"Han… Hany… Hany…” Suara itu terdengar lagi, membuat Lady betul-betul menghentikan langkahnya.Dengan hati-hati perempuan itu berjalan mendekat, kembali menghampiri ranjang. Duduk di pinggirnya, Lady bisa mendengar dengan lebih jelas ucapan Rain yang kini sampai ke gendang telinganya.“Han… Hany… aku kangen, kamu kapan pulang?” Ucapan itu begitu nyata dan kentara yang membuat Lady jadi tahu sekarang betapa Rain betul-betul merindukan kekasihnya.”Kamu kangen dia ya? Emang dia ke mana?” Lady memberanikan diri bertanya.Tidak ada sahutan apa-apa. Lady tidak pernah tahu apa jawabannya karena Rain kembali tertidur.Tangan Lady sudah bergerak untuk membelai kepala Rain. Namun urung terjadi dan hanya menggantung di udara. Ia tarik kembali tangannya, khawatir jika tiba-tiba saja Rain terbangun dan berpikiran macam-macam padanya.Setelah berpikir cukup lama, Lady memutuskan untuk meninggalkan kamar Rain dan membiarkan lelaki itu tidur sendiri. Biarlah. Paling kalau dia bangun dan butuh apa-ap
Setelah menyesap tehnya sampai habis, Lady meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamarnya untuk mengambil tas. Kamarnya bersisian dengan kamar Rain. Maka apa pun aktivitas laki-laki itu akan terdengar dari sana.Keluar dari kamar dengan tas tersampir di bahu, Lady melangkah pelan. Merasa penasaran tentang suara benda pecah tadi, ia berbalik memutar tubuhnya dan berhenti tepat di depan kamar Rain.“Rain!” Tangannya mengetuk pintu kamar yang tertutup.Tanpa Lady duga ia tidak perlu memanggil dua kali karena Rain segera membuka pintu.”Rain, tadi aku denger ada suara benda pecah. Ada yang pecah ya?” tanyanya hati-hati, khawatir jika laki-laki itu akan meledak lagi.”Lo beresin itu sekarang,” tunjuk Rain ke arah dalam dengan nada datar.Lady melongokkan kepala dan melihat pecahan kaca di lantai. Begitu tatapan ia alihkan ke nakas Lady tidak melihat piring berisi roti dan gelas air kelapa yang tadi. Fix, pecahan kaca di lantai berasal dari piring serta gelas yang tadi utuh di nakas.”Kok m
”Rain, sorry, aku nggak bisa pulang, aku kan lagi kerja. Tolong kamu beli aja dulu ya. Atau biar aku yang pesenin, gimana?”“Kan udah gue bilang nggak mau. Maunya lo yang masak, ngerti nggak sih?”“Aku ngerti, ngerti banget malah, tapi kamu harus ngerti aku juga dong.””Lad, lo lupa kalau lo seorang istri? Lo lupa kalau nyokap minta lo buat ngurus gue dengan baik?”“Aku inget dan nggak akan pernah lupa. Tapi kamu juga harus ngertiin aku, Rain.””Oh, jadi gitu? Ya udah, gue tinggal bilang sama nyokap kalau lo nggak melayani gue dengan baik. Bahkan tugas yang paling dasar juga nggak lo lakuin.”“Nggak perlu sampai melibatkan Bunda segala, aku pulang sekarang.”Klik. Lady tidak tahu kalau saat ini Rain sedang tersenyum puas. Lelaki itu baru saja berpikir bagaimana cara agar Lady tidak betah dengannya dan syukur-syukur minta cerai. Kalau sudah cerai nanti hidupnya akan bebas seperti dulu. Ia tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kanayya. Toh, ia sudah mencoba dan jangan salahkan dirinya
