Ryan memapah Qey membawanya masuk ke kamar gadis itu dan membaringkannya di tempat tidur.“Kamu kenapa? Kenapa jadi bisa kayak gini?” tanyanya cemas sambil mengamati bentol kemerahan di kulit Qey.“Aku nggak tahu. Tadi aku udah mau tidur tapi mendadak semua berasa gatal,” jawab Qey sambil menggaruk lehernya.Ryan ikut membantu menggaruk bagian tubuh yang dikeluhkan Qey. “Terus, selain gatal apa lagi?”“Nafasku sesak, mual dan pengen muntah,” jelas Qey mengadukan semua rasa yang membuatnya tidak nyaman.Ryan mengerutkan dahinya sembari mencerna penjelasan Qey. “Tadi kita kan makan kebab, apa jangan-jangan kamu ada alergi makanan?” duganya beberapa saat kemudian.“Alergi?” gumam Qey mengulangi kata-kata Ryan sembari memikirkannya. “Bukan alergi makanan sih, tapi ….” Qey lalu ingat sesuatu.“Tapi apa?”“Dulu waktu pertama tinggal di Melbourne aku pernah alergi dingin. Ya, ya, aku baru ingat sekarang, dulu aku juga ngerasa kayak gini. Tapi itu kan udah lama, Yan, udah dua tahunan.”Ryan
“Titip calon istri gue ya. Gue tahu lo pasti bisa dipercaya,” kata Max saat hari itu mengantar Qey ke bandara.“Berat kayaknya tanggung jawab gue,” kekeh Ryan dibebani tugas menjaga calon istri orang.”Kalo lo nggak bisa nggak bakal gue izinin.””Wuih, posesif amat. Tenang Maxwell, Qey aman sama gue.”Ryan memalingkan muka ke arah lain ketika Qey dan Max saling berpelukan sebelum pergi. Kenapa juga ia harus melihat adegan kayak gini?“Nanti kalau udah nyampe sana aku jangan lupa dikabarin,” ujar Max setelah melepas kecupan di kepala Qey.“As soon as possible,” jawab Qey menjanjikan. Lalu pemberitahuan untuk boarding memisahkan keduanya. Dengan berat hati Max melepas Qey pergi.*Walaupun baru berlalu sekitar empat puluh menit setelah lepas landas, sebagin besar penumpang peswat sudah tertidur di tempat duduk masing-masing. ”Nggak ikut tidur juga?” Qey menoleh pada Ryan yang duduk di sebelahnya. Pria itu seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Qey.“Belum ngantuk.” Qey menjawab dan s
Maxwell membantu Qeyzia mengelap mukanya yang basah dengan tisu. Keduanya sama-sama terkejut oleh aksi brutal Fanny tadi.Sayangnya Fanny langsung kabur sebelum Max sempat bertindak.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Max cemas. Saat ini Qey basah kuyup. Sebagian air yang disiram Fanny berhasil masuk ke dalam hidungnya.Qey mengeluarkan air dari dalam hidungnya dengan cara mengembuskannya ke luar. Berkali-kali gadis itu melakukan hal yang sama.“Nggak apa-apa,” jawab Qey sambil tersenyum pahit meyakinkan kalau dirinya baik-baik saja. Qey tidak ingin menyalahkan Fanny. Ia mengerti kenapa Fanny melakukannya. Untung saja ia hanya disiram dengan air mineral, bukan air keras.“Sialan tuh cewek, nggak ada otaknya.” Max mengumpat melampiaskan kekesalannya.“Udahlah, Max, aku nggak apa-apa kok.” Qey tidak ingin memperpanjang masalah. Ia merasa patut menerimanya.Namun Max tidak sepemikiran dengan Qey. Sekarang saja saat ada dirinya Fanny sudah berani berbuat macam-macam pada Qey, apalagi di belakan
Qey berdebat panjang dengan Ryan. Qey memperjuangkan keinginannya untuk berhenti dari sana. Tapi Ryan tak tergoyahkan dan terus mencari cara mempertahankan Qeyzia agar tetap bersamanya.Qey kembali ke ruangannya setelah segala alasan dan argumennya dipatahkan Ryan. Bahkan di ujung harapannya, Ryan seperti mengemis-ngemis pada Qeyzia.”Kalau kamu mau resign, aku akan kasih approval, tapi tolong jangan sekarang. Project kita lagi jalan. Bisa kan nunggu sampai dua bulan lagi?”Qey ingat, ada pekerjaan yang progressnya masih delapan puluh persen dan diperkirakan berakhir sekitar dua bulan lagi.“Aku janji, aku akan izinkan kamu untuk resign setelah semua selesai. Dua bulan nggak lama, Qey,” kata Ryan menegaskan.Merasa bertanggung jawab, Qey akhirnya tergugah. “Dua bulan kan? Nggak lebih?””Iya, dua bulan. Kalau mau lebih itu terserah kamu.” Ada tersenyum terselip di bibir laki-laki itu saat mengucapkannya.Dasar Ryan. Mau tidak mau Qey tetap harus bertahan di sana sampai dua bulan ke dep
“Apa, Kak? Max ngapain sama orang tuanya di sini?” Qey yang sangat terkejut akhirnya berhasil melontarkan kata-kata.“Mau lamaran,” jawab Brienna.Wajah Qey berubah pucat pasi saat itu juga.Gimana? Max memutuskan Fanny dan kini melamar Brienna? Apa hidup memang sebercanda itu?Tapi bagaimana mungkin Max bisa melamar Brienna? Bukannya tempo hari ia baru saja mengajak Qey menikah yang langsung ditolaknya saat itu juga?Hidup benar-benar sangat absurd dan lucu.Apapun itu, yang harus Qey lakukan adalah menerima takdir ini dengan ikhlas.Qey menciptakan senyum lebar di bibirnya dan merengkuh Brienna ke dalam pelukannya. “Selamat ya, Kak, aku ikut bahagia,” ucapnya dengan tulus pada sang kakak yang berada di dalam dekapannya. Matanya sontak berkaca-kaca. Qey segera mengusapnya sebelum menjelma menjadi air mata.”Selamat apa?” ucap Brie heran dan saat itu juga melepaskan diri dari dekapan Qey.“Selamat karena waktu yang Kakak tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kalau jodoh nggak akan ke m
Setelah mengobrol singkat dengan Giandra dan Celine, Qey menemui Ryan di ruang tamu. Lelaki itu tersenyum saat Qey datang. Selama beberapa saat matanya terpaku pada Qey. Gadis itu senja ini tampak berbeda. Di mata Ryan Qey terlihat ayu, manis dan menawan.“Maaf, Yan, aku agak lama,” ucap Qey sambil duduk di sebelah laki-laki itu.”Nggak apa-apa, namanya juga cewek.” Ryan tersenyum maklum. “Ya udah yuk kita berangkat sekarang,” ajak Qey tidak ingin berlama-lama lagi.Ryan mengedarkan mata seakan sedang mencari seseorang. “Papa kamu mana, Qey?” tanyanya kemudian. Ryan sangat penasaran seperti apa penampakan papa Qeyzia yang katanya galak. Itulah tadi Ryan bela-belain mampir dengan harapan bertemu calon mertua laki-lakinya.”Papa belum pulang.””Masih lama pulangnya?”Qey lantas melirik ke arah jam tangan. “Aku kurang tahu juga, soalnya Papa jadwalnya nggak pasti. Kadang malam, kadang sore, kadang cuma sampai siang.”Ryan manggut-manggut. Sudah paham dan mengerti semua penjelasan Qey.