Lady memasukkan dua potong pakaian ke dalam tas. Blouse berbelahan dada rendah serta rok mini sepaha. Nanti setelah pulang kuliah ia akan langsung ke Romantic—kelab malam tempatnya bekerja sebagai pelayan.
Setelah kuliah berakhir biasanya Lady akan mengganti bajunya di toilet dulu, tak lupa melapisinya dengan jaket. Teman-temannya sesama mahasiswa sudah tahu pekerjaan sampingan Lady. Berbagai respon ia terima. Ada yang memandangnya dengan rendah, dan ada pula yang biasa-biasa saja. Tapi Lady tidak ambil pusing. Ia hanya mencoba menjalani pekerjaan yang menurutnya halal untuk tetap bertahan hidup. Lady memasuki Romantic melalui pintu khusus para karyawan. Membuka jaket dan meletakkannya di loker, Lady berkaca sesaat, memulas ulang sapuan bedak di pipinya, kemudian membubuhkan blush on dengan sedikit tebal. Sebenarnya ia tidak suka dengan riasannya ini. Menurut Lady, dandanannya terlalu menor. Namun atasannya mewajibkan berpenampilan begitu dengan alasan agar indah dipandang dan menarik perhatian siapa saja. ”Lady, antar ini ke meja VIP.” Lady langsung mendapat perintah untuk mengantar minuman. Ia mengedarkan mata ke meja dimaksud. Ada empat orang laki-laki muda di sana. Dengan langkah anggun Lady membawa minuman. Beberapa orang pria pengunjung tempat itu bersiul menggodanya. “Hai cantik… sini dong sama Abang.” Lady yang sudah terbiasa menghadapi godaan semacam itu tersenyum sekilas dan tidak terlalu meladeni mereka selagi itu hanya sebatas godaan melalui kata-kata. Tapi ia tidak akan tinggal diam jika ada yang berani menyentuhnya. “Permisi…” Lady meletakkan minuman di atas meja setelah meminta izin. “Ternyata lo!” Lady yang tadinya tersenyum mendadak mengatupkan bibir begitu mengetahui siapa sosok yang barusan menggumam kecil padanya. Rain. Rain memindai Lady dari atas kepala hingga ujung kaki. Ia tercengang melihat penampilan Lady saat itu yang begitu berbeda dengan saat ditemui di rumah bundanya. Lady yang waktu itu sangat sopan dengan pakaian longgar kini tampil dengan busana seksi, ketat, dan… menggoda. Rambutnya yang waktu itu dikuncir kini digerai bebas. Pun dengan bibirnya yang saat itu polos tanpa polesan apa-apa dan cenderung kering kini berwarna merah menyala. Lady terlihat cantik dan menggoda. Rain benci mengakuinya, namun ia tidak bisa mengingkari pandangan matanya. ’Di depan Bunda gayanya sopan, lugu dan polos, tapi ternyata begini. Ternyata dia bukan cewek baik-baik,’ kecam Rain di dalam hati. Lady yang juga terkejut melihat Rain tidak berkata apa-apa. Ia bersikap sama seperti laki-laki itu yang berpura-pura tidak mengenalnya. ”Thank you, Cantik.” Gavy, salah satu teman Rain menatap Lady dengan mata nakalnya ketika perempuan itu meletakkan gelas minuman. ”Sama-sama.” Lady tersenyum ramah. Bukan senyum yang dengan senang hati ia lakukan, tapi ia melakukannya karena tuntutan pekerjaan. “Open BO nggak nih?” Bobby, teman Rain yang lain menyentuh tangan Lady. Tatapannya tidak kalah liar dengan lelaki sebelumnya. ”Maaf, saya di sini murni pelayan, bukan yang lain-lain.” Lady menepis tangannya dari lelaki yang mencekalnya. Semua pria tersebut kemudian tertawa mendengar jawaban Lady kecuali Rain. Mereka tidak percaya pada perkataan Lady. “Hahaha… pasti dia anak baru.” ”Muna banget, sok lugu.” “Paling