Share

Pertemuan Pertama

Bunyi denting musik mengalum mengiringi sang penari yang gemah gemulai memainkan tangan.

Semua mata tertuju kepada sekelompok gadis ayu yang sedang meliukkan tubuh sambil mengibaskan selendang.

Tarian yang dibawakan adalah penyambutan dan penghormatan sehingga dimainkan dengan pelan dan gerak lambat.

Sekar berada di tengah diantara yang lain, memakai kebaya dengan berwarna berbeda dari yang lain karena malam ini dialah yang memimpin tarian.

Sejak kecil dia memang berlatih menari sebagai kewajiban bagi setiap anak perempuan di desa ini. Namun, baru pertama kali dia diizinkan tampil, atas permintaan ibu ratu.

Di kiri kanan ruangan berderet kursi yang ditempati oleh para petinggi keraton. Raja duduk di singgasana, setelah memberikan kata sambutan saat acara dimulai. Lelaki paruh baya itu diapit oleh permaisuri dan dua selirnya. Para pengeran berada di sebelah kanan, dan putri disebelah kiri.

Setelah satu jam meliukkan tubuh, akhirnya tiba di puncak acara dimana Sekar membawa sebuah kalung bunga yang akan di kalungkan di leher Kusuma Wijaya sebagai penyambutan resmi.

Jantungnya berdetak kencang. Tadi saat masuk ke dalam ruangan, mereka sempat bertatapan sesaat kemudian lelaki itu duduk di kursinya.

Sekar berjalan pelan menuju sang pangeran kemudian berdiri di depannya dengan memberikan penghormatan.

Wijaya tersenyum melihat teman masa kecilnya kini berubah menjadi sesosok gadis cantik yang memesona. Lalu menunduk agar Sekar bisa mengalungkan bunga itu di lehernya. Semua orang bertepuk tangan, sepertinya sudah terbaca bahwa kelak yang akan menjadi selirnya adalah gadis itu.

Mata laki-laki itu terbelalak saat Sekar mengangkat tangan, sehingga dua bukit miliknya ikut terangkat dan hampir menyentuh wajahnya. Dia menelan ludah, membayangkan sesuatu yang indah dari tubuh seksi itu.

Setelah pengalungan itu selesai, Wijaya kembali duduk dan menikmati acara. Sementara Sekar masih menari dengan lincah bersama yang lain.

Gadis itu tak menyadari bahwa diam-diam ada perjodohan di acara ini. Perjodohan selir dan calon putri yang akan menjadi istri sah Wijaya. Raden hanya boleh menikahi putri, bukan rakyat biasa.

Sekar masih menari menghibur para tamu yang mulai menikmati hidangan. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada sosok yang baru saja masuk ke ruangan itu. Kamandanu tampak tergesa-gesa. Sepertinya dia terlambat.

Mata gadis itu terus saja melihat. Ketika tatapan mata mereka beradu, debar di dadanya semakin kencang.

Apalagi di ujung sana Kamandanu membungkukkan badan sambil memberikan senyum yang manis sebagai tanda penghormatan. Sekar semakin berdebar dibuatnya.

Lelaki itu tampak menawan dengan beskap dan celana batik. Tidak ada seragam prajurit, namun gadis itu tetap saja suka.

Ketika bunyi musik berhenti, Sekar menutup tarian dengan salam hormat dan kembali ke belakang.

Tubuhnya bermandikan peluh. Udara di dalam ruangan tadi cukup panas karena penuh sesak. Apalagi pada saat sajian dihidangkan. Semua berebutan ingin makan, termasuk Raden Wijaya.

"Pakai ini, biar adem." Salah satu penari memberikannya sebuah kain basah.

Sekar membasuh wajahnya dengan kain itu dan mengoleskan sabun untuk membersihkan pupur yang menempel di wajahnya. Perutnya lapar. Ternyata menari di depan orang banyak cukup menguras energi.

"Ayo makan dulu," seseorang menyodorkannya sepiring makanan. Nasi gudeg lengkap dengan teh hangat.

Gadis itu melahapnya dengan cepat. Tak lupa mengucap doa sebelum memasukkan makanan ke dalam mulut.

Beberapa orang melirik karena cara makannya yang kurang sopan. Biasanya dia memang lebih kalem dan tertata. Namun kali ini perut sudah tidak bisa diajak kompromi.

