Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
"Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
"Hari ini Kakak kamu mau pulang dari Kalimantan ya?" tanya Mas Razan padaku saat aku tengah memotong sayuran di dapur.Tau dari mana dia? Batinku bertanya-tanya.Bukankah aku belum memberitahunya?Dengan perasaan yang masih penasaran aku mengangguk saja membenarkan pertanyaannya. Kulihat Mas Razan senyum-senyum sendiri sibuk memainkan ponsel, entah bersama siapa dia tengah bertukar pesan."Iya, katanya dia gak mau pulang ke rumah Ibu sama Bapak, dia maunya pulang kesini saja, kamu gak keberatan kan Mas, kalau Kak Nita pulangnya langsung kesini?" tanyaku yang kini tengah membersihkan sayuran yang sudah kupotong tadi."Tentu tidak Amira, Mas gak keberatan kok, mau Kakak kamu tinggal disini aja Mas gak keberatan," jawabnya dengan matanya yang masih tertuju pada layar Handphone."Chatan sama siapa? Kok kayak nya sibuk banget?" tanyaku mendekati Mas Razan yang spontan menyembunyikan layar Handphonenya."Eng-enggak kok, biasalah, ini aku chatan di grup, kata temen ada Dokter perempuan baru
"Iya, bayi itu adalah bayiku Amira,, hiks..hiks.." ucap Kak Nita yang kini menangis sesegukan.Aku segera memeluknya untuk menenangkan perasaannya meski aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ingin bertanya, tapi aku takut membuatnya semakin merasa sedih, aku mengelus punggungnya membuat tangis Kak Nita mereda.Setelah cukup lama membuatnya tenang, aku memberanikan diri bertanya pada Kakakku agar rasa penasaran itu tak membuatku semakin resah."Siapa Ayah dari bayi ini Kak? Siapa yang sudah melakukan ini padamu?" tanyaku yang bisa menebak kalau Kak Nita sudah dinodai oleh pria tak bertanggung jawab."Hiks..hiks..Kakak tidak bisa mengatakannya Amira," jawabnya dengan air mata yang masih terus mengalir membasahai pipi."Ya sudah kalau begitu, Kakak jangan menangis lagi ya, Kakak tidak usah memikirkan apapun lagi sekarang, kasian bayi itu, jangan banyak pikiran lagi," ucapku sambil melepas pelukan."Bagaimana dengan Ibu dan Ayah? Bagaimana jika mereka tahu kalau Kakak sudah
Aku dan Mas Razan pamit tidur kepada Kak Nita setelah suamiku itu selesai memijit Farel. Kami langsung tidur karena kini mataku sudah mengantuk begitupun Mas Razan.Beberapa jam berlalu aku terbangun ditengah malam karena bermimpi aneh tentang kehancuran rumah tanggaku. Ku lihat Mas Razan tak ada di tempat tidurnya. Dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti mataku, aku berjalan menuju dapur karena tenggorokkanku merasa kering setelah terbangun tadi.Aku lupa menaruh botol milikku yang biasa aku letakkan sebelum tidur di atas nakas.Saat aku melewati kamar Kak Nita, terdengar suara d*sahan yang membuatku menempelkan telingaku pada pintu kamarnya yang tertutup rapat.Suara itu semakin menjadi diiringi ucapan-ucapan manis yang terlontar dari mulut Kakak kandungku. Dengan siapa dia melakukan hal itu? Apa jangan-jangan dengan Mas Razan? batinku yang seketika merasa tergores. Rasanya dadaku bergemuruh dengan tubuh bergetar memikirkan hal yang bahkan belum aku ketahui kepastiannya. Aku berj
Pagi hari seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk Mas Razan yang akan segera berangkat bekerja. Meski ada beberapa asisten rumah tangga, aku tidak mengizinkan mereka memasak untuk suamiku. Karena Mas Razan pernah bilang, dia hanya ingin makan masakanku saja.Aku tersenyum saat melihat Mas Razan baru saja turun dari tangga, tapi dia tak membalas senyum juga sapaanku.Di berjalan keluar membuatku segera mengikutinya."Mas, aku sudah siapkan sarapan, kamu gak mau sarapan dulu?" tanyaku lembut padanya yang baru menaruh tas kerjanya di mobil."Enggak, aku mau sarapan di RS aja!" jawabnya ketus sekali."Ya sudah, kalau gitu aku buatkan kamu bekal buat sarapan," aku hendak membalikkan badan tapi Mas Razan mencegahku."Gak usah!" ucapnya lalu melirik ke arah Farel yang berada dalam gendongan Kak Nita. Dia berjalan melewatiku ke arah bayi itu. Lalu mencium pipi gembul menggemaskan milik keponakanku. "Om berangkat kerja dulu ya sayang," ucapnya pada Farel yang tersenyum seolah mengerti.De
Aku tak mau melihat hal menyakitkan lagi dari sikap Mas Razan yang menurutku sudah banyak sekali berubah. Kuputuskan untuk pergi saja sekedar untuk menenangkan diri di tempat yang mungkin tak akan diketahui olehnya.Saat melewati kamar Kak Nita yang pintunya terbuka, aku melirik sekilas ke arah mereka yang tengah sibuk berbincang. Mas Razan tengah memeriksa keadaan Farel, sedangkan Kak Nita duduk diatas ranjangnya.Apa tidak ada tempat lain selain dikamar? Batinku rasanya geram sekali."Assalamu'alaikum,," terdengar ucapan salam cukup lantang dari arah depan.Sepertinya itu adalah suara Ibu dan Bapak. Aku segera menutup pintu kamar Kak Nita lalu menguncinya agar Ibu dan Bapak tidak mengetahui keberadaan Kak Nita di rumah. Seperti yang dikatakan Kak Nita waktu kemarin, dia tidak ingin sampai Ibu dan Bapak tahu dengan apa yang sudah menimpanya saat ini."Wa'alaikumsalam,," aku berjalan cepat mengabaikan teriakan Mas Razan dari dalam."Amira, apa kabar Nak, apa kamu sehat?" ucap Bapak sa
Aku dan Mas Razan sudah selesai bicara empat mata untuk menyelesaikan masalah yang baru saja terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami.Mas Razan pamit pergi kembali ke Rumah Sakit setelah memastikan aku tidak lagi marah padanya. Sedangkan aku segera menghubungi Kak Nita untuk mengetahui dimana keberadaannya sekarang mumpung Bapak dan Ibu masih istirahat.Ternyata Kak Nita sudah pergi ke rumah temannya yang terletak tak jauh dari rumahku. Dia bilang, untuk sementara waktu dia akan menginap di rumah temannya."Baiklah kalau Kakak mau nginap disana, tapi ingat, telpon aku kalau butuh apa-apa atau terjadi sesuatu lagi sama Farel," suruhku padanya dalam panggilan telpon."Iya, nanti Kakak telpon kamu kalau Kakak butuh sesuatu, udah dulu ya, ini Farel nangis baru bangun tidur dia," Jawabnya sambil menutup telpon tanpa menunggu jawabanku.Aku pasrah saja, lalu bergegas pergi untuk membeli kebutuhan dapur yang sudah mulai menipis. Sesampainya di Mall aku berjalan menuju tempat bahan makanan