nanti kalau gue tunjukin duit segepok bakalan diem.” “By the way, i like her boobs.” “Perasaan nggak gede-gede amat. 36B i think.” ”36B lo bilang nggak gede? Mata lo udah siwer?” Bobby menoyor pelan kepala Gavy. ”Ya, seenggaknya nggak tumpah-tumpah, cuma ngintip sedikit. Tipe Rain banget tuh. Iya kan, Rain?” Ketiganya memandang bersamaan ke arah Rain yang sejak tadi hanya diam. ”Apanya?” sahut Rain. “Elo kan suka yang ngintip-ngintip sedikit, nggak suka yang tumpah ruah, kayak cewek yang tadi. Lagian kenapa lo diem aja? Dari tadi juga kayak orang sakit gigi.” “Gue males bahas cewek nggak jelas kayak gitu. Bisa nggak ganti topik yang lebih bermutu?” ”Bisa banget. Sekarang tuh yang lagi viral coli pake cumi-cumi. Lo mau coba nggak?” “Ngapain juga gue coli kalo ada Sydney?” “Halaa… lo Sydney mulu, nggak bosan apa? Kita tuh masih muda Rain. Lo nggak mau coba yang lain?” “Dosa,” celetuk Rain sok polos, yang ia tahu apa respon teman-temannya setelah itu. “Huhhh!!! Ketiga temannya menyoraki dan tertawa lepas. “Dosa itu nikmat. Nanti kan tinggal tobat." "Eh, by the way lo kan habis menang kompetisi nih. Kita punya gift buat lo,” celetuk Bobby tiba-tiba. Bobby merupakan teman Rain yang juga berprofesi sebagai pembalap. Hanya saja karirnya tidak secemerlang karir Rain. “Gift apaan?” “Ada deh… nanti gue kasih tahu. Eh, lo juga, Le, dari tadi cuma senyum. Lo kenapa? Mau gift juga?” Ale, sahabat Rain yang paling dekat dengannya yang juga merupakan manajernya hanya tersenyum hampa. “Lain kali deh, Rain aja dulu. Gue kan nggak ngapa-ngapain.” “Halaaa… gaya lo.” Ale lalu menghindar ketika Bobby mencoba mendorong pelan kepalanya. Keempat laki-laki itu kemudian turun ke lantai disko, bergabung bersama para pengunjung lainnya. Selang beberapa menit, Bobby menyelinap keluar dari kerumunan orang-orang. *** “Lagi sibuk, Dear?” Lady yang baru saja melayani tamu menoleh ke belakang kala pundaknya ditepuk. Lady terkejut saat mendapati ternyata lelaki teman Rain tadi berdiri di belakangnya. Laki-laki nakal yang tadi dengan lancang menyentuh tangannya. Lady langsung waspada. ”Ada apa ya, Mas?” Lelaki itu tersenyum. “Saya minta tolong, boleh?” “Minta tolong apa?” “Saya mau pesen cocktail tapi tolong diantar ke kamar 301 ya!” Kerutan tercipta di dahi Lady. Kelab malam tempatnya bekerja memang satu bangunan dengan hotel bintang lima. Tak jarang para pengunjung di sana sering menginap di hotel tersebut hanya untuk one night stand. Melihat Lady kebingungan, Bobby segera mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. “Ini buat kamu,” kata laki-laki itu sembari menyodorkan ke tangan Lady. Selama sepersekian detik Lady terdiam. “Ayo, nggak usah sungkan. Ini tip buat kamu. Kamu hanya perlu mengantar cocktail ke kamar itu lima belas menit lagi.” Bobby pergi dari hadapan Lady sebelum perempuan itu sempat menjawab apa-apa. Lady memang sering menerima tip dari para pengunjung, namun tidak pernah sampai sebanyak ini. Untuk sesaat ia masih bingung. Tapi ia pikir sekadar mengantar minuman apa salahnya. *** Bobby memapah Rain dengan penuh upaya. Alkohol yang kini beredar di pembuluh darahnya membuat kesadaran Rain tinggal separuh. ”Kita mau ke mana, Bob?” Rain masih sempat bertanya saat Bobby membawanya ke sebuah ruangan dan