayi lagi ya?" bisiknya lembut."Hahaha, Mas, ih, kok bahasanya gitu sih, wkwkwkw, gak ada bahasa yang lain apa?" tanyaku yang tak kuasa menahan geli."Emang maunya gimana? Maunya bahasa yang kayak gimana biar kamu suka?" tanya nya sambil menci*um pipiku."Tau ah," jawabku dengan tersipu malu sambil senyum-senyum.Seperti itulah keharmonisan dalam rumah tangga kami. Aku maupun Mas Razan tidak pernah mempermasalahkan hal kecil menjadi besar. Kami lebih mengedepankan komunikasi atau sekedar bercanda agar masalah yang baru saja terjadi bisa segera teratasi dengan baik.Usia pernikahan kami sekarang sudah menginjak tahun ke tujuh tapi kami belum kunjung di beri momongan. Segala cara sudah dilakuakan termasuk pemeriksaan medis agar kita mengetahui sejak dini apa permasalahan yang ada pada diriku maupun Mas Razan.Tapi setelah melakukan pemeriksaan berkali-kali hasilnya tetap sama, tidak ada yang harus dikhawatirkan. Aku maupun Mas Razan baik-baik saja. Rahimku bagus dan subur, begitupun Mas Razan.Mungkin belum waktunya saja bagi kita untuk memiliki keturunan. Suatu saat Alloh pasti akan megabulkan apa yang kita inginkan, karena terkadang dia lebih mengerti apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.Tok!tok!tok!Suara ketukan pintu disertai bel berbunyi membuat Asisten rumah tangga yang tadi sedang beberes kamar segera berjalan cepat menuju pintu."Assalamu'alaikum,," ucap sebuah suara yang tak asing itu dari kejauhan.Mas Razan melepas pelukannya begitupun aku yang langsung berjalan cepat ke arah datangnya suara ucapan salam. Tak lupa aku menyuruh Bi Nani untuk meneruskan pekerjaanku di dapur."Wa'alaikumsalam," jawabku bersamaan Mas Razan."Hai, Amira, Kakak kangen banget sama kamu, udah lama banget kita gak ketemu," ucap Kak Nita langsung memelukku yang masih kebingungan karena melihat seorang bayi munggil dalam gendongannya."I-iy, Kak, sama, aku juga kangen banget sama Kakak. O, ya, ini bayi siapa? Kok bisa ada sama Kakak?" tanyaku yang tak ingin berlama-lama lagi memendam rasa penasaran."Eu-eu...ini..." Kak Nita melirik ke arah Mas Razan.Aku berpikir bahwa mungkin dia malu untuk mengatakan sesuatu ketika suamiku masih ada di rumah. Berbeda kalau kita berbicara empat mata, mungkin akan jauh lebih baik karena tak ada orang lain yang akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Dan milik siapa bayi yang kini berda dalam gendongannya? Apakah Kak Nita menemukan bayi orang di jalan? Pikirku dalam hati."Masuk dulu Kak Nita, biar ngobrolnya enak," ucap Mas Razan mempersilahkan dengan ramah sekali."Ih, bayinya lucu banget sih, boleh aku gendong?" tambah Mas Razan lagi sambil mengulurkan tangannya hendak mengambil bayi laki-laki dalam gendongan Kakakku."Boleh, Mas," jawab Kak Nita yang berjalan mengikutiku ke ruang tamu.Ku lihat Mas Razan begitu senang menimang bayi itu. Tampak jelas sekali dia tersenyum sambil mengajak bayi itu berbicara seperti kepada anaknya sendiri. Sesekali bayi munggil berusia sekitar tiga bulan itu tersenyum seolah terbiasa dengan sikap yang di lakukan Mas Razan padanya."Amira,," panggil Kak Nita yang kini sudah duduk di sebelahku matanya berkaca-kaca membuatku merasa cemas pada keadaannya."Ada apa Kak? Kenapa Kakak menangis? Ayok cerita sama aku," ucapku sembari memegang tangannya."Bayi itu..hiks..hiks..bayi itu adalah bayiku,," jawabnya yang tak bisa menahan bulir bening dikelopak mata kini berjatuhan membasahai pipinya."Apa?! Ba-ba-yi itu bayi Kak Nita?! Bagaimana bisa?" aku membulatkan mata merasa tak percaya sekaligus merasa terkejut dengan pengakuannya."Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p