“Move faster, Bae ..."
Desahan seduktif Sydney yang berada di bawahnya berhasil menerbitkan senyum tipis di bibir Rain. ”Boleh, Han, tapi teriaknya jangan kenceng-kenceng.” Rain mengecup bibir Sydney, sementara pinggulnya terus bergerak di atas perempuan itu. Sydney membalas dengan kerjapan mata. Bibirnya menerbitkan senyum malu. Setiap kali menemui pelepasan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Baru akan meningkatkan ritme gerakan, fokus perhatian Rain langsung teralihkan oleh nada dering vintage yang bersumber dari ponselnya. Kring… kring… kring… Tanpa perlu melihat ke layar gawai Rain sudah tahu siapa yang menelepon. Rain memang sengaja memberi nada dering khusus untuk perempuan istimewa dalam hidupnya. Cepat, Rain mengangkat tubuh dari atas Sydney. Tidak peduli perempuan itu memandangnya penuh protes. Melangkah ke arah meja yang terletak di sudut kamar, Rain mengambil ponsel, tidak membiarkan sang penelepon menunggu lama. “Halo, Nda.” Rain menyapa dengan sopan. ”Rain, kamu lagi di mana?” Terdengar suara halus seorang perempuan di seberang sana. “Di apartemen, ada apa, Nda?” “Kamu bisa ke sini sekarang? Ada hal penting yang ingin Bunda bicarakan.” Rain tidak seketika memberi jawaban. Mata teduhnya berlari menemukan jam dinding. Tepat di saat itu ia mendapati waktu saat ini masih pukul tujuh malam. “Bisa aja sih, tapi hal penting tentang apa, Nda?” “Pokoknya kamu ke sini aja dulu, Bunda punya kejutan buat kamu. Bunda tunggu ya!” “Baik, Nda, aku akan ke sana sekarang.” Rain memerhatikan layar gawai hingga menggelap sendiri sembari berpikir di dalam hati kejutan apa yang dimaksud bundanya. Setelahnya, Rain bergegas berpakaian. ”Mau ke mana, Rain?” tanya Sydney kala Rain melepaskan pengaman pria dewasa dari organ bawah tubuhnya. ”Ke rumah Bunda, katanya ada yang penting mau dibicarakan.” “Tapi kita kan belum selesai, nggak bisa besok aja perginya?” protes Sydney keberatan. Bibir sensualnya mengerucut kesal. Rain menggelengkan kepala. “Sorry, Han, nggak bisa.” Usai berkata begitu Rain menyambar kunci mobil dan menarik langkah panjang meninggalkan Sydney yang kerap ia panggil dengan sebutan Hany a.k.a honey. ”Rain, tunggu dulu! Kamu nggak bisa pergi gitu aja, ini kan lagi nanggung!” Rain tidak peduli dan terus pergi. *** Rain berhenti sesaat ketika lampu merah lalu lintas menyala. Matanya kemudian bertemu dengan billboard besar di tempat itu. Rain melihat dirinya sendiri di dalam billboard. Di sana ia sedang menjadi model sebuah sepeda motor sport asal Italia, Ducati. Selain menjadi pembalap profesional, Rain memang membintangi beberapa iklan. Rain belum genap setahun di Indonesia. Selama ini ia bermukim di Silverstone, Inggris. Lama tinggal di luar negeri membuat Rain menganut gaya hidup bebas. Free sex adalah hal yang biasa baginya. “Datang juga kamu, Rain,” sapa Alana—tantenya, saat Rain tiba di rumah. Rumah besar itu tidak hanya dihuni oleh bundanya, tapi juga oleh tante, keponakan serta kakek dan neneknya. “Bunda mana, Tan?” “Tuh kan panggil tante lagi.” Alana memutar mata. Ia kurang suka dipanggil dengan sebutan tersebut karena usia mereka tidak terpaut jauh. “Hehe… iya deh. Bunda mana, Na?” “Ada tuh di ruang makan.” Rain segera berlalu ke ruang makan setelah menepuk pelan pundak Alana. Di ruang tersebut, Rain menemukan Kanayya—sang bunda, dan juga seorang perempuan muda yang Rain kira adalah asisten rumah tangga yang baru. Kanayya tersenyum lembut saat melihat kedatangan Rain. “Kamu belum makan malam kan? Kita makan sama-sama ya.” Rain menganggukkan kepala sembari menarik kursi dan duduk di sana. “Ada pembantu baru, Nda?” ”Sssstt… jangan sembarangan. Itu namanya Lady.” Lady? Rain terheran-heran sendiri. Matanya memindai sosok perempuan itu dari puncak kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu sangat sederhana. Dia mengenakan kulot lebar berwarna hitam dan kemeja polkadot yang longgarnya nyaingin si kulot, udah gitu lusuh banget. Sedangkan rambutnya yang panjang dikuncir ekor kuda. Untung saja dia nggak pakai kawat gigi dan kacamata. ’Lady apaan? Potongan cupu kayak babu gitu dibilang Lady. Nggak malu apa sama nama?’ Rain mengejek dan mencibir perempuan itu di dalam hati. Ia tidak dapat menahan tawanya yang kemudian pecah. “Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” tanya Kanayya heran. Masih sambil tertawa, Rain menunjuk dengan dagunya pada Lady yang kini sedang menyiapkan makanan, agak jauh dari mereka. “Maksud Bunda, dia namanya Lady?” ”Iya, ada yang salah?” ”Hahaha… kalau yang kayak gitu Bunda bilang lady, jadi queen yang gimana?” Kanayya menggeleng-gelengkan kepala. Anak tunggalnya ini memang arogan. “Jangan begitu, Rain, nggak baik. Ingat nggak waktu tadi Bunda minta kamu ke sini karena ada yang penting?” “Yang pentingnya apa, Nda?” “Karena Bunda mau mengenalkan kamu sama Lady. Bunda juga mau menjodohkan kamu sama dia.” “Apa?” ”Nggak usah kaget, Rain, kamu nggak salah dengar.” “Emang dia siapa sih, Nda? Bisa-bisanya Bunda mau menjodohkan aku sama dia?” Sesaat Kanayya menghela napas sebelum menjelaskan pada Rain.“Lady itu cleaning service di rumah sakit. Bunda sudah lama kenal sama dia. Dia anaknya baik banget.” “Apa?” Kedua bola mata Rain membulat sempurna mendengarnya. Tidak habis pikir oleh maksud perkataan sang ibu. “Yang benar saja, Nda, masa aku harus nikah sama cleaning service? Apa aku harus mengingatkan Bunda lagi? Namaku Rain. Pembalap profesional pentolan Silverstone, brand ambassador berbagai produk ternama.” Kanayya menyimpul senyum. “Iya, Bunda tahu itu, dan Bunda sangat bangga atas prestasi kamu. Tapi nggak salah kan kalau Bunda ingin mencarikan yang terbaik buat kamu?” ”Nggak salah, tapi bukan dengan perempuan itu!” tegas suara Rain, terang-terangan menolak perjodohan absurd tersebut. Kanayya kembali menghela napas panjang dan dengan sabar menjelaskan. “Rain, Bunda berani menjodohkan kamu dengan Lady karena Bunda sudah mengenal dia dengan baik. Bunda nggak akan ambil resiko menjodohkan kamu dengan perempuan sembarangan. Apalagi untuk pasangan seumur hidup.” ”Tapi dengan cleaning service itu? Mau ditaruh di mana mukaku? Lagian aku sudah punya pacar, aku sudah punya Sydney!” “Jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja, Rain. Percaya sama Bunda, Bunda nggak akan salah pilih. Lady ini orangnya baik dan tulus, berbeda dengan para perempuan di sekitar kamu. Mereka hanya dekat dengan kamu karena tahu siapa kamu. Kamu populer, pembalap sukses, idola banyak perempuan. Bunda mau kamu hidup bahagia dengan orang yang benar-benar tulus mencintai kamu. Bunda nggak setuju kamu sama Sydney. Hidup Bunda nggak akan tenang kalau kamu masih sama dia. Bahkan, sampai Bunda mati pun arwah Bunda nggak akan tenang di alam sana.” ”Apa sih, Nda?” Rain mulai kesal karena Kanayya membahas soal kematian. “Makanya, Rain, jangan membantah kalau kamu ingin Bunda bahagia.” Rain kehilangan kata-kata. Tidak sanggup lagi untuk bicara. Kanayya adalah orang tua satu-satunya karena sang ayah sudah meninggal sejak ia masih berada dalam kandungan. Bahkan, ayahnya juga tidak tahu bahwa bundanya sedang mengandung Rain saat itu. Sejak ayahnya meninggal, bundanya tidak pernah mencari pengganti. Itulah sebabnya Rain sangat menyayangi Kanayya dan tidak sanggup menolak apapun yang diinginkannya. Dan mungkin… perjodohan ini juga. “Ya sudahlah, mau gimana lagi,” ucap Rain pasrah, semata-mata hanya ingin agar Kanayya bahagia. Kanayya tersenyum mendengar jawaban Rain dan memanggil Lady agar mendekat. “Ayo, Rain, kenalan dulu sama Lady.” Lady mengulurkan tangan sambil tersenyum yang disambut Rain dengan enggan. Bahkan, hanya ujung jarinya yang menempel di telapak tangan Lady. Muka masam laki-laki itu membuat Lady jadi tahu bahwa Rain tidak menyukainya. “Bunda ke toilet sebentar ya, kalian ngobrol-ngobrol aja dulu.” Kanayya lalu pergi meninggalkan