Menikah selama tujuh tahun masih belum bisa mendapatkan keturunan. Lantas mengapa Razan harus mengambil jalan pintas dengan cara berhubungan bersama orang lain agar mendapatkan keturunan? Tidakkah dia berpikir tentang dampak buruk dari perselingkuhannya itu?
View MoreAurora's Pov
I couldn’t breathe. My chest ached with every gasp as Marcus’s hand connected with my cheek again, the slap echoing through the small living room. My knees buckled, and I hit the floor hard, but the pain in my body was nothing compared to the mysery in my heart. “You ungrateful brat!” Marcus spat, towering over me like a monster in the dim light of the single bulb swinging overhead. “You think you can talk back to me?” “Leave her alone!” My mother, Lilian, screamed, throwing herself between us. Her voice cracked, desperate and raw. She held Marcus’s arm, trying to stop him, but he shoved her away like she was nothing. She crashed into the corner of the table with a sickening thud and crumpled to the floor. “Mom!” I crawled toward her, ignoring the sting of my split lip and the blood dripping from my nose. Her fragile frame trembled as she tried to push herself up, her face pale and filled with fear. I touched her arm, but before I could check if she was okay, Marcus’s boot slammed into my ribs, sending me sprawling. “Stay down where you belong, Aurora,” he growled. “I’ll deal with both of you as I see fit.” The metallic taste of blood filled my mouth as I struggled to breathe. My entire body felt like it was on fire, but I couldn’t give up. I wouldn’t. Not for this inhuman fellow “You’re a monster,” I whispered, my voice shaking but defiant. Marcus froze, his cold eyes narrowing as he crouched down to meet my gaze. “What did you say?” Before I could answer, the front door slammed open, and Greg, Marcus’s son, my stepbrother strolled in. He’d been gone for years, and I’d prayed he’d never come back. But here he was, looking even more dangerous than I remembered. “Welcome back son,” was all Greg said as he continued to look at me in utmost disgust “What’s going on here?” Greg’s voice was smooth, almost amused, as he took in the scene. Marcus straightened, grinning. “Just disciplining the girl. She needs to learn her place,” Marcus said. Greg’s eyes flicked to me, then to my mother, who was still crumpled on the floor. His expression darkened, but not with concern. He walked over and grabbed me by the arm, yanking me to my feet. “Looks like she hasn’t learned yet,” he said with a smirk. Then, without warning, he slapped me across the face so hard I saw stars. “That’s for making my father upset.” “Greg, stop!” my mother cried, dragging herself toward us. But Greg kicked her away, laughing cruelly. “Stay out of this, you pathetic excuse for a woman,” he sneered. His grip on my arm tightened, and he leaned in close, his breath hot against my ear. “If it weren’t for your stench, I might’ve taken advantage of that pretty face of yours already. But don’t worry, Aurora. By tomorrow, you’ll be clean enough for me.” My stomach churned, and bile rose in my throat. I yanked my arm away, glaring at him with every ounce of hatred I could muster. “You’re disgusting,” I spat. Greg’s eyes flashed with anger, and he raised his hand to hit me again, but Marcus grabbed his arm. “Enough for tonight,” Marcus said, his tone calm but commanding. “Let’s not break her completely just yet.” They both laughed as if it were some sick joke, and Greg finally released me. I collapsed onto the floor, trembling, as they walked away, leaving my mother and me broken and bleeding. **** The house was eerily silent that night, the kind of silence that felt heavy, oppressive. I lay on the thin mattress in my tiny room, every inch of my body aching. My mother had managed to crawl into the room earlier and clean the blood from my face, but her own injuries were worse. She’d tried to hide her pain, but I could see it in her eyes. The bruises, the cuts, the broken spirit….they were all there. “Aurora,” she whispered now, her voice trembling as she knelt beside me. Her hands shook as she pressed a wad of cash into my palm. “You need to leave. Tonight.” My heart sank. “Mom, no. I’m not leaving you here with them. They’ll kill