Share

Pria Arogan

last update Last Updated: 2025-03-25 06:08:54

Tiba di rumahnya, Lady membuka sosial media dari smartphone yang layarnya sudah retak.

Namaku Rain.

Lady mengetikkan nama Rain di tab pencarian. Muncullah sebuah akun centang biru dengan lebih dari lima juta pengikut.

Akun tersebut bagaikan galeri yang memamerkan foto-foto Rain. Mulai dari prestasi hingga sensasi.

Jujur saja, Lady tidak mengingkari jika Rain tampak gagah dalam kostum balapnya. Rain mengundang decak kagum banyak orang karena memenangkan berbagai kompetisi balap, tidak terkecuali Lady.

Namun kekagumannya lekas berganti dengan rasa tidak suka saat Lady melihat foto-foto mesra Rain dengan perempuan yang berbeda. Selain arogan, ternyata Rain juga suka gonta-ganti wanita, membuat pikiran Lady pada laki-laki itu hanya dipenuhi oleh pikiran negatif.

***

Setiap pagi Lady meninggalkan rumah untuk kemudian menuju rumah sakit. Ia melaksanakan tugasnya seperti biasa. Mulai dari mengepel lantai, membersihkan langit-langit, membersihkan kaca jendela, membuang sampah domestik, sampah medis dan sampah tajam, membersihkan toilet, hingga memastikan bahwa lantainya tetap kering.

Lady berpapasan dengan Kanayya tepat di depan pintu toilet. Perempuan itu agaknya juga akan menggunakan tempat itu.

“Selamat pagi, Dok,” sapa Lady sopan.

”Pagi.” Sang dokter tersenyum hangat. “Dy, klappertaart yang kamu kasih ke saya kemarin itu buatan kamu ya?”

“Iya, Dok.” Kemarin saat ke rumah Kanayya Lady memang membawanya seloyang.

“Wah, kebetulan kalau begitu. Rain itu suka banget lho sama klappertaart, katanya enak. Saya bisa pesen kan buat Rain?”

Lady agak tercengang mendengar penuturan Kanayya. Masa sih? Ia hampir tidak yakin. Seingatnya, saat ia berada di sana malam itu Rain tidak menyentuh sedikit pun klappertaart tersebut.

”Bisa, Dok, tentu saja bisa.”

Kanayya merogoh saku, bermaksud mengambil uang dan memberikan pada Lady. Namun Lady menolak. “Nggak usah, Dok.”

“Tapi kamu kan butuh buat beli bahan-bahan.”

“Bahan-bahannya kebetulan masih ada. Kalau boleh tahu, Dokter pesennya untuk kapan ya?”

“Kalau untuk besok bisa?”

“Bisa banget, Dok, kebetulan besok saya off.”

Kanayya lantas tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan Lady, masuk ke dalam toilet.

Malam itu, Rain sempat mencicipi klappertaart setelah Lady pulang. Hanya saja Kanayya tidak mengatakan jika klappertaart tersebut Lady yang membawanya.

***

Satu loyang besar klappertaart sudah siap sejak tadi. Sesuai dengan pesanan Kanayya kemarin, hari ini Lady akan mengantarnya.

”Lady, tolong kamu antar ke apartemen Rain ya, ini alamatnya.”

Selama sepersekian detik Lady termangu begitu ia datang ke rumah sakit mengantarkan klappertaart, namun Kanayya malah meminta mengantar langsung ke apartemen Rain.

Lady menggaruk leher belakang, kebingungan. Ia merasa enggan bertemu dengan Rain yang arogan. Namun di saat bersamaan ia juga tidak enak untuk menolak permintaan Kanayya. ”Dok, saya--”

”Kamu keberatan, Dy? Kamu ada kerjaan lain?” tanya Kanayya menyadari ekspresi yang ditunjukkan Lady.

“Bisa kok, Dok, saya akan antar ke sana.” Lady buru-buru menyahut. Ia belum pernah menemukan alasan yang tepat untuk menolak apa pun keinginan Kanayya. Dan lagi-lagi ia tidak mau menerima saat Kanayya memberikan uang untuk pembelian makanan tersebut darinya.

