Oooh I love that dressBut you won't need it anymoreNo you won't need it no moreLet's just kiss 'til we're naked, baby…Lantunan remix suara Bruno Mars mengiringi tarian erotis yang dipertontonkan malam itu di Romantic.Rain adalah satu dari sekian banyak orang yang menikmatinya. Kepalanya ikut bergoyang sedang di tangannya menggenggam gelas minuman yang sejak tadi ditenggaknya.“Gila lo, malam pertama harusnya lo tuh di kamar lagi bikin anak, bukannya di sini,” komentar Gavy, teman minumnya malam itu.”Anak? Apa tuh anak? Hahaha…” Rain tertawa lepas. Aroma alkohol yang kuat menguar dengan jelas dari mulutnya.“Lha, dia mabok,” gumam Gavy menyadari Rain yang sudah hangover. “Rain, lo jangan mabok di sini, jangan nyusahin gue.” Gavy melirik kanan kiri mencari-cari orang yang sekiranya mereka kenal. Tapi tidak ada siapa-siapa. “Sialan, ntar gue lagi yang anter lo balik,” umpatnya jengkel.Rain yang sudah teler menjatuhkan kepalanya ke sandaran tempat duduknya. Pria itu lantas mulai me
"Han… Hany… Hany…” Suara itu terdengar lagi, membuat Lady betul-betul menghentikan langkahnya.Dengan hati-hati perempuan itu berjalan mendekat, kembali menghampiri ranjang. Duduk di pinggirnya, Lady bisa mendengar dengan lebih jelas ucapan Rain yang kini sampai ke gendang telinganya.“Han… Hany… aku kangen, kamu kapan pulang?” Ucapan itu begitu nyata dan kentara yang membuat Lady jadi tahu sekarang betapa Rain betul-betul merindukan kekasihnya.”Kamu kangen dia ya? Emang dia ke mana?” Lady memberanikan diri bertanya.Tidak ada sahutan apa-apa. Lady tidak pernah tahu apa jawabannya karena Rain kembali tertidur.Tangan Lady sudah bergerak untuk membelai kepala Rain. Namun urung terjadi dan hanya menggantung di udara. Ia tarik kembali tangannya, khawatir jika tiba-tiba saja Rain terbangun dan berpikiran macam-macam padanya.Setelah berpikir cukup lama, Lady memutuskan untuk meninggalkan kamar Rain dan membiarkan lelaki itu tidur sendiri. Biarlah. Paling kalau dia bangun dan butuh apa-ap
Setelah menyesap tehnya sampai habis, Lady meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamarnya untuk mengambil tas. Kamarnya bersisian dengan kamar Rain. Maka apa pun aktivitas laki-laki itu akan terdengar dari sana.Keluar dari kamar dengan tas tersampir di bahu, Lady melangkah pelan. Merasa penasaran tentang suara benda pecah tadi, ia berbalik memutar tubuhnya dan berhenti tepat di depan kamar Rain.“Rain!” Tangannya mengetuk pintu kamar yang tertutup.Tanpa Lady duga ia tidak perlu memanggil dua kali karena Rain segera membuka pintu.”Rain, tadi aku denger ada suara benda pecah. Ada yang pecah ya?” tanyanya hati-hati, khawatir jika laki-laki itu akan meledak lagi.”Lo beresin itu sekarang,” tunjuk Rain ke arah dalam dengan nada datar.Lady melongokkan kepala dan melihat pecahan kaca di lantai. Begitu tatapan ia alihkan ke nakas Lady tidak melihat piring berisi roti dan gelas air kelapa yang tadi. Fix, pecahan kaca di lantai berasal dari piring serta gelas yang tadi utuh di nakas.”Kok m
