Dari kedua bagian sudut matanya Alana bisa merasakan jika saat ini tatapan Ale sedang tertuju padanya. Alana tidak tahu kenapa laki-laki itu mengamatinya sedemikian rupa. Kalau saja Alana tidak berdeham mungkin Ale masih belum akan berpaling. Lelaki itu segera beranjak dari sana menuju kamar mandi. Sedangkan Alana mengambil celana piyamanya dari dalam lemari dan segera memasangnya. Hanya celana, tanpa baju. Dulu saat masih lajang Alana memang sudah terbiasa tidur hanya dengan menggunakan bra. Dan malam ini Alana memutuskan untuk apa adanya menjadi diri sendiri tanpa perlu memedulikan Ale. Lagipula laki-laki itu mana akan peduli pada apa yang ia lakukan. Ale yang sudah selesai mandi lagi-lagi terperanjat saat menyaksikan Alana sudah berbaring di ranjang mereka dengan hanya menggunakan bra. Pria itu menahan napas dan bertanya-tanya di dalam hati apa tujuan Alana tampil nyaris tanpa atasan di depannya.Apa Alana ingin menggodanya dan memancing agar disentuh?Ale tidak bisa mengontrol
Pintu lift terbuka beberapa saat kemudian. Romy dan Alana membiarkan semuanya keluar dulu dari sana. Setelahnya barulah keduanya juga meninggalkan tempat itu. Romy masih terkesan hati-hati melindungi Alana dari orang-orang yang kini akan masuk ke dalam lift dengan cara menggandeng tangan perempuan itu dan memosisikan di belakang punggungnya.Mereka lalu berjalan bersisian menuju unit apartemen Ale. Keduanya sama-sama melangkah pelan karena Romy merasa Alana pasti lelah. Itu terlihat dari langkah lunglai perempuan itu. Kehamilan pasti tidak ringan baginya, terlebih ia juga menanggung beban pikiran rumah tangganya.“Besok pagi kamu ke kantornya gimana?” tanya Romy lantaran mobil Alana masih berada di rumah Rain.“Kalau kamu bersedia jemput saya, nggak apa-apa, saya nggak bakal nolak.” Alana tersenyum menyampaikan keinginannya. Ia mulai membuka diri menepis rasa canggungnya pada laki-laki itu.Romy yang selama ini sudah terbiasa dengan reaksi denial Alana agak terkejut lantaran kali ini
Telunjuk Zee masih berada di bibir Ale sejak beberapa detik yang lalu, sedangkan lelaki itu menatapnya dengan sorot sedih, kasihan serta rasa sayang yang tidak ada habisnya.“Rasanya deritaku nggak habis-habis. Setelah kamu tinggal nikah, sekarang malah kena tumor. Aku sempet mikir mungkin lebih baik mati aja jadi nggak ada beban apa-apa lagi. Tapi saat ingat kalau kamu pernah bilang yang pergi hanya raga, tapi jiwa, hati dan perasaan kamu hanya untuk aku, akhirnya aku jadi semangat lagi. Soal itu kamu nggak bohong kan, Le?””Nggak, aku nggak bohong,” kata Ale menidakkan. “Udah, Zee. Sekarang kamu jangan bahas soal kematian, kamu nggak akan mati, kamu nggak akan ke mana-mana, kamu akan tetap di sini.” Ale tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya yang tergambar sangat jelas di wajahnya.”Tapi kamu juga bakal sama-sama aku kan? Kamu tuh semangat aku banget, aku nggak akan kuat kalau nggak ada kamu.”“Iya, iya, aku nggak akan pergi, kita akan tetap sama-sama,” kata Ale menjanjkan. Ia t
"Saya lupa, saya belum kasih selamat sama kamu. Selamat ya, Rom, semoga di bawah kepemimpinan kamu Healthy Hospital semakin maju dan jauh lebih baik,” kata Kanayya pada Romy yang sedang menyetir di sebelahnya.”Terima kasih, Tante, saya masih harus lebih banyak belajar lagi dari Tante. Saya juga mohon arahan dan petunjuk dari Tante.” Kanayya tersenyum tipis. Inilah yang disukai Kanayya dari Romy. Lelaki itu sangat rendah hati dan tidak merasa tinggi meskipun posisinya jauh di atas Kanayya.”Tante kok senyum-senyum? Saya serius lho, Tan,” kata Romy melihat respon Kanayya. Ia ikut melengkungkan bibir.“Gimana saya nggak senyum kalau kamu ngomongnya gitu.”“Memangnya kenapa, Tante? Ada yang salah dengan kata-kata saya?””Nggak salah, tapi kebalik. Seharusnya saya yang belajar dari kamu.”Romy tertawa ringan. “Tante jangan terlalu merendah. Tante kan sudah senior. Sudah sewajarnya kalau saya belajar banyak dari Tante.”Sepanjang perjalanan ke rumah Kanayya keduanya mengisi dengan percaka
Zee terus memohon agar Alana mengizinkan Ale mengantarnya. Bahkan di mata Alana Zee terlihat seperti sedang mengemis izin padanya. “Kalau pake taksi gimana?” Alana memberikan alternatif terakhir pada Zee.“Nggak enak, Na, takutnya nanti Zee kenapa-kenapa. Zee kan sendiri.” Ale yang menjawab mewakili sang mantan, memberikan pendapat.Oh, ternyata begitu rupanya.Ya sudahlah. Dari pada nanti sepanjang acara Ale seperti cacing kepanasan kerena memikirkan Zee lebih baik Alana izinkan saja agar lelaki itu puas.”Pergi aja kalau mau pergi,” putus Alana.Ale akhirnya lega karena Alana mengizinkannya. Semestinya tanpa meminta izin pun ia bisa pergi. Ale hanya ingin sedikit menghargai Alana. Lagi pula ini rumah perempuan itu.”Nanti dari rumah Zee aku langsung pulang, aku nggak mampir ke mana-mana,” kata lelaki itu menjanjikan.“Terserah,” jawab Alana. Ia tidak ingin berharap apa-apa karena Ale sudah terlalu sering mengecewakannya.“Thanks, Na, aku balik dulu. Sehat-sehat ya bumil…” Zee memel
Lady kembali masuk ke dalam rumah. Pun dengan Zee. Demi apa coba ia berada di sini?Atau sebaiknya ia pulang saja?“Dy, yang ikut siapa aja?” Zee bertanya kala keraguan kembali melanda.“Kita-kita aja sih, nggak ada orang luar. Aku, Rain, Bunda, Alana sama Ale.”“Aku mending pulang aja ya?””Lho, kenapa gitu?”“Aku nggak enak, soalnya ini kan acara keluarga.”“Santai aja, Zee, kamu kan juga bukan orang lain,” kata Lady agar Zee tetap merasa nyaman.Zee menggigit pipi bagian dalam. Ia berdiri dengan risih dan masih merasa ragu.”Zee, bentar ya, aku tinggal mandi nggak apa-apa kan? Asem nih." Lady mendekatkan hidung ke bajunya.Zee mengiakan dan memilih duduk di beranda sendiri selagi Lady mandi.‘Apa aku pulang sekarang aja ya?’ Pikiran dan keraguan terus berputar-putar di kepala Zee. Namun nyatanya ia tetap bertahan duduk di kursi beranda.Cahaya dari lampu mobil menyorot tepat di wajahnya. Zee terkesiap. Ternyata Ale yang datang.Tanpa melihat apa pun yang berada di depannya, Ale la