***

Sudah sejak tadi bel di depan sana terus berdenting. Suaranya menggema memenuhi setiap sudut apartemen. Awalnya Rain membiarkan saja. Namun karena lama kelamaan terasa kian mengganggu, Rain terpaksa harus beranjak dari ranjang setelah mengumpat kesal.

Membuka pintu apartemennya, Rain tidak bisa untuk tidak terkejut saat menyaksikan sendiri siapa sosok pengganggunya siang itu. Lady kini berdiri tepat di hadapannya dengan sebelah tangan menjinjing kantong plastik yang entah apa isinya.

“Ngapain lo ke sini?” tanya Rain galak. Matanya memancarkan sorot tidak suka pada Lady.

“Maaf mengganggu, tapi saya hanya mengantar pesanan ibu anda.” Lady menjawab seraya menyodorkan kantong di tentengannya pada Rain.

Alih-alih akan menerima, Rain malah memandang sinis dengan sebelah mata. “Apa itu?”

“Ini isinya klappertaart. Dokter Kanayya bilang kalau anda sangat suka klappertaart. Dokter Kanayya pesan sama saya dan minta buat antar ke sini.”

“Jadi ini lo yang bikin?”

Lady menganggukkan pelan kepalanya.

Rain dengan angkuh bersedekap dan bicara dengan ketus pada perempuan menyebalkan di hadapannya. “Oh, jadi lo tukang kue? Gue emang suka klappy, tapi bukan klappy kaleng-kaleng kayak punya lo gini. Bawa lagi pulang!”

“Terserah anda mau suka apa tidak, tapi saya hanya melaksanakan pesan dari ibu anda agar mengantar ke sini. Itu saja.”

“Gue kan udah bilang nggak mau. Kalo gue mau, gue bisa beli di Delicious,” sengit Rain sembari menyebut nama sebuah toko kue ternama langganannya. Ia mengucapkan kata-kata tersebut sambil menjatuhkan kotak kue ke lantai.

Lady terkesiap. Terbayang betapa susahnya ia membuat seloyang klappertaart. Ia bahkan rela membeli bahan-bahan kue premium hanya karena mengingat makanan tersebut adalah pesanan Kanayya. Padahal biasanya ia hanya menggunakan tepung kiloan.

Rasa sedih, kecewa dan sakit hati atas sikap Rain berbaur menjadi satu.

“Saya tahu kalau anda memang arogan. Tapi saya tidak menyangka kalau ternyata anda tidak hanya sekadar angkuh, tapi anda juga tidak bisa menghargai orang lain.” Lalu Lady memutar tubuh, ia ingin lenyap dari tempat orang sombong itu sesegera mungkin. Sebelum ia benar-benar menarik langkah, suara lantang Rain terdengar mencegahnya.

“Dengerin gue! Jangan sekali-kali lo menjilat dan mendekati Bunda. Gue tahu lo itu nggak tulus. Lo cuma mau harta gue doang. Iya kan? Gue udah biasa ngadepin drama murahan kayak lo gini. Tapi gue bakal pastiin kalau rencana busuk lo nggak bakal berhasil.” Rain tersenyum asimetris di ujung kalimatnya.

Telinga Lady memanas mendengar tudingan Rain padanya. Ia telan semua penghinaan tersebut. Lady memutar tubuh mengarah pada Rain. Ia menemukan tatapan angkuh laki-laki itu.

“Jangan menuduh sembarangan. Saya sama sekali tidak mau uang atau harta anda. Kalau anda memang tidak setuju dengan perjodohan ini kenapa tidak bilang saja langsung pada orang tua anda? Kenapa tidak menolak?”

Rain terdiam dan merasa kalah telak. Ia sudah menolak, namun nyatanya ia tetap harus menerima perjodohan itu. Semua demi bundanya.

”Lo sendiri kenapa nggak menolak? Kenapa iya-iya aja dijodohin sama gue?” balas Rain pada Lady yang menantangnya.