”Rain, sorry, aku nggak bisa pulang, aku kan lagi kerja. Tolong kamu beli aja dulu ya. Atau biar aku yang pesenin, gimana?”“Kan udah gue bilang nggak mau. Maunya lo yang masak, ngerti nggak sih?”“Aku ngerti, ngerti banget malah, tapi kamu harus ngerti aku juga dong.””Lad, lo lupa kalau lo seorang istri? Lo lupa kalau nyokap minta lo buat ngurus gue dengan baik?”“Aku inget dan nggak akan pernah lupa. Tapi kamu juga harus ngertiin aku, Rain.””Oh, jadi gitu? Ya udah, gue tinggal bilang sama nyokap kalau lo nggak melayani gue dengan baik. Bahkan tugas yang paling dasar juga nggak lo lakuin.”“Nggak perlu sampai melibatkan Bunda segala, aku pulang sekarang.”Klik. Lady tidak tahu kalau saat ini Rain sedang tersenyum puas. Lelaki itu baru saja berpikir bagaimana cara agar Lady tidak betah dengannya dan syukur-syukur minta cerai. Kalau sudah cerai nanti hidupnya akan bebas seperti dulu. Ia tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kanayya. Toh, ia sudah mencoba dan jangan salahkan dirinya
Di dalam kamarnya Lady bersandar di belakang pintu. Ia mendengar dengan jelas semua kata-kata Rain, termasuk nada kekesalan dari suara laki-laki itu. Lady membiarkan saja. Tidak peduli Rain mencak-mencak di luar sana.Lady lebih memilih membaringkan badannya di kasur. Waktunya hanya sedikit karena sebentar lagi harus berangkat kuliah. Melelahkan, pikirnya. Tapi demi masa depan ia harus mengabaikan semua rasa itu. Toh selama ini hari-harinya jauh lebih melelahkan.Hanya sepuluh menit saja waktu yang dibutuhkan Lady untuk beristirahat karena setelahnya ia harus pergi.“Mau ke mana lagi lo?” tanya Rain begitu Lady keluar dari kamar dan bersiap-siap untuk berangkat.“Kuliah.” Lady menyahut singkat. Tidak ingin bertanya apa, kenapa dan bagaimana mengenai kejadian tadi siang.“Kapan sih lo wisudanya? Perasaan dari dulu lo kuliah mulu.”Lady mengernyit keheranan dan menatap pria di hadapannya lebih lekat. “Perasaan? Kamu ngomongnya kayak yang udah kenal lama sama aku dan tahu aku banget. La
“Ternyata di belakang gue kayak gini kelakuan lo.””Kayak gini gimana?” Lady merasa terganggu oleh kata-kata Rain yang sungguh sangat tidak enak didengar sehingga dia harus menoleh ke arah laki-laki itu.”Kalau tadi gue nggak muncul lo mau ke mana sama dia?” tanya Rain curiga. Sejenak melepaskan pandangan dari jalanan di hadapannya untuk melihat ke arah perempuan di sebelahnya.“Kan mau pulang.””Bohong,” tuding Rain tidak percaya.”Jadi menurutmu mau ke mana?” Lady balas menantang Rain.“Mana gue tahu. Mungkin aja lo check in di hotel.””Astaga, Rain, kamu tega banget nuduh aku kayak gitu.”Sebrengsek-brengseknya Rain namun Lady tidak menduga jika lelaki itu akan tega menudingnya sehina itu.Rain mendengkus. “Jangan sok suci lo. Lupa dulu pernah kerja di mana?”“Jadi pikiran kamu ternyata sepicik itu?””Gue nggak picik. Tapi gue bicara berdasarkan bukti. Kalau tadi gue nggak muncul lo pasti udah kelayapan sama dia.”Lady memilih diam dan berhenti membela diri. Tidak ada gunanya dan h
“Indonesia panas ya?” keluh perempuan itu sembari menyalakan pendingin udara di kamarnya. Disusul dengan merebahkan badan ke pembaringan yang empuk. Penerbangan panjang lebih dari dua belas jam membuatnya bener-benar lelah tapi happy.Semestinya perempuan itu masih belum akan kembali ke Indonesia. Hanya saja ia ingin memberi kejutan pada kekasihnya yang setengah mati ia rindukan.”Gimana Maldives?” tanya Zee yang baru saja masuk ke kamarnya.”Menyenangkan. Aku jadi males pulang. Aku kepikiran buat diriin resort di sana. Aku pikir prospeknya pasti bagus,” jawab Sydney, perempuan yang baru saja pulang dari Maldives setelah hampir dua minggu berada di sana.”Boleh juga, Papi pasti setuju. Ntar deh aku lobi Papi.”Percakapan antara Zee dan Sydney yang awalnya membahas prospek usaha resort di Maldives, kemudian bergeser. Wajah Zee berubah tegang ketika Sydney mulai menanyakan Rain.”Zee, selama aku pergi kamu pernah ketemu sama Rain?””Ehm, nggak tuh.” Zee berbohong. Di saat yang sama ia m
