Satu hari berlalu sejak pertengkaran dengan Celine.Sudah sejak tadi Giandra melihat bolak-balik ke layar gawai hanya demi meyakinkan diri bahwa Celine memang tidak menghubunginya. Tidak ada pesan apalagi panggilan telepon di deret notifikasinya. Yang tidak berhenti dari tadi adalah notifikasi dari grup Anonim. Raia sibuk mengoceh tentang persiapan keberangkatan mereka besok. Berkali-kali gadis itu me-mention memanggil Giandra, namun Giandra tidak peduli. Ada yang lebih penting saat ini melebihi keberangkatan tur mereka. Apa lagi kalau bukan Celine.Alih-alih akan menelepon, mengirim pesan singkat pun tidak.‘Harusnya aku yang marah sama kamu, Lin, bukan kamu.’Semalaman Giandra memikirkan lagi perdebatannya dengan Celine. Merunut kembali kronologi kejadian tersebut beserta kata-kata yang ia ucapkan pada perempuan itu. Giandra mengernyitkan dahi saat mengingat ucapannya pada kalimat terakhir, tepat sesaat sebelum ia pergi meninggalkan apartemen itu. Apartemen yang ia beli untuk Celin
Giandra membanting pintu mobil dengan keras. Ia mengusap mukanya setelah menjatuhkan diri di jok pengemudi. Ini adalah untuk kedua kalinya Giandra merasakan rasa kecewa yang mendalam pada perempuan. Dulu Swabitha, dan sekarang Celine. Hanya saja pada mantannya dulu mungkin ucapan Giandra tidak sekeras seperti yang diucapkannya pada Celine. Giandra menjadi leluasa pada Celine karena perempuan itu adalah istrinya, pasangannya yang sah, perempuan halal miliknya.“Aku paling benci yang namanya pengkhianatan,” gumamnya sambil memukul setir. Dengan sekali sentakan kasar Giandra menyalakan mesin lalu menekan pedal gas dalam-dalam, pergi dari tempat itu.Giandra menyetir tanpa kendali, tidak peduli jika pengguna jalan lain merasa terganggu saat ia mengklakson keras-keras atau pun ketika dirinya menyalip dari kiri. Yang penting emosinya tersalurkan.***Sudah lebih dari setengah jam yang lalu Giandra pergi, tapi hingga detik ini Celine masih duduk melamun. Bukan di kursi ataupun sofa, melain
Lelaki itu melangkah dengan tegap. Sesekali ia menebar senyum saat berpapasan dengan orang-orang yang menyapanya. Entah itu mengenalnya atau pun hanya sekadar berbasa-basi.Langkahnya lalu terhenti tepat di depan sebuah ruangan. Perlahan tangannya memutar gagang pintu, lalu menarik langkah pelan ke dalam. Ruangan itu serba putih. Atmosfir di sekitarnya menguarkan bau yang khas.Laki-laki bersnelli putih itu adalah Agha Ardiya Arnawarma, dokter kandungan yang tadi menangani perempuan yang sedang berbaring tak sadarkan diri di tempat tidur rumah sakit. Orang-orang memanggilnya Agha atau Aga.Sedangkan perempuan yang tengah berbaring itu adalah Celine. Agha tidak tahu bagaimana ceritanya. Semua serba kebetulan. Ada pasien yang pendarahan dan Agha yang menangani. Kejutannya adalah pasien tersebut ternyata Celine, apoteker di tempatnya praktik selain di rumah sakit ini.Agha baru saja akan keluar dari ruangan tersebut ketika tangan Celine terlihat bergerak pelan. Agha menahan langkah, menu
Celine menatap Giandra yang mengunyah nasi gorengnya tanpa selera. Gerakan bibir laki-laki itu teramat lambat dan terlihat berat yang membuat Celine harus bertanya padanya.“Nggak enak ya, Gi?”“Enak kok, tapi mungkin sarapannya yang kepagian, jadinya nggak terlalu selera.”“Tapi tadi katanya laper.”“Iya sih, tapi enak kok.” Lalu Giandra membuat gerakan mulut yang terkesan sangat menikmati makanannya.Celine tersenyum mengamati, lalu tertawa lucu di dalam hati. Menertawai takdir hidup yang dijalaninya. Ia tidak pernah mengira jika pria seumuran adiknyalah yang akan menjadi suaminya. Sama sekali tidak menyangka jika tindakan tanpa pikir panjangnya dulu juga akan berbuntut panjang. Menempatkannya pada posisi yang teramat sulit.“Skripsi kamu udah sampai mana, Gi?” tanya Celine membangun obrolan baru.“Udah bab tiga, kalau lancar aku bisa wisuda tahun ini. Itu makanya aku kejar habis-habisan. Aku harap kamu bisa ngerti.”“Aku ngerti, aku selalu support kamu. Yang terbaik buat kamu ya…”
Giandra dan Raia masih berdiri di sisi pintu ketika beberapa saat kemudian Qey kembali muncul dengan membawa ponsel dan memberikan pada Giandra.“Hpnya aku bawa dulu ya, Qey?””Bawa aja.” Qey mengizinkan.“Thanks, Qey.”Giandra lalu pergi diiringi tatapan Raia yang keheranan lantaran Giandra tidak menuju kamarnya melainkan kembali ke arah lift.”Gian nelfon siapa sih?” tanyanya pada Qey.Qey mengangkat bahu. “Aku juga nggak tahu.”*Giandra mencari tempat yang tenang untuk menelepon. Ia tidak mungkin menelepon Celine di kamar karena ada Max.Satu-satunya yang ia yakini sebagai tempat yang aman untuk menelepon adalah di area lobi.Meskipun sudah larut namun tempat tersebut tidak sepenuhnya sepi. Beberapa orang masih lalu lalang dan ada yang duduk di sana. Namun setidaknya tidak ada dari mereka yang mengenal Giandra.Tanpa membuang waktu Giandra langsung men-dial nomor seluler Celine yang sudah dihafalnya di luar kepala. Panggilan tersebut tersambung tapi tidak dijawab. Ketika waktu kon
Konser malam itu ditutup dengan apik bersama lagu Yellow sebagai tembang penutup. Malam itu band asal London tersebut berhasil memukau penonton dan membuat mereka tidak menyesal merogoh kocek dalam-dalam demi menyaksikan penampilan band favorit mereka yang spektakuler.Giandra dan Raia ikut keluar bersama ribuan penonton lainnya dari stadion. Sialnya Max dan Qey benar-benar menghilang, lenyap bersama lautan manusia.Raia bergelayut manja di lengan Giandra sehingga terpaksa Giandra menggandeng tangannya. Bagi orang-orang yang tidak mengenal mereka mungkin akan menganggap Giandra dan Raia adalah pasangan muda yang sedang berpacaran.“Aduh!” Raia hampir saja terjatuh ketika seseorang menyenggolnya. Untung saja Giandra dengan sigap menyanggah tubuhnya.“Hati-hati, Rai, nggak usah buru-buru.” Giandra mengingatkan.“Aku udah hati-hati tapi dia-nya aja yang nggak ngeliat,” rutuk Raia jengkel.“Sini, pegangan yang kuat.” Giandra merangkul Raia. Rangkulan yang begitu protektif. Jadilah keduany