Share

Bab 2. Dikira Kasim Taman.

Penulis: Zhang A Yu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-14 15:35:21

Chun Mei menggigit bibir bawahnya pelan. Peta kecil yang digenggamnya tampak tak berguna di tangan. Jalur taman dalam istana ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan, dan semakin dia berjalan, semakin terasa seperti ia tersesat dalam lukisan rumit berwarna daun gugur dan bunga plum.

"Ah, kenapa aku begitu bodoh, sudah satu bulan di sini masa bisa tersesat di taman, konyol!" gumamnya lirih, "dan sekarang malah nyasar."

"Sedang mencari jalan, Nona?"

Suara bariton itu datang begitu tiba-tiba, dalam dan tenang, membuat Chun Mei sedikit terlonjak. Dia menoleh cepat. Seorang pria berdiri tak jauh darinya, mengenakan pakaian hitam sederhana, nyaris tanpa ornamen. Tidak ada lambang kekaisaran di jubahnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia siapa pun yang penting. Tapi aura dingin dan tatapannya...

...terlalu menusuk untuk seorang kasim.

Namun Chun Mei, yang pikirannya tengah kalut dan jiwanya setengah panik karena takut dihukum akibat keluar paviliun tanpa izin, justru tak memperhatikan itu.

"Oh, syukurlah!" ujarnya cepat, "aku tersesat... Anda tahu jalan keluar taman ini, kan? Saya hanya ingin kembali ke Paviliun Qingxin. Saya janji tidak akan keluar lagi, sungguh."

Lin Yi, yang semula terpaku oleh sosoknya; wajah tanpa polesan tebal, bibir lembut tanpa warna merah menyala seperti selir lain, dan sepasang mata yang... tidak memandangnya dengan hasrat seperti yang biasa dia lihat, kini terdiam beberapa detik.

“Kamu... tidak tahu aku siapa?”

Chun Mei mengerutkan kening, seolah pertanyaan itu tak penting.

“Eh... Anda kasim dari taman ini?” Dia membungkuk buru-buru. “Saya tak bermaksud lancang, saya hanya... saya tersesat dan tak ingin dihukum keluar tanpa izin.”

Hening.

Bibir Lin Yi berkedut. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa sangat lama, sesuatu dalam dirinya terasa hangat, aneh, menggelitik. Apakah ini... lucu?

Dia menundukkan kepala sedikit, menyembunyikan senyuman yang nyaris tak kasat mata.

“Baiklah,” ucapnya datar, menyembunyikan gejolak dalam dada. “Ikuti aku. Aku tahu jalannya.”

Chun Mei menghela napas lega. “Terima kasih, Kasim!”

Lin Yi berjalan perlahan, membiarkan Chun Mei mengikuti di sampingnya. Langkah mereka menyusuri jalan batu yang bersih oleh sapuan angin, bunga-bunga gugur menghampar seperti karpet musim gugur. Daun plum berguguran di atas bahu Chun Mei, tapi dia tampak tak peduli, terlalu sibuk menyesali kebodohannya sendiri.

“Saya pikir, kalau berjalan lurus lewat gerbang utara, bisa sampai ke paviliun,” gumamnya sambil menatap peta kecil yang tetap membingungkan. “Tapi ternyata malah masuk ke labirin bunga-bunga.”

“Karena kamu berjalan dengan kepala penuh pikiran, bukan dengan mata,” ujar Lin Yi tenang.

Chun Mei menatapnya sekilas. “Itu... benar juga.”

“Kamu bukan seperti selir lain, bukan?” Lin Yi menoleh sekilas.

Chun Mei nyaris tersedak oleh pertanyaan itu, tapi buru-buru menutupi keterkejutannya.

“Saya hanya selir kecil,” katanya pelan, "tidak dikenal, dan lebih baik begitu.”

Lin Yi diam. Tapi dalam hatinya, kalimat itu justru tertanam dalam.

Tidak dikenal, dan lebih baik begitu.

Hingga tanpa terasa, mereka tiba di ujung taman, di mana paviliun Qingxin sudah tampak di kejauhan. Langit senja mewarnai langit dengan rona jingga lembut, dan suara lonceng dari aula utama terdengar samar.

Chun Mei menatap pria yang baru saja menolongnya. Dia membungkuk sekali lagi, lebih dalam.

“Terima kasih banyak. Saya tak akan lupa kebaikan Anda hari ini, Kasim.”

Lin Yi membalas dengan anggukan kecil, lalu membiarkannya melangkah pergi. Namun, matanya tetap mengikuti punggung ramping wanita itu sampai menghilang di balik lengkung lorong batu.

Baru setelah itu, dia tertawa... kecil, nyaris tak terdengar.

“Sungguh menarik.”

Untuk pertama kalinya, Kaisar Lin Yi mengingat wajah seorang selir bukan karena dia menginginkannya... tapi karena wanita itu tidak menginginkannya.

