Chun Mei menggigit bibir bawahnya pelan. Peta kecil yang digenggamnya tampak tak berguna di tangan. Jalur taman dalam istana ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan, dan semakin dia berjalan, semakin terasa seperti ia tersesat dalam lukisan rumit berwarna daun gugur dan bunga plum.
"Ah, kenapa aku begitu bodoh, sudah satu bulan di sini masa bisa tersesat di taman, konyol!" gumamnya lirih, "dan sekarang malah nyasar." "Sedang mencari jalan, Nona?" Suara bariton itu datang begitu tiba-tiba, dalam dan tenang, membuat Chun Mei sedikit terlonjak. Dia menoleh cepat. Seorang pria berdiri tak jauh darinya, mengenakan pakaian hitam sederhana, nyaris tanpa ornamen. Tidak ada lambang kekaisaran di jubahnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia siapa pun yang penting. Tapi aura dingin dan tatapannya... ...terlalu menusuk untuk seorang kasim. Namun Chun Mei, yang pikirannya tengah kalut dan jiwanya setengah panik karena takut dihukum akibat keluar paviliun tanpa izin, justru tak memperhatikan itu. "Oh, syukurlah!" ujarnya cepat, "aku tersesat... Anda tahu jalan keluar taman ini, kan? Saya hanya ingin kembali ke Paviliun Qingxin. Saya janji tidak akan keluar lagi, sungguh." Lin Yi, yang semula terpaku oleh sosoknya; wajah tanpa polesan tebal, bibir lembut tanpa warna merah menyala seperti selir lain, dan sepasang mata yang... tidak memandangnya dengan hasrat seperti yang biasa dia lihat, kini terdiam beberapa detik. “Kamu... tidak tahu aku siapa?” Chun Mei mengerutkan kening, seolah pertanyaan itu tak penting. “Eh... Anda kasim dari taman ini?” Dia membungkuk buru-buru. “Saya tak bermaksud lancang, saya hanya... saya tersesat dan tak ingin dihukum keluar tanpa izin.” Hening. Bibir Lin Yi berkedut. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa sangat lama, sesuatu dalam dirinya terasa hangat, aneh, menggelitik. Apakah ini... lucu? Dia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan senyuman yang nyaris tak kasat mata. “Baiklah,” ucapnya datar, menyembunyikan gejolak dalam dada. “Ikuti aku. Aku tahu jalannya.” Chun Mei menghela napas lega. “Terima kasih, Kasim!” Lin Yi berjalan perlahan, membiarkan Chun Mei mengikuti di sampingnya. Langkah mereka menyusuri jalan batu yang bersih oleh sapuan angin, bunga-bunga gugur menghampar seperti karpet musim gugur. Daun plum berguguran di atas bahu Chun Mei, tapi dia tampak tak peduli, terlalu sibuk menyesali kebodohannya sendiri. “Saya pikir, kalau berjalan lurus lewat gerbang utara, bisa sampai ke paviliun,” gumamnya sambil menatap peta kecil yang tetap membingungkan. “Tapi ternyata malah masuk ke labirin bunga-bunga.” “Karena kamu berjalan dengan kepala penuh pikiran, bukan dengan mata,” ujar Lin Yi tenang. Chun Mei menatapnya sekilas. “Itu... benar juga.” “Kamu bukan seperti selir lain, bukan?” Lin Yi menoleh sekilas. Chun Mei nyaris tersedak oleh pertanyaan itu, tapi buru-buru menutupi keterkejutannya. “Saya hanya selir kecil,” katanya pelan, "tidak dikenal, dan lebih baik begitu.” Lin Yi diam. Tapi dalam hatinya, kalimat itu justru tertanam dalam. Tidak dikenal, dan lebih baik begitu. Hingga tanpa terasa, mereka tiba di ujung taman, di mana paviliun Qingxin sudah tampak di kejauhan. Langit senja mewarnai langit dengan rona jingga lembut, dan suara lonceng dari aula utama terdengar samar. Chun Mei menatap pria yang baru saja menolongnya. Dia membungkuk sekali lagi, lebih dalam. “Terima kasih banyak. Saya tak akan lupa kebaikan Anda hari ini, Kasim.” Lin Yi membalas dengan anggukan kecil, lalu membiarkannya melangkah pergi. Namun, matanya tetap mengikuti punggung ramping wanita itu sampai menghilang di balik lengkung lorong batu. Baru setelah itu, dia tertawa... kecil, nyaris