”Saya punya alasan untuk itu. Dan alasannya bukan seperti yang ada di pikiran picik anda.”

Lady membungkukkan badan, mengambil kantong berisi klappertaart dari lantai dan memberikan pada Rain. Sebelum pergi ia masih sempat berkata, “Ini dari ibu anda, bukan saya, jadi terimalah.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Aku Sudah Hapus Dia Dari Hidupku

    Ale dan Alana baru saja tiba di rumah sepulang dari rumah sakit. Mereka turun dari mobil. Alana menggendong Baby sedangkan Ale mengeluarkan stroller bayi mungil itu dari bagasi.Langkah keduanya sama-sama tertahan ketika mereka melihat seseorang sedang duduk di kursi beranda.Seseorang yang sedang duduk itu adalah Raia. Sudah sejak tadi Raia berada di sana.Tadi sebelum datang ke rumah itu Raia terlebih dahulu menelepon Giandra. Tapi panggilannya tidak kunjung dijawab yang membuat Raia memutuskan langsung mendatangi rumahnya.Raia terkejut ketika melihat Alana turun dari mobil sambil menggendong bayi. Gadis itu langsung berdiri dari duduk.”Tante, itu anak siapa?” tanyanya penasaran.Alana melempar pandang pada Ale, meminta bantuan untuk menjawab. Hal ini tidak pernah ada dalam prediksi mereka sebelumnya bahwa Raia akan datang ke rumah.”Ini cucu Om sama Tante.” Ale yang menjawab, membantu Alana yang belum mendapat ide apa-apa.”Cucu?” Kerutan dalam tercipta di dahi Raia. Sepanjang pe

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   BVL

    “Bisa-bisanya ya kamu bohongin Mama sama Papa. Kapan memangnya kami ngajarin kamu berbohong?”Kepala Giandra tertunduk dalam. Menyadari bahwa ini adalah kesalahannya ia tidak membela diri.“Kalau perbuatanku bikin Mama sama Papa jadi malu aku akan pergi dari rumah.””Ini bukan masalah malu atau bukan, tapi tentang kekecewaan kami sebagai orang tua.” Ale angkat bicara. “Apa kamu pikir dengan pergi dari rumah akan menyelesaikan masalah?”“Nggak, Pa. Sekali lagi aku minta maaf, aku juga nggak mau bikin Mama sama Papa kecewa. Yang aku mau sebagai anak hanyalah membahagiakan Mama dan Papa sebagai orang tua. Tapi aku khilaf.”Ale yang tadinya ingin marah setelah pengakuan dan penuturan panjang Giandra kemudian segera tersadar dan merasa ditampar ketika ingat akan perbuatannya dulu. Di masa itu ia dan Alana juga melakukan kekhilafan yang sama. Yang membedakan mereka berdua adalah Giandra berani bertanggung jawab meskipun caranya kurang tepat.Tangisan Baby yang kemudian terdengar membuat at

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Kejutan Tengah Malam

    Giandra tergesa-gesa ke kamar begitu mendengar teriakan Qey. Ponakannya itu tampak panik karena Baby yang terus menangis."Qey, ini susunya." Giandra memberikan botol susu pada Qey untuk kedua kali."Udah nggak panas lagi kan?""Enggak, tadi udah aku cicip sedikit, udah pas kok."Qey meletakkan Baby di atas tempat tidur dan mendekatkan ujung dot ke mulut anak itu. Baby langsung diam begitu mendapat sumber asupannya yang membuat Giandra dan Qey merasa lega untuk sesaat. Ketika susunya habis Baby kembali menangis."Dia mau apa lagi ya, Gi?" tanya Qey bingung."Mungkin dia masih belum kenyang," duga Giandra."Ya udah, Gi, bikinin lagi."Dengan sigap Giandra beranjak ke belakang, membuatkan susu seperti tadi. Tapi ketika kembali memberikannya, Baby masih menangis dan menolak."Dia kok nggak mau ya? Dia mau apa lagi sih?" Qey kebingungan, begitu pun dengan Giandra."Qey, mungkin dia pup."Qey langsung memeriksa dan tertawa ketika mendapati dugaan Giandra tidak salah. "Bersiin, Gi," suruh