***

"Yang Mulia!"

Setelah Kaisar Lin Yi kembali ke aula utama, Li Mudah; selir senior, yang merupakan teman masa kecil Kaisar pun menyambutnya dengan senyuman lebar, tatapan hangat serta tak lupa tangan yang tanpa ragu menjangkau tangannya... selayaknya dua orang yang sudah akrab satu sama lain sejak dahulu.

"Kamu kemana saja? Jika ingin keluar jalan-jalan harusnya ajak aku, akan aku tunjukan tempat-tempat terbaik di sini," lanjut Li Muwan dengan suara lembut dan manja.

Kaisar Lin Yi mula-mula menyingkirkan tangan Li Muwan dari pergelangan tangannya sendiri kemudian bertanya, "Apa operanya sudah selesai?"

Li Muwan menjawab cepat, "Baru berakhir beberapa saat lalu, dan jangan khawatir, Nenek Permaisuri sudah membekali mereka hadiah yang layak."

Kaisar Lin Yi manggut-manggut. "Kalau begitu, aku harus kembali ke istana utama."

Wajah Li Muwan langsung dipenuhi kekecewaan. "Kamu tidak singgah di kamarku dulu? Aku membuat teh yang biasa kita minum di ujung senja seperti ini."

Kaisar Lin Yi mengangkat tangan tanda menolak. Dia melanjutkan langkah, tanpa menghiraukan kecemberutan di wajah Li Muwan.

Lagi pula, sejak kapan pria ini peduli pada wajah-wajah seperti itu?

Li Muwan hanya bisa memandang punggung Kaisar Lin Yi yang semakin menjauh. Dan dalam benaknya dia berpikir, ternyata menjadi teman lamamu tidak menjamin bisa menempati posisi istimewa di hatimu.

Sementara itu... di tengah ayunan kaki Kaisar Lin Yi yang menuju gerbong kereta, dia dengan suara rendah bertanya pada kasim. "Apa hari ini ada Selir yang tidak ikut serta menonton opera?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Abdul Nasir
mau tak dikenal tapi terbalik
goodnovel comment avatar
Netty Tya
Aaaaaah baca dL Siapa tahu CeritaNya bagus
goodnovel comment avatar
hada Hada
tadi kan sama sama melihat opera. mosok Chun mei gak kenal wajah rajanya? cerita yg absurd ini ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 123. Nyaris Mati

    “Siapa di sana?!” Seruan keras seorang pria memecah sunyi di tepi sungai. Tiga pelayan yang sedang menahan Liu Ning sontak terkejut. Tatapan mereka saling bertemu, penuh kepanikan. Tanpa pikir panjang, mereka serentak melepaskan Liu Ning begitu saja. Tubuh gadis itu terhempas ke tanah becek di tepi sungai, terdengar suara berat dari dadanya yang berusaha mencari udara. Rambutnya menempel di wajah, bibirnya membiru, matanya merah basah, nyaris kehilangan kesadaran. “Cepat lari! Kalau ketahuan kita bisa habis!” bisik salah satu pelayan panik. Mereka bertiga segera menerobos semak belukar dan ilalang tinggi tanpa menoleh ke belakang, langkah-langkah mereka terburu, meninggalkan Liu Ning tergeletak sendirian. Air sungai terus bergemuruh, seakan menyaksikan penderitaannya. Beberapa saat kemudian, dari arah jalur setapak, seorang pria muncul. Pakaian prajurit membalut tubuh tegapnya, tombak panjang tergenggam di tangan. Sorot matanya tajam, terlatih untuk membaca keadaan. Di

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 122. Efeknya Mengerikan

    “Selir Agung!” Nyonya Xu mendorong seorang pelayan muda masuk ke dalam ruangan. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah berair seolah tak tidur semalam suntuk. Gerakannya gelisah, tangannya terus-menerus meremas jubahnya sendiri. Selir Agung yang tengah bersandar di kursi berlapis sutra mengangkat kepala perlahan. Seketika, alisnya terangkat tipis. Itu pelayan yang beberapa waktu lalu dia jadikan ‘kelinci percobaan’. Kali ini penampilan pelayan polos itu benar-benar berbeda. Sorot matanya kosong sekaligus berkilat aneh, ada bekas goresan di pergelangan tangannya, sedikit tampak dari balik lengan jubahnya. Gerakannya terguncang, seperti orang yang tengah kecanduan sesuatu yang tak kasat mata. Pelayan itu terhuyung ke depan, hampir jatuh berlutut. Dengan suara serak, dia memohon, “Nyonya, wewangian itu, berikan lagi pada hamba, hamba mohon. Tanpa aromanya, dada hamba sesak, kepala hamba berdenyut, hamba bisa gila!” Matanya membelalak, tangannya meraih ke udara, seolah ingin

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 121. Chu Qiao Mengikuti Persyaratan Jenderal

