Home / Historical / Selir Sang Pangeran / Pertemuan Pertama

Share

Pertemuan Pertama

Author: Queeny
last update Last Updated: 2021-06-04 21:21:35

Bunyi denting musik mengalum mengiringi sang penari yang gemah gemulai memainkan tangan.

Semua mata tertuju kepada sekelompok gadis ayu yang sedang meliukkan tubuh sambil mengibaskan selendang.

Tarian yang dibawakan adalah penyambutan dan penghormatan sehingga dimainkan dengan pelan dan gerak lambat.

Sekar berada di tengah diantara yang lain, memakai kebaya dengan berwarna berbeda dari yang lain karena malam ini dialah yang memimpin tarian.

Sejak kecil dia memang berlatih menari sebagai kewajiban bagi setiap anak perempuan di desa ini. Namun, baru pertama kali dia diizinkan tampil, atas permintaan ibu ratu.

Di kiri kanan ruangan berderet kursi yang ditempati oleh para petinggi keraton. Raja duduk di singgasana, setelah memberikan kata sambutan saat acara dimulai. Lelaki paruh baya itu diapit oleh permaisuri dan dua selirnya. Para pengeran berada di sebelah kanan, dan putri disebelah kiri.

Setelah satu jam meliukkan tubuh, akhirnya tiba di puncak acara dimana Sekar membawa sebuah kalung bunga yang akan di kalungkan di leher Kusuma Wijaya sebagai penyambutan resmi.

Jantungnya berdetak kencang. Tadi saat masuk ke dalam ruangan, mereka sempat bertatapan sesaat kemudian lelaki itu duduk di kursinya.

Sekar berjalan pelan menuju sang pangeran kemudian berdiri di depannya dengan memberikan penghormatan.

Wijaya tersenyum melihat teman masa kecilnya kini berubah menjadi sesosok gadis cantik yang memesona. Lalu menunduk agar Sekar bisa mengalungkan bunga itu di lehernya. Semua orang bertepuk tangan, sepertinya sudah terbaca bahwa kelak yang akan menjadi selirnya adalah gadis itu.

Mata laki-laki itu terbelalak saat Sekar mengangkat tangan, sehingga dua bukit miliknya ikut terangkat dan hampir menyentuh wajahnya. Dia menelan ludah, membayangkan sesuatu yang indah dari tubuh seksi itu.

Setelah pengalungan itu selesai, Wijaya kembali duduk dan menikmati acara. Sementara Sekar masih menari dengan lincah bersama yang lain.

Gadis itu tak menyadari bahwa diam-diam ada perjodohan di acara ini. Perjodohan selir dan calon putri yang akan menjadi istri sah Wijaya. Raden hanya boleh menikahi putri, bukan rakyat biasa.

Sekar masih menari menghibur para tamu yang mulai menikmati hidangan. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada sosok yang baru saja masuk ke ruangan itu. Kamandanu tampak tergesa-gesa. Sepertinya dia terlambat.

Mata gadis itu terus saja melihat. Ketika tatapan mata mereka beradu, debar di dadanya semakin kencang.

Apalagi di ujung sana Kamandanu membungkukkan badan sambil memberikan senyum yang manis sebagai tanda penghormatan. Sekar semakin berdebar dibuatnya.

Lelaki itu tampak menawan dengan beskap dan celana batik. Tidak ada seragam prajurit, namun gadis itu tetap saja suka.

Ketika bunyi musik berhenti, Sekar menutup tarian dengan salam hormat dan kembali ke belakang.

Tubuhnya bermandikan peluh. Udara di dalam ruangan tadi cukup panas karena penuh sesak. Apalagi pada saat sajian dihidangkan. Semua berebutan ingin makan, termasuk Raden Wijaya.

"Pakai ini, biar adem." Salah satu penari memberikannya sebuah kain basah.

Sekar membasuh wajahnya dengan kain itu dan mengoleskan sabun untuk membersihkan pupur yang menempel di wajahnya. Perutnya lapar. Ternyata menari di depan orang banyak cukup menguras energi.

"Ayo makan dulu," seseorang menyodorkannya sepiring makanan. Nasi gudeg lengkap dengan teh hangat.

Gadis itu melahapnya dengan cepat. Tak lupa mengucap doa sebelum memasukkan makanan ke dalam mulut.

Beberapa orang melirik karena cara makannya yang kurang sopan. Biasanya dia memang lebih kalem dan tertata. Namun kali ini perut sudah tidak bisa diajak kompromi.

Akhirnya gadis itu merasa lega setelah menghabiskan sepiring nasi dan segelas teh hangat dalam beberapa kali teguk. Peluhnya semakin banyak bercucuran. Namun, hanya aroma harum yang menguar dari tubuhnya.