Dengan panik Sydney merogoh tas mencari ponsel. Satu-satunya yang sangat ingin ia lakukan saat ini adalah menelepon Rain dan meminta penjelasan dari laki-laki itu.”Cepetan jawab telepon aku, Rain!!!” teriak Sydney tidak dapat lagi menahan emosinya.“Mbak, jangan teriak-teriak di sini, nanti tetangga bisa denger, nggak enak.” Dengan kalemnya Lady mengingatkan.“Diam lo!” sergah Sydney, sementara ponsel semakin erat menempel di telinganya.Tidak ingin memperpanjang pertengkaran dan membuat Sydney semakin emosi, Lady membungkam mulut. Namun matanya tidak beranjak dari muka perempuan itu, mengawasinya.”Duh, Rain, kamu ke mana aja sih? Angkat telfonnya please!” Sydney yang kehilangan kesabaran lantaran Rain tidak menjawab panggilannya mondar-mandir di apartemen Rain dengan ponsel tetap menempel di telinga. Kenapa justru di saat begini Rain malah susah dihubungi?“Rain ke mana?” sergahnya pada Lady.Lady tersenyum kalem sembari mengedikkan bahu.“Katanya lo istrinya, kok nggak tahu?”“Say
“Kamu mau ke mana?” tanya Kanayya pagi itu pada Rain yang sudah rapi.“Mau ikut Lalad ke toko, Nda.”“Tumben?” “Sekali-sekali aku pikir nggak ada salahnya. Lagian aku juga nggak ada kegiatan di rumah.”Kanayya tidak bertanya lagi. Rain juga tidak mengatakan jika sesungguhnya ia akan bertemu dengan Sydney. Nanti saja. Rain pikir Kanayya tidak perlu tahu urusannya dengan perempuan itu.“Rain, kamu nggak mau ambil job iklan atau apa?” tanya Alana sebelum Rain dan Lady keluar meninggalkan rumah. “Kapan-kapan kali ya, Na, biar masalah ini kelar dulu.”“Bunda setuju. Nanti kamu nggak usah cari manajer baru, biar Lady yang manajerin kamu.” Kanayya menyarankan.Rain memandang pada Lady dan tersenyum lebar. "Boleh juga,” ucapnya. Lalu ia beralih pada Lady, meminta pendapat sang istri. “Kamu mau kan, Lad?”Lady kelihatan bingung. Perempuan itu menggigit bibirnya. “Caranya gimana? Aku nggak punya pengalaman sama sekali.”“Nggak perlu punya pengalaman apa-apa kok, Lad. Kerjaan kamu cuma arrange
“Rain, dibales,” beritahu Lady pada Rain yang sudah naik duluan ke ranjang sedangkan Lady baru saja memakai krim malamnya.“Dia bilang apa?” tanya Rain tanpa membuka mata.“Okay, Bae, besok aku ke sana. I love you.” Lady menyampaikan balasan chat dari Sydney yang baru saja ia baca di handphone Rain.Rain detik itu membuka mata. “Jangan main-main, Lad.” Rain sangka Lady sedang meledeknya dengan kata I love you yang diucapkan Sydney.“Main-main gimana? Nggak percaya nih baca sendiri.” Lady memberikan ponsel di tangannya pada Rain.Lady ternyata tidak bohong. Rain melihat sendiri di gawainya balasan dari Sydney sama persis dengan yang diucapkan Lady.Rain berdecih, lalu setelahnya mematikan ponsel dan meletakkan di nakas.”Nggak kamu bales?” tanya Lady yang kini ikut berbaring di samping Rain di kasur.”Nggak ada yang perlu dibales. Infonya sudah jelas.”“Nggak mau bilang I love you too?” Perempuan itu menggodanya.”Jangan nakal ya, Lad, atau nanti aku–”“Aku apa?” potong Lady kilat.Ra