you.” “They’ll kill you first,” she said, tears streaming down her face. “You don’t understand, Aurora. Greg… he’s dangerous. And Marcus…” Her voice broke, and she clutched my hand tightly. “I can’t protect you anymore. You have to go. Run as far as you can. Don’t look back.” I shook my head, tears blurring my vision. “I can’t leave you here. I won’t.” “Aurora,” she said, her tone fierce despite her frailty. “If you stay, they’ll destroy you. You’re stronger than this. You can survive. But only if you leave. Please, for me.” Her words shattered something inside me. I wanted to argue, to fight, but deep down, I knew she was right. If I stayed, there would be nothing left of me. “Okay,” I whispered, my voice barely audible. “I’ll go.” Her relief was palpable, and she kissed my forehead, her tears mixing with mine. “Be safe, my darling. And never forget… I love you.” “I love you too.” **** The night air was cold and biting as I slipped out the back door. The cash my mother had given me was tucked into the pocket of my threadbare jacket, and I carried nothing else. The streets were dark, the shadows long and menacing, but I didn’t care. I just needed to get away. Every step felt like a betrayal, like I was abandoning my mother to those monsters. But I kept going, the echo of her words pushing me forward: “Run. Don’t look back.” I didn’t stop until the first light of dawn began to creep over the horizon. By then, I was miles away, my legs trembling and my body screaming for rest. I collapsed onto a bench in a deserted park, wrapping my arms around myself as I tried to block out the memories of the night before. Tears streamed down my face, and for the first time in years, I let myself cry. I cried for my mother, for the life I’d lost, for the innocence that had been stolen from me. But most of all, I cried because I didn’t know what came next. I was alone, broken, and hopeless. But as the sun rose higher, painting the sky in hues of gold and pink, a small spark ignited within me. It wasn’t much, but it was enough to remind me that I was still alive. And as long as I was alive, I had a chance to fight, to survive, to find something better. “This isn’t the end,” I told myself, wiping away my tears. “It’s just the beginning.” And with that thought, I stood up, squared my shoulders, and started walking. I didn’t know where I was going, but I knew one thing for certain: I would never go back."Aku yakin banget dia ada disana tadi, di dekat pohon kelapa, dan dia memakai jaket warna hitam," aku kekeh karena sangat yakin jika itu benar Kakakku."Ya udah, kamu jangan panik begitu, tenangin diri dulu ya, jangan khawatir, dia tidak akan berbuat jahat lagi sama kamu, mungkin dia cuma kebetulan lewat saja," balas Daniel sambil mengelus pundakku. "Aku beli minum dulu ya, biar kamu lebih tenang setelah minum." Ujarnya lagi lalu pergi.Rinjani menggiring tubuhku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang terdapat di pinggir pantai. Dia berkali-kali mengelus punggungku untuk menenangkan karena dia tahu sendiri bagaimana rasa traumaku beberapa waktu lalu saat aku harus kehilangan calon bayiku karena kecelakaan yang di lakukan oleh Kak Nita."Tenang Amira, kamu akan baik-baik saja, jangan khawatir, kan ada aku." Ucap Rinjani.Tak lama Daniel datang dengan sebotol air mineral di tangannya. "Minum dulu Mir, biar kamu lebih tenang," ucapnya mengulurkan sebotol air itu padaku."Iya, terim
Aku hanya diam saja berpura tak mendrngar pertanyaan dari Rama. Dia tetap saja mendesak memberiku pertanyaan lagi."Apa mau bulan ini juga kalian merid?" tanyanya lagi yang membuat aku dan Daniel juga Rinjani berlirikan."Bukan bulan ini, tapi besok!" jawab Rinjani tegas.Rama terkikik geli setengah mengejek mendengar hal itu. Aku rasa ada yang berbeda dengan sikapnya. Tapi ku abaikan saja. Setelah acara itu selesai, kami semua pergi ke pantai untuk merayakan kembali hari ulang tahunku.Tentu saja aku meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk pergi ke pantai bersama teman-temanku. Mereka langsung mengizinkan karena bukan hanya aku yang meminta izin, tapi Daniel juga. Sepertinya Ibu dan Bapak sudah terpikat oleh sikap baik Daniel padaku yang selama ini cukup dekat dengan keluarga kami.******Kembali kami menghabiskan waktu bersama di pantai setelah sampai dan memakan waktu cukup lama. Kami sampai tepat pukul tiga sore. Aku duduk di tepi pantai sambil menikmati hembusan angin sore. Tiba-