keduanya. Melirik sekilas punggung bundanya yang menjauh, Rain kemudian bicara pada Lady dengan suara separuh berbisik. “Lo jangan seneng dulu. Gue nggak akan membiarkan perjodohan nggak masuk akal ini terjadi. Lo bukan tipe gue. Bahkan gue nggak pernah bermimpi menikah dengan cewek cupu kayak lo.” Lady tersenyum kecut dan sama sekali tidak terpancing meski Rain mencoba menyulut emosinya. Dengan tenang ia menjawab, “Baik, saya akan selalu mengingat hal itu.” Rain menyimpan suara ketika Kanayya kembali muncul ke tengah-tengah mereka. Lady hanya bisa bersabar atas sikap yang ditunjukkan Rain. Sejak awal ia sudah tahu bahwa Rain tidak akan menerima perjodohan ini. Lady menyetujuinya hanya untuk menghargai permintaan Kanayya. Perempuan itu sudah terlalu banyak membantu. Kebaikannya tak terhitung lagi. Lady jadi tidak punya alasan untuk menolak saat Kanayya ingin menjodohkannya dengan Rain. Lady hanyalah seorang perempuan biasa yang hidup sebatang kara setelah kedua orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan. Mereka tidak mewariskan apa-apa selain utang di mana-mana. Dikejar debt collector bukanlah hal luar biasa dalam hidup Lady. Saat ini ia menghidupi dirinya dengan kerja banting tulang. Lady akan melakukan apa saja, yang penting bisa menghasilkan uang. Mulai dari terima orderan kue hingga jualan pulsa. Siang ia bekerja di rumah sakit sebagai cleaning service. Malamnya ia kuliah. Sisanya ia menghabiskan waktu di kelab malam sebagai pelayan. Lady memasrahkan hidup ke mana pun takdir akan membawanya. Termasuk dengan memenuhi permintaan Kanayya. Kalau pun Rain menolak perjodohan ini, tidak masalah baginya. Pria muda itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Lady sangat membenci tipe lelaki kaya dan arogan sepertinya. Dan satu hal lagi, Rain juga bukan tipenya. ***Orang bilang hari pernikahan adalah di mana sepasang pengantin akan menjadi raja dan ratu sehari. Itulah yang akan dirasakan Agha dan Brienna.Setelah melalui tahap demi tahap serta banyak ritual unik, akhirnya sehari lagi Agha dan Brienna resmi menjadi sepasang suami istri.Pernikahan Brienna dan Agha begitu kontras dengan resepsi pernikahan Qeyzia dan Ryan. Pernikahan Brienna diselenggarakan secara adat keluarga Agha yang masih begitu kental. Prosesi adat tersebut diawali dengan mangaririt boru atau menyelidiki apakah perempuan yang akan dipinang memiliki latar belakang yang baik. Tahapan ini juga dilakukan untuk memastikan kalau perempuan yang akan dipinang belum ada yang melamar. Orang tua Agha datang pada keluarga Brienna menyampaikan maksud untuk meminang. Akan tetapi, keluarga Brienna tidak seketika memberi jawaban, namun pada pertemuan selanjutnya.Setelahnya dilanjutkan dengan padamos hata, yaitu prosesi mengenalkan calon pengantin laki-laki langsung kepada keluarga calon p
“Tadi ngomongin apa aja sama Brie, Yang?” tegur Ryan pada Qey yang sejak tadi membisu di sebelahnya. Saat ini mereka sedang berada dalam perjalanan pulang ke apartemen setelah dari rumah orang tua Qeyzia tadi.Lamunan Qey dibuyarkan suara Ryan. Ia lalu menoleh pada suaminya itu. “Ngomong biasa, tentang pengalaman selama Kak Brie di Medan.””Brie kayaknya happy banget ya?”Qey tersenyum dan mengiakan. ‘Gimana nggak happy. Keluarga suaminya baik begitu,’ ucapnya di dalam hati. Namun yang tersampaikan dari mulutnya adalah, “Iya, happy banget. Aku nggak pernah ngeliat Kak Brie sehappy itu.”“Kalau kamunya gimana? Nggak ikutan bahagia?""Bahagia dong, masa enggak.""Kalau bahagia kenapa wajahnya biasa-biasa aja?""Harusnya gimana?""Senyum yang lebar kek.""Nih aku senyum." Qey mengembangkan bibirnya selebar mungkin. Meyakinkan ia juga bahagia atas kebahagiaan kakaknya. Qey menyembunyikan lara hatinya jauh-jauh. Ia tidak ingin Ryan tahu apa yang dirasakannya saat ini.Tapi bukan Ryan naman