Malam itu juga Rain meluncur ke apartemen Ale berdua dengan laki-laki itu. Ketika Ale bertanya untuk apa laptop lama tersebut dan apa yang akan mereka cari, Rain masih merahasiakannya. Membuat Ale penasaran setengah mati.“Ayolah, Rain, untuk apa laptop itu?” Ale yang menyetir terus mendesak agar Rain memberitahu.“Nanti lo juga bakal tahu sendiri.” Rain masih bersikukuh merahasiakannya.”Apa bedanya sih nanti sama sekarang?”“Ya bedalah, Nyet. Tapi lo yakin kan kalo laptop itu masih ada?” Sudah sejauh ini akan sia-sia kalau ternyata hasilnya zonk.”Ada kalo nggak dimakan kecoa,” ucap Ale asal.“Garing.”Dengan tidak sabar Rain menarik langkah cepat setelah mereka tiba di Heaven Residence. Gerak-gerik Rain membuat Ale benar-benar penasaran apa sebenarnya yang ingin dicari Rain di laptopnya."Kalo misal nggak ada, gimana?" Ale menyampaikan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi."Jangan macem-macem lo ya!" ujar Rain cemas."Gue nggak macem-macem. Itu kan misalnya.""Pokoknya harus
Rumah besar itu semakin sepi karena semua penghuninya sibuk di kamar masing-masing.Kanayya tidak habis pikir pada ide gila yang disampaikan Jacob tadi siang. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkannya. Kanayya tidak bisa membayangkan apa tanggapan Jasmine jika mengetahui ide tidak waras suaminya.Kanayya menjangkau ponselnya ketika dentingan notifikasi terdengar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Kanayya membacanya pelan-pelan.“Gimana, dokter Kanayya? Apa tawaran saya tadi siang sudah dipikirkan?”-JacobOh, ternyata dia. Kanayya tidak tahu dari mana pria itu mendapatkan nomor ponselnya. Tapi tentu saja bukan hal yang sulit bagi orang semacam Jacob untuk mencari tahu nomor selulernya. Pria itu punya kaki tangan di mana-mana.“Maaf, Pak Jacob, saya tidak bisa.” Kanayya menolak tegas keinginan laki-laki itu.“Anda yakin? Apa Anda sudah pikirkan baik-baik? Saya tahu anda sangat menyayangi Rain dan menantu anda. Tentu anda tidak akan membuat mereka menderita kan?”“Iya,
Jacob tidak serta merta menjawab permintaan Rain. Pria itu tampak berpikir untuk sesaat. Menimbang-nimbang apa yang diinginkan oleh Rain. Bagaimana baik dan buruknya maupun dampak serta resikonya."Papi, aku pikir nggak ada salahnya Papi kasih Rain kesempatan. Masalahnya ini bukanlah segampang yang kita pikir." Zee yang sejak tadi diam saja membaca situasi kini menyampaikan pendapatnya."Mami nggak setuju, jangan terlalu mudah percaya, Pi, Mami khawatir dia akan kabur. Sedikit pun jangan kasih dia kesempatan untuk lolos, jangan kasih dia celah, kasihan anak kita, nanti Sydney yang akan jadi korbannya." Jasmine bersikeras mempertahankan pendapatnya dan terus memengaruhi suaminya."Rain orangnya nggak kayak gitu, Mi, Pi. Dia nggak akan kabur atau lari. Aku udah lama kenal Rain," ujar Zee lagi."Kenal bukan berarti kamu tahu semua tentang dia, Zee!" Jasmine menyergah dengan keras putri bungsunya."Bener, Mi, tapi Rain–""Sudah! Sudah! Mami nggak minta pendapat kamu. Mending kamu diam aja
Rain masih duduk di lantai dengan tubuh lemas. Di sisi kiri dan kanannya ada Lady dan Alana yang mendampingi. Ketiganya sama-sama membisu merenungi takdir hidup sendiri-sendiri.Rain yang baru saja menemukan cinta sejatinya harus diuji lagi dengan cobaan hidup bertubi-tubi. Pun dengan Lady. Ia baru saja akan berbahagia setelah bertahun-tahun hidup menderita. Sedangkan Alana lain lagi ceritanya. Ia mencintai laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada.Apa pun itu, masalah terbesar mereka saat ini adalah Sydney yang terbukti mengandung anak Rain."Rain, ikut Bunda ke ruangan." Tiba-tiba Kanayya melintas di depan mereka.Rain menengadah dan mendapati raut perempuan itu masih sama seperti tadi. Sedih dan kecewa.Rain cepat berdiri dan mendesak Kanayya dengan pertanyaan yang sama yang berulang-ulang ia cetuskan."Nda, itu semua nggak bener kan? Semua salah kan, Nda? Jujur sama aku, Om Jacob kasih uang berapa ratus juta untuk rumah sakit ini? Berapa miliar, Nda?""Hati-hati kalau