    Di dalam kamar gelap itu, hanya satu pelita kecil di sudut yang memancarkan cahaya redup. Chu Qiao duduk bersila di lantai, gaun merahnya kusut dan sedikit robek di bagian bahu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Tangannya membuka lipatan peta yang tadi nyaris mengorbankan nyawanya. Kertas tua itu memancarkan aroma lembab yang khas, dengan garis-garis halus yang membentuk jalur-jalur rahasia dan tanda-tanda yang hanya bisa dibaca oleh orang tertentu. Dia mengamati dengan seksama, matanya bergerak cepat mengikuti setiap garis. Kemudian, perlahan, dia mengangkat pewarna bibir yang diambil langsung dari bibirnya. Dengan ujungnya, dia memberi tanda bulat kecil berwarna merah di beberapa titik peta. Titik-titik itu adalah lokasi yang pernah dia datangi, yakni markas pelatihan pasukan tersembunyi Zhuge Liang. Tempat-tempat itu masih aktif hingga sekarang. Hanya tersisa dua titik terakhir yang belum dia jamah. Di salah satunya, dia yakin, Zhuge Liang bersembunyi. Bibirnya men

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 120. Kecepatan Diperlukan

    Chu Qiao melangkah masuk dengan gerakan anggun, kain gaunnya melambai pelan seperti disapu angin tipis.Dia membawa pipa berukir halus, serta permukaan kayu mengilap. Aroma cendana yang samar mengikuti, menambah kesan misterius pada kehadirannya.Tuan Ding duduk bersandar di kursi rendah berlapis beludru merah. Satu tangan memegang cawan arak, tangan lainnya bertumpu di sandaran kursi. Bibirnya melengkung membentuk senyum puas ketika melihat wanita itu menghampiri.“Silakan,” suaranya berat, tapi mengandung nada memerintah.Chu Qiao menunduk sopan. Dia duduk di atas bantal tipis di hadapannya. Dia meletakkan pipa di pangkuan, jemari lentiknya menyentuh senar dengan kelembutan seorang perawan desa, tapi matanya menyimpan ketajaman yang tak pernah tumpul.Nada pertama mengalun, bening, jernih, seperti tetes embun jatuh di permukaan batu. Nada berikutnya menyusul, membentuk alunan melodi yang mengisi ruangan, mengalahkan suara riuh di bawah. Gerakan jemarinya lincah dan terukur, sementar

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 119. Malam ini Chu Qiao di Rumah Bordil

    Di kediaman jenderal.Uap panas mengepul memenuhi ruangan dengan aroma kayu pinus yang samar. Air dalam bak mandi beriak pelan setiap kali jenderal Shang Que bergerak. Bahunya yang lebar terendam sebagian, otot-otot punggungnya tampak tegang, meski air hangat seharusnya mampu membuat tubuh rileks. Rambutnya yang panjang dan basah terurai di permukaan air, sebagian lagi menempel di kulitnya.Di balik papan rendah berlukis danau dengan bunga teratai, suara langkah kaki terdengar sebelum terhenti tepat di luar bak mandi.“Jenderal,” suara itu datar, tapi penuh hormat, “informasi tentang Chu Qiao sudah kami peroleh.”Shang Que tidak segera menjawab. Dia hanya memiringkan kepalanya sedikit, isyarat agar bawahannya melanjutkan.“Dia lahir dari keluarga petani di perbatasan barat, hidup berpindah-pindah mengikuti musim panen. Ayah dan ibunya meninggal saat dia berusia tujuh belas tahun. Sejak berusia 9 tahun, dia berlatih bela diri sendiri dengan bimbingan seorang pedagang keliling yang pern

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 118. Hukuman Mati Secara Perlahan

    Kaisar Lin Yi menunduk sedikit, sorot matanya dingin menembus ke arah wanita tua yang kini masih terduduk di lantai. “Kepala ini tidak akan berada di sini kalau dia tidak menyebut satu nama sebelum mati.” Pelayan pribadi Nenek Permaisuri menunduk lebih dalam, bahunya bergetar. Sehelai rambutnya jatuh menutupi pipi yang memucat. Dia tahu, sedikit saja salah gerak, kepalanya bisa menjadi yang berikutnya. “Aku hanya ingin mendengar dari mulut Nenek,” lanjut Kaisar pelan, setiap katanya seperti setetes air yang jatuh di permukaan batu; lambat tapi menghantam tepat sasaran. “Nenek pasti tidak asing dengan wajah ini, dan kalau sudah merasa demikian, Nenek juga pasti tahu kenapa kepalanya bisa sampai di sini.” Nenek Permaisuri mencoba bicara, hanya saja suaranya tercekat, nyaris tak terdengar. “Yi'er, hanya karena Chun Mei, kamu bertindak sekejam ini.” “Hanya karena Chun Mei?” ulang Kaisar diikuti tawa sumbang, yang terasa memekakkan telinga nenek Permaisuri maupun pelayannya. Seumur-

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status