Qey cepat keluar dari kamar mandi dengan gugup dan duduk di tepi ranjang. Apa yang baru saja dilihatnya membuat Qey benar-benar malu. Di saat bersamaan rasa bersalah terasa menghujamnya. Ini semua adalah akibat ulahnya. Seharusnya ia melaksanakan kewajibannya sebagai istri dan melayani Ryan dengan sebaik mungkin. Jadi pemandangan barusan tentu tidak akan pernah disaksikannya. Tak lama berselang Ryan keluar dari kamar mandi dengan wajah pias. Jujur saja ini bukanlah yang pertama. Namun ketika Qey menangkap basahnya ia tidak pernah semalu ini.Ryan turut duduk di sebelah Qeyzia. Ia mendapati kegugupan di wajah istrinya.Selama beberapa detik mereka hanya diam. Qey meremas ujung bajunya sedangkan Ryan tidak tahu harus berkata apa dan memulai semua dari mana.Ryan berdeham berkali-kali. Selain malu ia juga tidak pernah segugup ini. "Yang ...," panggilnya pelan, membuat istrinya itu menoleh padanya. "Maaf, aku–""Seharusnya aku yang minta maaf." Qey menyahut cepat. "Ini semua aku yang sal
“Ya ampun, kok jadinya malah kekirim sih? Bukannya kehapus.” Brie mengguman pelan ketika menyadari apa yang baru ia lakukan.Ck! Brie berdecak kesal menyesali sikapnya yang gegabah. Coba tadi kalau ia tidak asal pencet. Duh … gimana nih?Brie kemudian merebahkan tubuhnya ke pembaringan. Untuk kesekian kalinya ia terkejut ketika terdengar notifikasi dari ponselnya.Lantas Brie melihat ke layar gawai. Pesannya tadi terkirim dan sekarang ia menerima balasannya.“Hey, Brie, senang sekali mengetahui kamu akan menikah. Tapi dengan sangat sedih aku ingin mengatakan padamu, Mommy sudah … meninggal. From Kyle.”Brie langsung terduduk. Tidak percaya pada apa yang baru saja dibacanya. Ibunya sudah meninggal? Sejak kapan? Lantas kenapa ia tidak tahu sama sekali mengenai hal tersebut?Dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca Brie mengetikkan balasan untuk saudara tirinya itu.Brienna: Kapan Mommy meninggal? Kenapa tidak memberitahuku?Hanya dalam hitungan detik balasan pesan dari Kyle masuk ke
Bab panjang panjang ya, Kak. 15 bab. Happy reading ♡***Ryan menggenggam tangan Qey dan meletakkan di atas pahanya. Sedangkan sebelah tangannya lagi berada di setir. Setelah dari apartemen Ryan tadi keduanya saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Natassa.Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Ryan. Hari yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama. Nanti setelah sampai di rumah ibunya Ryan akan langsung menyampaikan niatnya untuk menikahi Qey.Sedangkan Qey yang duduk di samping Ryan tak bersuara sejak tadi. Ia masih sulit untuk mempercayai apa yang telah terjadi beserta hal besar yang sudah diputuskannya.Qey menerima lamaran Ryan untuk menjadi istri laki-laki itu.Dalam temaram cahaya di mobil, Qey menurunkan pandangan pada tangan kirinya, yang berakhir tepat di bagian jari manisnya. Cincin dari Ryan kini tersemat indah di sana. Sebagai tanda ikatan awal dirinya dan laki-laki itu sebelum mereka disatukan dalam hubungan yang benar-benar sakral."Suka cincinnya, Yang?"Tegu
“Saya pengennya pesta pernikahan nanti nggak cuma biasa-biasa saja. Tapi unik, mewah, elegan dan berkesan, yang nggak akan pernah dilupakan oleh siapa pun, terutama oleh tamu-tamu yang datang.” Perempuan itu menerangkan konsep pernikahan impian sesuai keinginannya dengan sangat menggebu-gebu. Matanya turut berbinar seakan sedang membayangkan apa yang ada di kepalanya.“Baik, saya setuju dengan ide Mbak. Kita punya beberapa paket, di antaranya adalah paket ballroom wedding, rooftop wedding, garden party, dan juga beach party.”“Kalau menurut Mbak sendiri bagusnya yang mana ya?”“Mama!!!”Qeyzia refleks memalingkan muka dan memandang ke sumber suara. Senyumnya merekah seketika kala melihat putra kesayangannya berlari kecil ke arahnya diikuti sang pengasuh dari belakang.“Sebentar ya, Mbak, silakan Mbak lihat-lihat katalognya dulu.” Qeyzia lantas bangkit dari duduknya dan meninggalkan si klien.Klien? Iya klien.Dua tahun berlalu sejak kematian Maxwell. Pelan tapi pasti Qeyzia mulai bang