tak terdengar. “Sungguh menarik.” Untuk pertama kalinya, Kaisar Lin Yi mengingat wajah seorang selir bukan karena dia menginginkannya... tapi karena wanita itu tidak menginginkannya. *** "Yang Mulia!" Setelah Kaisar Lin Yi kembali ke aula utama, Li Mudah; selir senior, yang merupakan teman masa kecil Kaisar pun menyambutnya dengan senyuman lebar, tatapan hangat serta tak lupa tangan yang tanpa ragu menjangkau tangannya... selayaknya dua orang yang sudah akrab satu sama lain sejak dahulu. "Kamu kemana saja? Jika ingin keluar jalan-jalan harusnya ajak aku, akan aku tunjukan tempat-tempat terbaik di sini," lanjut Li Muwan dengan suara lembut dan manja. Kaisar Lin Yi mula-mula menyingkirkan tangan Li Muwan dari pergelangan tangannya sendiri kemudian bertanya, "Apa operanya sudah selesai?" Li Muwan menjawab cepat, "Baru berakhir beberapa saat lalu, dan jangan khawatir, Nenek Permaisuri sudah membekali mereka hadiah yang layak." Kaisar Lin Yi manggut-manggut. "Kalau begitu, aku harus kembali ke istana utama." Wajah Li Muwan langsung dipenuhi kekecewaan. "Kamu tidak singgah di kamarku dulu? Aku membuat teh yang biasa kita minum di ujung senja seperti ini." Kaisar Lin Yi mengangkat tangan tanda menolak. Dia melanjutkan langkah, tanpa menghiraukan kecemberutan di wajah Li Muwan. Lagi pula, sejak kapan pria ini peduli pada wajah-wajah seperti itu? Li Muwan hanya bisa memandang punggung Kaisar Lin Yi yang semakin menjauh. Dan dalam benaknya dia berpikir, ternyata menjadi teman lamamu tidak menjamin bisa menempati posisi istimewa di hatimu. Sementara itu... di tengah ayunan kaki Kaisar Lin Yi yang menuju gerbong kereta, dia dengan suara rendah bertanya pada kasim. "Apa hari ini ada Selir yang tidak ikut serta menonton opera?"Dug!!! Kya!!! Para wanita yang sedang tertawa menggoda tiba-tiba menjerit histeris ketika dari jendela lantai dua meluncur sesuatu. Seorang pria gendut jatuh menghantam tanah. Tubuhnya terbanting keras di jalanan basah. Jeritan memuncak saat mereka melihat wajahnya! Mata pria itu melotot lebar, lidahnya terjulur kaku, seolah bahkan dalam kematian pun dia masih ingin menatap tubuh-tubuh indah di sekelilingnya. “Mayat! Ada mayat!” “Ya Tuhan, dia jatuh dari atas!” Wanita-wanita Linglong yang sebelumnya tersenyum manja kini histeris, berhamburan ke segala arah. Suara sandal kayu beradu dengan batu jalanan, suara kain sutra terkibas di antara teriakan panik. Dari kerumunan, seorang wanita bertubuh berisi dengan jubah mewah warna merah keemasan; pemilik rumah bordil, bergegas menerobos ke depan. Wajahnya pucat pasi, kipas lipat di tangannya berkibar panik, mengipas-ngipasi wajah sendiri seakan bisa mengusir malapetaka. “Celaka! Celaka! Bajingan ini mati di depan pintu r
Di gang belakang rumah bordil yang samar diterangi lampu merah, Chu Qiao melangkah mantap. Pakaian hitamnya membaur dengan kegelapan, hanya suara gesekan sepatu kulit pada tanah basah yang menandakan kehadirannya. Rambut yang dicepol rapi terselip di bawah topi hitam bertepi lebar, menutupi wajahnya hingga hanya mata tajam itu yang tersisa; mata yang seolah menelan segala cahaya. Lorong sempit dipenuhi aroma arak basi dan dupa murahan. Suara tawa perempuan bercampur dengan nada seruling samar dari ruang bawah membuat suasana semakin gaduh. Namun, Chu Qiao tidak berhenti. Dia memilih jalur belakang, tempat para pelayan jarang berkeliaran, tangga kayu sempit yang langsung mengarah ke lantai dua. Langkahnya ringan, nyaris tak meninggalkan jejak. Tangannya sempat menyentuh gagang pedang pendek yang tersembunyi di balik jubah, sekadar memastikan senjata itu masih ada. Sampai di lantai dua, suasana berbeda. Lebih sunyi. Hanya sesekali terdengar lenguhan samar di balik pintu-pintu kamar.
