Khansa panik. Kalau gigolo yang ia pesan ternyata tidak jadi datang, lantas orang yang tidur dengannya semalam ini siapa? Apa mungkin karena pria itu mabuk makanya salah kamar? Khansa memang tidak mengunci pintu kamar hotel semalam karena itu juga permintaan yang dikatakan oleh gig*lo pesanannya. Ternyata, hal itu malah membawa Khansa pada kondisi yang benar-benar memusingkan seperti ini.
“Aduh, b-bagaimana ini?” gumam Khansa pelan. Debaran jantung Khansa naik drastis. Ia juga mulai ketakutan. Bagaimana jika orang yang semalam menidvrinya itu adalah orang jahat? Apalagi, pria itu semalam juga mabuk. Sudah pasti ia bukan pria baik-baik. Khansa turun dari ranj ang pelan-pelan kemudian berjalan dengan berjinjit untuk memeriksa pria itu lagi. Aroma alkohol masih menguar kuat dari pria itu. Dilihat dari betapa pulasnya pria itu tidur, sepertinya efek mabuk semalam belum hilang. Khansa melihat wajah pria yang masih tidur itu. Seluruh tubuhnya sontak merinding. Ia memang tidak mengenali wajah pria itu semalam sebab Khansa sendiri sengaja mematikan lampu. Pria itu jelas berbeda dengan gigolo yang ia pesan. Memang foto profil di aplikasi waktu itu tidak secara langsung menunjukkan wajah si gigolo, hanya badannya saja yang dipamerkan. Namun, ketika Khansa sudah fix memesan, si gigolo itu mengirimkan foto wajahnya untuk konfirmasi, dan pria yang sekarang masih tidur itu jelas bukan gigolo pesanan Khansa. “Bodoh… Kenapa semalam aku nggak cek dulu wajahnya ya?” batin Khansa merutuki nasibnya sendiri. Tapi tentu saja Khansa tidak sempat. Lampu gelap gulita, Khansa juga masih amatir dan bingung dengan apa yang harus ia lakukan semalam. Belum lagi, pria asing ini mendadak langsung menyerangnya saat itu juga. Isi kepala Khansa mendadak ruwet sekarang. Ia yang panik buru-buru memakai seluruh pakaiannya lagi termasuk hoodie, topi, masker, serta kaca mata hitam untuk menyamarkan wajahnya. Khansa juga memeriksa kamar hotel itu mumpung si pria asing belum ada tanda-tanda bangun. Apapun jejak yang tertinggal tentang Khansa harus dibersihkan. Jangan sampai pria ini melihat wajahnya atau apapun tentang Khansa. Setelah memastikan tidak ada satu barang pun milik Khansa yang tertinggal di kamar hotel itu, ia buru-buru keluar dan pergi. Kamar ini sudah dibayar sebelumnya oleh uang Khansa sendiri yang ia wakilkan kepada si gigolo pesanannya. Soal apakah uangnya benar akan diganti atau tidak oleh pria itu, Khansa tidak peduli lagi. Ia hanya ingin kabur tanpa meninggalkan jejak. Khansa langsung pulang ke rumahnya saat itu juga. Ketika sampai rumah, hari masih pagi tetapi Bima sudah berangkat kerja. Khansa langsung pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Ia juga memasukkan seluruh pakaian yang ia kenakan untuk ke hotel ke bak cucian untuk segera dicuci supaya tidak meninggalkan aroma apapun yang mencurigakan. Di kamar mandi itu, Khansa termenung. Ia sungguh menyesal telah melakukan ini. Bukannya mendapatkan apa yang ia mau, Khansa justru salah orang. “Kenapa sih aku sampai berbuat nekat kayak gitu?” gumam Khansa di sela-sela dirinya yang sedang keramas. Khansa menunduk, memperhatikan tubuhnya yang basah. Ada bebera bercak kemerahan di kulitnya. Di dekat d ada, di pinggang, bahkan di pah a bagian dalam. Khansa menggosok bagian-bagian itu lebih kuat, berharap bekasnya akan hilang. Selesai mandi, Khansa lanjut mencuci pakaian yang ia kenakan dengan sebersih mungkin. Ia menambahkan banyak pewangi sebelum menjemurnya. Di siang hari, Bima pulang ke rumah. Pria itu mengira kalau Khansa belum pulang, jadi ia agak terkejut ketika melihat Khansa sedang memasak di dapur. “Kok kamu udah pulang?” tanya Bima. Khansa yang sedang memotong wortel kaget, sebab ia tidak mendengar salam dari suaminya. Tiba-tiba saja muncul. “Kenapa sih? Begitu aja kaget. Terus, kok cepet banget kamu pulangnya? Katanya Paman sakit?” Khansa tidak menatap Bima, ia malah fokus memotong wortel meski jemarinya sedikit bergetar. “Paman udah sembuh,” jawabnya. Sekarang, malah Khansa yang terkesan bersikap dingin kepada Bima. Bima menaikkan sebelah alisnya mendapati keanehan dari gerak-gerik Khansa. Namun, Bima mengabaikan hal itu. “Besok bakal ada acara penyambutan Danki baru. Acara serah terima tugas gitu.” Khansa baru menoleh ketika mendengar kabar itu dari Bima. “Danki baru?” Bima mengangguk. “Iya. Nanti bantulah masak-masak, karena mau ada acara juga.” Khansa mengiyakan. Ia kembali berbalik dan fokus memotong-motong wortel karena masih gugup pasca melakukan hal paling nekat semalam. Untungnya, Khansa bisa menyelesaikan masaknya tanpa ada insiden apapun. Ia hanya memasak sup sayur dan menggoreng ikan saja untuk makan bersama Bima nanti. Meskipun masakannya wangi dan menggugah selera, entah mengapa Khansa masih belum napsu. Ia terus saja teringat dengan kejadian semalam. Hal itu membuatnya tidak tenang. * Sore harinya, Khansa yang sedang di jalan untuk ke rumah Bu Danton masak-masak masih merasa tidak tenang. Ia berjalan sambil melamun jadi tidak terlalu memperhatikan langkahnya. Tiba-tiba, ada mobil hitam yang lewat. Khansa yang memang pikirannya sedang mengawang ke mana-mana nyaris saja tertabrak. Untunglah, mobil hitam itu refleks menekan klakson kuat-kuat sampai kesadaran Khansa kembali. Jantung Khansa rasanya berdebar kencang ketika sudah minggir. Mobil hitam itu berhenti tetapi tidak menurunkan kaca jendelanya. Khansa sadar bahwa ia yang salah, jadi meskipun kaca mobil itu tidak dibuka, Khansa langsung membungkukkan badannya. “Maaf, saya melamun tadi,” ucap Khansa. Tidak ada jawaban dari si pengendara mobil dan orang itu langsung tancap gas begitu saja. Khansa mengelus dadanya sambil mengembuskan napas panjang. “Astaga… hampir saja,” gumamnya pelan. Khansa pun lanjut menuju ke rumah Bu Danton. Sesampainya di sana, Khansa langsung disambut oleh Bu Danton. Ada ibu-ibu persit lain juga yang membantu. Bu Danton kelihatan kerepotan dengan anak keduanya yang memang sangat aktif. “Bu Bima! Bu Bima! Bisa tolong pegang anak saya dulu sebentar? Ini saya masih kasih arahan buat masak-masaknya tapi anak saya rewel terus nggak bisa diem.” Bu Danton langsung memberikan anak keduanya kepada Khansa. Untunglah, anak itu sudah sering bersama Khansa jadi tidak terlalu rewel. Sementara Bu Danton memberi arahan untuk masak-masaknya, Khansa ikut mendengarkan tetapi sambil meladeni anak Bu Danton yang tidak bisa diam. Selesai memberi pengarahan, Bu Danton menghampiri Khansa. “Bu Bima, Ibu bantuin jaga anak saya dulu aja ya, soalnya dia nggak bisa dititip ke yang lain karena kenalnya sama Bu Bima doang.” “Loh? Saya nggak bantu masak-masaknya dong, Bu?” Bu Danton tersenyum. “Enggak apa-apa, nanti kalau anak saya udah capek dan tidur, baru Bu Bima bantu ke belakang. Yang penting anak saya nggak rewel dan ngericuh ajalah.” Khansa mengangguk. Ia sendiri juga senang dengan anak kecil sebab dirinya belum punya anak dan menantikan datangnya rezeki buah hati itu. Ketika Khansa sedang menemani anak Bu