Empat pelayan berwajah sangar menyeruak masuk, langkah mereka berat dan berbaris dua arah, membawa cambuk kulit hitam yang menggulung di tangan serta balok kayu yang kokoh di bahu. Tampang mereka tak ubahnya algojo, sorot mata tanpa belas kasih, napas memburu, seolah hanya menunggu aba-aba darah tumpah di ruangan itu. Dan sebelum cambuk terayun .... Sebuah kilatan samar melesat di udara! Srtt! Dalam sekejap mata, Chu Qiao telah bergerak. Tubuhnya bagai bayangan kilat, meluncur cepat ke arah salah satu algojo. Cincin hitam yang melingkar di jarinya berkilau dingin, dan dengan satu gesekan mendatar, leher pelayan itu robek! Byur! Semburan darah merah pekat muncrat, memercik ke lantai batu, bahkan hampir mengenai ujung jubah sutra permaisuri Yuwen. Tubuh pelayan itu ambruk keras, matanya masih melotot tak percaya, sementara tangannya yang kokoh berusaha meraih lehernya sendiri sebelum akhirnya terkulai lemas, tak lagi bergerak. Suasana ruangan seketika membeku! Permaisur
Fajar menyingsing perlahan. Kabut tipis menari di antara batang pinus dan dedaunan basah, seakan menyelubungi jalur hutan dengan selimut putih misterius. Derap langkah kuda menggema. Dua ekor kuda hitam gagah berlari kencang di barisan paling depan, surainya berkibar liar diterpa angin dingin pagi. Di atas salah satunya, Kaisar Lin Yi duduk tegak, wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya tajam menembus kabut. Di belakangnya, jenderal Shang Que menunggang kuda hitam lain, tubuh tegapnya kokoh meski lengan masih berbalut perban putih yang kini ternodai merah samar. Di belakang mereka, selusin kuda coklat berderap tak kalah cepat. Para prajurit bayangan pilihan mengapit, formasi rapat dan teratur, laksana garis baja yang membelah kabut. Dari ketinggian langit, hitam dan coklat bergantian menyapu pandangan, kontras dengan hijau rimbun hutan yang basah sekaligus berkabut. Suara embusan napas kuda bercampur pekik elang yang terbang rendah di atas pucuk pohon, menambah nuansa
”Nenek!” Seruan permaisuri Yuwen pecah, panik samar yang tadi dia sembunyikan kini meledak tanpa kendali. Wanita itu bahkan nyaris saja melompat dari ranjang, menyingkirkan pelayan yang ketakutan. “Lin Yi!” suara parau nenek permaisuri juga pecah di sela sakitnya, matanya menatap permaisuri Yuwen yang masih ditodong pedang, “jika kamu benar-benar menurunkan dia ke Qingxin, kalau kamu benar-benar menceraikannya, darah keluarga Lin akan tercabik! Kamu akan kehilangan sekutu terakhir yang setia di istana ini!” Tubuhnya bergetar semakin keras, dan brug, dia terjatuh sepenuhnya ke lantai, terkapar tak berdaya. Permaisuri Yuwen menjerit kecil, matanya merah, tangannya gemetar menekan dadanya sendiri. Dia menoleh ke Kaisar, wajah pucatnya bercampur amarah dan ketakutan. Permaisuri Yuwen. “...” Tanpa sempat berkata, Kaisar telah menjatuhkan pedang di tangannya begitu saja, lantas membopong tubuh neneknya meninggalkan kamar. “Panggil Tabib Jiang!” seru Kaisar. Langit kian teran
Paviliun Permaisuri Yuwen malam itu sunyi. Kekacauan sebelumnya tidak menyisakan apapun. Kaisar tahu jenderal beserta bawahannya telah membereskan para pembunuh berkedok penari. Dan saat ini .... BRAK! Pintu kamar permaisuri Yuwen berguncang hebat dihantam dari luar, terbuka keras hingga hampir terlepas dari engselnya. Langkah berat terdengar, mengguncang lantai seakan tiap tapak kaki membawa badai. Kaisar Lin Yi muncul, jubah hitam satin masih menyelimuti tubuhnya, topeng perak telah dia tanggalkan, menyingkap wajah keras penuh amarah. Aura gelap yang menempel padanya membuat pelayan yang tengah memijat kaki permaisuri Yuwen seketika menyingkir, bersujud tanpa berani menoleh. Wajah Permaisuri Yuwen memucat. Gelas tonik di tangannya bergetar, hampir tumpah. Bahkan sebelum sempat berkata apa-apa, kilau tajam menyambar. Shiiing! Pedang panjang Kaisar Lin Yi telah terhunus, kilat dinginnya menebas udara, lalu berhenti hanya sejengkal dari leher halus sang Permaisuri. Ujun
Langkah Kaisar Lin Yi mantap tapi senyap, mengikuti bayangan pria berjubah hitam di hadapannya. Pria itu berjalan cepat, seolah-olah hanya ingin keluar dari hiruk pikuk pasar gelap. Namun, gerakan bahunya, yang sedikit kaku, serta langkahnya yang makin tergesa, terlalu jelas menunjukkan kegelisahan. Di bawah cahaya lampu minyak yang redup, sosok berjubah hitam itu menembus kerumunan, sesekali menoleh dengan ekor mata. Dan saat matanya menangkap sekilas bayangan tinggi besar bertopeng perak yang mengikuti, napasnya tercekat. Dia mempercepat langkah hingga hampir setengah berlari! Kaisar Lin Yi tidak terprovokasi. Dia tetap berjalan dengan langkah panjang yang mantap, tak menampakkan kegelisahan meski bayangan buruannya mulai menghilang di balik kerumunan di tengah jalur. Kerumunan padat orang-orang berwajah muram, transaksi rahasia yang sibuk dalam senyap, sekaligus kode rahasia. Hingga akhirnya, saat Kaisar melewati lorong sempit, sosok berjubah hitam itu benar-benar lenyap dari
Jarum perak satu per satu menusuk titik di sekitar bahu dan punggung Chun Mei. Tangan tabib Jiang cekatan, matanya penuh konsentrasi. Setiap tusukan membuat tubuh wanita itu sedikit bergetar, napasnya tersengal, tapi jubah tipis yang dikenakannya menjaga martabatnya tetap utuh. Bagian belakang jubah telah disobek, membiarkan luka menganga jelas terlihat agar racun bisa ditangani. Kemudian tabib Jiang mengeluarkan botol kecil berisi ramuan berwarna kehijauan, aroma getirnya menusuk hidung. Dengan hati-hati, dia meneteskan cairan itu ke luka, membuat darah beracun kembali merembes keluar, jatuh ke mangkuk tembaga yang kini sudah dipenuhi cairan hitam kehijauan. “Bertahanlah, Ratu Chun,” bisik tabib tua itu lirih, meski tahu kesadaran wanita itu hampir lenyap. Jemari lentiknya yang lemah masih menggenggam sehelai ujung jubah emas, seakan mencari jejak kehadiran seseorang yang kini sudah tidak ada di sisi. Sementara itu, di luar paviliun naga emas, langkah Kaisar Lin Yi terdenga