Sejak hari itu, sesuatu berubah.
Di balik dinding tebal Paviliun Qingxin, Chun Mei masih menjalani rutinitasnya seperti biasa—membaca kitab, menyulam perlahan, atau menyapu halaman kecilnya sendiri agar terlihat selalu sibuk. Dia pikir pertemuannya dengan "kasim misterius" itu tak akan menimbulkan masalah. Toh, tak ada yang tahu... dan pria itu pun tidak terlihat istimewa. Namun, Chun Mei salah besar. Karena pria itu bukan kasim, melainkan seorang Kaisar Lin Yi sendiri. Sejak hari itu pula, sang Kaisar mulai memperhatikan sesuatu yang tidak pernah dia perhatikan sebelumnya, yakni catatan selir rendahan. "Ada seorang selir bernama Chun Mei di Paviliun Qingxin?" tanya Lin Yi acuh tak acuh saat makan malam bersama teman terdekatnya, Jenderal Shang Que. Sumpit Jenderal Shang Que berhenti di udara. "Chun... Mei?" ulangnya, bingung, "maaf, Yang Mulia, hamba belum pernah dengar namanya. Dia mungkin salah satu dari selir persembahan daerah tahun lalu." "Begitu tidak terkenalnya dia?" tanya Lin Yi pelan. Sang Jenderal mengangguk. "Betul, Yang Mulia. Jika boleh hamba jujur... selir seperti itu biasanya hanya numpang nama dalam daftar istana." Lin Yi tersenyum kecil. "Menarik." Malam itu, istana sunyi. Langkah kaki Lin Yi terdengar menyusuri lorong-lorong panjang menuju ruang kerjanya. “Lapor, Yang Mulia. Catatan tentang Selir Chun Mei telah hamba bawa,” ujar kasim kepala, menyerahkan gulungan tipis. Lin Yi membuka gulungan itu perlahan. Nama: Chun Mei Usia: 18 tahun Asal: Kota pinggiran Hua Zhou Status: Persembahan pajak tahunan dari Gubernur Hua Zhou Keterangan: Tidak mencolok. Tidak menonjol. Tidak pernah memohon audiensi. Penilaian dayang: Pendiam, cerdas, sangat mandiri. Tidak pernah terlibat konflik. Lin Yi menyandarkan punggung ke kursinya. Mata tajamnya menatap titik kosong di udara. “Dia bahkan tidak mencoba masuk ke hatiku... dan justru karena itu, dia masuk ke dalam pikiranku.” Sementara itu di Paviliun Qingxin... Chun Mei bersin pelan saat menyiram tanaman. "Ah... siapa yang membicarakanku ya?" gumamnya sambil mengusap hidung. Dia tak tahu, bahwa ada tatapan dari jendela istana utama yang tak henti mengawasinya sejak beberapa hari terakhir. Bahkan kini, Kaisar telah memerintahkan dayang tertua untuk diam-diam mengirimkan laporan harian tentang kegiatan Chun Mei. Bukan karena cinta. Belum. Tapi rasa penasaran seorang Kaisar yang terbiasa dikelilingi kepalsuan, kini tertarik pada kejujuran tanpa usaha. Lalu, pada hari berikutnya, sebuah kejutan datang ke Paviliun Qingxin. Bukan bunga, bukan permata, melainkan semangkuk bubur panas yang dikirim oleh "kasim taman". “Katanya, ini dikirim oleh pria yang pernah menolong Nyonya di taman minggu lalu,” ujar dayang kecil. Chun Mei membeku di tempat. "...Kas... kasim itu?" Dayang kecil tertawa, "Iya, katanya ini balasan karena Nyonya memanggilnya kasim waktu itu." Chun Mei menatap bubur hangat itu dengan perasaan aneh... aneh karena dia yang ditolong tapi kenapa dia yang mendapat balasan bubur. Dia coba berpikir, menebak-nebak apa yang terjadi di balik semua ini hingga akhirnya dia tanpa sadar mengeluarkan jarum perak dari celah rambutnya, yang dia celupkan pada bubur untuk memastikan makanan itu beracun atau tidak. Setelah jarum perak diangkat, Chun Mei memperhatikannya dengan pikiran tak menentu. Dan karena jarum itu tidak menghitam, Chun Mei mulai mencicip buburnya sedikit demi sedikit sambil tetap memikirkan maksud kiriman bubur itu sendiri. Waktu bergulir. Li Muwan sedang memeriksa kotak perhiasannya saat salah satu pelayan pribadinya datang membungkuk dalam, membawa kabar dengan nada hati-hati. "Lapor, Nyonya... ada kabar dari Paviliun Qingxin." Li Muwan tidak langsung menoleh, hanya mengambil sepasang giwang giok dari dalam kotak, mengangkatnya ke cahaya. “Qingxin? Bukankah itu tempat para selir tak penting ditempatkan?” tanyanya dingin. Pelayan itu menelan ludah. "Benar, Nyonya. Tapi... hari ini, ada kiriman bubur hangat yang datang dari seseorang yang mengaku sebagai kasim taman untuk Selir Chun Mei." Ceklik. Giwang giok itu jatuh ke lantai. Li Muwan memutar tubuhnya perlahan, wajahnya membeku. "Apa kamu bilang barusan?" "Ka... kasim taman, Nyonya. Tapi saat kami telusuri... tidak ada satu pun kasim taman yang ditugaskan di dekat area itu. Bahkan tak ada posisi 'kasim taman' dalam struktur istana." Mata Li Muwan menyipit. "Jadi siapa yang mengirim bubur itu?" Pelayan itu diam. Lalu, dengan suara lirih penuh tekanan dia berkata, "Kami menduga bahwa yang mengirimnya adalah Kaisar sendiri." Darah Li Muwan berdesir dingin. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Sejenak dia hanya berdiri kaku, lalu perlahan, bibirnya melengkung tipis, menunjukkan senyum yang sama sekali bukan pertanda baik. “Chun Mei,” bisiknya, "anak hina dari pinggiran yang bahkan tak mampu menarik perhatian seekor burung istana... sekarang berani menyentuh pandangan Kaisar?” Tangannya meraih tongkat rotan berhias ukiran phoenix, itu adalah tongkat simbol kekuasaannya sebagai selir utama istana dalam urusan harem. “Persiapkan orang-orangku. Hari ini juga, aku akan ajari dia di mana tempatnya!” Paviliun Qingxin – Tak lama kemudian Li Muwan datang bagai badai. Gaunnya berkibar, suara langkah sepatunya menggema seperti genderang perang. Para dayang Paviliun Qingxin berhamburan, tak berani menatapnya langsung. Matanya menyala marah saat dia melihat Chun Mei berdiri tenang di beranda kecil, tampak baru selesai menyiram tanaman. "Chun Mei!" Chun Mei menoleh. "Selir Li?" “Dasar perempuan tak tahu diri!” seru Li Muwan, melangkah maju tanpa peduli aturan istana yang melarang selir menyerang sesama tanpa perintah Kaisar. "Bubur itu dari siapa?" suaranya serak menahan emosi. Chun Mei tetap tenang. “Aku tak tahu. Seorang kasim taman yang pernah membantuku di taman minggu lalu…” Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Chun Mei, membuatnya terhuyung. Satu dari bunga yang dia pegang jatuh ke lantai. “Bohong! Tidak ada kasim taman di istana ini! Kamu pikir aku bodoh, hah?!” Li Muwan menoleh ke belakang, melambaikan tangannya. “Seret dia ke halaman. Cambuk dia sebanyak sepuluh kali. Di depan seluruh pelayan dan selir lain. Biar dia tahu langit itu setinggi apa, dan siapa yang berhak menjadi mata sang Kaisar!”Dug!!! Kya!!! Para wanita yang sedang tertawa menggoda tiba-tiba menjerit histeris ketika dari jendela lantai dua meluncur sesuatu. Seorang pria gendut jatuh menghantam tanah. Tubuhnya terbanting keras di jalanan basah. Jeritan memuncak saat mereka melihat wajahnya! Mata pria itu melotot lebar, lidahnya terjulur kaku, seolah bahkan dalam kematian pun dia masih ingin menatap tubuh-tubuh indah di sekelilingnya. “Mayat! Ada mayat!” “Ya Tuhan, dia jatuh dari atas!” Wanita-wanita Linglong yang sebelumnya tersenyum manja kini histeris, berhamburan ke segala arah. Suara sandal kayu beradu dengan batu jalanan, suara kain sutra terkibas di antara teriakan panik. Dari kerumunan, seorang wanita bertubuh berisi dengan jubah mewah warna merah keemasan; pemilik rumah bordil, bergegas menerobos ke depan. Wajahnya pucat pasi, kipas lipat di tangannya berkibar panik, mengipas-ngipasi wajah sendiri seakan bisa mengusir malapetaka. “Celaka! Celaka! Bajingan ini mati di depan pintu r
Di gang belakang rumah bordil yang samar diterangi lampu merah, Chu Qiao melangkah mantap. Pakaian hitamnya membaur dengan kegelapan, hanya suara gesekan sepatu kulit pada tanah basah yang menandakan kehadirannya. Rambut yang dicepol rapi terselip di bawah topi hitam bertepi lebar, menutupi wajahnya hingga hanya mata tajam itu yang tersisa; mata yang seolah menelan segala cahaya. Lorong sempit dipenuhi aroma arak basi dan dupa murahan. Suara tawa perempuan bercampur dengan nada seruling samar dari ruang bawah membuat suasana semakin gaduh. Namun, Chu Qiao tidak berhenti. Dia memilih jalur belakang, tempat para pelayan jarang berkeliaran, tangga kayu sempit yang langsung mengarah ke lantai dua. Langkahnya ringan, nyaris tak meninggalkan jejak. Tangannya sempat menyentuh gagang pedang pendek yang tersembunyi di balik jubah, sekadar memastikan senjata itu masih ada. Sampai di lantai dua, suasana berbeda. Lebih sunyi. Hanya sesekali terdengar lenguhan samar di balik pintu-pintu kamar.
Di kuil Haiyun. Ketika Li Jiancheng tiba, adiknya; Li Muwan, tengah bermain wei qi dengan selir agung. Li Jiancheng sengaja menghentikan langkah, memandang adik tersayangnya dari kejauhan. Begitu Li Muwan melihat Li Jiancheng tak jauh di depan sana, dia mencondongkan wajah untuk berbisik, “Selir Agung, hari ini sampai sini dulu.” Selir Agung seolah dapat membaca isi pikiran Li Muwan. Dengan cepat menoleh, mendapati Li Jiancheng berdiri tanpa ekspresi. Lantas, tanpa mengatakan apapun, selir agung meletakkan batu hitam, yang tadi di tangannya. Lanjut beringsut melenggang pergi diikuti nyonya Xu. Kini Li Jiancheng melanjutkan langkah menghampiri Li Muwan. Duduk tanpa perlu diperintah, pandangannya ke bawah, memperhatikan sisa-sisa permainan wei qi. “Aku belum mendengar kematian Chun Mei.” Li Muwan berkata sembari menuangkan teh untuk Li Jiancheng. “Tujuan utama Qiao'er adalah Shang Que.” Li Jiancheng membalasnya tanpa ekspresi signifikan. “Dan sekarang apa Shang Que su
Permaisuri Yuwen baru saja keluar dari kediaman nenek permaisuri, langkahnya tenang tapi hatinya masih digelayuti resah. Ucapan wanita tua itu tentang calon anak di kandungannya membuat pikirannya terasa berat! Belum jauh berjalan, dari arah berlawanan tampak seorang wanita, yang tak asing lagi. Chun Mei. Di bawah cahaya siang, penampilannya tampak anggun tanpa perlu balutan mewah. Gaun sutra lembut berwarna hijau pucat dengan bordiran tipis bunga seruni menempel indah di tubuh ramping, serta perut yang tampak membesar. Rambut hitam panjangnya disanggul sederhana, dihiasi satu tusuk rambut giok yang memantulkan cahaya matahari. Wajahnya bersih, cantik, dengan sorot mata tenang yang seolah menolak terusik hiruk-pikuk intrik istana. Permaisuri Yuwen memperhatikan dalam diam. Hati kecilnya segera diselimuti rasa tak suka, bukan karena Chun Mei berusaha menyaingi kemewahannya, justru sebaliknya, karena pesona alami wanita itu tetap memancar meski tanpa gemerlap perhiasan. Saa
Li Jiancheng pernah berpesan. 'Apapun keadaannya, kamu adalah putri seorang petani, belajar bela diri melalui seorang pedagang.' Rahasia Chu Qiao sudah terungkap, tetapi wanita itu tidak semudah membalikkan tangan membenarkan. Dia menyangkal, sorot matanya tak memperlihatkan sedikitpun kebohongan. “Apa maksud Jenderal? Tuan yang anda maksud, bukankah anda sendiri.” Senyum jenderal tak berkurang. “Hm, begitu?” Chu Qiao tiba-tiba saja beralih duduk bersimpuh. Tanpa mengalihkan pandangannya pada sang jenderal; seolah dia tidak sedang menyembunyikan kebenaran, dia berkata, “Dalam tubuh hamba memang ada racun. Sulit ditawar, sulit diobati. Yang Mulia Ratu Chun berkata, racun jenis ini biasanya digunakan antara Tuan dan bidak, tapi terkecuali untukku.” Tatapan jenderal sepenuhnya terpusat pada Chu Qiao, tak rela berpaling bak takut kehilangan satu saja informasi. “Pedagang yang pernah mengajarkanku bela diri merupakan saudagar herbal, segala jenis tanaman, baik dari yang biasa
Di paviliun persik. Chun Mei menatap bayangan samar di cermin perunggu. Cahaya lampu minyak bergoyang lembut, membiaskan siluet dirinya yang tampak lelah, tapi tetap menyimpan pesona yang sulit disangkal. Jemari kokoh Kaisar menyisir rambut panjangnya dengan perlahan, seakan setiap helaian adalah sesuatu yang berharga dan rapuh. “Dia mendadak menanyakan racun lalat hitam?” suara Kaisar rendah, nyaris berbisik. Ada nada tenang, tetapi juga mengandung kuasa yang tak bisa disembunyikan. Dengan pandangan lurus ke depan Chun Mei mengangguk. Sisir berhenti sejenak. Tatapan Kaisar yang terpantul di cermin menajam, meski tangannya kembali bergerak pelan. “Dan menurutmu, benarkah temannya yang menderita racun lalat hitam itu?” Chun Mei terdiam, matanya menatap balik pantulan wajah Kaisar di cermin. Dia tidak menyangkal, tidak pula membalas. Setelah beberapa saat barulah Chun Mei kembali tersenyum. “Yang Mulia jauh lebih mengerti isi pikiranku.” Uap harum bunga persik dari tun