Share

NYAWA LAIN DALAM TUBUH ARUNA!

NYAWA LAIN DALAM TUBUH ARUNA!

Tanpa berpikir panjang lagi, Aruna segera bergegas pergi ke poli kandungan setelah pulang dari bekerja. Dia masih tak percaya dan tak terima dengan hasil tespeknya. Aruna sudah mengantri di dalam deretan poli kandungan sendirian. Sengaja Aruna memakai masker agar tak ada seorang pun mengenalinya, apalagi ini adalah rumah sakit milik PT Hadinata Wijaya, Group. Mau tak mau Aruna melakukan pemeriksaan di sana, mengingat ini rumah sakit gratis karena ada asuransi kesehatan.

Para ibu-ibu muda yang datang nampak bersama suaminya masing- masing. Rona bahagia nampak sekali di muka mereka, kecuali wajah Aruna. Dengan langkah kaki gontai, Aruna berjalan menuju ke ruangan pemeriksaan poli kandungan saat namanya sudah dipanggil oleh perawat. Dia menoleh ke arah kanan dan kiri untuk memastikan tak ada seorangpun yang melihatnya. Jantung Aruna berdetak sangat keras, tatkala seorang dokter wanita spesialis kandungan mulai membalurkan jel dingin di atas perut Aruna yang masih rata. Dia berbaring di ranjang pasien dan dokter mulai menggerakkan alat transducer USG. Tak lama sebuah gambar muncul di monitor.

"Ah! Ini dia," kata dokter menunjuk pada monitor di depan Aruna.

"Itu adalah bagian kantung kehamilan, Bu! Melihat dari ukuran kehamilannya kemungkinan kandungan Ibu sudah memasuki tujuh minggu lebih dan ini adalah bakal janinnya. Masih sangat kecil sekali, namun masih normal dengan besarnya sekitar lima cm lebih," ucap dokter wanita itu sangat ramah.

"Saya ha- hamil, Dok?" tanya Aruna dengan nada suara bergetar menahan tangisnya.

"Iya, Bu! Selamat ya," jawab dokternya sambil memerintahkan perawat mengusap jel di perut dan memakaikan baju Aruna.

Sejak mendengar ucapan dokter itu, air mata Aruna langsung meleleh begitu saja sampai membasahi pipi. Perasaannya campur aduk tak bisa di lukiskan dengan kata- kata.

"Dok! Bolehkah saya bertanya?"

Dokter itu menoleh dan menganggukkan kepala. Aruna menarik nafas panjang, mau tak mau ia harus menanyakan langsung pada ahlinya dari pada akan mengganjal di hati selamanya. Dia pun masih tak percaya dengan apa yang menimpanya.

"Dok, apakah berhubungan badan sekali saja bisa hamil?" tanya Aruna lirih menahan malu.

"Bisa dong, Bu. Tidak perlu berhubungan seks berkali-kali untuk bisa hamil. Meskipun baru sekali berhubungan seks tapi kalau terjadi pembuahan antara sel sperma dan telur, kehamilan tetap bisa terjadi. Apalagi jika dilakukan di masa subur, maka dapat meningkatkan risiko terjadinya kehamilan. Selain itu, kemungkinan hamil juga lebih tinggi ketika seorang wanita melakukan hubungan seks tanpa pengaman, seperti kondom. Jadi, walau hanya sekali berhubungan seks, kemungkinan untuk hamil tetap ada," jawab dokter itu.

"Sudah! Tak usah berpikir macam- macam, Bu. Jika suami Ibu nanti tak percaya ajak saja ke dokter, biar nanti di jelaskan. Yang penting sekarang Ibu harus bahagia, karena akan mempengaruhi perkembangan janinnya. Untuk saat ini saya akan meresepkan beberapa antibiotik, vitamin, dan dan asam folat untuk ibu hamil," jelas dokter dengan telaten dan panjang lebar. Aruna hanya terdiam dan menatap dokter itu dengan pandangan yang kosong, semua ucapan itu seakan masuk di telinga kanan dan keluar di telinga kiri.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimanakah nasibku nanti?" batin Aruna dalam hati.

Terlintas keinginan untuk melenyapkan nyawa bayi yang baru saja berukuran kurang lebih sebesar kacang mede itu. Tapi segera Aruna menepisnya, dia merutuki kebodohan dirinya sendiri yang sempat berpikiran untuk jahat.