Sekar benar-benar merawat diri sekalipun dia hanya pelayan biasa. Berbagai macam lulur menempel di tubuh dan wajahnya jika malam hari tiba.

Gadis itu berkulit kuning langsat, dengan rambut hitam panjang yang tebal. Tubuhnya mungil dan sedikit pendek dari gadis kebanyakan, tapi padat berisi dibagian tertentu. Sehingga jika dia berjalan, maka goyangan pinggulnya akan menggoda mata kaum lelaki.

"Aku pamit, pulang. Ini sudah malam," ucapnya kepada juru rias setelah mengembalikan kain dan baju yang dipakai untuk menari tadi.

"Ini untukmu." Sebuah amplop diselipkan di kembannya ketika hendak keluar.

"Apa ini?" tanya Sekar keheranan. Dia hendak mengambilnya tapi dicegah.

"Pesannya nanti dibaca setelah sampai di kamar," kata si juru rias.

"Ini dari siapa?"

Gadis itu masih penasaran. Selama ini dia belum pernah menerima surat-surat seperti ini. Lagipula dia belum terlalu lancar membaca.

"Sudah nanti saja. Sekarang kamu pulang. Nanti aku dimarahi kalau kamu kemalaman," kata si juru rias sambil mendorong tubuhnya.

Gadis itu berjalan pelan-pelan. Ini sudah cukup gelap. Sekalipun masih dalam satu wilayah keraton, pondok tempat tinggalnya agak ke belakang di luar gapura utama.

Langkah kakinya terseok-seok, menyesal tadi kenapa malah memakai sendal ini.

Sekar menatap kiri dan kanan. Bayangan pohon di sepanjang jalan membuatnya takut. Kadang-kadang bayangan itu terlihat seperti wujud hantu atau genderuwo yang sering diceritakan ibunya saat masih kecil.

Aaaa!

Jerit wanita itu tertahan saat ada sebuah tangan yang membekapnya. Dia meronta, mencoba melepaskan diri. Siapa yang berniat jahat kepadanya? Berani sekali. Apalagi ini masih dalam lingkungan keraton.

"Sstttt," bisik suara itu ditelinganya.

Lalu tubuh Sekar dibalik dengan cepat dan mata gadis itu terbelalak saat melihat siapa pelakunya.

"Ra-den?"

Lelaki itu tersenyum melihat ekperesi kaget gadis itu. Dia menutup mulut menahan tawa.

"Kamu lucu sekali kalau seperti itu, Kar," ucap Wijaya memanggil nama kecilnya.

Sekar tersipu malu. Ternyata Wijaya masih saja mengingat itu, padahal sudah lama sekali.

"A-pa kabar?" Dia bertanya sebagai basa-basi. Tak tahu harus berkata apa.

Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Itu membuat ada rasa canggung dan jarak di antara keduanya.

"Baik saja. Kamu sendiri bagaimana? Masih suka ngompol di celana?" tanya Wijaya sengaja menggoda.

Sekar terkejut dan refleks memukul lengan Wijaya.

Bukannya mengelak, lelaki itu malah menangkap lengan mungil itu dan berkata, "Kamu semakin cantik saja. Tadi aku pangling melihatnya. Tak kira sopo kui," ucapnya.

Wajah Sekar semakin merona. Dia mencoba melepaskan, namun Wijaya tak memberikan kesempatan itu.

"I-ni sudah malam, Raden. Aku mau pulang." Sekar masih mencoba menarik diri.

Akhirnya Wijaya menyerah dan melepaskan cekalan tangannya.

"Aku antar pulang. Nanti kamu ditangkap wewe gombel kalau sendirian."

Dua orang itu tertawa, melanjutkan perjalanan sambil bercerita mengenang masa kecil.

Langkah kaki mereka terhenti saat tiba di gapura pondok milik keluarga Sekar. Wijaya mengantarnya hanya sampai disitu.

"Nanti kita ketemu lagi," ucapnya sebagai tanda perpisahan.

Sekar mengangguk lalu masuk tanpa menoleh ke belakang.

Lelaki itu menarik napas panjang. Dalam hati berucap. "Andaikan kamu seorang putri, maka detik ini juga aku akan menikahimu, Kar."

Lalu tubuhnya berbalik berjalan menjauh dari tempat itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Selir Sang Pangeran   Hidup Baru

    Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja

  • Selir Sang Pangeran   Pertemuan

    Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H

  • Selir Sang Pangeran   Wira

    "Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema

  • Selir Sang Pangeran   Pewaris

    Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.

  • Selir Sang Pangeran   Penyerangan

    Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad

  • Selir Sang Pangeran   Kecewa

    Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status