memapahnya masuk. “Lo inget nggak, tadi gue bilang mau kasih gift?” “Hemm…” Rain tidak benar-benar mengingatnya karena sudah hangover. Bobby membaringkan Rain yang sudah tidak berdaya di ranjang. “Rain, lo di sini dulu ya, bentar lagi gift buat lo dateng.” Seulas senyum licik terbit dari bibir Bobby sebelum ia meninggalkan Rain sendiri di tempat itu. *** Berjalan sendiri, Lady berhenti tepat di depan pintu kamar 301. Tadi Bobby memberikan keycard kamar tersebut padanya dan menyuruh langsung masuk. Dengan membawa cocktail di tangannya Lady membuka pintu. Langkahnya terhenti tiba-tiba ketika melihat seseorang sedang berbaring di ranjang. ‘Astaga! Siapa itu?’ Ragu-ragu ia berjalan mendekat. “Hany…” Lady kaget ketika tiba-tiba saja orang di ranjang membuka mata dan menarik tangannya. Namun yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah begitu mengetahui lelaki itu adalah Rain. “Lepasin aku!” Lady menarik tangannya yang dicekal Rain, namun tidak berhasil karena tenaga laki-laki itu jauh lebih kuat. ”Sini, Han, temenin aku tidur di sini.” Rain yang menyangka Lady adalah Sydney menarik Lady lebih kuat hingga perempuan itu rebah di sebelahnya. Dengan sigap Rain mengunci Lady di bawahnya agar tidak meloloskan diri. “Kamu mau ngapain? Lepasin saya!” Lady memberontak saat Rain mencoba meraup bibirnya. “Kamu menolak aku, Han?” tanya Rain heran. Selama ini sekali pun Sydney belum pernah menolaknya. ”Dasar cowok brengsek. Selain sombong kamu juga biadab!” maki Lady penuh amarah serta ketakutan. Ia terus memukul Rain yang mengunci tubuhnya. “Han, seriously kamu mau kita main BDSM?” ujar Rain karena Lady terus melawan dan memukul badannya. “Oke, aku nggak keberatan kalau kamu maunya begitu.” Lalu Rain membuka kemejanya dan dengan gerakan cepat mengikat kedua tangan Lady. Lady terkejut atas perlakuan Rain padanya. Ia lalu berteriak, “Tolong!!! Tolong saya! Apa ada orang di sini? Tolong saya!!!” “Sssttt… Han, jangan teriak. Lagian kamu kenapa sih tiba-tiba jadi kayak gini. Aku udah on nih, Han…” Lady menangis ketika Rain melepas penutup tubuhnya satu demi satu hingga ia tampil polos bagai manekin. Lady terus melawan dan mencoba untuk melepaskan diri, namun usahanya kembali sia-sia. Rain jauh lebih kuat. ”Kamu kenapa nangis, Han? Aku nyakitin kamu memangnya?” tanya Rain sambil membelai rambut Lady. Kecupan bibirnya di tubuh perempuan itu mulai menjalar ke mana-mana. Mulai dari bibir, leher, dada hingga bagian yang lain. Rain melucuti pakaiannya sendiri hingga tubuhnya tak berpenutup. Ia tidak memedulikan Lady yang terus merintih dan menangis. Kadang Sydney memang suka nge-drama, pikirnya. “Han, diam dulu, Han!” pinta Rain karena Lady terus meronta. Rain memegang kaki Lady dengan kedua tangannya agar tidak terus bergerak. Ia kemudian memosisikan diri di depan Lady. Bersiap-siap memasuki perempuan itu. Kerutan tercipta di dahinya ketika ia merasa kesulitan untuk masuk. Perempuan itu terasa sempit yang membuat Rain keheranan dan bertanya-tanya. Kenapa jadi sesusah ini? Perasaan, Sydney nggak begini. Sambil terus mendorong, Rain memandangi wajah Lady yang meringis menahan sakit. Detik itu juga ia tersadar kalau perempuan yang ia coba masuki bukan Sydney. Rain menarik diri sebelum berhasil masuk. “Lo masih virgin, lo bukan Sydney,” desisnya syok. Rain segera melepaskan tangan Lady yang sejak tadi terikat. Tanpa membuang waktu, Lady bangkit dari ranjang dan segera memungut pakaiannya dan memakai dengan terburu-buru. Plakkk!!! Telapak tangan Lady melayang ke pipi Rain yang membuat laki-laki itu berjengit. “Saya nggak akan pernah melupakan kebejatan anda malam ini!” kecamnya penuh kebencian. Rain membatu sambil memegang pipinya yang perih. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali memandang Lady yang pergi dengan membawa air mata. ***Agha yang duduk di sebelah Celine dari tadi memerhatikan Celine yang tidak melepaskan pandangannya dari arah panggung. Agha tahu persis siapa sosok yang mengambil atensi perempuan itu. “Bagus ya suaranya, main gitarnya juga oke.” Celine refleks menolehkan kepala ke sebelahnya. Ia terlambat menyadari bahwa Agha memerhatikannya. Entah sejak kapan.Dilengkungkannya bibir membentuk senyuman. “Gian memang multitalenta. Dari kecil dia udah suka musik, jago main gitar, bahkan udah bercita-cita mau jadi anak band.” Celine menceritakannya dengan berbinar-binar.Agha ikut tersenyum menimpali perempuan itu. Ia mengerti bahwa Celine masih menyimpan perasaan pada Giandra. Jika tidak, mana mungkin ada binar di matanya.Senyum di bibir Celine tiba-tiba memudar yang kemudian berganti dengan ringisan.”Kenapa, Lin?” tanya Agha kala melihat perubahan di wajah Celine.”Gha, aku mules banget.” “Braxton hicks lagi?””Kayaknya sih. Tapi ini mulesnya nggak kayak biasa, Gha.””Kita pulang aja ya?”Celine
“Mbak, obat yang ini ada?” Raia menunjukkan secarik kertas pada penjaga apotik.Penjaga apotik menerima kertas berisi resep tersebut kemudian menekurinya selama beberapa detik. Ia kemudian kembali berbicara dengan Raia.“Mbak, karena ini obat racikan Mbak bersedia menunggu sebentar? Kebetulan apotekernya sedang ke luar.”“Duh, kira-kira lama nggak ya? Soalnya saya lagi buru-buru, Mbak.””Mungkin sebentar lagi, Mbak.”Raia memandang ke arah Giandra yang sedang duduk di kursi tunggu pembeli. Meminta pendapat laki-laki itu.”Gimana, Gi?””Ya udah, tunggu aja, kan obatnya ada.”“Tapi kalau lama gimana?”“Nggak apa-apa, daripada muter-muter nyari ke apotik lain ternyata zonk.”“Ya udah deh.” Raia terpaksa sepakat dengan Giandra lalu ikut duduk di sebelahnya.Penjaga apotik memberi mereka dua gelas air mineral sembari menunggu, lalu melayani pembeli yang lain.“Pinjam bahunya ya, Gi, ngantuk banget.” Raia menutup mulut yang menguap dengan telapak tangan lalu sebelum Giandra menjawab ia suda
Celine tidak tahu apa Giandra mengerti apa itu talak tiga beserta konsekuensinya. Yang Celine tahu Giandra sedang emosi saat mengatakannya. Ketika Celine memutar tubuh untuk masuk kembali ke dalam rumah, ia menemukan Agha sudah berdiri di belakangnya. Entah sejak kapan. Bisa jadi laki-laki itu sudah lama di sana mendengar dan menyaksikan pertengkarannya dengan Giandra tadi.”Jadi dia bukan sepupu kamu?” Belum sempat Celine bicara Agha sudah berkata.Tidak ada lagi jalan bagi Celine untuk mengelak apalagi lari. Satu-satunya pilihan baginya adalah mengaku dan berterus terang saat ini juga, terlebih ketika mendengar kelanjutan ucapan laki-laki itu.”Aku udah dengar semuanya, Lin, tapi aku nggak ngerti gimana keadaan sesungguhnya. Kalau kamu nggak keberatan aku siap mendengarkan.”Celine mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah. Agha mengikuti dari belakang. Laki-laki itu siap mendengarkan apa yang akan Celine sampaikan padanya meskipun tadi ia merasa syok menyaksikan pertengkaran Celine da