Di dalam kamarnya Lady bersandar di belakang pintu. Ia mendengar dengan jelas semua kata-kata Rain, termasuk nada kekesalan dari suara laki-laki itu. Lady membiarkan saja. Tidak peduli Rain mencak-mencak di luar sana.Lady lebih memilih membaringkan badannya di kasur. Waktunya hanya sedikit karena sebentar lagi harus berangkat kuliah. Melelahkan, pikirnya. Tapi demi masa depan ia harus mengabaikan semua rasa itu. Toh selama ini hari-harinya jauh lebih melelahkan.Hanya sepuluh menit saja waktu yang dibutuhkan Lady untuk beristirahat karena setelahnya ia harus pergi.“Mau ke mana lagi lo?” tanya Rain begitu Lady keluar dari kamar dan bersiap-siap untuk berangkat.“Kuliah.” Lady menyahut singkat. Tidak ingin bertanya apa, kenapa dan bagaimana mengenai kejadian tadi siang.“Kapan sih lo wisudanya? Perasaan dari dulu lo kuliah mulu.”Lady mengernyit keheranan dan menatap pria di hadapannya lebih lekat. “Perasaan? Kamu ngomongnya kayak yang udah kenal lama sama aku dan tahu aku banget. La
“Ternyata di belakang gue kayak gini kelakuan lo.””Kayak gini gimana?” Lady merasa terganggu oleh kata-kata Rain yang sungguh sangat tidak enak didengar sehingga dia harus menoleh ke arah laki-laki itu.”Kalau tadi gue nggak muncul lo mau ke mana sama dia?” tanya Rain curiga. Sejenak melepaskan pandangan dari jalanan di hadapannya untuk melihat ke arah perempuan di sebelahnya.“Kan mau pulang.””Bohong,” tuding Rain tidak percaya.”Jadi menurutmu mau ke mana?” Lady balas menantang Rain.“Mana gue tahu. Mungkin aja lo check in di hotel.””Astaga, Rain, kamu tega banget nuduh aku kayak gitu.”Sebrengsek-brengseknya Rain namun Lady tidak menduga jika lelaki itu akan tega menudingnya sehina itu.Rain mendengkus. “Jangan sok suci lo. Lupa dulu pernah kerja di mana?”“Jadi pikiran kamu ternyata sepicik itu?””Gue nggak picik. Tapi gue bicara berdasarkan bukti. Kalau tadi gue nggak muncul lo pasti udah kelayapan sama dia.”Lady memilih diam dan berhenti membela diri. Tidak ada gunanya dan h
“Indonesia panas ya?” keluh perempuan itu sembari menyalakan pendingin udara di kamarnya. Disusul dengan merebahkan badan ke pembaringan yang empuk. Penerbangan panjang lebih dari dua belas jam membuatnya bener-benar lelah tapi happy.Semestinya perempuan itu masih belum akan kembali ke Indonesia. Hanya saja ia ingin memberi kejutan pada kekasihnya yang setengah mati ia rindukan.”Gimana Maldives?” tanya Zee yang baru saja masuk ke kamarnya.”Menyenangkan. Aku jadi males pulang. Aku kepikiran buat diriin resort di sana. Aku pikir prospeknya pasti bagus,” jawab Sydney, perempuan yang baru saja pulang dari Maldives setelah hampir dua minggu berada di sana.”Boleh juga, Papi pasti setuju. Ntar deh aku lobi Papi.”Percakapan antara Zee dan Sydney yang awalnya membahas prospek usaha resort di Maldives, kemudian bergeser. Wajah Zee berubah tegang ketika Sydney mulai menanyakan Rain.”Zee, selama aku pergi kamu pernah ketemu sama Rain?””Ehm, nggak tuh.” Zee berbohong. Di saat yang sama ia m
Dengan panik Sydney merogoh tas mencari ponsel. Satu-satunya yang sangat ingin ia lakukan saat ini adalah menelepon Rain dan meminta penjelasan dari laki-laki itu.”Cepetan jawab telepon aku, Rain!!!” teriak Sydney tidak dapat lagi menahan emosinya.“Mbak, jangan teriak-teriak di sini, nanti tetangga bisa denger, nggak enak.” Dengan kalemnya Lady mengingatkan.“Diam lo!” sergah Sydney, sementara ponsel semakin erat menempel di telinganya.Tidak ingin memperpanjang pertengkaran dan membuat Sydney semakin emosi, Lady membungkam mulut. Namun matanya tidak beranjak dari muka perempuan itu, mengawasinya.”Duh, Rain, kamu ke mana aja sih? Angkat telfonnya please!” Sydney yang kehilangan kesabaran lantaran Rain tidak menjawab panggilannya mondar-mandir di apartemen Rain dengan ponsel tetap menempel di telinga. Kenapa justru di saat begini Rain malah susah dihubungi?“Rain ke mana?” sergahnya pada Lady.Lady tersenyum kalem sembari mengedikkan bahu.“Katanya lo istrinya, kok nggak tahu?”“Say