Keluarga Rain dan keluarga Sydney sudah tiba di rumah sakit sejak lima belas menit yang lalu. Mereka diminta menunggu untuk beberapa saat. Rain dan Lady duduk berdampingan dengan tangan saling menggenggam seakan sedang berbagi kekuatan satu sama lain. Alana yang semula ragu akhirnya memutuskan untuk ikut ke rumah sakit. Sedangkan keluarga Sydney menunggu di sudut lain.Sydney tak henti-hentinya mencuri pandang ke arah Rain. Tatapannya begitu mendamba. Meski Rain tidak sedetik pun ingin menoleh padanya tapi perempuan itu tak peduli. Rain boleh saja bersikap seperti itu sekarang. Rain boleh benci padanya. Yang diyakini perempuan itu Rain pasti akan kembali ke pelukannya cepat atau pun lambat. Ya.Kanayya menghilang dari sisi mereka untuk mengurus segala sesuatunya. Sedangkan Rain sudah semakin tidak sabar. Satu-satunya yang terlihat paling rileks di antara mereka adalah Sydney. Sekarang sang selebgram begitu asyik memeriksa notifikasi sosial media miliknya dan membalas satu demi satu
Setelah menanti beberapa hari yang benar-benar menguji kesabaran dan ketahanan jantung, maka saat itu pun tiba. Saat di mana mereka akan mengetahui hasil tes DNA yang dilakukan tempo hari. Semua diliputi perasaan harap-harap cemas dan mengencangkan doa di hati masing-masing. Semoga hasil tes DNA yang mereka terima nanti adalah hasil yang paling jujur. Hanya dalam hitungan jam maka mereka semua akan mengetahui bagaimana hasilnya. Tiga hari ini adalah hari terpanjang yang pernah mereka lalui. Selama tiga malam ini pula mereka kesulitan untuk memejamkan mata.”Nggak mungkin! Nggak mungkin! Dia bukan anak aku!” Rain berteriak sekuat yang ia bisa. Ia memandang ketakutan pada Sydney yang berdiri di hadapannya sambil menggendong seorang bayi dan tak henti menyodorkan pada Rain. Perempuan itu menyeringai lebar dan tampak mengerikan.”Rain, ini anak kamu, gendong dia, Rain, ini darah daging kamu.”“Bukan! Dia bukan anakku! Pergi kalian!” Rain kembali berteriak ketakutan. Ia berlari sekencang
Lady tiba di rumah tepat lima menit sebelum pukul tujuh malam. Lady langsung masuk ke kamar. Ia disambut oleh dekapan hangat Rain yang terasa begitu lekat di badannya.“Kenapa baru pulang jam segini, Lad? Aku chat kamu tapi pending, aku telfon tapi nggak aktif.””Hp aku mati, tadi low bat.”“Kan udah aku kasih tau bawa power bank ke mana pun kamu pergi. Kalau perlu dikantongin.””Sorry, Rain, aku lupa.”Embusan napas Rain menerpa pipi Lady. Sementara dekapannya melingkar semakin erat. Rain memang paling suka memeluk Lady dari belakang dan menopangkan dagu di pundak perempuan itu.”Hmm… lain kali jangan sampai lupa lagi ya. Aku kan susah mau ngehubungin kamu.”“Ya,” jawab Lady datar.Mengetahui Lady yang berbeda dari biasanya, Rain membalikkan badan perempuan itu agar mengarah padanya. Rain menemukan muka Lady yang lesu. Rain tahu pasti penyebabnya adalah karena memikirkan masalah Sydney.Rain menggandeng Lady, menuntunnya menuju kaca besar setinggi orang dewasa di kamar mereka. Ia kem