Bi Ningrum berhenti di sebuah taman yang sudah di dekorasi dengan dekorasi yang sangat indah. Terdapat ucapan selamat ulang tahun di dalam dekorasi yang terpasang membuat dahiku mengernyit. Disana juga sudah tertata rapih beberapa meja bundar lengkap dengan kursi yang mungkin akan menjadi tempat duduk beberapa tamu.Sebuah kue besar dengan angka 27 di atasnya yang terpampang di atas meja sudah jelas sekali memberitahuku bahwa acara surprise itu di tunjukkan untukku."Happy Birthday Amira" Tampak Daniel yang tiba-tiba muncul dari balik dekorasi itu sambil menebar senyuman termanis padaku."Happy Birthday Amira!" ucapnya berteriak. Beberapa orang juga muncul sambil berteriak terutama Rinjani, Rama dan juga Erlika yang tanpa berekspresi."Tunggu!" ujarku membuat senyum mereka memudar berganti degan ekspresi kebingungan."Ada apa Amira?" tanya Rinjani menghampiriku yang jaraknya beberapa meter."Emangnya kalian yakin hari ini hari ulang tahunku?" tanyaku."Lah, bukannya tanggal ulang tah
Nisa menjelaskan mereka berdua sempat berbincang di depan toko dan tak sengaja dia mendengarnya. Maksud mereka datang ke toko mungkin untuk mengundangku ke acara pernikahan mereka, begitu kata Nisa."Aku dengar mereka lagi ngobrol tentang undangan pernikahan Bu, mungkin saja Ibu mau di undang ke acara pernikahan mereka." Jelas Nisa.Mobil yang kini sedang aku kendarai melaju lambat, kala mengingat penjelasan Nisa waktu di toko. Aku menghentikannya di depan sebuah Mall.Setelah memarkirkan mobil aku turun. Beranjak berjalan menuju sebuah toko minuman lalu memesannya. Aku duduk di sebuah kursi menunggu minuman datang."Hai, Amira!" sapa Rama bersama seorang perempuan cantik menghampiriku yang sedang duduk termenung.Aku tersenyum membalas sapaannya. Dia duduk bersama wanita itu. "Malam-malam nongkrong disini, sendirian lagi, Daniel kemana?" tanya Rama.Mendengar pertanyaan itu aku sudah mengerti. Setiap orang pasti akan mengira kami sudah memiliki hubungan selain berteman. Aku jadi mera
"Assalamu'alaikum...," ucapku saat membuka pintu rumah setelah sampai di kota kelahiranku."Hallo! Amira, apa kabar!" Rinjani menerobos memelukku dengan di penuhi aura kebahagiaan di wajahnya."Alhamdulillah, baik, aduh! Pelan-pelan dong meluknya!" kataku pada Rinjani yang terlalu bersemangat."Kangen tahu! Kamu nih ya, malah kabur ke luar negri, giliran temen nikah gak ada, kesel deh!" gerutunya sambil mengiringi langkahku berjalan menghampiri Bapak dan Ibu yang tengah duduk di sofa."Gimana jalan-jalannya Mir, pasti senangkan?" tanya Ibu padaku yang mencium punggung tangannya."Alhamdulillah Bu, Amira udah lebih baik sekarang, suasana di sana enak banget, tapi dingin karena lagi musim salju." Jawabku lalu mencium punggung tangan Bapak."Coba kalau kita ikut kesana, Ibu sih gak mau ikut, jadinya Bapak juga gak bisa ikut!" kata Bapak meluapkan kekesalannya."Malas Pak, perjalanannya jauh, naik pesawat lagi. Bapak kan tahu kalau ibu takut naik pesawat." Jawab Ibu membela diri."Iya-iya
Aku dan Daniel berjalan kaki ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kami harus menaiki tangga panjang menuju menara.Sesekali aku berhenti berjalan karena kelelahan. Dengan tingkah konyolnya dia memintaku untuk menaiki punggungnya menawarkan diri untuk siap menggendongku."Naiklah!" katanya sambil berjongkok."Eh, gak usah, aku masih bisa jalan kok," tolakku."Yakin, bakal kuat naik ke tangga berikutnya?" ejeknya padaku."Yakinlah, ayok lanjut!" ajakku sambil menaiki anak tangga berikutnya.Beberapa menit berikutnya kami sudah sampai di puncak menara. Disana terdapat banyak sekali gembok yang terpasang di sepanjang tempat. "Mau coba pasang gembok? Tulis sebuah tanda, atau permintaan, buat seru-seruan aja." Usul Daniel saat aku berdiri melihat satu persatu gembok yang sudah terpasang.Aku menyetujuinya. Kami membeli gembok serta menulis sesuatu lalu memasangnya di tempat yang cukup ruang. "Selesai!" teriak Daniel kegirangan."Kamu tulis apaan?" aku mengintip gembok yang baru saja di p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments