Home / Zaman Kuno / Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu! / Bab 3. Kiriman Bubur Membawa Petaka.

Share

Bab 3. Kiriman Bubur Membawa Petaka.

Author: Zhang A Yu
last update Last Updated: 2025-06-14 15:56:56

Sejak hari itu, sesuatu berubah.

Di balik dinding tebal Paviliun Qingxin, Chun Mei masih menjalani rutinitasnya seperti biasa—membaca kitab, menyulam perlahan, atau menyapu halaman kecilnya sendiri agar terlihat selalu sibuk. Dia pikir pertemuannya dengan "kasim misterius" itu tak akan menimbulkan masalah. Toh, tak ada yang tahu... dan pria itu pun tidak terlihat istimewa.

Namun, Chun Mei salah besar. Karena pria itu bukan kasim, melainkan seorang Kaisar Lin Yi sendiri.

Sejak hari itu pula, sang Kaisar mulai memperhatikan sesuatu yang tidak pernah dia perhatikan sebelumnya, yakni catatan selir rendahan.

"Ada seorang selir bernama Chun Mei di Paviliun Qingxin?" tanya Lin Yi acuh tak acuh saat makan malam bersama teman terdekatnya, Jenderal Shang Que.

Sumpit Jenderal Shang Que berhenti di udara.

"Chun... Mei?" ulangnya, bingung, "maaf, Yang Mulia, hamba belum pernah dengar namanya. Dia mungkin salah satu dari selir persembahan daerah tahun lalu."

"Begitu tidak terkenalnya dia?" tanya Lin Yi pelan.

Sang Jenderal mengangguk. "Betul, Yang Mulia. Jika boleh hamba jujur... selir seperti itu biasanya hanya numpang nama dalam daftar istana."

Lin Yi tersenyum kecil. "Menarik."

Malam itu, istana sunyi. Langkah kaki Lin Yi terdengar menyusuri lorong-lorong panjang menuju ruang kerjanya.

“Lapor, Yang Mulia. Catatan tentang Selir Chun Mei telah hamba bawa,” ujar kasim kepala, menyerahkan gulungan tipis.

Lin Yi membuka gulungan itu perlahan.

Nama: Chun Mei

Usia: 18 tahun

Asal: Kota pinggiran Hua Zhou

Status: Persembahan pajak tahunan dari Gubernur Hua Zhou

Keterangan: Tidak mencolok. Tidak menonjol. Tidak pernah memohon audiensi.

Penilaian dayang: Pendiam, cerdas, sangat mandiri. Tidak pernah terlibat konflik.

Lin Yi menyandarkan punggung ke kursinya. Mata tajamnya menatap titik kosong di udara.

“Dia bahkan tidak mencoba masuk ke hatiku... dan justru karena itu, dia masuk ke dalam pikiranku.”

Sementara itu di Paviliun Qingxin...

Chun Mei bersin pelan saat menyiram tanaman.

"Ah... siapa yang membicarakanku ya?" gumamnya sambil mengusap hidung.

Dia tak tahu, bahwa ada tatapan dari jendela istana utama yang tak henti mengawasinya sejak beberapa hari terakhir. Bahkan kini, Kaisar telah memerintahkan dayang tertua untuk diam-diam mengirimkan laporan harian tentang kegiatan Chun Mei.

Bukan karena cinta.

Belum.

Tapi rasa penasaran seorang Kaisar yang terbiasa dikelilingi kepalsuan, kini tertarik pada kejujuran tanpa usaha.

Lalu, pada hari berikutnya, sebuah kejutan datang ke Paviliun Qingxin.

Bukan bunga, bukan permata, melainkan semangkuk bubur panas yang dikirim oleh "kasim taman".

“Katanya, ini dikirim oleh pria yang pernah menolong Nyonya di taman minggu lalu,” ujar dayang kecil.

Chun Mei membeku di tempat.

"...Kas... kasim itu?"

Dayang kecil tertawa, "Iya, katanya ini balasan karena Nyonya memanggilnya kasim waktu itu."

Chun Mei menatap bubur hangat itu dengan perasaan aneh... aneh karena dia yang ditolong tapi kenapa dia yang mendapat balasan bubur.

Dia coba berpikir, menebak-nebak apa yang terjadi di balik semua ini hingga akhirnya dia tanpa sadar mengeluarkan jarum perak dari celah rambutnya, yang dia celupkan pada bubur untuk memastikan makanan itu beracun atau tidak.

Setelah jarum perak diangkat, Chun Mei memperhatikannya dengan pikiran tak menentu. Dan karena jarum itu tidak menghitam, Chun Mei mulai mencicip buburnya sedikit demi sedikit sambil tetap memikirkan maksud kiriman bubur itu sendiri.

Waktu bergulir.

Li Muwan sedang memeriksa kotak perhiasannya saat salah satu pelayan pribadinya datang membungkuk dalam, membawa kabar dengan nada hati-hati.

"Lapor, Nyonya... ada kabar dari Paviliun Qingxin."

Li Muwan tidak langsung menoleh, hanya mengambil sepasang giwang giok dari dalam kotak, mengangkatnya ke cahaya.

“Qingxin? Bukankah itu tempat para selir tak penting ditempatkan?” tanyanya dingin.

Pelayan itu menelan ludah. "Benar, Nyonya. Tapi... hari ini, ada kiriman bubur hangat yang datang dari seseorang yang mengaku sebagai kasim taman untuk Selir Chun Mei."

Ceklik.

Giwang giok itu jatuh ke lantai.

Li Muwan memutar tubuhnya perlahan, wajahnya membeku. "Apa kamu bilang barusan?"

"Ka... kasim taman, Nyonya. Tapi saat kami telusuri... tidak ada satu pun kasim taman yang ditugaskan di dekat area itu. Bahkan tak ada posisi 'kasim taman' dalam struktur istana."

Mata Li Muwan menyipit.

"Jadi siapa yang mengirim bubur itu?"

Pelayan itu diam. Lalu, dengan suara lirih penuh tekanan dia berkata, "Kami menduga bahwa yang mengirimnya adalah Kaisar sendiri."

Darah Li Muwan berdesir dingin.

Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar. Sejenak dia hanya berdiri kaku, lalu perlahan, bibirnya melengkung tipis, menunjukkan senyum yang sama sekali bukan pertanda baik.

“Chun Mei,” bisiknya, "anak hina dari pinggiran yang bahkan tak mampu menarik perhatian seekor burung istana... sekarang berani menyentuh pandangan Kaisar?”

Tangannya meraih tongkat rotan berhias ukiran phoenix, itu adalah tongkat simbol kekuasaannya sebagai selir utama istana dalam urusan harem.

“Persiapkan orang-orangku. Hari ini juga, aku akan ajari dia di mana tempatnya!”

Paviliun Qingxin – Tak lama kemudian

Li Muwan datang bagai badai. Gaunnya berkibar, suara langkah sepatunya menggema seperti genderang perang. Para dayang Paviliun Qingxin berhamburan, tak berani menatapnya langsung.

Matanya menyala marah saat dia melihat Chun Mei berdiri tenang di beranda kecil, tampak baru selesai menyiram tanaman.

"Chun Mei!"

Chun Mei menoleh. "Selir Li?"

“Dasar perempuan tak tahu diri!” seru Li Muwan, melangkah maju tanpa peduli aturan istana yang melarang selir menyerang sesama tanpa perintah Kaisar.

"Bubur itu dari siapa?" suaranya serak menahan emosi.

Chun Mei tetap tenang. “Aku tak tahu. Seorang kasim taman yang pernah membantuku di taman minggu lalu…”

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Chun Mei, membuatnya terhuyung. Satu dari bunga yang dia pegang jatuh ke lantai.

“Bohong! Tidak ada kasim taman di istana ini! Kamu pikir aku bodoh, hah?!”

Li Muwan menoleh ke belakang, melambaikan tangannya.

“Seret dia ke halaman. Cambuk dia sebanyak sepuluh kali. Di depan seluruh pelayan dan selir lain. Biar dia tahu langit itu setinggi apa, dan siapa yang berhak menjadi mata sang Kaisar!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 13. Terjawab Secara Tak Langsung.

    “Nyonya! Apakah Anda baik-baik saja?” panggil suara pelayan Chun Mei, Xiaoping, dari luar. Kaisar Lin Yi menatap Chun Mei sekilas, menenangkan dengan tatapan sebelum bangkit dari ranjang. Langkahnya mantap mendekati pintu. Suara derit lembut terdengar ketika ia membukanya sedikit. Begitu pintu terbuka, Xiaoping yang menunduk di depan ambang langsung mengangkat kepala, dan darahnya serasa berhenti mengalir saat matanya menangkap sosok tinggi Kaisar Lin Yi berdiri di sana, mengenakan jubah tidur gelap yang hanya menambah auranya yang agung dan mengintimidasi. Xiaoping terperangah. Rahangnya nyaris terlepas. Tangannya refleks hendak meraih gagang pintu untuk menjaga keseimbangan. “K-K-Kaisar…” suaranya tercekat, matanya membesar seperti akan melompat keluar. Tatapan Kaisar Lin Yi menajam. “Xiaoping, Chun Mei baik-baik saja,” suaranya tenang, tapi ada nada dingin yang tak membiarkan sang pelayan menanyakan lebih jauh. Xiaoping menelan ludah, wajahnya pucat. Dia menunduk dalam-dalam,

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 12. Yang Dihindari Chun Mei Malah Datang Menyuguhkan Kenikmatan.

    Kaisar Lin Yi menurunkan Chun Mei perlahan ke atas ranjang yang setengah berantakan. Di bawah temaram lampu minyak, wajah Chun Mei terlihat merah padam, bibirnya merekah menahan napas yang memburu. Matanya setengah terbuka, menatap sang Kaisar dengan campuran kesadaran yang samar dan kepasrahan. Tangan besar Kaisar menelusuri pipi wanita itu, ibu jarinya menghapus bulir keringat yang jatuh ke sudut bibir Chun Mei. “Tenanglah…” bisiknya, suaranya serak namun lembut bagai belaian angin malam. “Aku di sini… takkan membiarkan siapa pun menyakitimu.” Dia menunduk, mengecup kening Chun Mei, mencurahkan kegelisahan yang tertahan sejak mendengar kabar ada yang tidak beres dari tabib Shen. Chun Mei mengerang kecil ketika bibir Kaisar bergerak turun ke pipi, menyusuri rahang, hingga berhenti tepat di atas bibirnya. Nafas mereka saling bertaut, hangat, penuh ketegangan. Kaisar tak langsung menelan bibir Chun Mei. Dia menatap dalam ke mata wanita itu, seperti memastikan bahwa Chun M

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 11. Rekasi Tak Biasa.

    Selir Mu Fei menatap kantong merah itu dengan napas tercekat. Tangannya bergetar saat meraih pemberian Selir Agung, seolah benda kecil itu menimbang seluruh nasibnya. “A-apa… aku benar-benar harus menggunakan ini?” suaranya gemetar, bagai bisikan angin yang nyaris tak terdengar. Kemudian dia teringat ucapan Selir Agung beberapa waktu lalu. Suaranya tegas namun rendah, “A’Fei, ini bukan hanya tentangmu atau Chun Mei. Ini tentang keseimbangan istana. Jika dia hamil lebih dulu, kamu takkan punya peluang lagi. Kamu tahu, kaisar Lin Yi sudah mulai meliriknya.” Kata-kata itu menancap ke hati Mu Fei, menumbuhkan ketakutan yang sama besarnya dengan tekad. Dia menggenggam kantong obat erat-erat. Sementara itu, di Paviliun Qingxin, Chun Mei menatap cermin besar di kamarnya. Wajah cantiknya terpantul tanpa cela, namun sorot matanya gelap, menandakan badai di pikirannya. Dia mendengar kabar kunjungan Selir Agung lebih cepat dari siapa pun, dan kini pelayannya membacakan kabar terbaru de

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 10. Karena Orang Dalam, Masih Bisa Selamat.

    Malam itu, di Paviliun Angin Timur, Selir Agung duduk di kursi kayu cendana yang diletakkan menghadap taman teratai.Wajahnya yang menua tetap menampakkan wibawa seorang wanita yang pernah menguasai hati mendiang Kaisar terdahulu.Di sampingnya, seorang pelayan menyiapkan obat rendaman kaki, sementara seorang kasim berdiri menunggu perintah.“Bagaimana keadaan Selir Mu Fei?” tanyanya dengan suara rendah, serak oleh usia namun tetap tegas.Kasim itu menunduk dalam. “Beliau masih terbaring lemah, Selir Agung. Tabib Shen sedang mempersiapkan ramuan penawar untuk meredam sisa racun yang membuat tubuhnya rentan kejang.”Mata Selir Agung menyipit, tatapannya menembus gelapnya malam. “Mu Fei terlalu ceroboh. Tapi… dia gadis yang berguna, dan aku tak akan membiarkannya disingkirkan begitu saja.”Pelayan di sampingnya meneguk ludah. Dia tahu, jika Selir Agung sudah turun tangan, maka siapa pun yang menyinggung orang yang dilindunginya akan menghadapi konsekuensi besar.Keesokan paginya, Tabib

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 9. Kena Sendiri.

    Malam itu, di balik paviliun, pelayan setia Chun Mei berkeliling senyap, menuntaskan perintah tuannya. Di dapur utama, dia berbicara pada koki tua, menyerahkan permintaan Selir Chun dengan sikap lembut namun tegas. Tak ada yang mencurigai, sebab semua tampak seperti tata krama istana biasa. Sementara itu, Chun Mei duduk di kamarnya, menatap lentera yang goyah ditiup angin malam. Di sampingnya, tusuk rambut perak ibunya bersandar pada vas bunga kering. Dia mengelusnya pelan, matanya seteduh air di musim gugur. “Ma… aku tahu ini bukan jalan yang kamu ajarkan dulu. Tapi di sini, di tempat ini… hanya yang licik yang bisa tetap bernapas.” Keesokan paginya, suasana aula utama istana ramai oleh hidangan kecil yang dibagikan untuk para selir. Para pelayan hilir-mudik membawa sup hangat dalam mangkuk porselen. Aroma jamur dan kaldu ayam menebar ke segala penjuru. Mu Fei, yang duduk di antara para selir lain, menerima mangkuk dengan ukiran bunga teratai. Dia menatap sup itu, sedikit

  • Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!   Bab 8. Dua Selir Mulai Beradu di Balik Senyuman.

    Malam hari pun tiba. Langit gelap menggantung rendah di atas istana. Di Paviliun Qingxin, Chun Mei duduk di hadapan cermin perunggu, ditemani cahaya redup dari lentera minyak. Jemarinya memintal benang tipis pada sudut sapu tangan, namun pikirannya jauh melayang. Pelayan setianya mendekat sambil membawa nampan kecil berisi secawan sup hangat. “Nyonya minumlah ini dulu. Perut kosong di malam seperti ini tak baik bagi kesehatan.” Chun Mei tersenyum tipis. “Terima kasih.” Dia mengambil mangkuk itu, meniup pelan uapnya. Matanya tak lepas menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah lembut, sorot mata teduh namun di balik itu, badai kecil berputar. Pelayannya memberanikan diri bertanya, “Apa Nyonya sungguh akan pergi minum teh lusa nanti?” Chun Mei meletakkan mangkuknya di atas meja, kemudian menepuk tangan pelayannya pelan. “Aku harus. Di istana, menolak dua kali akan membuat kita tampak takut. Dan bila kita tampak takut, musuh akan semakin berani.” Pelayannya menunduk. “Lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status