Di kuil Haiyun. Ketika Li Jiancheng tiba, adiknya; Li Muwan, tengah bermain wei qi dengan selir agung. Li Jiancheng sengaja menghentikan langkah, memandang adik tersayangnya dari kejauhan. Begitu Li Muwan melihat Li Jiancheng tak jauh di depan sana, dia mencondongkan wajah untuk berbisik, “Selir Agung, hari ini sampai sini dulu.” Selir Agung seolah dapat membaca isi pikiran Li Muwan. Dengan cepat menoleh, mendapati Li Jiancheng berdiri tanpa ekspresi. Lantas, tanpa mengatakan apapun, selir agung meletakkan batu hitam, yang tadi di tangannya. Lanjut beringsut melenggang pergi diikuti nyonya Xu. Kini Li Jiancheng melanjutkan langkah menghampiri Li Muwan. Duduk tanpa perlu diperintah, pandangannya ke bawah, memperhatikan sisa-sisa permainan wei qi. “Aku belum mendengar kematian Chun Mei.” Li Muwan berkata sembari menuangkan teh untuk Li Jiancheng. “Tujuan utama Qiao'er adalah Shang Que.” Li Jiancheng membalasnya tanpa ekspresi signifikan. “Dan sekarang apa Shang Que su
Permaisuri Yuwen baru saja keluar dari kediaman nenek permaisuri, langkahnya tenang tapi hatinya masih digelayuti resah. Ucapan wanita tua itu tentang calon anak di kandungannya membuat pikirannya terasa berat! Belum jauh berjalan, dari arah berlawanan tampak seorang wanita, yang tak asing lagi. Chun Mei. Di bawah cahaya siang, penampilannya tampak anggun tanpa perlu balutan mewah. Gaun sutra lembut berwarna hijau pucat dengan bordiran tipis bunga seruni menempel indah di tubuh ramping, serta perut yang tampak membesar. Rambut hitam panjangnya disanggul sederhana, dihiasi satu tusuk rambut giok yang memantulkan cahaya matahari. Wajahnya bersih, cantik, dengan sorot mata tenang yang seolah menolak terusik hiruk-pikuk intrik istana. Permaisuri Yuwen memperhatikan dalam diam. Hati kecilnya segera diselimuti rasa tak suka, bukan karena Chun Mei berusaha menyaingi kemewahannya, justru sebaliknya, karena pesona alami wanita itu tetap memancar meski tanpa gemerlap perhiasan. Saa
Li Jiancheng pernah berpesan. 'Apapun keadaannya, kamu adalah putri seorang petani, belajar bela diri melalui seorang pedagang.' Rahasia Chu Qiao sudah terungkap, tetapi wanita itu tidak semudah membalikkan tangan membenarkan. Dia menyangkal, sorot matanya tak memperlihatkan sedikitpun kebohongan. “Apa maksud Jenderal? Tuan yang anda maksud, bukankah anda sendiri.” Senyum jenderal tak berkurang. “Hm, begitu?” Chu Qiao tiba-tiba saja beralih duduk bersimpuh. Tanpa mengalihkan pandangannya pada sang jenderal; seolah dia tidak sedang menyembunyikan kebenaran, dia berkata, “Dalam tubuh hamba memang ada racun. Sulit ditawar, sulit diobati. Yang Mulia Ratu Chun berkata, racun jenis ini biasanya digunakan antara Tuan dan bidak, tapi terkecuali untukku.” Tatapan jenderal sepenuhnya terpusat pada Chu Qiao, tak rela berpaling bak takut kehilangan satu saja informasi. “Pedagang yang pernah mengajarkanku bela diri merupakan saudagar herbal, segala jenis tanaman, baik dari yang biasa
Di paviliun persik. Chun Mei menatap bayangan samar di cermin perunggu. Cahaya lampu minyak bergoyang lembut, membiaskan siluet dirinya yang tampak lelah, tapi tetap menyimpan pesona yang sulit disangkal. Jemari kokoh Kaisar menyisir rambut panjangnya dengan perlahan, seakan setiap helaian adalah sesuatu yang berharga dan rapuh. “Dia mendadak menanyakan racun lalat hitam?” suara Kaisar rendah, nyaris berbisik. Ada nada tenang, tetapi juga mengandung kuasa yang tak bisa disembunyikan. Dengan pandangan lurus ke depan Chun Mei mengangguk. Sisir berhenti sejenak. Tatapan Kaisar yang terpantul di cermin menajam, meski tangannya kembali bergerak pelan. “Dan menurutmu, benarkah temannya yang menderita racun lalat hitam itu?” Chun Mei terdiam, matanya menatap balik pantulan wajah Kaisar di cermin. Dia tidak menyangkal, tidak pula membalas. Setelah beberapa saat barulah Chun Mei kembali tersenyum. “Yang Mulia jauh lebih mengerti isi pikiranku.” Uap harum bunga persik dari tun