"Bayi ini tidaklah bersalah! Dia berhak hidup di dunia, haruskah aku memberitahu Pak Dion?" batin Aruna dalam hati.

Dokter segera memberikan resepnya, Aruna sengaja tak menebus resep obatnya. Pikirannya sangat kacau, dia langsung melangkah gontai ke luar rumah sakit. Pandangannya kosong, berjalan sambil memegang tas dan resep dokter yang masih dalam genggamannya. Saat ini Aruna merasa semua kekuatannya hilang seketika saat mendapati kenyataan yang ada. Hidupnya langsung berubah seketika saat mendapati ada nyawa lain di tubuhnya.

Aruna merasa dunia ini begitu kejam padanya. Dia tak tahu lagi harus bagaimana dan meminta pertanggung jawaban siapa atas semua kesalahan dan masalah yang menimpanya. Menuntut Pak Dion jelas pilihan konyol, karena Pak Dion sendiri tak menginginkan terbelenggu dalam ikatan pernikahan. Apalagi dia tak menginginkan seorang anak. Apalagi Aruna takut Dion akan menyuruh menggugurkan kandungan, meskipun tak menginginkan bayi itu, tetapi Aruna tak tega untuk membuang janinnya. Dia sudah terlalu banyak dosa dan tak ingin menambah daftar panjang dosanya dengan membunuh bayinya.

"Apa yang harus aku katakan kepada Bapak dan Ibu di desa," batin Aruna dalam hati.

Dia bingung untuk menjelaskan kepada mereka, mengingat dia adalah satu-satunya harapan keluarganya. Aruna tak ingin menyakiti dan mempermalukan orangtua, tetapi dia juga tak bisa terus menyembunyikan kehamilannya. tanpa Aruna sadari seseorang tengah memperhatikan gerak-geriknya dari parkiran mobil. Aruna tak sadar tadi melepas maskernya, karena syok dengan berita kehamilannya masker itupun tak di pakainya lagi.

"Kenapa dia di sini?" batin lelaki yang mengamati gerak-gerik Aruna itu.

Lelaki itu tak lain adalah Dion. Dion baru saja berkunjung dari rumah sakit tempat Aruna memeriksakan kesehatan itu untuk melakukan meeting karena dia berencana akan memperluas canbangnya. Selain itu rumah sakit ini semua karyawan PT Hadinata Wijaya bisa mendapatkan asuransi kesehatan secara gratis dan ditanggung oleh perusahaan.

Aruna terus berjalan pulang sambil berjalan di trotoar. Sepanjang kaki melangkah di sanalah dia terus merutuki kebodohannya sendiri, dia merenungi bagaimana nasibnya nanti. Lamunanya buyar ketika HP Aruna berdering, terlihat tulisan Ibu di layar Hp. Aruna tertegun, entahlah insting seorang ibu atau apa, ibunya tiba-tiba menelponnya.

"Halo Aruna! Kau di mana, Nak?" tanya suara wanita itu di seberang.

"Halo, Bu! Ini Aruna sedang ada di jalan baru saja berniat untuk pulang ke kost. Kenapa memangnya, Bu? Apakah ada sesuatu yang gawat?" tanya Aruna.

"Ibu hampir saja berangkat ke Jakarta sekarang! Ibu kira kau kenapa-kenapa, karena seharian tak memberikan kabar. Ibu takut kau semaput atau di bawa ke UGD saat bekerja. Apalagi semua temanmu Ibu telpon berkata kau sudah pulang sejak tadi. Apakah kau masih merasa sakit, Nduk? Kemarin kau tak jadi pijat dan kerikan?" cerca Nyi Waluyo, ibu Aruna.

Aruna terdiam tidak menjawab pertanyaan sang Ibu yang meberondong. Rasa khawatir sang Ibu membuatnya sakit hati. Tak terasa air matanya menetes sepanjang jalan. Beberapa orang melihatnya dengan tatapannya aneh, tapi Aruna sudah tak peduli lagi, yang ada di pikirannya sekarang adalah rasa bersalah dan berdosa kepada kedua orang tuanya. Aruna sudah menghancurkan kepercayaan yang diberikan kedua orang tuanya. Janji untuk menjaga diri baik-baik berada di ibukota, nyatanya ternodai juga.