Rain membawa Sydney pergi dari apartemennya. Tidak tahu ke mana. Tapi yang jelas jauh dari sana.“Han, kamu udah makan? Kita makan dulu ya, aku laper nih.” Rain mengusap perut dengan sebelah tangan untuk menguatkan pernyataannya.”Aku udah kenyang, aku nggak mau makan. Lagian kamu dari tadi kenapa sih ngomongnya muter-muter?””Muter-muter gimana, Han?”“Kamu nggak jawab pertanyaan aku, malah ngelantur ke mana-mana. Aku cuma pengen klarifikasi dari kamu. Yang dibilang cewek halu tadi nggak bener kan? Dia bohong kan? Lagian kenapa dia bisa ada di apartemen kamu? Dia jadi pembantu di sana? Disuruh bunda kamu lagi?”Rain berdeham menjernihkan tenggorokannya yang keruh. Sementara matanya aktif mencari tempat bicara yang tepat dengan Sydney.”Bae, ngomong dong, jangan diam aja!” Sydney yang tidak sabar mengguncang-guncang lengan Rain agar segera bicara. Membuat lelaki itu menepi di pinggir jalan.“Ngapain kita di sini?” tanya Sydney sambil menganalisa situasi di sekitarnya.“Katanya mau ngo
Alana mencoba menghiraukan keberadaan Ale dan Zee. Ia menganggap keduanya tidak ada di sana. Alana mengembalikan atensinya yang tadi terbagi pada buku di tangannya. Alana membangun konsentrasinya dengan susah payah dan mengabaikan siapa pun yang berada di sana. Nyatanya tidaklah semudah itu. Kehadiran Ale dan Zee yang terus tertangkap oleh ruang matanya tidak hanya mengganggu pikiran, tapi juga hatinya.Apa sebaiknya ia pulang saja dan menyingkir dari sini? Dari pada matanya tercemar dan hatinya bertambah perih. Sebaiknya begitu kan? Pergi dan melipir diam-diam.Setelah menimbang-nimbang selama beberapa menit Alana memutuskan untuk pergi daripada sakit sendiri menyaksikan kebersamaan sepasang sejoli tersebut.Lalu Alana memasukkan buku dan ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja ke dalam tasnya. Bangkit dari duduk dengan perlahan, Alana menarik langkah pelan. Ia berjalan dengan sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan suara apa pun yang akan menarik perhatian orang-orang agar ter
Ale dan Zee baru saja meninggalkan Nirwana Mall. Mobil yang Ale kendarai bergerak pelan di jalan raya.“Kita ke rumah Rain dulu ya, Zee?””Nggak jadi ke toko Lady?”“Jadi, tapi Rain juga mau ikut ke sana.”“Boleh, kan kamu yang nyetir.” Zee coba bercanda dan pria kharismatik di sebelahnya langsung menebar senyum maut.”Kamu tadi kenapa bisa ada di Nirwana?” Ale tanya begitu karena haram hukumnya buat keluarga Jacob menginjakkan kaki di area milik keluarga Lee.”Kebetulan lewat dan mau ke ATM, ya udah, aku langsung berhenti.””Alesan.”“Kok alesan?”“Pasti lagi nyariin aku. Sengaja kan biar bisa ketemuan?”Zee tak kuasa menahan tawa menanggapi kenarsisan pria di sebelahnya.Ale memandang pada Zee dan tersenyum penuh makna. “Cantik banget.”“Apanya yang cantik?””Bajunya.”Refleks Zee menurunkan pandangan mengamati busananya sendiri. Saat ini ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan bagian ujung baju diselipkan ke dalam rok span berwarna beige yang panjangnya hanya sebatas lutut. Z