Akhirnya gadis itu merasa lega setelah menghabiskan sepiring nasi dan segelas teh hangat dalam beberapa kali teguk. Peluhnya semakin banyak bercucuran. Namun, hanya aroma harum yang menguar dari tubuhnya.

Sekar benar-benar merawat diri sekalipun dia hanya pelayan biasa. Berbagai macam lulur menempel di tubuh dan wajahnya jika malam hari tiba.

Gadis itu berkulit kuning langsat, dengan rambut hitam panjang yang tebal. Tubuhnya mungil dan sedikit pendek dari gadis kebanyakan, tapi padat berisi dibagian tertentu. Sehingga jika dia berjalan, maka goyangan pinggulnya akan menggoda mata kaum lelaki.

"Aku pamit, pulang. Ini sudah malam," ucapnya kepada juru rias setelah mengembalikan kain dan baju yang dipakai untuk menari tadi.

"Ini untukmu." Sebuah amplop diselipkan di kembannya ketika hendak keluar.

"Apa ini?" tanya Sekar keheranan. Dia hendak mengambilnya tapi dicegah.

"Pesannya nanti dibaca setelah sampai di kamar," kata si juru rias.

"Ini dari siapa?"

Gadis itu masih penasaran. Selama ini dia belum pernah menerima surat-surat seperti ini. Lagipula dia belum terlalu lancar membaca.

"Sudah nanti saja. Sekarang kamu pulang. Nanti aku dimarahi kalau kamu kemalaman," kata si juru rias sambil mendorong tubuhnya.

Gadis itu berjalan pelan-pelan. Ini sudah cukup gelap. Sekalipun masih dalam satu wilayah keraton, pondok tempat tinggalnya agak ke belakang di luar gapura utama.

Langkah kakinya terseok-seok, menyesal tadi kenapa malah memakai sendal ini.

Sekar menatap kiri dan kanan. Bayangan pohon di sepanjang jalan membuatnya takut. Kadang-kadang bayangan itu terlihat seperti wujud hantu atau genderuwo yang sering diceritakan ibunya saat masih kecil.

Aaaa!

Jerit wanita itu tertahan saat ada sebuah tangan yang membekapnya. Dia meronta, mencoba melepaskan diri. Siapa yang berniat jahat kepadanya? Berani sekali. Apalagi ini masih dalam lingkungan keraton.

"Sstttt," bisik suara itu ditelinganya.

Lalu tubuh Sekar dibalik dengan cepat dan mata gadis itu terbelalak saat melihat siapa pelakunya.

"Ra-den?"

Lelaki itu tersenyum melihat ekperesi kaget gadis itu. Dia menutup mulut menahan tawa.

"Kamu lucu sekali kalau seperti itu, Kar," ucap Wijaya memanggil nama kecilnya.

Sekar tersipu malu. Ternyata Wijaya masih saja mengingat itu, padahal sudah lama sekali.

"A-pa kabar?" Dia bertanya sebagai basa-basi. Tak tahu harus berkata apa.

Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Itu membuat ada rasa canggung dan jarak di antara keduanya.

"Baik saja. Kamu sendiri bagaimana? Masih suka ngompol di celana?" tanya Wijaya sengaja menggoda.

Sekar terkejut dan refleks memukul lengan Wijaya.

Bukannya mengelak, lelaki itu malah menangkap lengan mungil itu dan berkata, "Kamu semakin cantik saja. Tadi aku pangling melihatnya. Tak kira sopo kui," ucapnya.

Wajah Sekar semakin merona. Dia mencoba melepaskan, namun Wijaya tak memberikan kesempatan itu.

"I-ni sudah malam, Raden. Aku mau pulang." Sekar masih mencoba menarik diri.

Akhirnya Wijaya menyerah dan melepaskan cekalan tangannya.

"Aku antar pulang. Nanti kamu ditangkap wewe gombel kalau sendirian."

Dua orang itu tertawa, melanjutkan perjalanan sambil bercerita mengenang masa kecil.

Langkah kaki mereka terhenti saat tiba di gapura pondok milik keluarga Sekar. Wijaya mengantarnya hanya sampai disitu.

"Nanti kita ketemu lagi," ucapnya sebagai tanda perpisahan.

Sekar mengangguk lalu masuk tanpa menoleh ke belakang.

Lelaki itu menarik napas panjang. Dalam hati berucap. "Andaikan kamu seorang putri, maka detik ini juga aku akan menikahimu, Kar."

Lalu tubuhnya berbalik berjalan menjauh dari tempat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status