Mendengar ucapanku mereka malah menangis sambil memelukku. "Alhamdulillah kalau kamu sudah hamil Nak, meskipun tanpa Ayah, ibu yakin anak kamu tidak akan kekurangan kasih sayang dari kami," ucap ibu sambil menangis memelukku."Insya Alloh, kami juga akan turut merawat dan membesarkan anak kamu, jangan khawatir Nak, jangan terlalu banyak pikiran juga ya," sambung Bapak.Sambil mengagguk, aku tersenyum pada mereka.**********Pagi harinya aku hendak melakukan aktivitas membereskan rumah karena kandunganku sudah lebih baik. Tapi ibu mencegahku, dia tak membiarkan aku megerjakan apapun. Ibu sudah banyak sekali berubah sejak aku datang kemarin.Tidak seperti biasanya, dia selalu bersikap cuek padaku. Mungkin karena dia kasihan dengan nasibku. Tapi aku sangat bersyukur dia tidak lagi bersikap seperti biasa.Selesai sarapan bersama ibu dan Bapak aku keluar dari rumah untuk menyirami tanaman di pekarangan rumah. Saat sedang menyiram tanaman, sebuah mobil berhenti di depan gerbang rumah."Mobi
Sedang apa sepagi ini Sabrina ada di rumah Dicky? Dan kenapa dia bertingkah aneh saat aku yang dia lihat di depan pintu? Kalau hanya bertamu biasa saja kenapa harus bertingkah aneh?"Siapa yang datang?" suara Dicky terdengar dari belakang Sabrina."Ini aku Razan!" jawabku santai.Dicky juga terlihat terkejut melihatku. Mereka seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku."Kenapa pada kaget sih?" tanyaku heran."Oh, enggak, masuk Zan!" kata Dicky yang kini mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Aku masuk lalu duduk di sofa bersamaan Sabrina yang duduk di sampingku. "Kita mau bicarain soal bisnis kan, gua gak mau kalau ada orang lain yang mendengar tentang bisnis kita," kataku pada Dicky yang duduk di kursi terpisah."Oh, tentu saja. Sabrina, kamu bisa ke belakang sebentar?" pinta Dicky yang sudah peka dengan ucapanku."Iya," jawab Sabrina yang kemudian menurut pergi.Dari sana kami mengobrol banyak hal tentang bisnis. Sesekali pikiranku tak fokus karena sempat terbersit bayangan Amir
Menempuh perjalanan sekitar enam jam menuju kota tujuan akhirnya aku sampai tepat pukul tiga sore. Segera aku parkirkan mobilku di depan garasi rumah orang tua Amira. Rumah mereka tampak sepi sekali. Sepertinya mereka sedang istirahat sore, pikirku. Aku melangkahkan kaki yang terasa berat karena rasa malu di hati. Tapi ku teruskan saja karena niat baik itu tidak baik jika di urungkan.Tok!Tok!Tok!"Assalamu'alaikum!" ucapku lantang.Pintu di buka oleh Bi Ningrum sambil menjawab salam dariku. "Wa'alaikumsalam. Eh, Den Razan, maaf Den, di rumah lagi gak ada orang," ucapnya."Loh, mereka semua lagi pada kemana Bi?" tanyaku dengan kantong kresek besar di tangan buah tangan serta beberapa perlengkapan bayi."Bapak sama Ibu juga Non Amira kan sekarang sudah punya toko kue, jadi mereka jam segini pasti sedang sibuk melayani pembeli." Jawabnya."Ya sudah kalau begitu, saya minta alamat tokonya saja, nanti saya datang langusng ke sana," pintaku pada Bi Ningrum yang langsung menjelaskan temp
Aku duduk melingkar bersama kedua orang tua Amira di atas sofa. Ternyata di tempat usaha kue milik Amira terdapat sebuah ruangan khusus yang cukup luas untuk beristirahat.Bukannya merasa nyaman, hatiku malah gelisah saat melihat Rama juga Daniel yang turut serta mencampuri obrolan kami. Sedangkan Amira masih terlihat sibuk melayani pelanggan meski sudah cukup banyak karyawan yang membantu.Sesekali ku lirik dia dari balik kaca jendela besar dari ruangan. Terlihat Amira yang mengusap keringat dengan perut besar yang tampak kelelahan."Mana istri kamu? Kenapa kamu tidak datang sama dia?" tanya Ibu Amira yang menyadarkanku saat memandang mantan istriku.Aku tergagap, tahu betul jika mereka belum mengetahui siapa istri keduaku yang sesungguhnya. "Eu...dia sedang sibuk, Bu," jawabku singkat."Sudah saya duga, sejak awal kamu memang ada main sama perempuan lain Razan, makannya dulu saya gak merestui hubungan kamu sama Amira...,""Sudah, Bu!" potong Bapak yang terlihat merasa tak enak. "Ti