Melihat Rain senang dan sebahagia ini Lady juga ikut semringah. Ini baru rencana tapi Rain sudah sebahagia itu, apalagi jika nanti mereka benar-benar memiliki anak.“Lad, kayak yang Bunda bilang ke kamu kita kudu usaha, kita harus bakar kalori tiap hari, dari sekarang kita harus atur jadwalnya, Lad, kalau perlu tiga kali sehari kayak minum obat,” ucap Rain bersemangat.”Itu sih modus kamu aja kalii…” Lady tertawa sembari mencubit kecil lengan sang suami.“Modus untuk kebaikan apa salahnya?” Rain berkilah dan membalas cubitan Lady di tangannya dengan kecupan di pipi perempuan itu”Dasar kamu tuh ya, paling pinter kalau cari alasan.”Rain menarik Lady ke dekapannya saat istrinya itu berniat untuk pergi. ”Mau ke mana, Lad?”“Ya ke toko dong, mau ke mana lagi memangnya?”“Nggak bisa kamu di rumah aja? Temenin aku, Lad…” Rain memeluk Lady, berbisik di telinganya lalu menggigitnya pelan yang membuat Lady jadi meremang.“Aku kan harus kerja, Rain…,” kata Lady menolak.“Kamu kan owner, ngapai
Surat perjanjian kesepakatan itu akhirnya ditandatangani oleh kedua belah pihak. Keluarga Jacob akhirnya menyetujui meskipun awalnya keberatan dengan beberapa poin perjanjian yang dirasa memberatkan mereka. Namun, Wisnu serta Reno sebagai kuasa hukum berhasil mengatasinya.Rain dan ketiga perempuan tersayangnya pulang setelah semua tuntas. Namun sebelum itu Wisnu sempat berbisik padanya menanyakan Camry yang Rain janjikan. Pria itu sepertinya khawatir jika kliennya sampai ingkar."Pak Wisnu tenang saja, besok Bapak bisa ambil mobilnya. Kalau sekarang saya capek, Pak." Begitu jawaban Rain tadi. Syukurlah sang pengacara mau mengerti dan tidak mendesak.Mereka pulang ke rumah dengan kepala yang jauh lebih ringan. Satu masalah sudah terselesaikan. Rain harap setelah ini tidak ada masalah lain yang memberati kepalanya."Lad, kayaknya aku butuh distraksi." Rain memeluk Lady yang sedang mengganti baju dari belakang. Mereka baru saja tiba di rumah dan sekarang sedang berada di kamar.Lady mem
Mereka masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu dengan didampingi kuasa hukum masing-masing.“Maaf, kalau kami terlambat,” kata Wisnu membuka percakapan.“Tidak sama sekali.” Reno yang menjawab. Keduanya sama-sama melempar senyum hangat.Wisnu kemudian menyapa keluarga Jacob satu per satu. “Gimana kabarnya, Pak Jacob? Sehat?”Jacob menganggukkan kepala sambil tersenyum berwibawa.“Bu Jasmine sehat juga kan? Arisan lancar, Bu?”“Lancar, Pak. Bisa kita mulai sekarang?” Perempuan itu sudah kehabisan kesabarannya.“Tentu saja bisa, Bu. Tapi sebelum dimulai dan saya membacakan isi kesepakatan, sebaiknya Sydney juga hadir di sini.”“Sebentar.” Jasmine lalu beranjak dari sana untuk kemudian memanggil anaknya di kamar.Selagi menunggu, Wisnu dan Reno saling mendekat dan berbicara dengan suara separuh berbisik mengenai kesepakatan mereka.Selang beberapa menit kemudian Jasmine kembali muncul beserta Sydney serta perawat pribadi. Sementara yang lain duduk di sofa, Sydney duduk sendiri di ku
Sudah berbatang-batang rokok Rain isap. Puntungnya juga hampir menggunung memenuhi asbak. Sementara Wisnu sedang berbicara dengan Kanayya di dalam rumah.Rain menggeleng-gelengkan kepalanya nyaris putus asa kala menyadari saat ini sedang berhadapan dengan siapa. Mau tidak mau Rain mulai menyadari kebenaran perkataan Wisnu bahwa untuk menghadapi orang seperti Jacob dibutuhkan intrik yang cerdik.‘Tuhan… bantuin gue dong…’ Ia berteriak di dalam hati. Di saat itu Rain baru menyadari bahwa mungkin seseorang bisa membantunya. Ale. Jika selama ini sahabatnya itu selalu ada untuknya maka kali ini pasti Ale bisa menolong.”Nyet, bantuin gue,” ucap Rain ketika panggilan terhubung dengan Ale melalui saluran telepon.“Gue harus bantu apa? Kalau gue bisa pasti akan gue lakuin.” Ale menjawab dari seberang sana.“Gue udah bikin perjanjian sama bokapnya Sydney, tapi masa iya sih semua poinnya merugikan gue.” Rain kemudian menceritakan secara detail apa saja isi kesepakatan itu termasuk menyebutkan
“Gimana, Mas Rain? Apa sudah cukup jelas? Apa masih ada yang ingin ditanyakan?” tanya Reno, pengacara keluarga Jacob setelah sekian menit Rain masih termangu.“Saya nggak bisa tandatangani surat ini sekarang, Pak.” Rain menjawab sembari memandang lurus ke arah sang kuasa hukum.Seluruh keluarga Sydney terkejut mendengar penolakan Rain.“Kenapa? Apa ada yang kurang jelas? Saya bisa terangkan kalau Mas Rain masih kurang mengerti.”“Saya mengerti apa maksud dan tujuannya. Tapi saya nggak setuju pada beberapa poin di dalam surat perjanjian ini.” Rain menyatakan keberatan.“Bagian mana yang Mas Rain tidak setuju? Mungkin kita bisa bicarakan sama-sama.” Reno terus berusaha membujuk Rain. Sebagai kuasa hukum tentunya pria itu piawai bersilat lidah dan andal bernegosiasi.”Hampir semua bagian saya tidak setuju, terutama poin nomor dua, lima dan enam. Untuk apa konferensi pers? Apa kalian ingin membuat saya malu? Kalian ingin orang-orang jadi tahu, begitu tujuan kalian?”“Mas Rain, tolong jang
Jasmine sontak memandang pada Rain dengan tatapan curiga. Untuk apa laki-laki itu hanya meminta berdua saja dengan anaknya di dalam ruangan? Jangan-jangan Rain akan mencelakakan Sydney. Pikiran buruk perempuan itu semakin liar berputar di kepalanya."Kenapa kami harus keluar? Kamu mau apa?" Jasmine memandang miring pada Rain."Saya mau bicara dengan anak Tante.""Tapi kenapa harus berdua? Memangnya apa yang mau dibicarakan?""Tentang solusi masalah ini. Apa Tante nggak ngerti juga? Nanti kalau saya sudah selesai bicara dengan Sydney, Tante dan semuanya boleh masuk. Tapi sekarang tolong kasih saya waktu untuk bicara berdua." Suara tegas Rain kembali membahana.Kemudian Jasmine memandang pada suaminya meminta pertimbangan. Lelaki itu mengerti dan lekas angkat suara. "Kalau kamu memang mau membicarakan solusinya kenapa hanya berdua? Kenapa kami tidak boleh berada di sini?""Om tenang saja, saya hanya minta waktu sebentar. Saya nggak akan mencelakai Sydney kalau memang hal itu yang ada d
Sukar dijabarkan dengan kata-kata bagaimana terkejutnya Kanayya setelah mendengarkan penuturan Jacob padanya. Pikirannya masih sibuk mencerna beberapa menit setelah panggilan dari laki-laki itu berakhir. Hingga kemudian ia tersadar lantas bergerak keluar dari kamarnya.“Rain, ini Bunda!” Kanayya berseru seraya memanggil nama sang putra. Ia merasakan getaran dari suaranya sendiri.Selang beberapa detik setelahnya daun pintu pun terbuka bersama dengan sosok Lady yang kini berdiri tegak di hadapannya.”Iya, Nda?””Rain mana, Dy?” kejar Kanayya cepat.”Lagi pasang baju, baru siap mandi.”“Kalau sudah selesai langsung temui Bunda.”“Baik, Nda.”Kanayya meninggalkan kamar anaknya sedangkan Lady menutup pintu dan menghampiri Rain yang sedang berpakaian.“Rain, tadi Bunda yang manggil, kalau udah selesai langsung temui.” Lady memberitahu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Kanayya tadi.“Bunda mau ngomong apa, Lad?”“Aku juga nggak tahu, tapi dari yang aku lihat di mukanya Bunda kayak yan