“Nggak usah dijawab sekarang, pikirin aja dulu.” Lalu Qey berdiri, pergi dari kamar Giandra.Giandra termangu memikirkan kata-kata Qey. Semestinya tadi ia bisa menjawab tanpa perlu memikirkan apa-apa. Nyatanya kini ia meragukan perasaannya sendiri pada Celine. Tapi kalau Giandra tidak memiliki rasa apa pun pada perempuan itu ia tidak perlu marah kan saat melihat atau tahu Celine pergi dengan Agha?Suara pintu yang dibuka serta derap langkah yang mendekatinya membuat Giandra tersentak. Lamunannya memudar dan kemudian buyar seketika.“Bau parfum cewek.” Max mengendus-endus membaui seisi kamar. “Tadi Qey ke sini ya?” sambungnya sambil menatap ke arah Giandra. Max langsung bisa menebak kalau itu Qey karena ia sudah hafal aroma gadis itu saking mencintainya dengan sepenuh hati.“Kok lo tahu?”Max tersenyum jumawa. “Apa sih yang nggak gue tahu tentang Qey? Kalo lo nanya ukuran branya juga gue bakal jawab sekarang.””Jangan macam-macam lo, Max!” Giandra tidak suka pada gurauan Max. Max boleh
Satu hari berlalu sejak pertengkaran dengan Celine.Sudah sejak tadi Giandra melihat bolak-balik ke layar gawai hanya demi meyakinkan diri bahwa Celine memang tidak menghubunginya. Tidak ada pesan apalagi panggilan telepon di deret notifikasinya. Yang tidak berhenti dari tadi adalah notifikasi dari grup Anonim. Raia sibuk mengoceh tentang persiapan keberangkatan mereka besok. Berkali-kali gadis itu me-mention memanggil Giandra, namun Giandra tidak peduli. Ada yang lebih penting saat ini melebihi keberangkatan tur mereka. Apa lagi kalau bukan Celine.Alih-alih akan menelepon, mengirim pesan singkat pun tidak.‘Harusnya aku yang marah sama kamu, Lin, bukan kamu.’Semalaman Giandra memikirkan lagi perdebatannya dengan Celine. Merunut kembali kronologi kejadian tersebut beserta kata-kata yang ia ucapkan pada perempuan itu. Giandra mengernyitkan dahi saat mengingat ucapannya pada kalimat terakhir, tepat sesaat sebelum ia pergi meninggalkan apartemen itu. Apartemen yang ia beli untuk Celin
Giandra membanting pintu mobil dengan keras. Ia mengusap mukanya setelah menjatuhkan diri di jok pengemudi. Ini adalah untuk kedua kalinya Giandra merasakan rasa kecewa yang mendalam pada perempuan. Dulu Swabitha, dan sekarang Celine. Hanya saja pada mantannya dulu mungkin ucapan Giandra tidak sekeras seperti yang diucapkannya pada Celine. Giandra menjadi leluasa pada Celine karena perempuan itu adalah istrinya, pasangannya yang sah, perempuan halal miliknya.“Aku paling benci yang namanya pengkhianatan,” gumamnya sambil memukul setir. Dengan sekali sentakan kasar Giandra menyalakan mesin lalu menekan pedal gas dalam-dalam, pergi dari tempat itu.Giandra menyetir tanpa kendali, tidak peduli jika pengguna jalan lain merasa terganggu saat ia mengklakson keras-keras atau pun ketika dirinya menyalip dari kiri. Yang penting emosinya tersalurkan.***Sudah lebih dari setengah jam yang lalu Giandra pergi, tapi hingga detik ini Celine masih duduk melamun. Bukan di kursi ataupun sofa, melain