“Apa, Kak? Max ngapain sama orang tuanya di sini?” Qey yang sangat terkejut akhirnya berhasil melontarkan kata-kata.“Mau lamaran,” jawab Brienna.Wajah Qey berubah pucat pasi saat itu juga.Gimana? Max memutuskan Fanny dan kini melamar Brienna? Apa hidup memang sebercanda itu?Tapi bagaimana mungkin Max bisa melamar Brienna? Bukannya tempo hari ia baru saja mengajak Qey menikah yang langsung ditolaknya saat itu juga?Hidup benar-benar sangat absurd dan lucu.Apapun itu, yang harus Qey lakukan adalah menerima takdir ini dengan ikhlas.Qey menciptakan senyum lebar di bibirnya dan merengkuh Brienna ke dalam pelukannya. “Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia,” ucapnya dengan tulus pada sang kakak yang berada di dalam dekapannya. Matanya sontak berkaca-kaca. Qey segera mengusapnya sebelum menjelma menjadi air mata.”Selamat apa?” ucap Brie heran dan saat itu juga melepaskan diri dari dekapan Qey.“Selamat karena waktu yang Kakak tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kalau jodoh nggak akan ke m
Setelah mengobrol singkat dengan Giandra dan Celine, Qey menemui Ryan di ruang tamu. Lelaki itu tersenyum saat Qey datang. Selama beberapa saat matanya terpaku pada Qey. Gadis itu senja ini tampak berbeda. Di mata Ryan Qey terlihat ayu, manis dan menawan.“Maaf, Yan, aku agak lama,” ucap Qey sambil duduk di sebelah laki-laki itu.”Nggak apa-apa, namanya juga cewek.” Ryan tersenyum maklum. “Ya udah yuk kita berangkat sekarang,” ajak Qey tidak ingin berlama-lama lagi.Ryan mengedarkan mata seakan sedang mencari seseorang. “Papa kamu mana, Qey?” tanyanya kemudian. Ryan sangat penasaran seperti apa penampakan papa Qeyzia yang katanya galak. Itulah tadi Ryan bela-belain mampir dengan harapan bertemu calon mertua laki-lakinya.”Papa belum pulang.””Masih lama pulangnya?”Qey lantas melirik ke arah jam tangan. “Aku kurang tahu juga, soalnya Papa jadwalnya nggak pasti. Kadang malam, kadang sore, kadang cuma sampai siang.”Ryan manggut-manggut. Sudah paham dan mengerti semua penjelasan Qey.
Qey sudah mati-matian melupakan Max, tidak berhubungan dengannya dan memutus komunikasi mereka. Tapi keberadaan Fanny yang selama delapan jam dalam sehari bahkan lebih membuat Qey tidak bisa benar-benar melupakan Max. Fanny selalu membicarakan Max, membahas apapun yang selalu berhubungan dengan laki-laki itu. Lalu yang paling teranyar adalah tentang kesehatan Max.Qey benci mengakui jika saat ini ia masih mencemaskan Max terkait penyakitnya.Dari yang Qey dengar dari Fanny, saat ini Max berjuang mati-matian demi kesembuhannya. Max rutin melakukan kemoterapi serta jenis pengobatan lainnya. Bahkan Fanny pernah menemaninya satu kali. Lebih gilanya lagi, Fanny bahkan mengajak Qey untuk melihat Max kemo. Qey sudah tentu menolak. Qey tidak ingin bersentuhan pada apapun yang berhubungan dengan Max. Karena cara terbaik untuk menyembuhkan luka adalah dengan menghindari pusat luka itu sendiri. Lalu hari ini Fanny datang dengan mata bengkak. Qey tahu perempuan itu pasti menangis semalaman. Fa
“Aku balik dulu ya, Qey, ditunggu kabar baiknya.”Akhirnya Raia pergi juga setelah mereka selesai makan siang. Qey pun kembali ke kantornya di lantai sembilan.Yang pertama kali Qey lakukan adalah menuju ruangan sang atasan. Qey tidak ingin menunda lagi. Ia akan menyampaikannya pada Ryan saat ini juga.”Maaf, Pak, apa saya mengganggu?” tanya Qey setelah berdiri tepat di hadapan Ryan.”Tuh kan, Pak lagi.”Qey tersenyum kemudian menjatuhkan dirinya di kursi. “Kan kita lagi di kantor.””Tapi kan kita lagi berdua. Aku nggak perlu mengingatkannya berulang-ulang kan?””Iya sih, tapi takutnya nanti ada yang dengar.””Siapa yang dengar? Nggak bakalan. Nggak ada CCTV khusus di ruangan ini. Lagian nggak ada yang bisa masuk ke sini kalau belum aku izinkan,” ucap Ryan menegaskan kekuasaannya.“Yan, aku ke sini mau ngomong sesuatu.” Qey langsung menyampaikan maksudnya pada laki-laki itu.”Ya silakan, Qey, ada masalah?””Bukan, pekerjaanku lancar-lancar aja. Tapi ini bukan soal itu.”Ryan menyimak
"Sejak kapan cowok lo kenal sama dia, Fan?" Diah mulai dengan interogasinya."Dia siapa, Mbak?" Fanny tanyakan balik."Si cewek gatel yang ngambil posisi gue." Diah memutar bola matanya sebal."Qeyzia maksudnya?""Ck! Males banget nyebut namanya. Jijay."Fanny tersenyum maklum atas reaksi tidak suka Diah pada Qey. "Dia anaknya baik kok, Mbak.""Nggak usah ngebelain dia di depan gue.""Ih, mana ada. Gue nggak ngebela, cuma kasih tahu doang.""Ya udah, jawab pertanyaan gue tadi.""Max kenal sama Qey baru beberapa hari ini, gue yang ngenalin. Kenapa, Mbak?""Kok aneh ya?""Apanya yang aneh?" Fanny mengerutkan dahi."Mereka tuh kayak yang udah akrab. Lo ngerasa nggak?"Fanny menggeleng pelan. "Nggak ah. Mereka bener-bener baru kenal dan belum pernah saling kenal sebelumnya.""Pokoknya lo hati-hati aja. Cewek modelan si Qey tuh typical cewek nggak bener, gatel, kecentilan. Heran gue, boss dikasih apa sama dia." "Udah ah, Mbak, nggak usah negatif thinking gitu." Fanny masih bertahan dengan
Tidak pernah ada dalam sejarah hidup Ryan datang ke kantor pukul tujuh pagi. Malah laki-laki itu sering datang lebih lama dari jam kerja para pegawainya. Tapi di pagi yang ajaib ini ia melakukannya.Pagi-pagi sekali Ryan sudah bangun dan bersiap-siap. Ia dimudahkan dengan beberapa pakaian kerja yang sengaja ditinggalkan di rumah orang tuanya."Ada meeting pagi ini?" tanya Natassa, mamanya Ryan melihat anaknya sudah ready sepagi itu."Nggak, Ma.""Terus?""Lagi pengen aja. Aku mau tahu siapa-siapa aja karyawanku yang paling pagi datang ke kantor.""Tapi dari absensi kan bisa ketahuan.""Iya, Ma, tapi aku pengen ngeliat mereka langsung."Natassa menggeleng heran mendengar alasan Ryan yang terkesan dibuat-buat."Nggak sarapan dulu, Yan?""Nggak, Ma, nanti aja di kantor." Ryan menolak.Ibunya hanya bisa membiarkan dan melihat Ryan memasang sepatu."Ngomong-ngomong soal kemarin Diah kayaknya boleh juga.""Diah mana, Ma?""Diah sekretaris kamu."Ryan terdiam sejenak mencerna perkataan ibuny