Share

PERGI DENGAN SEJUTA LUKA DAN DUKA!

PERGI DENGAN SEJUTA LUKA DAN DUKA!

"Aruna," panggil ibunya.

"Kau sedang tak baik- baik saja kan? Kau menghindari Ibu kan?" tebak Nyi Waluyo.

"Bu..."

"Nduk! Dengarkan Ibu ya, sampai kapan kau mau memendam masalahmu sendiri? Apalagi kau anak perempuan dan tinggal di ibukota sendiri. Bukannya apa-apa, Ibu hanya ingin kau cerita jika memang masalahmu berat, Aruna. Ibu takut kau kenapa- kenapa di sana, kau anak kami satu- satunya jauh di sana," ujar Nyi Waluyo di seberang memotong pembicaraan Aruna.

"Bu, beri Aruna waktu menyelesaikan semua ini. Besok Aruna akan mencoba untuk mengajukan cuti ke kantor agar bisa pulang kampung. Aruna rindu Ibu dan Bapak," ujar Aruna

Aruna semalam sudah membulatkan tekad hari ini untuk segera cuti. Entahlah dia akan kembali atau tidak ke Jakarta, semua itu tergantung keputusan orang tuanya nanti. Dia harus menyelesaikan semua tanggungan pekerjaan, agar dia bisa meninggalkan ibukota yang penuh dengan luka, serta mengungkapkan semua kejadian sebenarnya pada orang tua.

"Kau kerja atau di kerjain? Sibuk sekali tanpaknya," ejek Hendi yang melihat Aruna bekerja keras beberapa hari ini sambil mengulurkan segelas kopi susu kesukaan sahabat nya itu.

"Minumlah dulu, lama sekali kita tak minum kopi bersama," perintah hendi sambil duduk di meja kerja Aruna.

"Hendi aku akan mengajukan cuti untuk beberapa hari. Aku sudah menyiapkan semua schedule Pak Dion untuk enam bulan ke depan, aku akan memberikan copy- an untukmu juga. Jadi aku harap kau bisa mengingatkan jadwal meetingnya menggantikan ku sementara waktu," perintah Aruna.

"Mengapa mendadak sekali mengajukan cutinya? Gila kau! Pak Dion tak akan mengizinkanmu," kata Hendi.

"Aku harus pulang ke kampung untuk beberapa urusan. Aku harap kau tak mengatakannya pada Pak Dion dulu, aku sedang mencoba menyelesaikan semua kewajiban dan tanggung jawabku sebelum aku pergi selama enam bulan. Jadi kau memiliki waktu menyeleksi sekertaris baru," pesan Aruna.

"Baiklah kalau begitu! Resiko kau yang tanggung sendiri," sahut Hendi mengambil kopi miliknya, berdiri dan langsung berjalan ke arah ruangan Presdir.

[Mungkin sekitar dua hari lagi, Aruna baru akan bisa pulang, Bu] send. Pesan itu Aruna kirim kepada ibunya. Sesampai di kos, Aruna sudah bersiap untuk packing semua barangnya. Hati kecilnya mengatakan jika dia tak akan kembali lagi. Dia juga berniat meninggalkan selembar surat untuk Presdirnya nanti. Sebuah surat pengunduran diri yang istimewa.

Semalaman dia sudah memikirkan semua ini dengan matang. Awalnya dia hanya berniat untuk mengajukan cuti saja. Tapi semakin dia bertemu dengan Presdirnya itu justru membuat Aruna sakit hati sendiri. Dia juga tak mampu lebih lama lagi menyembunyikan kehamilannya. Apalagi anak ini seakan- akan jijik dengan Presdir.

"Aku akan menyerahkan surat pengunduran diri hari ini," ucap Aruna sudah memikirkan bulat-bulat tekadnya untuk resign saja.

Untuk masalah pakaian dan barang-barangnya akan di paketkan lewat cargo saja, agar mempermudah Aruna pulang kampung. Dia juga sudah berpamitan kepada Ibu kosnya untuk tak memperpanjang sewa kost nya. Aruna beralasan untuk berpindah pekerjaan di kota besarnya saja.

***

Ini adalah hari terakhir Aruna bekerja. Awalnya dia sudah berniat untuk menyisipkan sebuah surat pengunduran diri lengkap surat pribadi yang ditujukan kepada Dion. Namun dia mengurungkan niatnya itu. Aruna hanya menyembunyikannya surat pribadinya di nakas tumpukan berkas milik Dion yang mungkin jarang dibukanya. Tetapi Aruna yakin di situlah tempat teraman entah kapan Dion akan membukanya nanti. Setelah aman, Aruna bekerja seperti biasa sampai sore harinya.

'Tok' Tok' Aruna mencoba mengetuk pintuk ruangan Presdir Dion.

"Masuk!" perintah suara lelaki tegas dan berat, suara khas Dion.

