Giandra menghempaskan badannya di atas sofa ketika tiba di apartemen Celine. Celine meninggalkannya di sana selama beberapa menit dan kembali muncul dengan membawa soft drink dingin serta setoples cookies.“Baby tadi mana?” tanya Giandra sembari membuka kaleng soft drink dan menyesapnya pelan-pelan.“Lagi dimandiin Chelsea,” jawab Celine.Setelah Ririn meninggal, maka Chelsealah yang meneruskan usaha butiknya. Jika Chelsea tidak ke butik maka pada hari itu Celine menitipkan anaknya pada sang adik. Dan jika Chelsea berhalangan maka Baby akan berada di rumah Giandra. Ketika keduanya sama-sama berhalangan maka Celine akan membawanya ke apotik.”Jadi gimana, Gi?” tanya Celine menyambung obrolan mereka tadi pada Giandra.”Aku setuju, kapan kita ketemu dia?”“Besok gimana?”“Nggak bisa malam ini aja?” ”Kamu nggak capek memangnya?””Bodoh amat, yang penting urusan kita selesai dulu.” Giandra tidak peduli meskipun hari ini tubuhnya terasa sangat lelah, karena pikirannya jauh lebih lelah.”Ak
Perempuan itu menggeleng-geleng tak percaya pada jawaban laki-laki muda di hadapannya. Ia juga tidak terima begitu saja. Menurutnya keputusan laki-laki itu terlalu ringan, mentah, dan tidak dipikirkan baik-baik.Matanya kemudian pindah pada anak dalam pangkuan laki-laki itu. Rasanya ia merasa tersaingi oleh anak tersebut.Raia tidak paham apa dan bagaimana mungkin Giandra mempertaruhkan karir cemerlang yang selama bertahun-tahun mereka bangun hanya karena seorang anak perempuan kecil yang belum beberapa lama ini berada di muka bumi."Aku udah nggak ngerti apa yang ada di pikiranmu, Gi. Bisa-bisanya kamu memutuskan dalam sesingkat ini untuk keluar dari band kita.""Aku udah pikirin dari lama sebenarnya. Tapi baru sekarang aku bisa sampein.""Anonim nggak ada artinya tanpa kamu, Gi. Kalau kamu keluar aku juga bakal cabut.""Terserah kamu, Rai."Tadinya Raia pikir jika Giandra akan terpengaruh dan mengurungkan niatnya setelah ia mengatakan hal tersebut, ternyata dugaannya salah. Giandra
“Papa!!!”Giandra tersenyum lebar kemudian membungkukkan badan, mengangkat tubuh mungil Baby ke dalam gendongannya.“Papa bawa apa?” Mata bulat anak perempuan itu melirik tangan Giandra yang menjinjing kantong berisi makanan.“Papa bawa es krim, Baby mau?””Mauuu!!!” Anak itu berteriak senang dalam dekapan Giandra.Giandra menurunkan Baby dari gendongannya dan membuka isi kantong makanan, kemudian mengeluarkannya satu demi satu.Baby langsung mengambil es krim.“Bisa bukanya? Atau mau Papa bukain?”“Bisa, Pa. Biar aku yang buka sendiri.”Giandra tersenyum haru kala melihat Baby membuka bungkus es krim dengan giginya lantas menyeruputnya tidak sabar.Tanpa terasa saat ini Baby sudah berumur tiga tahun. Anaknya itu bertransformasi menjadi anak perempuan yang manis, imut, cerdas, serta menggemaskan.Namun kemudian perasaannya berubah sedih ketika ingat sampai detik ini hubungannya dengan Celine berjalan tanpa komitmen. Mereka berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing. Keduanya sepak
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu. Giandra lebih banyak diam merenungkan semua yang telah terjadi. Kedua orang tuanya tidak terlalu banyak berkata padanya karena ingin memberi Giandra waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Namun bagaimanapun Giandra tetap tidak bisa tenang. Baginya dunia seperti sudah berakhir begitu mengetahui jalan mereka untuk kembali begitu terjal.Giandra tidak terima begitu saja. Ia masih berjuang mencari cara agar dirinya dan Celine bisa bersama lagi.Justru sekarang Celinelah yang merasa tidak enak hati terlalu lama berada di rumah Giandra.Celine sedang mengemasi barang-barangnya ketika Giandra bertanya, “Mau ke mana, Lin?”Celine menghentikan kegiatannya dan memandang pada laki-laki yang berstatus sebagai mantan suaminya. “Aku balik ya?””Tapi kamu kan baru sebentar di sini,” protes Giandra keberatan.”Udah lima hari kan?”“Lima hari kan sebentar. Aku masih mau kamu dan Baby ada di sini.”“Nggak enak kalau aku lama-lama di sini.” Celine berdalih.
Pagi itu Celine sedang memandikan putri kecil mereka. Tidak hanya sendiri tapi ada Giandra juga yang menemani. Giandra mengamati gerak-gerik Celine sejak tadi dan belajar banyak darinya.Setelah semalam Giandra menggantikan tugasnya, pagi ini Celine merasa jauh lebih segar. Justru Giandralah yang terkantuk-kantuk akibat kurang tidur. Namun semua terbayar saat ia melihat keceriaan putri kecilnya.“Mau gantian?” tanya Celine menawarkan saat Giandra tidak melepaskan mata dari anak mereka yang berada di atas baby bather dan bergerak-gerak pelan.”Boleh.”Celine menggeser posisinya dan memberikan tempat untuk Giandra. Dengan gerakan kaku Giandra menyabuni anak mereka. Giandra khawatir salah-salah akan membuat bagian tubuh Baby yang masih rentan akan cedera.Celine menahan senyum melihat Giandra dan rasa groginya yang sedemikian kentara.”Santai aja, Gi, nggak usah tegang gitu.””Badannya masih lembut banget, takut dia kenapa-kenapa.””Nggak bakal. Udah bener kok kayak gitu.”Rasa haru men
“Mereka mana? Udah dipanggil?” tanya Ale ketika Alana kembali ke ruang makan hanya sendiri, tanpa Giandra dan Celine.“Kita duluan aja, mereka masih pacaran di luar.” Alana menjawab sambil mengulas senyum lantas duduk di kursi yang bersebelahan dengan sang suami.Ale juga tersenyum penuh pengertian. Giandra dan Celine memang butuh banyak waktu untuk meluruskan segala kesalahpahaman selama ini.“Nanti Kak Celine tidurnya di mana, Ma?” celetuk Xandra tiba-tiba.“Ya di kamar Abang lah, emang di mana lagi?” jawab Sammy menimpali.“Bukan,” bantah Alana.“Jadi di mana, Ma?” tanya Xandra lagi.”Nanti terserah Kak Celine-nya mau tidur di kamar mana. Yang penting bukan di kamar Abang,” kata Ale menegaskan. “Lagian kenapa kalian yang ribet?” sambungnya tertawa.”Pengen tahu aja sih, Pa.””Dasar kepo,” celetuk si bungsu.”Lo yang kepo!” Xandra mendorong kecil kepala Sammy yang duduk makan di sebelahnya.“Sudah, sudah, kalau lagi makan tuh diam, jangan ada suara,” titah Ale menengahi yang sontak