"Mamah kayak gak pernah ngerasain gimana susahnya ngurus anak kecil aja. Aku kan butuh refresing untuk menyegarkan otak. Apalagi Farel udah aktif sekarang!" jawab Nita."Di bilangin malah melawan!" balas Mamah lagi."Udahlah, aku jadi gak enak sarapan kalau begini terus, tiap hari ada aja yang omelin!" kata Nita sambil bangkit dari kursinya."Nita!" panggilku lantang penuh emosi.Baru hendak melangkah, Nita berhenti lalu menolehku. "Apalagi sih Mas!" katanya kesal."Kamu ini semakin melunjak saja, apa kamu gak tahu kalau Mamah ini orang tuaku? Kenapa kamu tidak bisa berlaku sopan sama dia?" kataku."Mamah sendiri yang selalu saja cari masalah sama aku, Mas!" Nita benar-benar tak tahu malu sekali. "Eleh, kamu ini malah menyalahkan orang tua, bukannya minta maaf!" kata Mamah kesal."Minta maaf sama Mamah!" pintaku padanya."Ogah banget!" Nita pergi begitu saja menyisakan sesak di dadaku.Segera aku bangkit mengejarnya. Ku tarik tangannya yang meringis kesakitan karena aku terlalu kuat
"Apa yang sebenarnya terjadi Bu?" tanyaku pada Mamah yang masih berderai air mata.Mamah hanya melirikku sekilas lalu melihat Nita yang sama halnya tengah menangis. Bapak tidak terlihat di sana, entah kemana dia."Kenapa kalian diam? Saya sedang khawatir, tolong jawab, apa yang sebenarnya terjadi sama Amira?" desakku yang membuat Ibu bangkit."Kalau saja dari awal dia dan Nita tidak pernah mengenal kamu, semuanya tidak akan seperti ini!" ujar Ibu menatapku nyalang sambil menunjuk wajahku."Maksud Ibu?" tanyaku."Memang susah ngomong sama orang yang gak punya hati!" ujarnya lalu pergi menyisakan aku dan Nita. "Ada apa ini? Jadi selama ini kamu pulang kempung? Apa mereka sudah tahu hubungan kita?" "Iya!" jawab Nita singkat membuatku emosi."Jawab yang benar, jangan singkat-singkat!" bentakku."Bayi Amira meninggal, karena aku memarahinya saat aku datang ke rumah, aku bertengkar hebat sama dia sampai aku gak bisa mengendalikan diri mendorong dia ke bawah tangga, puas kamu dengan jawaban
~~ POV Amira ~~Karena kejadian beberapa waktu lalu yang mengharuskanku mengalami depresi telah kehilangan bayi yang berada dalam kandunganku, membuatku harus pergi ke luar negri untuk menenngkan diri.Ya, aku pergi ke negri gingseng untuk sekedar melepas beban pikiran yang selama ini selalu berkecamuk menguras hati dan pikiranku.Terbersit dalam ingatan sosok Daniel yang selama ini selalu ada untukku saat aku tengah duduk di sebuah kursi taman merenung sendiri.Aku ingat sekali saat Daniel datang kembali dengan menawarkan ide cemerlang tentang bisnis yang sekarang sedang aku jalani. Dia yang memberiku ide untuk menjalankan bisnis kue di kotaku. Dia juga yang selalu ada untukku di saat aku kesusahan menjalani kehamilan di usia-usia rentan. Bahkan dia selalu berusaha sebisa mungkin menuruti keinginan ngidamku. Kami memang hanya teman, akupun tidak lebih menilainya memberi perhatian hanya sekedar mengasihaniku meski dia pernah mengungkap rasa."Amira!" teriak seseorang yang suaranya ta
Ternyata Daniel juga menginap di hotel yang sama dengan kami. Aku sudah bisa menebaknya sendiri, ulah siapa yang membuatnya sampai datang ke Korea untuk mengikutiku. Siapa lagi kalau bukan Mbak Karina.Selain teman semasa SMA Kak Nita, Mbak Karina masih mempunyai ikatan keluarga dengan Daniel. Dia pernah bercerita mengenai perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua Daniel yang sengaja di tolak mentah-mentah oleh Daniel karena Daniel lebih memilih menunggu jandaku.Malu rasanya mendengar cerita itu. Bukan apa-apa, aku merasa menjadi duri yang tidak seharusnya membuat Daniel membantah kedua orang tuanya. Tapi, mau bagaimana lagi, aku tidak tahu apa-apa, berita itu juga ku dengar beberapa bulan yang lalu dari Mbak Karina."Besok kita jalan-jalan ke Namsan Tower yuk!" ajak Daniel saat kita makan malam bersama."Hmm..boleh," jawabku sambil kembali melahap makanan yang belum habis.Mbak Karina hanya tersenyum melihat kita. Dia selertinya mendukung Daniel untuk kembali mendekatiku."Kaya