Danton bermain, tiba-tiba ada tamu. Khansa menemani anak Bu Danton main di ruang tengah supaya tidak mengganggu bagian masak-masak di dapur untuk acara esok hari. Sebagian besar masakan untuk acara penyambutan Danki baru esok hari memang disiapkan sekarang sebab tidak mungkin mau memasak dadakan. Apalagi, acara esok hari juga pagi. Di situ, Khansa menyadari ada tamu jadi ia ke belakang untuk memanggil Bu Danton. Khansa kemudian kembali lagi menemani anak Bu Danton bermain. Ketika Bu Danton menyambut tamu itu, Khansa tidak sengaja melirik tamu tersebut. Begitu terkejutnya ia ketika melihat wajah tamu itu. “Dia… Dia ‘kan…” batin Khansa. Jantung Khansa seketika memompa lebih kencang. Saking kagetnya, Khansa sampai mengucek matanya sendiri hanya untuk memastikan apakah dirinya salah lihat atau tidak. Namun, meski sudah mengucek matanya berkali-kali, kenyataannya memang itu adalah ‘dia’. “Dia… Dia laki-laki yang di kamar hotel itu!” Khansa menjerit dalam hati. *Setelah cukup lama pingsan, Sindi akhirnya sadar. Ia merasa kepalanya agak pening. Ketika ia menoleh, Sindi melihat Bima duduk di sampingnya dengan tatapan datar.“Bim?”“Oh, udah sadar kamu,” kata Bima.“Bim! Tadi Ibu dorong aku. Dia mau nyolong perhiasan aku katanya buat bayar pinjol dan ketipu arisan. Aku nggak mau soalnya Ibu sering pinjam uang aku tapi nggak pernah dibalikin.”Bima yang mendengar Sindi mengadu hanya diam. Bahkan tidak ada tanda-tanda perubahan ekspresi sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Sindi heran. “Bima, kok kamu diem aja sih?” tanya Sindi. “Oh, kamu nggak percaya sama aku? Kamu mau belain Ibu kamu?”Bima menghela napas panjang, ia tidak merespon sama sekali pertanyaan Sindi. Justru Bima malah mengatakan hal lain. “Kamu udah sehat ‘kan? sekarang ikut aku,” kata Bima. Sindi kelihatan bingung. “Ke mana? Aku masih agak pusing. Kayaknya aku butuh waktu istirahat lebih lama Bim.”Bima tidak mau mendengarkan alasan tersebut. Ia justru langsung mencengkeram pe
“Khansa, kamu…”Khansa tersenyum tipis. “Pasti kamu penasaran kenapa aku bisa tahu ‘kan? aku udah tahu semuanya Mas, jadi tolong berhenti membodohiku.”Khansa berbalik dan hendak masuk ke dalam bangunan panti, tetapi Rama menahannya. “Khansa, tolong dengarkan saya dulu.”“Dengerin apa lagi Mas? dengerin kebohongan kamu?”Rama menarik napas panjang. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Khansa sudah tahu semuanya. Siapa yang berani membeberkan fakta itu kepada Khansa?“Khansa, sebenarnya saya nggak bermaksud untuk menutupi semuanya. Saya hanya…”“Aku nggak mau denger apapun alasan kamu Mas. Percuma! Intinya semua pernikahan ini hanya kebohongan. Aku mau kita cerai!”Rama membelalak. “Khansa… tolong jangan semudah itu mengakhiri pernikahan kita. Ini semua bisa diperbaiki. Saya bisa menjelaskan semuanya kok. Saya nggak bermaksud—”“Stop, Mas! kamu mau jelasin apa lagi sih? udahlah… Kamu pikir aku akan langsung percaya kalau kamu jelasin ke aku? Enggak, Mas! kamu sudah membohongiku selama