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Susahnya Menjadi Orang Tua

    Lantaran kasihan akhirnya Agha terpaksa mempertemukan Giandra dengan anaknya. Walau bagaimanapun Giandra adalah bapaknya. Giandra berhak atas anak itu.Agha membawa Giandra ke ruangan bayi. Mereka masuk ke sana dan berhenti tepat di dekat box seorang bayi perempuan. Bayi itu masih belum memiliki nama. Hanya ada nama Celine sebagai ibunya serta hari dan tanggal lahir anak itu beserta panjang dan beratnya saat dilahirkan.Giandra terpaku di tempatnya berdiri dengan mata menatap sendu pada bayi itu. Bayi berumur empat hari tersebut baru saja terlelap setelah seharian ini terus menangis. Kulit wajahnya putih kemerahan serupa dengan warna bibirnya. Matanya tertutup rapat sehingga Giandra tidak tahu apa warna iris matanya.“Dia baru saja tidur. Sejak lahir dia nggak berhenti menangis. Paling hanya saat tidur kayak gini. Mungkin dia tahu apa yang saat ini sedang dialami ibunya,” kata Agha memberitahu. Agha berdiri di sebelah Giandra, ikut mengamati anak itu.Giandra membisu, masih tidak sang

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Rainy Day

    Agha yang duduk di sebelah Celine dari tadi memerhatikan Celine yang tidak melepaskan pandangannya dari arah panggung. Agha tahu persis siapa sosok yang mengambil atensi perempuan itu. “Bagus ya suaranya, main gitarnya juga oke.” Celine refleks menolehkan kepala ke sebelahnya. Ia terlambat menyadari bahwa Agha memerhatikannya. Entah sejak kapan.Dilengkungkannya bibir membentuk senyuman. “Gian memang multitalenta. Dari kecil dia udah suka musik, jago main gitar, bahkan udah bercita-cita mau jadi anak band.” Celine menceritakannya dengan berbinar-binar.Agha ikut tersenyum menimpali perempuan itu. Ia mengerti bahwa Celine masih menyimpan perasaan pada Giandra. Jika tidak, mana mungkin ada binar di matanya.Senyum di bibir Celine tiba-tiba memudar yang kemudian berganti dengan ringisan.”Kenapa, Lin?” tanya Agha kala melihat perubahan di wajah Celine.”Gha, aku mules banget.” “Braxton hicks lagi?””Kayaknya sih. Tapi ini mulesnya nggak kayak biasa, Gha.””Kita pulang aja ya?”Celine

  • Semakin Red Flag Semakin Cinta   Rasa Yang Tak Bertepi

    “Mbak, obat yang ini ada?” Raia menunjukkan secarik kertas pada penjaga apotik.Penjaga apotik menerima kertas berisi resep tersebut kemudian menekurinya selama beberapa detik. Ia kemudian kembali berbicara dengan Raia.“Mbak, karena ini obat racikan Mbak bersedia menunggu sebentar? Kebetulan apotekernya sedang ke luar.”“Duh, kira-kira lama nggak ya? Soalnya saya lagi buru-buru, Mbak.””Mungkin sebentar lagi, Mbak.”Raia memandang ke arah Giandra yang sedang duduk di kursi tunggu pembeli. Meminta pendapat laki-laki itu.”Gimana, Gi?””Ya udah, tunggu aja, kan obatnya ada.”“Tapi kalau lama gimana?”“Nggak apa-apa, daripada muter-muter nyari ke apotik lain ternyata zonk.”“Ya udah deh.” Raia terpaksa sepakat dengan Giandra lalu ikut duduk di sebelahnya.Penjaga apotik memberi mereka dua gelas air mineral sembari menunggu, lalu melayani pembeli yang lain.“Pinjam bahunya ya, Gi, ngantuk banget.” Raia menutup mulut yang menguap dengan telapak tangan lalu sebelum Giandra menjawab ia suda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status