"Aruna! Halo!" panggil ibunya.

"Kamu kenapa? Aruna? Kenapa tak menjawab panggilan ibu? Apakah kau sakit?" tanya ibunya sekali lagi.

"Aruna, kau kenapa, Nduk? Dengarkan Ibu Aruna, jangan memaksa diri melakukan semua nya demi kami. Kalau memang kau sakit parah, pulanglah ke kampung saja, Nduk! Biar Ibu dan Bapak akan merawat dirimu dengan baik bergantian," sambungnya.

"Tidak, Bu! Aruna tak apa- apa," ucap Aruna sambil menahan getar suaranya.

"Katakanlah jika kau memang ada masalah Aruna! Jangan kau pendam sendiri semua masalahmu, memang Bapak dan Ibu di kampung tak bisa membantu, namun setidaknya bagilah bebanmu itu. Bagaimanapun juga sampai detik ini kami adalah kedua orang tuamu! Kami adalah tempatmu kembali, Nduk! Jika kau tak kerasan lagi di Ibukota, maka pulang saja, Ibu dengan tangan terbuka akan menerimamu," jelas Ibu nya.

"Apakah aku harus berkata jujur semua yang sedang menimpaku sekarang? Bagaimana jika kedua orang tuaku syok mendengarnya?" sejuta pertanyaan menyelimuti benak Aruna sendiri.

"Bu, Aruna pulang dulu ya! Nanti sampainya di kos, Aruna akan menelpon balik Ibu," ujar Aruna sambil mematikan teleponnya tanpa menunggu jawaban sang Ibu.

Aruna segera kembali ke kosnya. Dia duduk dan terdiam sambil memandangi balkon kamar yang mengarah ke hiruk pikuk padatnya jalanan Ibu kota. Sekarang pikirannya mengembara, bagaimana nasib jabang bayi yang sedang dikandungnya. Sedangkan dia tak bisa terus menerus membohongi kedua orang tuanya.

"Apa aku akan mengatakan semua ini pada Ibu sekarang ya? Tapi bagaimana jika Ibu menanyakan siapa bapak dari anak ini?" batin Aruna dalam hati sambil mengusap wajahnya kasar.

Sampai malam Aruna terus merenung sampai lupa makan dan semuanya. Dia memutuskan untuk tak menghubungi kedua orang tuanya lagi. Bukan niat hatinya membuat keduanya khawatir, tetapi dia hanya menghindari rentetan pertanyaan dari ibunya. Dia ingin menenangkan diri dulu sambil mencari jalan keluar dan solusi atas hidupnya, apalagi dia sekarang tinggal di ibukota sendiri. Harus mengurus semuanya secara mandiri dengan biaya hidup yang lumayan tinggi.

Pagi ini seperti biasa Aruna akan bersiap bekerja. Wajahnya nampak sembab karena terlalu banyak menangis dan kurang tidur semalam. Dia hanya terus berpikir bayangan suram kelak masa depannya. Bagaimana seorang wanita tanpa suami dan melahirkan seorang bayi, bagaimana jadinya kehidupan Aruna nanti.

Telepon di nakasnya berbunyi, panggilan masuk dari ibunya. Sebenarnya Aruna sangat enggan sekali mengangkat telepon itu. Tetapi dia juga tak ingin membuat kedua orang tuanya bertambah khawatir. Dengan enggan Aruna mengangkatnya.

"Halo, Bu," sapa Aruna.

"Semalam ke mana saja kamu, Nduk? Mengapa tidak menelpon Ibu? Ibu dan Bapak menunggu sampai dini hari," kata Ibu Nyi Waluyo.

"Maafkan Aruna ya, Bu! Semalam Aruna sangat lelah dan tertidur. Sekarang Aruna ingin pergi bekerja dulu, Bu!" ujar Aruna berpamitan kepada ibu nya. Dia tak nyaman jika kelamaan bertelepon dengan sang Ibu.

"Aruna," panggil ibunya.

"Kau sedang tak baik- baik saja kan? Kau menghindari orang tuamu kan?" tebak Nyi Waluyo.

APA JAWABAN YANG AKAN ARUNA KATAKAN?

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status