Keesokan harinya, Khansa sedang membantu ibu panti mengurus bayi yang ada di sana. Sebenarnya panti asuhan itu hanya mengasuh beberapa bayi saja. Yang lebih banyak adalah anak-anak usia SD awal. Ada dua bayi yang harus Khansa jaga. Kedua bayi itu sama-sama sensitif dan mudah menangis. Ia lumayan repot menanangkan kedua bayi itu, tetapi rasanya justru menyenangkan. Khansa memilih membuat dirinya lelah agar ia bisa lupa dengan sakit hatinya. Melihat Khansa sangat sibuk mengurus dua bayi rewel itu, Ibu panti datang menghampiri. “Khansa, kamu istirahat dulu aja biar Ibu yang gantikan.”Khansa tersenyum. “Nggak papa Bu Rohmah. Saya malah seneng kok ngurus bayi.”Meskipun repot dan melelahkan, Khansa justru senang. Sudah lama ia mendambakan untuk menimang bayinya sendiri, tetapi nyatanya Tuhan belum mempercayakan rezeki tersebut kepadanya. Mengasuh bayi-bayi di panti asuhan ini bisa menjadi pelipur lara Khansa.Bu Rohmah mengusap-usap punggung Khansa. “Tapi kamu pasti capek, ‘kan? Dengerin
Rupanya yang datang adalah Hesti. Melihat wanita itu sampai berani datang setelah permasalahan kemarin, Rama jelas kesal bukan main. Bahkan hanya melihat wajah Hesti saja, amarah Rama rasanya ingin meledak sekarang. Saat ini, ia sedang mencemaskan Khansa yang entah di mana keberadaannya, dan kedatangan Hesti justru membuat pikiran Rama semakin ruwet.“Mau apa kamu ke sini?!” tanya Rama ketus. Hesti mengulas senyum sok memelas. “Maaf Mas, aku pengen ketemu sama Khansa. Aku ngerasa nggak enak karena waktu itu belum minta maaf dengan sebenar-benarnya. Aku pengen jelasin secara detail juga biar dia nggak marah lagi.”“Khansa nggak ada di rumah. Dia lagi pergi. Kamu pulang saja sana,” usir Rama. “Hah? Sore-sore begini ke mana Mas?”“Ya sibuklah, namanya juga ibu persit.”“Emangnya Mas Rama nggak ngelarang kalau istrinya sampai sore begini belum pulang Mas? Jadinya kayak mengabaikan kewajiban sebagai istri gitu.”Kedua alis Rama menukik tajam mendengar ucapan Hesti. “Ngapain kamu ngomong
Pricil terkekeh. “Padahal kamu yang tiba-tiba ngajakin ketemuan setelah sebelumnya nggak mau datang.”Khansa diam. Kali ini, memang ia yang menghubungi Pricil. Namun, itu semua karena Khansa penasaran dengan apa yang ingin Pricil bicarakan waktu itu. Setelah melihat Rama bersama Hesti saat itu, rasanya Khansa tidak bisa tenang. Ada perasaan gelisah di dalam hatinya yang membuat Khansa tiba-tiba ingat dengan ucapan Pricil. Bahwa ada hal penting tentang Rama yang Khansa tidak pernah tahu. Maka dari itulah, Khansa akhirnya menghubungi Pricil dan menanyakan soal ini. Lalu, Pricil mengajak Khansa bertemu. “Jadi kamu mau bicara apa enggak? Saya nggak punya banyak waktu,” kata Khansa.Pricil menaikkan sebelah alisnya. “Oh? Kamu maunya buru-buru ya? Oke, nggak masalah. Aku langsung aja kalau gitu.”Bahu Khansa agak menegang. Meskipun ia bersikap tegas di depan Pricil, sejujurnya ada sebersit rasa takut di dalam hatinya. Ia takut, apa yang dikatakan Pricil tentang Rama akan membuatnya kecewa.
Bima benar-benar marah. Jadi Sindi membohonginya?Bima pun langsung keluar dari klinik itu dan menghubungi Sindi. Panggilan tersebut langsung diangkat oleh Sindi.“Kenapa, Sayang?” tanya Sindi dari seberang panggilan.“Di mana kamu?”“Lagi di klinik lah, Sayang. Aku baru selesai ini. Mau istirahat makan siang,” jawab Sindi.Bima meremat ponselnya kuat-kuat mendengar kebohongan Sindi yang masih berlanjut. “Pembohong!” bentak Bima tiba-tiba. Sindi kaget. “Apa sih, Sayang? Kok tiba-tiba bentak-bentak aku?”Bima langsung memotret bagian depan klinik tersebut lalu mengirimkannya kepada Sindi. “Mau istirahat makan siang, hm? Istirahat makan siang di mana kamu, hah?”Sindi pucat pasti tatkala melihat foto tersebut. “K-kamu di klinik, Bim? Kok nggak ngabarin aku sih?” tanya Sindi. Suaranya bergetar dan agak terbata-bata.Bima tertawa sinis. “Kenapa? Biar kebohongan kamu nggak ketahuan hah?!”“Bukan gitu, bukan kok! Aku… um, aku tuh sebenarnya—pokoknya aku bisa jelasin kok, Bim.”“Nggak usah