Aruna melangkahkan kakinya perlahan. Merek sekarang saling berhadapan. Jarak mereka mungkin tinggal dua meter lagi. Membuat Aruna dapat menatap dengan jelas sosok lelaki paruh baya yang sangat matang. Usia menginjak hampir kepala empat puluh tiga tahun itu tak lantas membuat pesonanya hilang. Justru membuatnya semakin memancarkan aura yang tak bisa lagi di deskripsikan dengan kata- kata.

"Ada apa?" tanya Dion meletakkan ipad nya.

"Emmm, maaf, Pak! Maaf jika saya mengganggu waktu Bapak. Saya ingin menyerahkan surat pengunduran diri saya, Pak," jawab Aruna dengan sedikit ketakutan sambil mengulurkan surat pengunduran dirinya.

"Apa? Pengunduran diri?" tanya Dion. Aruna menganggukkan kepalanya.

"Hah? Kau gila ya Aruna? Tak bisa! Kau pikir ini perusahaan milik nenek moyangmu! Kau tak bisa berhenti seenaknya!" bentak Dion sambil merobek surat pengunduran diri Aruna.

"Saya ingin resign, Pak!" jawab Aruna tegas sambil menahan mual dengan mata berkaca- kaca.

"TIDAK! SEMUA HARUS SESUAI SOP YANG BERLAKU!" hardik Dion.

"Kau tahu kan Prosedural di sini bagaimana? Jangan berlagak bodoh!" sambungnya.

Aruna hanya diam saja tanpa menjawab sepatah katapun. Dia bersikap seperti itu karena menahan mual yang sudah sampai ubun- ubun. Tak mungkin dia memuntahkannya sekarang.

"Kau tahu pengunduran diri di sini memerlukan pengajuan setidaknya tiga bulan sebelum resign! Kau harusnya tahu itu! Jika kau melanggarnya maka aku akan dengan mudah memblacklist mu dari semua anggota naungan Hadinata dan Wijaya Group di seluruh indonesia!" ancam Dion.

"Saya tetap ingin keluar, Pak!" jawab Aruna terbata- bata.

"Ck! Kepala batu!" tantang Dion.

Dugaan Dion ternyata salah, Aruna tetap pergi. Aruna tak dapat menjawab lagi pertanyaan Dion, dia berlari ke luar ruangan mencari kamar mandi dan muntah sejadinya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun pada Dion. Sedangkan Dion merasa harga dirinya di lecehkan oleh Aruna yang pergi meninggalkannya begitu saja ke kamar mandi dengan muka menahan muntah dan jijik padanya.

"Sialan! Awas saja kau!" kata Dion sambil mengibaskan jasnya.

***

"Selamat tinggal Jakarta! Selamat tinggal Dion Hadinata Wijaya! Mungkin aku akan merindukan kalian suatu saat nanti," kata Aruna melangkahkan kakinya.

Di kantor yang menjulang tinggi itu Aruna pertama kali bekerja setelah menyelesaikan studi sarjana. Di kantor ini juga, Aruna pertama kalih jatuh cinta pada lelaki yang dikenal orang sebagai arogan namun tetap tampan dan mempesona di usia matangnya. Lelaki yang sering di rumorkan dan di gosipkan miring untuk menjatuhkan reputasinya namun selalu bisa menepisnya. Lelaki yang usia nya empat puluh lebih tetapi kharismanya selalu awet muda. Aruna berbalik arah, berjalan gontai ke arah luar gedung tempatnya bekerja.

Mungkin banyak orang bertanya mengapa Aruna memilih diam, pergi membawa sejuta luka. Dia lebih memilih bungkam karena sadar diri, saat mengatakan kepada semua orang di dalam sana, bahwa Dion telah menghamilinya mereka justru akan tertawa dan menganggapnya gila. Ya, mereka akan menertawakan kebodohan Aruna dan tak akan ada yang percaya padanya. Jangan berharap ada women support women di dunia nyata, karena tak akan pernah ada.

Bahkan bisa-bisa semua orang mempermalukan Aruna, menganggapnya sebagai wanita murahan yang memanfaatkan atasan sendiri, apalagi jika Dion ternyata tak pernah mengakui dan tak ingat perbuatannya. Aruna sendiri juga sadar diri bahwa dia sama sekali tak ada bukti. Terlambat juga untuk meminta pertanggung jawaban atas semua yang menimpanya di malam itu. Tiga bulan telah berlalu. Cukup sudah semua drama ini, dia harus segera mengakhiri.

"Selamat tinggal Dion Hadinata Wijaya! Aku akan membawa benih yang kau tanam semalam, semoga suatu saat kita bisa berjumpa dengan kondisi yang berbeda dan aku telah berdamai dengan luka!" batin Aruna dalam hati.

"ARUNA!!!!" panggil seorang pria.

Siapakah Gerangan Pria Tersebut?

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status